13. Tidak Sendirian

2092 Words
Wira tidak menyangka kalau yang dikatakan Melati waktu istirahat siang tadi menjadi kenyataan. Perusahaan menang tender lagi dan dia yang diminta untuk menanganinya langsung. Guna memenuhi janjinya pada Melati yang sudah lebih dulu memberi bocaran tapi Wira menyepelekan akan meragunkan Melati dan tidak percaya, Wira jadi menyusul Melati ke tempat kerjanya. Kalau bersama Sabrina, berarti dia bekerja di lantai 18.  Dan benar saja, begitu jam pulang, Wira menghampiri perempuan itu yang tengah berbincang dengan orang lain yang ada di sana. Wira sengaja tidak menegur, dia ingin mengagetkan perempuan itu saja.  Seperti yang direncanakan, begitu orang-orang berbondong-bondong menuju lift untuk keluar dari lantai tersebut, Wira menyapanya begitu sampai di depan pintu. "Hai?" "Hai?" Melati nampak terkejut. "Udah lama?" Wira mengangkat bahunya tak acuh. "Baru saja," Detik berikutnya, Melati dan Wira melihat orang-orang yang menatap ke arah mereka ngeri. Kalau Wira ditatap seperti itu mah sudah biasa. Jangankan ditatap begitu, ditatap ngeri sambil dikatai gila, tidak waras dan sebangsanya juga pernah dan sangat biasa. Wira jadi menganggap hal itu adalah makanan sehari-hari.  "Tidak usah diambil hati," kata Wira kemudian saat wajah Melati berubah datar ketika tadi perempuan itu sempat tersenyum. "Mereka menyindir saya, bukan kamu." Melati malah memicingkan matanya tidak suka. "Kenapa dibiarkan saja? Harusnya, Mas, melawan tahu. Atau paling tidak, Mas bisa memberi pembelaan pada diri mas sendiri. Bukan malah diam saja saat diperlakukan tidak adil seperti ini. You know human right? Ada hukum, kenapa tidak--" "Jadi makan apa tidak, kalau tidak ya sudah." "Ha? Makan, untuk apa?" Wira memutar bola matanya jengah. Apa perempuan di depannya ini sedang melakukan drama dengan pura-pura lupa dengan perkataannya siang tadi? "karena perkataan kamu benar. Kamu melihatnya di mana? Dalam mimpi atau karena tidak sengaja menyentuh saya?" Perempuan itu diam dan terlihat berpikir keras. "Kalau saya bilang mimpi, Mas apa percaya?" "Mungkin saja," balas Wira tak acuh. "Kalau begitu tidak usah tanya!" balas Melati sewot sendiri dan berjalan lebih dulu. Namun Wira hanya geleng-geleng kepala dan mengikuti perempuan itu dari belakang.  * Pada akhirnya, mereka makan betulan di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor. Sebenarnya, Wira ingin mengajak Melati makan malam saja. Tapi berhubung malam nanti dia ada rapat dengan timnya, walhasil Wira mentraktir Melati sekarang saja. Daripada diundur-undur dan malah tidak jadi, Yang ada, nanti Wira malah berhutang janji dan pria itu tidak ingin jika itu sampai kejadian. Namanya juga hutang ya harus dibayar. Apalagi seorang pria yang dipegang adalah perkataannya. Kalau Wira ingat, itu artinya dia sudah berkhianat. Wira memang serumit itu meski lawan bicaranya tidak benar-benar mengambil hati.  Sambil makan dalam diam, tiba-tiba Melati menyelutuk setelah menelan makanannya. "Ngomong-ngomong, Mas tidak ingin menjemput Bu Sabrina?" Sendok yang mulanya sudah sampai di depan, dengan mulut terbuka itu langsung tertutup rapat. Mendadak napsu makan Wira hilang seketika. Kenapa sih, Melati harus membahas Sabrina di saat dirinya sedang makan? Suasana hati Wira langsung buruk.  "Bisa berhenti menyebut namanya?" tanya Wira tidak suka dengan tatapan muak yang Melati yakini kalau pria di depannya ini benar-benar malas membahas perempuan satu itu.  "Saya kan hanya bertanya. lagi pula mendapat pahala jika menjenguk sodara yang sakit." "Kalau begitu jenguk saja sendiri!" kata Wira kesal, dan bergegas melehap habis makannya. Gara-gara perkataan Melati, bukan saja suasana hatinya yang berubah buruk, kepalanya mendadak pening memikirkan semua yang terjadi. Sepertinya, Wira harus menemui Dokter Jonson besok. Memang tidak ada yang bisa mengerti dirinya dengan baik kecuali Dokter Jonson.  "Cepat selesaikan makanmu. Saya ada rapat internal sebentar lagi." Melati tidak membalas, tapi menurut dengan memakan makanannya segera. Lagi pula dia sudah tidak nyaman dilihat banyak pasang mata. Apa wajahnya terlalu cantik hingga ditatap sampai tak berkedip seperti itu?  *** Sudah tiga hari Aris bolak-balik kantor--apartemen--rumah sakit untuk menunggu Sabrina. Ya sudah pasti karena Sabrina ngotot jika sakitnya tidak boleh diberitahukan kepada keluarga. Sebagai orang yang pengertian, Aris pasrah saja meski dan memilih meringis dalam hati. Niat ingin membantu, akhirnya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Bukan apa-apa. Masalahnya, hidupnya benar-benar diuji saat melihat Sabrina kesakitan bak orang memiliki penyakit yang mematikan. Otak Aris bahkan berpikir begitu kejam kalau sesuatu yang buruk akan menimpa Sabrina jauh lebih mengerikan dari yang kemarin-kemarin. "Yang sakit bagian mana?" dengan wajah kusut, berantakan, Aris menatap Sabrina prihatin. Dia tidak tega melihat perempuan itu tergeletak tak berdaya. Padahal, biasanya Sabrina masih bisa berjalan sambil tersenyum begitu manis kepada semua orang ketika memulai hari yang melelahkan. Sabrina memilih memalingkan wajah saat ditanyai oleh Aris. Dia tidak tahu harus menyebutkan bagian tubuhnya yang mana karena dia juga tidak tahu kalau harus menyebutkan salah satu. Bagaimana dia bisa menyebutkan organ atau bagian tubuhnya di satu titik jika seluruh tubuhnya yang sakitnya bukan main? Dan kalau yang mencari paling sakit adalah bagian kepala dan kakinya. "Sab, Hai, jangan nangis," ujar Aris lirih saat melihat Sabrina tahu-tahu menangis sambil mencengkeram perutnya yang rata. "Perut kamu sakit?" tanyanya kemudian, hanya berniat ingin meringankan beban, tidak tahunya kalau beban Sabrina malah akan jauh berkali-kali lipat lebih dari yang dia rasakan sekarang. "Bang?" "Iya, kenapa?" Pria itu usap tangan Sabrina yang dingin sekali. Dia tidak pernah tega jika harus melihat seorang perempuan terbujur tak berdaya seperti ini. "Ini..." Sabrina memejamkan matanya, kemudian membuka matanya kembali untuk menatap Aris yang balik menatapnya sayu. "Kakiku potong aja, Bang. Sakit banget," Aris menelan ludah susah payah. Tubuhnya yang awalnya condong ke arah Sabrina langsung dia mundurkan teratur. Tatapannya sulit sekali diartikan melihat Sabrina kembali menangis lagi. Dia hanya bertanya sakitnya Sabrina di bagian yang mana. Mana tahu kalau Sabrina akan berbicara seperti yang? Aris mana sanggup melihat Sabrina hanya memiliki satu kaki. Kalau diukur-ukur sekalipun, Aris lebih memilih kakinya yang hilang. Dia tidak tega. Apalagi dengan Sabrina. Lebih baik dia yang sakit. Setidaknya, dia masih punya pegangan yang bisa membantunya. Tapi Sabrina, perempuan itu bahkan hampir seperti mayat hidup setelah baru beberapa hari di rumah sakit. Sabrina terus saja memegangi kakinya. Dia bahkan tidak bisa berjalan. Saat dia mengalami pendarahan hebat kemarin, ada gumpalan darah dalam rahimnya dan saat di test, Shabrina memang hamil, makin dahsyat lah tangisannya, meratapi hidupnya sendiri yang seolah paling menyedihkan. "Tolong, Bang!" lirih Sabrina kemudian, dia menggenggam tanganku Aris begitu erat. Seolah-olah, dia akan mati kalau tidak ada yang dia genggam seperti itu. Namun, beberapa saat kemudian, Sabrina ganti meringis memegangi perutnya yang buncit dengan pelupuk yang dipenuhi kristal bening menyesakkan d**a. "Perutku," "Sab?" Aris menatap Sabrina yang memucat panik. "Sabrina, hai? Ya Gusti..." pria itu terperangah melihat ranjang rumah sakit yang digunakan oleh Sabrina sudah penuh dengan darah. Perempuan itu pendarahan lagi. "Tolong..." Aris menelan ludah susah payah, ingin berlari untuk memanggilkan dokter, tapi tangannya ditahan oleh Sabrina. "Jangan pergi, aku takut," lirihnya mengiba. Tak punya pilihan lain, Aris hanya bisa menggenggam tangan Sabrina erat, tatapannya yang sayu tak teralihkan dari Sabrina sama sekali. Tuhan... entah bagaimana perempuan lemah lembut seperti Sabrina mampu melewati semua ini. "Percaya sama aku, Sab. Kamu nggak akan kenapa-kenapa. Kamu akan baik-baik aja," kata Aris menenangkan meski di lubuk hati paling dalamnya sekalipun, Aris menangis melihat keadaan Sabrina seperti ini. "Kamu akan baik-baik saja. Bertahan, ya?" Air mata yang sedari tadi Sabrina tahan, kita tak twrbendungkan lagi. Dia menangis pilu sambil memegangi perutnya yang sakitnya bukan main. Takut yang mendekapnya begitu mengerikan. Dia bahkan takut tiap kali tidak bisa melihat orang lain saat membuka matanya. "Aku takut, Bang. Aku takut nggak bisa buka mata lagi kalau tidur," "Shtttt, tenang, Sab. Aku di sini, kamu nggak sendirian," Sabrina menetralkan napasnya. Menangis hanya membuat tubuhnya semakin tersiksa dan kesakitan. Bersama Aris yang ada di sampingnya, Sabrina harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Entah apa hasilnya nanti, dia tidak boleh menyerah. "Kalau seandainya nanti aku udah nggak sanggup, aku titip dia ya, Bang. Jangan pernah hakimi dia. Jangan--" "Kamu ngomong apa?!" Aris memekik tak habis pikir. Dia tatap wajah Sabrina yang pucat pasi. Perempuan itu pasti sudah terlalu lelah dengan semua yang terjadi, tapi tidak seperti ini yang ingin Aris dengar. "Aku takut, Bang. Aku takut mati dalam keadaan--" Aris menggeleng hebat. "Sabrina dengar!" dia genggam tangan Sabrina yang terasa begitu dingin. "Kamu akan sembuh, kamu dengar itu? Aku sama keluarga bakal cari obat buat kamu. Kamu jangan nyerah kayak gini, dong!" "Tapi kalau aku sembuh, Mas Wira--" Sabrina tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia malah menangis dalam diam. Air matanya bercucuran begitu saja saat mengingat Wira. "Takdir Tuhan nggak ada yang tahu, Sab. Jangan memikirkan apa yang bukan jadi tanggungjawab kamu. Kamu nanti takut sendiri. Udah ya, fokus sama kondisi kamu sendiri. Kamu pasti sembuh, kok. Banyak yang sayang dan selalu doain kamu. Kamu jangan nyerah gitu aja. Hm?" Sabrina meringis sambil memejamkan matanya dalam-dalam. Dia pegangi perutnya yang sakit sekali lagi. Aris hanya bisa menatap perempuan di depannya ini prihatin. Andai dia mampu berbuat lebih dari ini, Aris pasti membantu sekuat yang dia bisa. "Bahkan obat nggak akan ngurangin rasa sakitnya, Bang." Oh Tuhan... Aris menunduk dalam melihat Sabrina tersiksa di depannya seperti ini. Dia mana sanggup disuguhi Sabrina yang kesakitan. Biarpun seandainya mereka tidak memiliki hubungan apa-apa sekalipun, Aris tetap tidak akan tega melihat Sabrina berjuang antara hidup dan mati seperti ini. "Kamu hanya perlu bertahan, Sab. Jangan lupa bangun kalau tertidur lama. Jangan lupa jalan pulang!" Dinasihati seperti itu, Sabrina hanya diam sambil menatap langit-langit nanar, sesekali memejamkan matanya yang berat dengan air mata yang senantiasa mengalir. "Udah jangan nangis, lagi. Kamu kuat kok. Nggak papa sesekali ngeluh. Kalau aku jadi kamu, mungkin dari awal, aku udah nyerah, Sab. Kamu hebat. Kamu mampu bertahan sejauh ini. Terima kasih." Sambil mengangguk pelan, Sabrina meyakinkan dirinya sendiri kalau dia akan hidup seribu tahun lagi. Kalaupun ada yang membencinya, dia lebih peduli dengan semua orang yang mencintainya. Untuk apa dia over thinking untuk semua yang masih abu-abu. Bagi Sabrina, tidak ada yang lebih penting dari keluarga. Karena baginya, keluarga adalah harga mati. Orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya selama ini. Kalaupun ada orang yang dibuang oleh keluarganya sendiri di luar sana, itu artinya mereka tidak mengerti arti keluar. Nyatanya, tidak ada tempat pulang paling nyaman kecuali rumah dan berkumpul dengan sanak saudara meski hanya tinggal di gubuk reyot dan makanan seadanya sekalipun. "Kalau aku sembuh, anterin pulang ya, Bang. Aku mau ketemu Papa sama Mama, mau minta doa sama mereka." "Nggak mau ditelpon aja? Atau adik kamu aku minta ke sini, biar ada yang nemenin kamu kalau aku lagi kerja. Akhir-akhir ini sibuk banget tim aku, jobnya nglir terus. Tadi aja aku dapet kabar kalau Wira menang tender lagi, masak? Gila nggak tuh?" Seakan lupa dengan sakitnya, Sabrina tersenyum tipis menanggapi cerita Aris. Dan Sabrina tahu betul, setiap orang berhak bahagia. Bahkan orang yang dikatai hina sekalipun, semua orang tetap berhak bahagia karena bukan tempatnya manusia untuk merenggut kebahagiaan seseorang ataupun mahkluk Tuhan lainnya. Entah bagaimana bisa Tuhan memberikan cobaan yang beraitu pada perempuan berhati lembut Sabrina? Sudah pasti dan sudah jelas pula kalau jawabannya Sabrina perempuan yang hebat, dia satu dari seribu dari perempuan yang ada di dunia ini. Kalau Tuhan menakdirkan hal seperti ini atas hidupnya, itu artinya Sabrina mampu melaluinya. Karena Tuhan tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya dan Dia tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya sendiri.  "Tuhan nggak tidur, Sab. Kamu hanya perlu bertahan semampu kamu." Sabrina menatap Aris nanar. Dia ingin menjerit tapi rasanya dia malu karena mengeluh. Di luar sana, masih ada orang yang menderita dan jauh lebih menderita daripada dirinya. Masa iya baru seperti ini Sabrina sudah mengeluh? Dia harus lebih kuat lagi. Sakitnya tidak akan sembuh dan menghilang begitu saja jika dia teru-terusan menangis. Yang ada, rasa sakitnya malah makin menjadi-jadi dan membuat sosok di seberang sana bersenang hati.  Tidak! Sabrina tidak akan menyerah. Dia punya Tuhan yang mencipatakan alam semesta dan mengatur setiap hal sekecil apapun di bumi. Bahkan, tidak ada satu daun pun yang gugur dari rantignya tanpa seizin-NYa. Begitu besar kuasa-Nya. Sabrina percaya kalau dirinya akan terlepas dari semua penderitaan ini dan dia akan hidup tenang lagi seperti sedia kala. Seperti dia yang percaya kalau semua orang berhak bahagia, dia juga berhak bahagia.  "Bang, tapi Wira makin parah. Dia harus segera ditolong." ungkap Sabrina tiba-tiba setelah terdiam sedari tadi.  Aris memijat batang hidungnya pelan sebelum menatap Sabrina yang melihatnya penuh harap. "Aku bisa aja bilang sama Kakek, tapi masalahnya--" "Masalahnya apa?" tanya Sabrina terlihat tidak sabar sampai memotong perkataan Aris.  "Masalahnya kamu siap, nggak?" Sabrina seolah mencerna perkataan Aris hingga dia terlalu pintar menebaknya. "Aku yang mati, kan?" "Sab--" "Lakukan, Bang. Tuhan tidak pernah salah. Kalau takdirku memang harus berakhir seperti ini, mencoba mengelak pun, aku akan pergi seperti ini." Aris tak merespon, dia hanya mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Sabrina erat, seakan-alkan mentransfer kekuatan yang dia miliki pada Sabrina agar perempuan itu merasa tidak sendirian menghadapi semua ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD