12. Nasib yang Sama

2035 Words
Kata orang-orang, Sekar Melati atau biasa dipanggil Melati adalah perempuan yang berbeda sejak awal. Orang-orang juga bilang, jangan dekati Melati, dia tidak waras karena selalu saja berbicara yang tidak-tidak. Setelah tiga menit mencerna kalimat tersebut, Wira tetap tidak mengerti akan maksudnya. Dia bahkan bingung melihat Melati masih sempat-sempatnya tertawa. Seolah-olah, hidupnya memang selucu itu. Kemudian, Melati melanjutkan. Dirinya tidak tahu apakah dirinya itu seorang indigo atau memiliki kemampuan indera keenam. Tapi yang pasti, dia bisa melihat masa depan dan masa lalu seseorang. Selain itu, dia juga bisa melihat kerajaan di dunia lain, yang mana makhluk-makhluk di sana sangatlah mengerikan. Bukan lagi menyerupai monster, tapi lebih kepada hantu dengan wajah yang hancur lebur. Yang tidak dia sukai, sering kali di saat waktu sudah berlalu pun, tubuhnya dipaksa untuk datang dan masuk ke dalam masa itu. Entah karena hanya untuk melihat atau membantu meluruskan, Melati tidak pernah merasa nyaman. Bagaimana bisa dia nyaman kalau yang dilihatnya selalu hal buruk? Sungguh itu tidak enak sama sekali. Orang-orang menjauhinya karena berpikir Melati adalah perempuan sok tahu, aneh, dan suka berbicara asal-asalan. Padahal, Melati hanya menyampaikan apa yang memang dia lihat dan dia dengar dengan kemampuannya tersebut. Pernah mendengar kalau mimpi seseorang bisa menjadi nyata? Nah seperti itu. Kadang, Melati bisa melihat masa depan lewat mimpinya. Sering kali kepalanya sakit bukan main mendengar isi kepala banyak orang yang tidak ada matinya untuk berpikir. Dulu, Melati bahkan menyebut dirinya sendiri memiliki gangguan mental berat karena merasa selalu dihantui mimpi buruk. Hingga suatu hari, keluarganya mengusir perempuan berparas ayu itu karena kepalang malu dengan tingkah lakunya. Padahal, niat Melati baik ingin mengingatkan tentang kejadian-kejadian buruk. Namun nahasnya, tidak ada yang percaya. Jangankan orang lain, keluarga yang bertahun-tahun hidup bersamanya saja men-judge kalau Melati adalah perempuan yang tidak normal, bermasalah dan sebangsanya. Bagaimana dengan orang lain, bukan? Yang ada, dia hanya akan makan hati dan bisa-bisa mati kekenyangan sendiri mendengar hinaan yang ditekan dari berbagai arah.  Demi membuktikan kalau dirinya tidak berbohong, Melati menceritakan apa yang dia lihat ketika tidak sengaja bersentuhan dengan seseorang saat berada di luar. Detik itu juga, sama seperti yang dialami Wira, jiwa Melati seolah dipaksa untuk mengikuti portal dimensi lain tersebut. Perempuan itu tidak bisa menahan ataupun mencegah dia mau dibawa ke mana. Yang Melati tahu, tiba-tiba saja dia sampai ke tempat tertentu dan kembali ke tempatnya seperti semula.  Hal yang paling mengerikan baginya bukan lagi saat melihat orang kecelakaan berdarah-darah atau saat tidak sengaja terjebak di dunia lain hingga harus melihat makhluk-makhluk yang sangat mengerikan. Namun, dia malah ditunjukkan adegan tidak senonoh seseorang yang sangat dia kenal. Di portal itu, dia melihat tunangan yang berjanji akan menikahinya malah bermain api dengan perempuan lain. Melati murka, dia ingin memberi pelajaran pada orang-orang tersebut. Sayangnya, jangankan memberikan pelajaran, menyentuh mereka saja tidak bisa. Mereka bahkan tidak bisa melihat Melati sama dengan Melati yang tidak dapat menyentuh mereka sama sekali. Melati mencoba berpikir kalau dirinya sedang berhalusinasi atau bermimpi yang aneh-aneh karena saking lelahnya. Tapi kenyataannya malah memang seperti itu. Dia tidak sedang bermimpi. Dia tidak sedang berhalusinasi. Tuhan hanya sedang menunjukkan kebenaran atas pria yang dicintainya. Seorang pengkhianat, predatorr seksuall, dia suka mengencani banyak perempuan dan menidurinya paksa selama ini. Entah bagaimana bisa Melati tidak pernah bisa menyadarinya. Untung Tuhan pemilik alam semesta memberikan petunjuk-Nya. Memang segala sesuatu yang terjadi tidak ada yang sia-sia.  Tak sampai di sana, setelah mengetahui kebejatann kekasihnya, Melati langsung menjauh dan menjaga jarak sebisa mungkin. Namun nahasnya, dia malah dijadikan oleh target selanjutnya oleh kekasihnya sendiri. Anehnya, Melati tidak tahu apa yang akan menjadi masa depannya. Padahal, dia bisa melihat masa depan orang lain. Namun apapun itu, Melati tetap bersyukur sudah diberikan petunjuk dan jalan keluar akan kebimbangannya selama ini.  Seperti malam itu, mungkin Melati yang sedang bernasib buruk. Rumahnya didatangi oleh kekasihnya dan Melati dipaksa untuk melayani pria bejatt tersebut. Melati tidak mau. Dia melakukan perlawanan hingga tanpa sengaja saat melakukan pertahanan, dirinya malah melukai kekasihnya. Tapi yang perlu diingat, kekasihnya itu baik-baik saja. Hanya saja, bajingann itu sendiri yang malah ketakutan setengah mati saat melihat Melati yang didiami sosok harimau bertaring panjang yang begitu besar. Dan sejak saat itu, Melati sadar kalau dirinya berbeda. Dia berbeda dengan kebanyakan orang yang ada di dunia ini. Dan harimau itu juga pernah berpesan kalau dia adalah kakeknya dan Melati boleh kapan saja memanggilnya. Dia memperkenalkan diri dengan nama Maung.  Meskipun begitu, setelah kejadian tersebut, ketika Melati mendapat musibah atau apapun itu, harimau itu yang selalu menjaganya. Hingga Melati yang dulunya selalu ditindas malah tidak memiliki teman sama sekali. Semua orang takut kepadanya. Namun dia tidak mau berburuk sangka atas takdir yang sudah Tuhan berikan. Mungkin memang ini yang terbaik. Buktinya Melati masih mampu bertahan hingga sekarang. Meski berita buruk bahkan sudah menyebar luas mengatas namakan dirinya, disebut-sebut sebagai pemuja setan dan sebangsanya, keluarganya sendiri bahkan bergotongroyong untuk meninggalkannya, hingga Melati sudah tidak memiliki harapan lagi. Sang kakek penjaga alias harimau bertaring panjang berukuran satu meter itu murka dan menghabisi anak cucunya sendiri karena tidak terima saat Melati diperlakukan seperti itu.  Dan terhitung sejak hari itu, Melati sendirian di dunia ini. Dia tidak memiliki siapa-siapa untuk tempat berbagi. Namun sekarang, saat bertemu Wira, Melati merasa kalau harapannya yang telah padam bersinar kembali. Dia memiliki teman. Wira yang mendengarkan sedari tadi sampai kepayahan menelan ludah. Dia melihat ke arah Melati yang nampak muram. Entah pada detik ke berapa, perempuan itu malah menangis sesenggukan. "Saya rindu sama ibu, bapak, mbak sama adik saya, Mas. Sakit sekali hidup sendirian di dunia ini." Pada awalnya, Wira merasa konyol dengan mengajukan diri. Tapi Wira rasa, dia benar. Mereka sepertinya senasib, dijauhi orang-orang yang dulunya begitu mencintai dirinya. Mungkin karena itu juga Wira merasa cocok berteman dengan Melati. "Mau saya temani ke tempat peristirahatan mereka?" tanyanya hati-hati.  Oh ayolah, Wira memang bukan tipe orang yang romantis. Kalau orang-orang sedih diajak jalan-jalan atau belanja biar melupakan kesedihannya, Wira malah dengan senang hati menemani Melati di kuburan. Hebat, bukan? Sekain Wira, pasti langsung putar haluan dan tidak mau berbalik lagi.  Melati menoleh, menatap Wira antara yakin dan tidak yakin. "Mas... mas yakin? Mas tidak takut pada saya?" matanya masih menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam.  "Kamu bercanda?" pria itu tersenyum tipis. "Saya juga seperti kamu. Nasib kita sama tahu." "Beda!" Melati bersi keras, menolak disamakan. "Kalau mas kan masih punya banyak orang yang sayang dengan, Mas. Sedang saya benar-benar sendirian di dunia ini. Semua orang jahat, tidak ada yang tulus. Saya benci dengan--" "Ada!" sergah Wira menghentikan perkataan Melati. Tiba-tiba dia mencelos sendiri mendengar perkataan Melati yang seolah menjelek-jelekkan dirinya sendiri. "Tidak semua orang buruk, kamu tahu itu. Kalau semua orang buruh, tidak akan ada kehidupan di dunia ini. Mungkin iya," Wira menarik napas berat kemudian melempar tatapannya pada batas cakrawala yang nampak cerah dan menenangkan, "mungkin iya di dunia ini banyak orang yang jahat. Tapi, saya percaya kalau masih ada salah satu atau salah dua orang yang berhati baik." "Mas Wira--Mas sedih, kah? Ingat Bu Sabrina?" "Hm?" Wira menoleh ke arah Melati dan membalas pertanyaan perempuan tersebut dengan senyuman tipis sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya kembali. "Bertahun-tahun kami bersama. Butuh waktu bagi saya untuk melupakannya. Dia yang pertama bagi saya dan saya pernah bermimpi untuk menjadikannya yang pertama dan yang terakhir." "Mas sangat mencintainya." Melati kembali mengeluarkan pernyataan bukan pertanyaan.  "Saya memang bodoh mencintai perempuan yang sedari awal tidak mencintai saya." Hening kemudian melanda. Wira diam, Melati pun diam. Di saat Wira menatap langit yang nampak cerah, Melati memilih menunduk, menatap kakinya yang menggantung karena duduknya yang terlalu tinggi. "Pasti bahagia ya, pernah sangat dicintai dan mencintai. Saya juga ingin merasakan yang seperti Mas rasakan. Tidur bersama, ciuman--" "Ya! kamu ini berpikir apa? Mana saya pernah melakukan itu?!" Wira tanpa sadar memekik dan menatap Melati tajam, dia agaknya geli dengan yang dibicarakan Melati barusan.  "Wew, iyakah Mas belum pernah melakukan itu? Wah, saya juga belum pernah. Mari melakukan itu, pasti rasanya sangat--" "Astaga Melati, kamu ini kenapa?" Wira sampai berdiri, semakin geli plus ngeri dengan Melati yang asal membuka mulut kalau bicara. Selain Wira, Melati pasti langsung diseret ke tempat yang sepi dan dimanfaatkan ketidakberdayaannya. "Jangan biarkan pernah katakan hal semacam itu pada pria lain." "Wew, berarti hanya Mas yang boleh mendengarnya, dong?" perempuan itu malah mengerling jahil. Senyum-senyum tidak jelas. "Memang apa salahnya sih, Mas? Pacar Mas juga melakukan hal itu dengan pria lain. Kenapa tidak Mas balas saja?" Seketika itu juga, Wira langsung menatap Melati curiga. "Maksudmu--bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu?" Melati balas tersenyum, kemudian menyentuh tangan Wira dan memejamkan matanya damai. Beberapa saat kemudian, dia kembali membuka matanya dan tersenyum sendu pada Wira. "Mas lihat Bu Sabrina tidur dengan Pak Aris, kan? Saya bisa melihat dengan menyentuh tangan, Mas." Buru-buru Wira menarik tangannya. Dia menatap Melati ngeri. Agaknya, Wira harus hati-hati dengan perempuan di depannya ini. Perempuan lugu dan polos di sampingnya ini berbeda dengan kebanyakan orang yang pernah Wira kenal. Namun, satu yang Wira sedari. Dirinya dan Melati itu senasib, sepenanggungan. Alias sama-sama ditinggalkan oleh orang-orang terkasih yang mereka sayang seorang diri. *** Sebut saja Wira keterlaluan. Dia tidak bertanya sama sekali tentang Sabrina meski orang-orang saling berbisik kalau dirinya adalah penyebab Sabrina bisa sampai seperti itu.  Oh ayolah, bagaimana bisa dia dituduh sebagai penyebab Sabrina sakit seperti itu sedangkan Wira tidak merasa melakukan apapun yang menyakiti ataupun merugikan Sabrina. Lagi pula, orang-orang hanya berbicara tanpa memberikan bukti yang jelas. Jadi Wira masa bodoh. Dia tidak peduli sama sekali. Hanya saja, kupingnya gatal mendengar perkataan itu. Seolah-olah, dirinya yang bersalah di sini. Andai saja mereka tahu kalau Sabrina yang mengkhianati Wira. Tapi ya sudah lah. Wira juga tidak punya bukti. Yang ada, nanti dia dituduh yang tidak-tidak bisa panjang urusannya.  Belum juga pikiran Wira terlepas sepenuhnya dari bayangan Sabrina, Melati tiba-tiba ketuk pintu dan tersenyum lebar ke arah Wira. Layaknya semuman mautnya itu bisa digunakan untuk membayar hutang. "Mas Wira hok a hok e?" Sebelas alis Wira lantas kerangkat ke atas, dahinya bahkan mengerut dalam. "Itu tadi sapaan macam apa, ya? Nama saya Hikayat Prawira." Melati hanya senyam-senyum sambil berjalan mendekat ke arah Wira dan duduk di depan meja pria itu. "Nanti, Mas akan menang tender. Mas juga yang akan didapuk menjadi kepala arsiteknya." Mula-mula, Wira meringis karena tenggorokannya mendadak tercekat. Tapi beberapa saat kemudian, dia menatap Melati curiga. "Tahu dari mana?" "Ya tahu, dong. Saya kan bisa melihat masa depan seperti mas yang yang bisa melihat masa depan saya." "Saya tidak pernah melihat masa depan kamu tuh." Melati mencebik kesal melihat wajah Wira yang jelas meremehkannya. "Ya udah kalau tidak percaya. Kalau nanti mas dipanggil boss mendadak, saya nggak tanggung jawab, ya? Siapa suruh tidak percaya?" "Okay. Kalau kamu benar, saya traktir makan." "Okay!" balas Melati semangat. "Nggak boleh ingkar, ya? Nanti mas aku samperin ke apartemen kalau bohong sama saya." Wira tersenyum mendengar perkataan Melati yang seperti anak kecil. Kadang, Wira bertanya-tanya maksud Tuhan yang sebenarnya apa. Sampai sekarang, dari lubuk hatinya yang paling dalam, jujur Wira masih mencintai Sabrina, sangat mencintai perempuan itu. Tapi melihat Melati yang sekarang engah tersenyum di depannya, Wira merasa kalau dirinya pantas untuk membangun kebahagiaan lagi meski bukan dengan Sabrina.  Ada kalanya, apa yang dipikirkan itu terbaik ternyata tak selalu seperti itu kenyataannya. Yang perlu diketahui, Tuhan sudah menuliskan takdir semua orang jauh sebelum manusia itu sendiri terlahir ke dunia. Jadi, seberat apapun, semudah apapun kehidupan seseorang, sudah sepantasnya diterima karena Tuhan lah yang paling tahu apa-apa yang terbaik untuk hamba-Nya. "Ya sudah." "Hm, ya sudah apa?" Melati menjawab sambil melihat kukunya, tidak melihat ke arah Wira yang malah fokus ke arahnya.  "Jangan lihat-lihat, nanti saya salah tingkah memangnya Mas mau tanggung jawab? Jangan suka baperin anak orang, nanti Mas dapat balasannya tahu" Tawa Wira hampir meledak mendengar penuturan Melati yang benar seperti anak kecil. Sayang sekali nasibnya tak seindah senyuman yang perempuan itu miliki. "Iya-iya, ya sudah sana pergi, saya mau kerja." Melati lantas menatap Wira tajam sambil mencibir. "Dih ngusir!"  Selepas Melati pergi, Wira menyentuh leher belakangnya yang pegal. Kemudian kembali fokus dengan pekerjaan yang ada di depannya lagi. Hari ini, jadwalnya penuh dengan rancang bangun yang dibuat oleh para juniornya. Untung perusahaan selalu mempekerjakan orang yang berkompeten, jadi Wira sebagai arsitek senior yang menjbat sebagai kepala arsitek juga merasa senang bisa bekerja dengan orang-orang yang berpikiran luas meski masih muda. Karena itu tidak ada namanya terlambat dalam menuntut ilmu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD