16. Nasib-Nasib

2054 Words
Wira seolah melupakan kejadian mengerikan yang dia alami kemarin. Soal dirinya yang melihat hantu perempuan mengerikan itu. Karena lebih dari apapun, daripada kepikiran hantu tersebut, pikiran Wira malah dipenuhi dengan perempuan yang bernama Sabrina.  Seingin apapun Wira berupaya untuk tidak memikirkan perkataan Melati tempo waktu lalu, pria itu tidak bisa. Saking memikirkan hal tersebut, Wira sampai memimpikan hal yang sama dan membuat dirinya sendiri antara marah dan masih saja tak menyangka. Hingga malam ini, Wira bertekad untuk mengunjungi Sabrina seperti yang disarankan oleh Melati beberapa saat lalu. Melati sudah pernah tanya padanya perihal menjenguk Sabrina tapi Wira yang berlagak tidak mau dan sekarang dia malah takut akan mimpi dan pikirannya sendiri. Oh ayolah, apa ada mimpi atau bunga tidur yang menjadi kenyataan? Mimpi ya mimpi. Kalaupun Wira tiba-tiba di suatu hari bisa memimpikan Sabrina menikah dengan orang lain, bukan berarti mimpi itu benar bukan? Bahkan yang benar, mimpi itu tidak boleh diceritakan satu sama lain. Tapi mereka malah mengumbarnya dan bercerita satu sama lain layaknya itu sesuatu yang pantas untuk diumbar-umbar. Harusnya baik Melati maupun Wira, mereka harusya diam saja. Wira yang sudah terlanjur tidak tenang lantas menemui Sabrina malam ini. Seanjang jalan mengendarai mobulnya, dia berdoa agar selamat sampai tujuan di saat pikirannya tidak bisa fokus seperti ini. Mungkin Wira sudah mengatakan berkali-kali kalau dia tidak butuh Sabrina. Dia juga mengatakan kalau dirinya tidak peduli dengan Sabrina. Tapi kan itu mulut. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa Wira mengatakan yang sebenarnya. Kalau tudak, pria itu tidak akan berjalan tergesa menyusuri loorng demi lorong untuk melihat keadan Sabrina yang katanya belum pulang juga sejak kejadian pendarahan di kantor satu minggu yang lalu. Separah itu? Hingga kaki yang dipacu untuk berjalan cepat sedari tadi seketika berhenti tatkala melihat lawan bicara yang cepat atau lambat memang harus segera ditemui oleh Wira untuk meluruskan semua yang terjadi. Begitu WIra berjalan mendekat, seolah tersadar melihat ada orang mengenakan sandal kulit berdiri di depannya, Aris yang sedari tadu tertunduk lantas mengangkat wajahnya untuk melihat siapa tamu tak diundang tengah malam begini. Sebenarnya, Wira pergi tengah malam karena hanya ingin melihat dari kejauhan tanpa ketahuan orang-orang tapi mana tahu kalau Aris malah duduk di luar, di saat udara begitu dingin dan mendukng sekali kalau seandainya dua orang itu menghabiskan waktu bersama di dalam sana. “Kenapa di luar. Dia nggak ada yang jaga.” Aris mengembuskan napas panjang, kemudian tubuhnya dia tegakkan, menengadah dengan kepala yang dia sandarkan pada dinding. “Menurut lo gue mampu jaga dia seorang diri?” Satu alis Wira terangkat, lantas keningnya berkerut dalam yang menandakan pria itu tengah kebingungan. “Gimana?” “Ada atau nggak ad ague, nggak akan ngaruh ke Sabrina, Wir. Mau dia sendiri ataupun sama gue seklipun, itu nggak aka nada usaha yang berarti.” Wira yang masih tak paham langsung duduk di samping Aris, dia agak serong untuk menatap sahabatnya yang wajahnya Nampak muram sekali. “Something bad happened? She is fine, right?” “Tahu dari mana di saat itu perempuan nangis di depan gue minta kakinya dipotong.” Wira menegakkan tubuhnya agak menjauh saat Aris mau menoleh dan menatap matanya serius. Itu tidak mungkin, kan? Wira melihat di mimpi kalau mereka akan menikah dan itu sebentar lagi. Di sana, Wira melihat keadaan Sabrina baik-baik saja, perempuan itu bahkan tersenyum bahagia bisa bersanding dengan orang yang memang dia cintai. Namun, menedengar yang baru saja Aris utarakan, Wira jadi ragu kalau mimpi itu akan menjadi kenyataan. “Kenapa kaget kan, lo?” Aris menghadiahi senyuman miring pada Wira.” Lo piker dia senyum haha-hihi waktu lo siksa karena dia emang bahagia bisa lepas dari lo, kan? Makanya apa-apa itu cari kebenarannya dulu, yang rasional jadi orang!” Kok malah Aris marah-marah? Wira jadi tidak paham dia yang seharusnya memarahi semua orang malah dimarahi balik oleh Aris. Yang betul saja? Wira tidak terima! “Lo jangan playing victim, ya. Gue nggak pernah sekalipun nyentuh Sabrina! Lo mau nuduh gue yang nidurin dia terus nyebabin dia sakit kayak gini.” “k*****t!” Aris sampai berdiri mendengar penuturan Wira barusan. Tangannya bahkan sudah terkepal kuat, ingin menghajar pria yang menjabat sebagai sahabatnya juga ini. Mulutnya sudah keterlaluan. Dia tidak tahu apa-apa dan terus menuduh yang tidak-tidak. Apa perlu Aris mengajarkan apa itu artinya kejujuran dan kebohongan agar pria dewasa bertubuh tinggi besa di depannya ini paham akan yang namanya pendidikan karakter. “Sabrina sekarat dan lo tetep mikir yang enggak-enggak soal gue sama Sabrina?! Tsk, mending lo pergi aja dari sini! Jangan berani-berani lo ketemu sama Sabrina lagi. Perempuan itu pantas mendapatkan pria yang lebih baik, bukan bajingann nggak tahu diri dan lupa daratan kayak lo!” “Oh, jadi lo bener mau nikahin dia?!” Aris menyerngit kebingungan. “Kapan gue mau nikah sama dia? Lo ini halu apa gimana sih, Wir? Kalo obat lo habis, minum obat gih. Sekalian gue anterin ke Dokter Jonson, kayaknya lo makin parah akhir-akhir ini.” “Kurang ajar!” Wira yang entah kenapa tiba-tiba begitu emosi menarik tubuh Aris berdiri dan menghimpit tubuhnya di dinding. “Gue nggak gila, bangsatt! Lo yang gila karena nikahin perempuan yang sahabat lo cintai!” Layaknya orang yang tidak memiliki rasa takut sama sekali, Aris terus saja memancing amarah Wira agar pria yang terlihat murka di depannya ini menjadi apa yang diinginkan oleh sosok keji di seberang sana. Aris tidak bisa tinggal diam saja saat Sabrina terus tersiksa seperti ini. Seharusnya, sama-sama menjadi makhluk Tuhan, setann biadabb itu tidak membuat Sabrina menderita seperti ini. Masalahnya bukan pada Sabrina. Kenapa Sabrina yang harus berkorban dan dijadikan korban juga. Kalaupun ada yang harus mati, itu Wira, bukan Sabrina! Makhluk itu benar-benar. Arus tidak sabar ingin memberikan pelajaran pada sosok tersebut. “Kalo lo pengen tahu yang sebenernya, lepasin gue dulu!” Pada awalnya, Wira tak serta merta percaya begitu saja. Namun pada akhirnya, dia melepaskan Aris juga saat Aris tak Nampak takut sama sekali. Pria itu bahkan seperti tidak memiliki rasa takut saat berhadapan pada Wira. Dan sampailah dia lepaskan cengkeraman tangannya di kerah kemeja Aris. Saking murkanya, Aris baru sadar kalau Aris masih mengenakan pakaian dan sepatu dari kantor. Sepeduli itu dirinya dengan Sabrina. Lalu, apakah pantas dia marah di saat kemungkiann besar memang ARis yang mampu menjaga Sabrina dengna begitu baik? Siall! Wira tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. “Ayo,” Aris kembali menegur Wira dengan nada lesu yang begitu kentara. Pria itu membawa Wira masuk ke dalam ruangan Sabrina. Ruang ICU yang didalamnya sudah terbaring sosok yang sedari dulu tidak pernah menampakkan kesakitannya pada orang lain. Kata Aris tadi, Sabrina menangis dan ingin kakinya dipoting saja. Itu artinya, mungkin sakit yang dirasakan oleh perempuan itu tidak tertahankan lagi. “Dia sebenarnya sakit apa?” tanya Wira berubah pelan saat duduk di kursi yang berada di samping ranjang rawat Sabrina. Perempuan itu tengah terpejam damai dengan bantuan alat pernapasan. “Menurut lo?” balas Aris tak peduli, dia bahkan tidak melihat kea rah Wira sama sekali. Yang ada, dia terus mengutak-atik tak yang ada di sofa, entah mencari apa. Dan saat kembali, tahu-tahu Aris membawa handicam di saat Wira terpaku pada wajah Sabrina yang pucat pasi tapi perutnya kelihatan terisi. “Ini,” Aris mengulurkan handicam itu pada Wira kemudian tapi dibalas dengan tatapan penih tanya tanpa mau mbalik mengulurkan tangannya untuk menerima barang tersebut. “Buat apa?” “Lo minta bukti, kan? Ini.” Wajah Aris terlihat meyakinkan sekali dan berakhirlah Wira betulan menerima handikam itu, Tanpa piker panjang, dia langsung menyalakannya, tapi keningnya bertaut saat tidak mendapati apa-apa. “Kosong. Lo main—“ “Kalo lo mau tau yang sebenarnya terjadi, pasang handikam itu di kantor atau di kamar lo yang bisa ngelihat view luas. Dan setelah itu, lo bakal tahu jawabannya sendiri. Siapa yang berkhianat dan dikhianati, lalu siapa korban dan dikorbankan di sini. Jangan ngerasa jadi orang paling menderita, lo! Lihat Sabrina,” tiba-tiba perkataan dingin Aris berubah sendu saat melihat Sabrina yang masih lelap tertidur. “Dia nggak pantas menerima semua ini karena mencintai orang bodoh kayak lo.” Wira hampir saja marah, tapi entah kenapa tiba-tiba tidak jadi. Dia malah melihat Sabrina seperti yang diperintahkan oleh Aris. Dan fokusnya jatuh pada perut Sabrina yang buncit. Entah mendapat hak darimana, pria itu tiba-tiba mengangkat tangannya dan mendaratkan sentuhan di perut perempuan itu. Dan detik itu juga, Sabrina menggeliat dan terbangun dengan pelipis dipenuhi keringat dingin. Setahu Wira, Sabrina tidak sepeka ini saat tidur. Dia bahkan sering kali gregetan sendiri saat Sabrina tak kunjung terbangun dari tidurnya yang lelap. Tapi sekarang… rasanya berbeda sekali. Seperti ada jarak jauh yang Wira sendiri tidk bisa mendeskripsikannya seperti apa. Sekarang, mungkin benar kalau Sabrina ada di hadapan matanya. Tapi jika dilihat lebih dalam, Sabrina seperti ada di tempat yang jauh dan tak tergapai hingga Wira harus tertatih-tatih untuk bisa menggapainya kembali. “Bang—“ Aris langsung berjalan cepat untuk berdiri di samping Sabrina, dia agak mencondongkan tubuhnya agar Sabrina merasa aman. “It’s okay. Nggak akan terjadi apa-apa. Lagi waras dia, makhlum malam minggu. Setannya lagi jalan-jalan beli kosmetik.” Candaan Aris benar tidak lucu sama sekali hingga Sabrina yang tegang mencubit tangan pria itu. “Jangan ngomong aneh-aneh.” Peringatnya,” dan Aris hanya cengengesan saja. Wira yang berada di sana berasa jadi orang bodoh melihat yang dilakukan Sabrina dan Aris. Dia seperti melihat adegan romantic yang membuatnya muak dengan dua sejoli di depannya. Padahal tadi, hatinya sudah agak tenang. Tapi melihat interaksi di antar mereka begitu saja, WIra sudah gerah hati, gerah jiwa, ingin makan orang sekalian. Padahal, dia tidak tahu saja kalau dua orang itu sebenarnya lebih khawatir, Karena jelas, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginakan, Aris yang paling waras di sana tidak akan bisa memilih salah satu di antara mereka tanpa bantuan orang lain.  *** Ribuan beban yang Wira pikul selama ini rasanya masih belum puas juga sebelum melihat Wira benar-benar jatuh dan tenggelam di dasar lautan yang paling dalam. Usai pulang mengunjungi Sabrina, otaknya kembali dipaksa untuk berpikir keras. Bukan untuk memikirkan maeteri untuk presentasi besok, bukan pula pekerjaannya yang belum selesai di waktu deadline. Tapi lebih dari semua itu, Wira memikirkan maksu Aris yang memintanya untuk memasang handikam di kamarnya.  Dalam otaknya paling positif sekalipun, Wira membodoh-bodohkan Aris dalam kepalanya. Untuk apa melakukan semua ini kalau dirinya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Harusnya, dia yang paling dikhawatirkan! Dai sudah berbuat sejauh itu dan malah mengasihani orang lain. Harusnya, Aris mengasihani dirinya sendiri sebelum mengasihani orang lain. Entah terlalu baik, atau malah berniat mengejek, Wira hanya berpikiran buruk sekarang.  Tadi, di rumah sakit, dia sudah agak berdamai dan merasa baik-baik saja. Tapi saat sampai di apartemen, Wira kembali berpikiran buruk lagi. Apa apartemennenya ini memiliki aura yang buruk hingga membuat suasana hati Wira langsung berubah drastis seperti ini? Harusnya tidak seperti ini di sat di rumah sakit, mereka baik-baik saja dan mengobrol bersama.  Jujur saja, Wira ingin mengubah apa yang mengganggunya sekarang. Tapi semakin dipaksa, Wira malah sengit dengan semua orang. Namun, Wira sadar kali ini ada yang salah dengan tubuh dan pikirannya. Wira merasa kalau dirinya tengah dikendalikan oelh orang lain.  Tak sanggup mengendalikan pikirannya sendiri, Wira yang tengah memegang handikam itu langsung meletakkannya asal di meja kerja karena sedari tadi terdengar bisikan yang begitu keras dan memaksa dirinya untuk meninggalkan benda yang katanya terlaknat itu.  Bahkan usai meletakkan handikam itu sesuai yang bisikan di telinganya perintahkan, tetap Wira merasa berat hingga membuat kakinya sulit digerakkan hingga dia jatuh terduduk dengan kaki yang beberapa detik kemudian tidak bisa dia gerakkan sama sekali.  "Ya Allah..." Wira meringis, perutnya dililit paksa, dengan kepala yang seperti dihimpit godam raksasa tak kasat mata. Tubuhnya benar-benar disiksa saat ini hingga Wira memilih lebih baik dia dikuliti hidup-hidup daripada diperlakukan seperti ini. Bahkan untuk sekadar bernapas, Wira merasa tersendat-sendat hingga membuatnya ingin tidur dan tidak terbangun lagi saja keesokan harinya.  Detik itu juga, Wira merasa kalau dirinya penderita sakit keras. Kalau dirinya baik-baik saja, dia tidak akan mungkin sampai kesakitan seperti ini. Rasa sakit yang dideritanya begitu tidak masuk akal.  Tak mampu berpikir semakin jauh, Wira kembali ditarik awan gelap yang menggulungnya menuju kegelapan yang terkenal abadi tanpa ampun. Harapannya hanya satu, jika memang dirinya harus mati secara tidak benar seperti ini, setidaknya dirinya diberikan kesempatan untuk meluruskan semua kesalahan yang terjadi. Kalau dia pergi dan masih bayak tanda tanya dalam benaknya, tentu saja dia tidak akan tenang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD