Wira tidak paham saat perasaannya tidak enak sedari tadi. Soal Sabrina yang pendarahan waktu itu, dia sudah tidak peduli lagi. Rasanya sesak sekali mengingat hubungan kedua mereka sudah berjalan sejauh itu. Wira tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan jadi korban pengkhianatan oleh orang-orang terdekatnya sendiri. Tidak cukup kah deritanya hidup seorang diri? Kenapa Tuhan selalu saja menimpakan ketidakbahagiaan padanya?
Baiklah, menurut orang lain apa yang dialami Wira adalah sesuatu yang tidak penting dan tidak bisa diterima nalar. Namun memang seperti itu kenyataannya. Bagaimana bisa dia mengada-ada kesedihannya sendiri? Bahkan kalau boleh memilih, Wira ingin sekali kalau ini semua hanya mimpi buruk dan dia ingin segera bangun dari tidur panjangnya. Sayangnya, semuanya tidaklah se-sederhana itu. Ini memang kenyataan.
Kalau dihitung-hitung, kabarnya Sabrina sudah tidak berangkat kerja sejak insiden waktu itu. Wira yang tidak tahu kejadian sebenarnya mana akan mengerti kalau yang membuat Sabrina bisa seperti ini adalah dirinya sendiri. Mungkin, Aris akan mengambil peran untuk menyadarkan Wira yang kurang peka dan suka insecure dalam banyak hal meski sebenarnya dirinya sangatlah berharga.
Baru juga pikirannya dipenuhi sosok Sabrina, mendadak senyuman Melati menari-nari di pelupuk matanya yang berat. Entah bagaimana bisa ini terjadi pada Wira. Di matanya, perempuan itu unik dengan caranya sendiri.
Jujur saja, Wira kasihan mendengar cerita hidup Melati yang sangat berat. Tapi, apakah tidak salah kalau dia malah mengasihani orang lain tapi tidak mengasihi dirinya sendiri? Apa tidak bodoh itu namanya?
Sudahlah, daripada memikirkan hal yang tidak-tidak, Wira turun dari ruangannya dan tidak sengaja berpapasan dengan cleaning service hingga kulit mereka tidak sengaja bersentuhan.
Detik itu juga, Wira hampir limbung saat melihat kilatan hal yang jauh dari kata baik di portal lain.
Di kantornya sendiri, di ruang dapur yang menjadi wilayah transit banyak orang untuk keluar masuk, Wira melihat sosok perempuan dengan wujud begitu mengerikan, baju putihnya dipenuhi lumpur merah layaknya baru bangkit dari kubur, sedang menakut-nakuti office boy yang sedang membuat kopi untuk seseorang.
Pada awalnya, office boy itu tidak sadar ketika sedang diperhatikan dari pojok tapi mungkin sudah merasa ada yang aneh di sekitarnya karena terus menoleh sedari tadi seolah tahu ada yang sedang memperhatikannya.
Hingga saat sang office boy itu sedang menuang air panas dari teko ke gelas yang sudah dia racik kopinya, tangannya gemetar hingga air itu tumpah ruah membasahi tubuhnya sendiri.
Office boy itu bahkan tak bisa mengeluarkan kata sama sekali. Bahkan kalau mau dilihat lebih dekat, dia malah kencing di celana. Dan saat hantu perempuan itu ingin pergi, Wira tidak sengaja melihat wajahnya yang mengerikan dipenuhi belatung. Pria itu bahkan sampai memejamkan matanya, tak sanggup jika harus melihat secara full wajahnya. Apakah itu tadi betulan hantu yang dilihatnya atau hanya sebuah halusinasinya belaka lagi? Tapi Wira yakin itu akan terjadi kalau tidak dicegah.
Dalam keadaan seperti itu pun, Wira tidak takut sama sekali karena dia merasa kalau hantu itu tidak akan bisa menggapainya selama Wira tidak melewati portal yang ada. Dan benar saja, hantu itu hilang bak ditelan bumi. Namun sebelum benar-benar hilang, Wira jelas melihat kalau hantu itu tidak menapak pada lantai.
Dan ruangan seketika terang saat Wira tiba-tiba tersadar akan keberadaannya sendiri. Tanpa pikir panjang, Wira langsung pergi ke dapur. Dia yang terkenal anti pergi ke dapur sampai ditatap heran orang-orang yang juga tidak sengaja bersimpangan dengannya.
Wira masuk lebih dalam, sengaja menyentuh teko yang digunakan oleh office boy tapi sayangnya, Wira tidak bisa melihat apa-apa. Namun jelas, dia bisa menghirup bau wangi yang sebentar-sebentar menjadi bau busuk.
Sampai dirinya yang tidak kaget lagi kalau dihujat di depan wajahnya sendiri, hanya diam sambil menampilkan wajah datar ketika para perempuan berbincang berita panas yang menjadi office issue akhir-akhir ini.
"Kayaknya si Sab kena kiriman orang deh, bund."
"Ha, kiriman orang gimana?"
"Itu loh... Santet. Masak dia sakit nggak kedeteksi penyakitnya kan aneh. Apalagi kalo nggak kena santet begitu?"
"Oh iya-ya, kayaknya emang ada yang sengaja ngirim deh karena sakit hati."
Ibu-ibu itu saling lirik-lirikan meski sadar ada Wira di sana dan tetap melanjutkan perkataannya lagi.
"Terus tahu nggak? Kemarin waktu pendarahan itu, pas diperiksa dia nggak hamil tapi sebelum itu kelihatan ada kantung di rahimnya kan aneh. Terus-terus, ini ada yang aneh lagi. Masak dia nggak bisa jalan, udah resign total dia."
"Serius Mak, Sabrina resign? Heh itu anak baik banget. Nggak pernah neko-neko. Nggak sok pintar pula. Kasihan banget ya."
"Ya tapi katanya main belakang kan tidak bisa dibenarkan juga."
"Ya, mungkin udah nggak tahan. Kalian kan tahu sendiri kekasihnya yang dulu kelakuannya kayak apa. Bahkan kalau disamakan dengan kucing, lebih mending kucingnya."
Ibu-ibu itu sengaja melirik Wira, sengaja mencari gara-gara tapi Wira menahan dirinya sendiri yang entah kenapa seolah ingin lepas kendali. Dia terus menyebut nama Tuhan-nya, meminta bantuan hingga keinginan untuk menyerang itu berangsur hilang dengan sendirinya. Sayangnya, entah kenapa beberapa perempuan itu langsung bergerak bak robot akibat tidak bisa pergi karena mungkin ketakutan setengah mati. Tenggorokannya seperti tercekik sesuatu yang menyakitkan dan kakinya seperti dibebani jangkar raksasa hingga tidak bisa pergi kemana-mana.
Wira yang masih terdiam di tempat tetap tidak berekspresi apa-apa. Terkadang dia merasa aneh dengan semua yang terjadi. Dia ingin percaya kalau apa yang dilihat dan dia alami ini hanya bunga tidur semata. Tapi sekarang Wira seolah sadar kenapa kemampuan itu tiba-tiba bisa dia miliki.
Tadi, saat masuk ke dalam, office boy yang Wira lihat di portal lain tadi tidak jadi masuk. Akhirnya waktu yang terlewatkan karena Wira terus diam di sana membuat hal mengerikan itu tidak terjadi. Dan sekarang Wira sadar, kemampuannya itu diperuntukkan untuk membantu orang seperti yang dialami Melati.
Mengingat tentang hal yang dibicarakan ibu-ibu tadi, Wira jadi penasaran. Apakah santet itu ada? Pria itu jadi berpikir keras untuk memikirkannya.
Namun sadar waktunya tinggal sebentar lagi sudah selesai jam istirahatnya, Wira langsung kembali ke dalam ruangannya sendiri dan terkejut bukan main melihat Aris tahu-tahu sudah duduk di depan mejanya.
Kalau hubungan mereka baik-baik saja, Wira akan dengan senang hati menyambut pria tersebut. Tapi sudah jelas hubungan mereka sedang hancur-hancurnya karena seorang perempuan. Memangnya apa lagi yang Wira harapkan?
Andai saja Aris mau berbicara kalau sebenarnya dia menyukai Sabrina juga, setidaknya mereka bisa duduk berdua dan berbicara dengan baik, dari hati ke hati, dari pikiran yang sama-sama dinginnya. Tapi sekarang, jangankan untuk saling berbicara, saling bertegur sapa saja membuat Wira berpikir berkali-kali.
Tuhan... Entah sampai kapan ketidakbenaran ini terus terjadi dan menimpa banyak orang di sekitarnya.
Wira bukan orang serakah seperti yang orang lain bayangkan. Justru, malah banyak orang di sekitarnya yang serakah dan tak segan memanfaatkanya. Dasar manusia, selalu saja mencari lebih, tidak pernah puas.
***
Kejadian tempo-tempo lalu yang dialami Wira membuat pria itu jadi berpikir ulang dengan pemikirannya sendiri. Akhir-akhir ini, dia hanya melihat dari satu sudut pandang saja, sudut pandangnya sendiri. Namun, sepertinya ia telah melupakan kalau ada banyak sudut pandang dan banyak pemikiran yang berbeda. Bisa jadi, apa yang dia anggap benar dan ia percayai selama ini, itu tidak benar. Dan justru, apa yang dia benci, itulah yang benar.
Sedari tadi, dia sudah mencoba menghempas pikiran negatif-negatif yang memenuhi kepalanya. Namun, Wira berakhir gagal total dan semakin berpikiran buruk. Semuanya masih tentang Sabrina. Semuanya tentang Sabrina.
Ini sudah malam, sudah seharusnya Wira tidur. Dia punya banyak pekerjaan, bukan membiarkan over thingkingnya makinmenjadi-jadi seperti ini. Wira seharusnya tidak melakukan semua ini. Memang seharusnya dia melakukan banyak hal daripada terus-terusan seperti ini.
Pernahkah suatu ketika merasa seperti oarng lain pada diri sendiri? Padahal, diri ini masihlah orang yang sama. Namun rasanya ada yang berbeda. Ada kalanya ada sesuatu yang membuat seseorang tidak mengenali dirinya sendiri. Dan ini yang terjadi pada Wira sekarang.
Andai saja dia masih memiliki orang tua, Wira pasti akan mengatakan kegundahannya sekarang. Bukan sekadar ingin menyusahkan, tapi lebih kepada ingin meminta pemikiran dari orang yang lebih tua darinya. Mungkin, mereka lebih paham. Mungkin juga, mereka bisa membantu Wira menemukan jalan keluar terbaik dari semua permasalahan yang terjadi pada hidupnya selama ini.
Sadar jika memang harus mencari jalan keluar segera, Wira memutuskan keluar dari kamarnya. Begitu duduk di sofa, tiba-tiba Wira seperti ditarik ke dimensi lain lagi. Waktu yang sebenarnya adalah malam, kini Wira melihat matahari yang sedang panas-panasnya dari jendela sebuah ruang ICU di salah satu rumah sakit.
Matanya terperangah begitu melihat Sabrina menangisi dirinya yang masih tergeletak tak berdaya di ranjang rumah sakit dengan berbagai macam alat medis yang menempel pada tubuhnya.
"Sabrina?" panggilnya dengan langkah mendekat. Namun sayangnya, dia tidak bisa menggapai perempuan yang bahunya bergetar hebat di depannya. Yang ada, tangannya malah menembus tubuh ringkih itu. Sabrina terlewatkan begitu saja.
Sadar kalau ini memang dimensi untuk melihat hal yang sudah berlalu, WIra mencoba menjaga jarak, meratapi wajah Sabrina yang basah oleh air mata dalam diam. Dia tidak pernah melihat Sabrina sampai sekacau ini sebelumnya.
Mungkin bibir perempuan itu terkatup rapat dengan air mata yang terus saja mengalir dari pelupuk matanya. Namun mana ada yang tahu kalau hatinya terus berdoa untuk kesembuhan WIra? Sudah berhari-hari sejak kecelakaan dan Wira tak terkunjung tersadar dari komanya. Sabrina takut mendengar perkataan dokter kalau hari ini WIra sampai tidak bangun, tidak ada kesempatan lagi. Itu artinya, dia akan kehilangan Wira untuk selama-lamanya. Tidak! Tidak, Sabrina tidak bisa menerima kepergian Wira secepat ini. Dia tidak siap meski tahu kalau setiap yang bernyawa pasti akan tiada.
"Sab, gantian aku yang jaga, ya? Kamu istirahat, makan-makan dulu, abis itu kalau mau jagain Wira, silakan kamu jaga lagi. Tapi please, jaga kesehatan sendiri." nasihat Aris kala itu. Pria ini juga tidak pernah absen menunggui Wira. Dia juga tidak pernah lelah mengingatkan Sabrina kalau dia juga harus menjaga kesehatannya. Sangat tidak baik jika Wira membuka matanya nanti, malah Sabrina yang tumbang karena demi menjag Wira, dia sampai menyiksa dirinya sendiri.
"Aku mau jagain Wira, Bang. Sebelum dia bangun, aku nggak akan pergi." bisik Sabrina lirih.
Aris hanya bisa menghela napas pelan. Sudh berkali-kali diingatkan, tapi Sabrina tetap keras kepala. Seharunya, perempuan itu tidak keras pada dirinya sendiri seperti ini. Seingin apapun dia mempertahankan hidup Wira, dan jika memang kehendak Tuhan kalau kekasihnya akan mengembuskan napas terakhirnya hari ini, Sabrina tidak akan pernah bisa menahan kepergiannya. Hanya saja, Aris terlalu iba untuk memberi nasihat semacam itu. Dia sendiri bahkan tidak berani membayangkan.
"Jangan sampai waktu Wira sadar, kamu malah sakit, Sab. Wira bisa drop lagi kalau tahu kamu nggak ada di sampingnya waktu sadar nanti."
Sabrina masih saja menggeleng, dia benar-benar takut dengan perkataan doker tadi. Karena itu juga dia tidak berhenti menangis. "Aku nggak mau kehilangan dia, Bang. Tolong minta Mas Wira bangun." tangisnya.
Aris menelan ludah susah payah. Seandainya saja dia bisa membantu, pasti sudah Aris bantu semampu dia. Tapi kalau suda urusan nyawa, Aris mana punya kewenangan. Dia hanya bisa menyumbang doa tulus yang selalu dia panjatkan saat bersujud pada Tuhannya baik di siang maupun malam hari.
Baru juga Aris berjalan hingga ambang pintu. Hampir menggenggam pintunya, Sabrina berteriak panik begitu melihat tubuh Wira kejang-kejang.
"M-mas, Mas Wira? Bang, tolong, Bang!"
Aris berlari cepat menekan tombol darurat. Tak butuh waktu lama hingga tim medis berbondong-bondong datang dan memeriksa keadaan Wira. Sabrina yang ditahan oleh Aris supaya menjauh dari Wira hanya bisa menatap pemandangan di depannya nanar. Tubuhnya gemetar, isakannya tertahan, apalagi jantungnya yang berdetak kencang membuat Sabrina tak mampu menahan kesadarannya sendiri. Dia pingsan bersama dengan suara memekikkan telinga.
Hingga entah berapa waktu yang terlewatkan, Sabrina mengerjap-ngerjapkan matanya pelan. Jantungnya kembalu berdetak menyakitkan. Yang dia ingat hanya wajah Wira yang pucat pasi, yang sedang diperjuangkan nyawanya oleh tim medis.
"Mas Wira? Mas Wira?" sebutnya seperti oang linglung.
Aris yang menungguinya langsung bangun dan menghampiri Sabrina. "Sab, hai, tenang."
Sabrina menggenggak tangan Aris erat, menatapnya dengan harapan yang begitu besar. "Bang, Mas Wira? Mas Wira? Aku mau lihat Mas Wira."
"Ayo aku bantu, pelan-pelan." Sabrina menurut saar Aris membantunya turun ke kursi roda dan didorong sampai ruangan Wira.
Begitu sampai di sana, Sabrina tidak bisa melakukan apapun selain menangis dan melangitkan asma Tuhannya yang Maha Besar. "Mas Wira?" pria yang sudah tersadar itu tersenyum dengan wajah lemah.
"Mas Wira?" Aris turut senang melihat Wira terbangun dari tidur panjanganya beberapa hari terakhir ini. Sabrina yang tengah di dorong tak sabar ingin melihat Wira dari dekat.
"Mas Wira?" panggilnya lagi masih tidak percaya.
Wira yang masih rebahan mengangkat tangannya sedikit dan Sarbina langsung menggenggam tangannya. "Sab?" panggilnya lirih.
Sabrina lantas menoleh ke arah Aris dengan mata berbinar, "Mas Wira sadar, Bang." Aris menggangguk. Lantas Sabrina menoleh ke arah kekasihnya itu lagi. "Makasih, Mas. Makasih karena mau bertahan."
Wira yang keadaannya masih lemah saat itu, hanya bisa mengusap tangan Sabrina dalam genggamannya pelan.
Lalu tiba-tiba, gelap kembali datang. Wira terpaku akan pikiranya sendiri. Dia bisa melihat Sabrina yang begitu mencintainya waktu itu. Lalu sekarang, Sabrina seperti orang lain atau malah dirinya yang sebenarnya seperti orang lain.