17. Jelajah Waktu

2083 Words
Angin kencang yang berembus membuat Wira tanpa sengaja memejamkan matanya karena debu-debu di tanah berterbangan hingga masuk dan melukai matanya. Butuh waktu hingga satu menit saat Wira merasakan angin sudah mulai tenang dan berangsur berhenti, Wira kembali membuka matanya. Kembali kegelapan yang dia lihat. Tidak ada siapapun seperti yang pernah dia lihat tempo lalu. Bedanya, kalau dulu, ada Melati yang datang dan membantunya menemukan Sabrina dalam mimpi. Namun sekarang, Wira benar-benar sendirian. Mencoba peruntungan, Wira berjalan menyusuri jalan setapak yang kian sepi sepanjang kakinya melangkah. Suara burung gagak yang terbang dari arah Timur ke Barat membuat bulu kuduknya kian meremang. Namun Wira tidak peduli. Dia hanya ingin mencari jalan keluar dari hutan belantara ini. Kalau saja Wira sedang dihadapkan dengan mimpi, mungkin dia bisa mengatasinya dengan berusaha terbangun. Tapi, kalau dari awal sudah seperti ini, Wira sendiri meragukan kesadarannya sendiri. Apakah dia tengah pingsan di suatu tempat atau bagaimana. Wira tentu tahu kalau ini mungkin sesuatu yang nyata jika diukur dengan ap yang dia lihat dari rasakan sekarang. Hawa yang begitu dingin seolah menunjukkan kalau Wira berada di Tempat yang salah. Dia harus segera kembali sebelum portalnya ditutup untuk waktu yang tidak bisa pria itu infokan kepada teman-temannya di saat seperti ini. Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti ada sebab-akibatnya. Karena itu pula Wira sedang bertahan dan sangat membutuhkan sosok-sosok yang mau berjalan beriringan dengannya. Siapa tahu saja, dengan mencari jawaban di sana memang sudah ada jalan keluarnya. Kalau tetap di kantor dan bertemu orang itu-itu saja, Wira akan selamanya seperti ini. Begitu berjalan semakin jauh? Wira menghentikan langkahnya begitu melihat ramainya pasar. Pasar yang kalau diamati dengan baik, terlihat mengganjal baginya.. Bagaimana tidak? Dia sudah mengajak mereka berbicara di tamaramnya lampu jalanan, tapi Wira tak mendapat respon balik sama sekali. Seakan-akan, mereka tidak bisa melihat Wira. Dalam pikiran paling liarnya sekalipun, Wira tidak bisa berpikiran buruk meski kalau dia mau, dia bisa menebak kalau dirinya sekarang tengah terjebak. Dan yang menjadi tanda tanya, kemana lagi dia harus melangkah agar menemukan kembali portalnya dan kembali ke alam yang seharusnya, yakni alam tempat makhluk hidup di dunia, di lapisan bumi. Bau tanah yang tercium di indera penciumannya tetap tak membuat Wira dengan benar menebaknya. Seharusnya dia tahu dimana dirinya sekarang. Mimpi atau nyata gaib. Sebenernya tadi sekali, Wira sudah melakukan semua yang Aris perintahkan tanpa terkecuali. Dia bukannya percaya begitu saja dengan manusia yang bernama Aris. Dia hanya ingin membuktikan kalau omongan ataupun pikiran Aris dan orang-orang selama ini atas dirinya adalah tidak benar. Wira sehat. Dia tidak mengalami gangguan mental ataupun sebagai pemuja iblis, sekte ala-ala yang membuatnya nampak berbeda dari kebanyakan orang. Begitu ingin berjalan, Wira tidak sengaja menginjak ekor kucing hingga hewan mamalia tersebut meraung kesakitan dan mencakar kaki Wira sebagai bentuk pertahanan. "Aduh!" Wira menunduk, mengusap kasar bekas cakaran kucing itu dan tak segan menatapnya nyalang. "Berani-beraninya! Mau gue sembelih, lo?" Seketika itu, Wira mundur ketakutan begitu melihat kucing ini tumbuh ke atas dan jadi sosok pocong yang tinggi dan terlihat sangat kotor. Sayangnya, Wira tidak bisa melihat wajahnya. Dulu, Wira pernah mendengar orang tua sepuh berbicara seperti ini. "Kamu itu kalau di jalan atau di manapun nggak sengaja bertemu dengan setan, itu ya kamu jangan takut! Yang apes itu setannya. Nanti lihat aja, kamu yang bakal dapat durian runtuh." Sekiranya seperti itu. Saat itu, dirinya masih kelas satu SMA. Temannya yang percaya dengan mahkluk gaib, tentu meyakini statement itu dengan percuma. Tapi Wira, sebagai orang yang rasional, dia tidak serta merta menerimanya. Bahkan saat temannya bercerita begitu senang dan mengatakan kalau dirinya baru saja bertemu dengan setan, Wira tetap tidak tertarik sama sekali Ketika itu, dia tak sengaja melihat anak berpakaian seragam osis SMA sedang melintasi jalan untuk sampai di pekuburan jam satu malam. Mulanya dia tidak berpikiran buruk. Tapi setelah sampai pasar dan membantu orang tuanya berjualan, dagangannya laris manis dan dia sadar kalau yang dilihatnya tadi adalah korban kecelakaan yang tewas di waktu siang karena diminta gurunya membeli tanaman pucuk merah untuk acara yang diadakan di sekolah. Maka sekarang, Wira yang melihat pocong setinggi itu, jadi kesulitan melihat wajah si setan sendiri. Dan dengan percaya dirinya, Wira bertanya, layaknya manusia sombong yang tidak takut dengan apapun. "Apa kamu semacam pocong yang bisa bermutasi?" Tidak ada respon. "Atau, kau ini percobaan ilmuan yang gagal total? Gantilah bajumu, baumu busuk sekali. Jangan dekat-dekat orang. Kalau kau datang di depan orang-orang dengan wujud seperti ini, jangankan berteman, melihatmu dari jarak jauh saja pasti sudah ketakutan setengah mati. Pergi sana, menghalangi jalanku saja! Aku mau pulang, kalau kamu mau ikut, maaf ya, sedang tidak menerima tamu." Wira mengatakannya begitu santai seolah pocong di depannya ini tidak apa-apanya. Lagi pula, tidak ada lagi yang bisa membuat Wira ketakutan kecuali Tuhan meninggalkannya sendirian. Setan, iblis, jin, kan makhluk Tuhan. Kenapa dia harus takut dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan, kan? Begitu selesai mengatakan apa yang memang seharusnya dikatakan, Wira kembali berjalan menyusuri jalan yang sepertinya tidak berujung ini. Hanya ada jalan lurus yang membuatnya tak lupa menengok untuk memastikan tidak ada yang dia lewatkan. Siapa tahu dia menemukan petunjuk dalam perjalanannya kali ini. Meski belum yakin apa yang akan terjadi, Wira tetap mengupayakan hal terbaik yang bisa dia lakukan. Dia tidak ingin meninggalkan masalah di kehidupannya yang sekarang. Apalagi, jika masalahnya sampai mengganggu atau menyeret orang lain seperti yang Aris katakan. Wira sadar dia terlihat sombong sekali. Hanya saja, dia harus menekan ketakutannya sendiri agar dia tidak jatuh saat sendirian. Dia tidak memiliki siapapun yang akan menemaninya lagi setelah ini. Oleh karena itu, Wira ingin menyelesaikan apa yang sudah terlanjur dimulai. *** Pagi-pagi sekali, Wira sudah terduduk di pinggir ranjang dengan wajah awut-awutan. Semalaman suntuk, setelah menjenguk Sabrina, dia habiskan waktunya berpikir sampai pagi hari mumpung dia libur. Dan berakhirlah dia harus melakukan jelajah waktu yang harus melelahkan Kalau ditanya pekerjaannya bagaimana, tentu saja pekerjaan Wira masih lah banyak, hanya saja dia sedang tidak fokus sekarang. Mau dipaksa bagaimana pun, dia tidak akan bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik.  Jadi menurutnya, daripada melakukan kesalahan, lebih baik dia tidak melakukan apa-apa dulu. Tidak ada pesan dari Melati. Kemarin, perempuan itu pamit kalau ingin ke suatu tempat dan saat Wira berbaik hati menawarkan tebengan, Melati menolek secara halus. Walhasil, Wira langsung pergi saja.  Dan hingga pagi ini, Wira yang biasanya mendapat pesan, tidak mendapat kabar sama sekali dari Melati. Padahal, biasanya perempuan itu hebat memberi pesan walaupun sekadar bertanya, "Mas sudah makan, kah? Sudah bangun, kah, dan lain sebangsanya.  Lalu, darida melamun lagi seperti sapi ompong, Wira bergegas bersih-bersih. Bermodal training dan baju olahraga slim fit dan nampak jelas sekali lekuk tubuhnya yang berotot, Wira keluar dari apartemennya santai dan ingin keliling-keliling dari pada suntuk di dalam apartemen sendirian.  Sayangnya, dunianya kembali diguncang saat melihat Sabrina menggunakan pakaian rumah sakit berdiri bak mahluk mengerikan di depan pintu apartemennya. Dan di detik itu juga, Sabrina tumbang dan Wira kembali ditarik ke dalam dimensi lain, yang orang-orang sebut ujung dari lembah kegelapan, yakni lembah kematian. Di sana, dia melihat Sabrina diikat pada sebuah pohon dan tubuhnya dipukuli dengan godam raksasa oleh orang berjubah hitam. Wira yang melihat langsung membelalak tidak percaya. Dia berlari dan mencoba menahan godam itu, tapi sayangnya, belum sempat memegang, tubuhnya malah yang terpental jauh sekali hingga menabrak pohon dan berguling-guling bersama dedaunan yang telah gugur.  Teriakan Sabrina terasa begitu jauh dan Wira sekuat tenaga untuk mempertahankan kesadarannya yang dicoba ditarik paksa oleh kekuatan tak kasat mata lagi. Wira benci tiap kali merasakan hal itu. Hidupnya seperti tidak tenang. Padahal, Wira tidak pernah mengganggu atau mencari gara-gara sebelum ini.  "Bangun, Mas, lari! Pergi dari sini!" Hampir saja Wira terpejam, suara Sabrina kembali menyadarkannya. Dia bangkit dengan tubuh sempoyongan dan menghampiri Sabrina yang masih dipukuli. Saking jengkelnya, Wira mengambil batu dan melemparnya di tubuh sosok berjubah hitam tersebut, tapi sosok itu seperti tak kesakitan sama sekali.  "Pergi, Mas!" Wira membelalak tak percaya saat Sabrina mengusirnya pergi. Mana bisa dia melihat perempuan yang pernah dia cintai disiksa di depan matanya seperti ini tanpa melakukan apa-apa? Yang benar saja! Wira masih punya hati nurani.  "Tenang, Sab. Aku nggak akan ngebiarin si Jamet itu nyakitin kamu. Kamu tenang." Sabrina sudah menggeleng, dia tidak butuh semua itu karena hasilnya akan sia-sia. "Tolong pergi saja dari sini. Aku tidak akan kembali." Gerakan tangan Wira terhenti. Dia yang semula mengambil ranting pohon ukuran sedang untuk bertarung dengan sosok cemen yang tidak berani melihat ke arahnya itu. Tapi sayangnya, perkataan Sabrina membuat Wira terpaku di tempat. Maksudnya apa jika perempuan itu tidak akan kembali? Dia punya keluarga di rumah. Tempat terkutuk ini bukanlah tempatnya. Ini tempat iblis-iblis kurang ajar yang terkutuk. Gusar. Wira berpikir jika Sabrina diancam, karena itu tanpa pikir panjang Wira langsung berlari cepat dan memukul telak sosok berjubah hitam itu dan beruntungnya berhasil. Sosok itu melebur bersama dengan udara yang menghitam.  "Kita berhasil, Sab. Ayo pulang!" Sama seperti tadi, Sabrina menggeleng tanda tidak setuju, tapi Wira tetap saja keras kepala. Bagaimana lagi caraya membuat pria di depannya ini mengerti.  "Mas?" "Aku nggak akan pergi dari sini tanpa kamu, Sab." Sabrina mengenal Wira. Kalau Wira sudah berkata seperti itu, maka itu yang akan terjadi. Tapi masalnya, Sabrina tidak bisa membiarka WIra tetap di sana bersamanya. Semuanya akan sia-sia jika Wira tidak keluar sekarang juga.  "Mas?" dengan mata berkaca-kaca, Sabrina menatap Wira nanar. "Mas mau bantu aku, kan?" Detik itu juga, Wira mau mendongak dan menatap Sabrina yang pucat pasi. "Tingalkan aku sendiri, Mas. Mas hanya perlu terus bernapas setelah ini." "Kamu bicara apa?" Perempuan itu menggeleng pelan sekali lagi, "pergi dari sini, ya. Ini bukan tempat yang baik buat, Mas." "Ini juga bukan tempat yang baik untuk kamu. Di sini banyak makhluk jahatnya, Sab. Mereka menyiksa kamu. Kenapa kamu tidak melawan, Sab? Kenapa tidak ingin pulang bersamaku? Kamu membenciku?" Tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibir Sabrina yang kelu. Mau mengatakan apapun. tidak akan ada yang berubah sekarang. Semuanya sudah terjadi dan Sabrina hanya perlu bertahan semampu yang dia bisa. Dia sudah tidak bisa memaksa tubuhnya sendiri. Dia sudah lelah sekali.  "Kalau Mas berpikir seperti itu, maka baiklah, anggap saja memang seperti itu." kata Sabrina lirih.  Wira menatap Sabrina tidak percaya. Bahkan di tempat terkutuk seperti ini pun, Sabrina tidak mau menerima pertolongannya. Apa dirinya semenjijikan itu hingga Sabrina menyakitinya egonya seperti ini? Wira terluka, sangat terluka.  "Baik, kalau itu mau kamu." Tanpa mau membuang waktunya, Wira balik badan dan tahu-tahu jiwanya ditarik kembali ke dunia.  "SABRINA?" ***  Wira berlari bersama dengan perawat yang mendorong berangkar Sabrina. Begitu tersadar Sabrina tergeletak tak berdaya di depannya, Wira langsung meminta bantuan orang-orang di sekitar sana untuk membawa Sabrina kembali ke rumah sakit.  Anehnya, sudah ada Aris yang berdiri bak mayat hidup karena wajahnya pucat pasi begitu melihat Sabrina dari arah depan. Begitu melihat ke dalam, tidak ada siapa-siapa selain ranjang berwarna putih.  Begitu Sabrina dibawa masuk, Aris seperti robot yang bergerak putus-putus. Wira yang menyampinginya masih sibuk menetralkan deru napas, tapi dia sadar ada yang tidak beres.  "Ris, kenapa lo biarain Sabrina pergi? Lo nggak tahu kalai di--" "Gue dari tadi nggak tidur, Wir. Gue sering tengak-tengok ke dalem dan Sabrina masih tidur. Dan tahu-tahu, dia datang dari depan. Dan saat gue toleh ke belakang--" "Nggak usah dilanjut," kata Wira begitu menyadari Aris terbata akan perkataannya. Masalah yang tadi, Wira masih ingat betul jika Sabrina sendiri yang tidak bisa diajak pulang. Namun sampai sekarang, Wira tidak paham dengan maksud tersebut. Apakah itu nyata atau hanya halusinasinya saja? Wira duduk di kursi tunggu, rambutnya ia remas kencang hingga membuat wajahnya makin tampak berantakan.  Tak selang lama kemudian, dokter keluar dan mengatakan kalau Sabrina sudah lebih baik. Namun bagi Wira, ini tidak bisa diterima dengan akal sehat. Jelas-jelas Sabrina tidak bisa berjalan, bagaimana bisa dia sampai di depan unitnya tanpa alas kaki masih menggunakan pakaian rumah sakit. Yang tambah membuat Wira bingung, kenapa tidak ada tugas keamanan yang menahan Sabrina ke atas. Meskipun kebayakan orang di sana tahu kalau dirinya menjalin kasih dengan Sabrina, tapi tidak dengan langsung diizinkan masuk begitu saja di saat keadaannya sendiri memprihatinkan seperti itu.  Dan setelah itu, Wira memutuskan untuk menginap dan ikut menemani Sabrina saja. Meski agak kecewa mengingat Sabrina yang tidak mau diajak pulang, Wira tetap menemani Aris untuk menunggui Sabrina.  "Ngapain lo tetap di sini?" tanya Aris tak semangat sama sekali.  "Balas budi, itung-itung gue lagi bayar semua perlakuan baik dia ke gue selama ini." Aris yang mendengar hanya tersenyum miris. "Nggak segampang itu, Wir. Lo utang nyawa sama Sabrina. kalau dia sembuh, lo harus baik-baikin dia lagi." "Kalau enggak?" "Siap-siap lihat Sabrina dikuburin di depan mata lo sendiri." "Astagfirullah halazdim, Ya Allah, Ris. Nyebut lo."   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD