Harapan palsu

1024 Words
Janji tinggal janji, pemanis harapan saat akan ditinggal pergi. Rindu sudah terbiasa dengan itu namun rasa sakitnya masih tetap susah untuk diterima. Gadis kecil itu meninggalkan meja makan dengan tangis tertahan. "Mel, bantu aku membujuk Rindu agar tidak sedih. Bagaimana aku bisa pergi kalau melihat dia sedih seperti itu," ucap Bagas pada istrinya dengan nada yang tak kalah sendu dengan Rindu. Melani meletakan alat makannya. Dia mengedikan bahunya dan bersidekap memandang Bagas dengan angkuh. "Kau yang berjanji padanya, kau yang mengingkari. Jadi, kau sendiri yang bisa membujuknya," ucap Melani. Bagas menarik rambutnya bingung. Dia terlihat sangat terpukul karena melihat Rindu yang bersedih namun dia tetap mengepak barangnya untuk pergi ke luar kota bersama sahabatnya. Bagas lebih memilih melihat DJ dari luar negeri daripada melihat senyum putrinya. "Mel, tolong beri pengertian pada Rindu. Aku melakukan ini demi kalian juga. Pulang nanti akan kubawakan oleh-oleh yang paling bagus. Aku mencintaimu," ucap Bagas mencium kening istrinya kemudian beranjak pergi. Melani menanggapi dingin ucapan suaminya. Hatinya sudah beku dengan segala tipu daya Bagas. Suaminya sudah tak tertolong lagi. Berapa kali pun kesempatan yang diberikan Melani hanya akan seperti pedasnya sambal di lidah. Panas dan pedas tetapi akan tetap dimakan lagi. "Sampai jumpa, Sayang. Begitu sampai aku akan menelponmu. Dah ...." Bagas keluar tanpa menunggu jawaban Melani karena dia tahu istrinya pasti tidak akan menjawab. Saat istrinya marah atau bersedih dia hanya akan diam tidak lebih. Bagas sudah hapal di luar kepala tabiat istrinya. Dan dia tidak ambil pusing karena seiring berjalanya waktu kemarahanya akan reda sendiri. Wajah Bagas yang sedih berubah cerah hanya dalam hitungan detik setelah ia keluar dari pintu rumahnya. Senyumnya mengembang saat ia menghubungi temanya untuk memastikan tempat pertemuan mereka. Di dalam rumah Melani membujuk Rindu suapaya tidak bersedih hanya karena Papanya gagal menemaninya liburan. Tidak sulit membujuk Rindu, dia gadis cilik yang pandai. Dengan sedikit kata-kata dia akan melupakan kesedihannya. "Bagaimana kalau kita pergi time zone dan mengumpulkan banyak kupon? Nanti terserah Ndu mau ditukar dengan apapun yang Ndu mau. Nanti kita beli es krim tiga rasa dan makan junk food sepuasnya. Mau ikut?" tanya Melani. "Ikut, ikut, ikut ...," ucap Rindu dengan ceria. Semangatnya kembali dengan begitu banyaknya tawaran dari Melani. Melani membawa putrinya ke dokter gigi, setelah itu mereka bersenang-senang menghabiskan waktu bersama. Mengobati luka hati dengan hal yang menyenangkan. "Lihat, kita bisa bahagia meski tanpa Papa. Jadi, lain kali tidak usah sedih kalau Papa pergi. Okay?" ucap Melani pada putrinya. "Iya, sih. Tapi Rachel selalu bilang kalau Papa gak sayang Ndu. Buktinya Papa gak mau jalan-jalan bareng. Papa Rachel selalu nemenin dia setiap akhir pekan. Sebulan sekali mereka piknik ke tempat jauh. Liburan tahun lalu mereka ke luar negeri bersama-sama. Ndu juga pengin berlibur sekeluarga begitu, Ma." Rindu yang tadinya sudah ceria kini kembali cemberut saat mengingat acara jalan-jalan dengan papanya batal. Dia berkeluh kesah karena batal pamer pada temanya. "Ndu ... tahu gak kenapa Ndu ditakdirkan gagalnlagi jalan-jalan dengan Papa?" tanya Melani dengan suara lembut. Rindu yang diajak bicara menggeleng, saat Mamanya mulai bicara dengan nada halus berarti dia akan memberikan petuah. Rindu diam dan menyimak, siap mendengar nasehat ibunya. "Allah tidak mau Ndu memiliki hati yang keras. Dan lebih dari itu Allah tidak menghendaki Ndu bersikap pamer dan riya pada teman-teman Ndu. Bisa jadi karena hal itulah Allah menggagalkan acara jalan-jalan kita dengan Papa," jelas Melani pada Rindu. Kata-kata memang sangat mudah diucapkan. Tidak sebulir pun keringat yang menetes untuk mengucapkan kata sebijak itu. Namun pada kenyataannya, Melani sendiri sangat geram pada Bagas karena memberi harapan palsu pada Rindu. Akan lebih baik jika Bagas tak usah menjanjikan apapun. "Ndu salah, Ma. Dari awal niat Ndu memang buat pamer. Tapi, tapi ... mereka juga suka pamer," ucap Rindu. "Rindu mau jadi seperti mereka?" "Mau!!!" "Hah?" Melani shock dengan jawaban putrinya. Dia ingin menepuk jidat, sepertinya dia salah bertanya. "Ndu mau seperti mereka, jalan-jalan bareng Papa dan Mama. Bisa poto-poto bareng, disayang. Tiap hari diantar Papa ke sekolah, pulangnya Mama yang jemput," ucap Rindu dengan polosnya. Melani menghela napas untuk sedikit mendapatkan ketenangan. Bicara dengan anak kecil harus dengan bahasa yang mereka paham. Meskipun Rindu tergolong cerdas tidak serta merta dia mengerti semua yang Melani ucapkan. "Sayang, yang Mama maksud bukan itu. Maksud Mama, Ndu gak mau kan kalau sama seperti mereka yang suka pamer? Allah gak suka umatnya yang senang berbuat riya. Ndu paham?" "Paham, tapi ... sekali-sekali Ndu juga mau pamer ke Rachel. Biar dia gak terus-terusan bilang Papa Ndu gak sayang sama Ndu," ucap Rindu pelan. Melani memeluk putrinya penuh kasih sayang. Anak yang bernama Rachel ini sepertinya toxic untuk pertemanan Rindu. Melani akan berusaha menjauhkan Rindu dari anak bernama Rachel ini. "Baiklah, nanti kita upload poto-poto lama kita saat jalan-jalan bareng Papa. Tapi ... ini buka buat pamer, ya! Ndu cukup menunjukan satu poto hanya untuk menunjukan kalau Papa sayang Ndu." "Okay, okay, setuju!" ucap Rindu girang. "I love you, Mama." Semangat Rindu kembali dengan cepatnya, seakan dia lupa beberapa detik lalu dia bersedih. Menjelang sore mereka baru sampai di rumah. Karena kelelahan Rindu tertidur di mobil. Melani tak ingin membangunkan putri kecilnya sehingga dia menggendongnya masuk ke rumah. "Baru pulang, Mel?" tanya tetangga yang kebetulan melihat mereka pulang. "Iya, Tan," jawab Melani. Dia buru-buru ingin masuk karena menggendong Melani dan beberapa tas belanjaan cukup berat dan repot. "Makanya kalau pergi-pergi suami diajak, Mel! Jadi gak repot begitu. Bisa bagi-bagi tugas, yang satu gendong anaknya yang satu bawa belanjaan," ucap tetangga Melani yang dipanggil Tante. "Iya, Tan. Duluan, ya," jawab Melani dengan senyum kecut. "Memang Papanya Rindu kemana, Mel?" "Ada tugas di luar kota. Melan masuk dulu, ya Tan. Berat, nih." Melani buru-buru masuk ke dalam rumah. Urusannya bisa panjang kalau meladeni tetangganya yang cuma kepo urusan hidupnya. Sudah pasti mereka hanya ingin tahu untuk dijadikan bahan gosip. "Perasaan tugas mulu, Mel. Tugas apa ke bini muda?" seru Tante kencang hingga masih terdengar meski Melani sudah berada di dalam rumah. Melani mengabaikan tetangga yang sibuk nyinyir dengan hidupnya. Tidak ada gunanya dibantah meski hatinya perih dengan segala kicauan mereka. Hidup tidak akan lepas dari ujian, dan ini adalah salah satu ujian hidupnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD