18. Perjanjian Terkutuk

2035 Words
Mungkin benar kalau Sabrina sudah menyakiti Wira begitu dalam. Meninggalkan Wira sendirian, bermain belakang dengan sahabat Wira sendiri. Bukankah itu perbuatan yang tidak termaafkan? Sayangnya, Wira tetap terluka begitu melihat Sabrina sakit seperti ini. Tubuhnya bukan yang kurus kering. Justru, tubuh Sabrina gemuk karena tubuhnya bengkak berwarna kekuningan. Kata dokter, Sabrina terkena penyakit kuning. Tubuhnya benar-benar menguning dengan mata yang turut menguning juga. Lalu pertanyaan Wira sekarang, bagaimana bisa orang sakit keras seperti itu sampai pergi dari rumah sakit sendirian dan tidak ada yang menahannya? Bagaimana pula Sabrina memiliki kekuatan sebesar itu hingga bisa naik ke unitnya yang berada di lantai 27? Maksudnya, kata banyak orang, Sabrina sudah tidak bisa berjalan. Perempuan itu hanya bisa tiduran di ranjang rumah sakit. Lalu yang dilihatnya semalam, daripada seorang perempuan cantik, Sabrina lebih mirip dengan hantu penghuni hutan yang dia lihat dari mimpinya. Tunggu, jangan-jangan— Wira menggelengkan kepalanya hebat saat pikirannya sampai ke sana. Jelas dia tahu kalau Sabrina manusia. Dia tidak mungkin menjelma menjadi perempuan cantik jadi-jadian selama ini. Karena itu juga, daripada diam dan menunggu seperti ini, Wira memutuskan pergi. Lagi pula, sudah ada Aris. Jelas sudah dirinya tidak dibutuhkan meski Wira ngotot ingin tetap di sana. Begitu bangkit dan baru berjalan dua langkah, Aris yang sedari tadi memejamkan matanya, langsung memanggil namanya tak yakin. “Wir? Lo mau ke mana?” Mulanya, Wira berencana tidak mau menjawab dan lebih memilih langsung pergi saja. Tapi entah kenapa, dia ingin membalas Aris. Beberapa detik kemudian, Wira berbalik dan menatap Aris datar. “Untuk apa terus di sini? Tidak ada gunanya, kan? Udah ada lo.” Wira berbalik lagi, tapi kini Aris menahannya sambil berdiri. “Gue mohon di sini dulu, jangan pergi ke mana-mana.” Egois, ya? Tidak apa, Aris akan egois demi Sabrina. Dan semoga saja, Wira mengerti dan mau berbaik hati berdamai dengannya saat ini. Semuanya demi Sabrina. “Gue mohon kesampingkan dulu rasa kecewa lo. Tolong terus di sini sama gue.” “Ada hal yang lebih penting daripada di sini, Ris. Dia bukan tanggung jawab dan bukan siapa-siapa gue lagi.” Balas Wira pelan. Aris tidak menyangka kalau Wira akan mengatakan hal semacam ini lagi. Ayolah, Aris juga sadar, jika dirinya yang menjadi Wira, mungkin tidak akan sesabar orang di hadapannya ini. Hanya saja, ini terlalu tidak adil untuk Sabrina jika perempuan lemah itu yang dihinakan seperti ini. “Lo mau ke mana?” tanya Aris kembali muram. Dia tak memiliki kekuatan yang berarti untuk membantu salah satu orang di lingkaran kematian ini. “Ada yang manggil gue. Dia minta gue datang ke sana lagi.” “Ke mana? Dipanggil siapa?” Wira menatap Aris lamat-lamat, antara ingin mengatakan dan memilih memendamnya sendiri saja. Tapi melihat wajah Aris yang begitu ingin tahu, Wira mengatakan yang sejujurnya saja. Mungkin, orang-orang mau berhenti berpikiran kalau dirinya aneh. “Di lembah kegelapan.” Harusnya, Aris langsung mengatai Wira sedang berhalusinasi dan semacamnya. Tapi begitu mendengar tempat asing yang rasanya begitu jauh dan gelap gulita, Aris tahu kalau semuanya harus diselesaikan di sana. “Kalo lo ketemu Sabrina, ajak pulang ya, Wir. Dia nggak boleh pergi kayak gini,” lirihnya kemudian. “Sabrina nggak seburuk yang lo lihat sekarang, Wir. Lo harus tahu kalau perempuan itu bisa jadi kayak gini karena peran lo juga. Kalau dia mau, dia bisa ninggalin lo sejak dulu, sejak lo nggak bangun-bangun waktu kecelakaan di proyek.” Usai mengatakan semua itu, Aris kembali duduk dengan kepala yang tertunduk dalam dan ia remas kasar. Wira yang masih berdiri hanya diam layaknya patung betulan. Maksudnya apa Aris mengatakan omong kosong lagi kepadanya? Memang benar kalau orang dikasih hati malah meminta jantung. Sebelum benar-benar pergi, Wira melirik ke arah ruang rawat Sabrina. Meski tubuhnya membengkak seperti itu, dia masih terlihat cantik dengan aura baik yang dipancarkan. Puas melihatnya dalam diam, Wira lantas pergi dengan langkah pelan menyusuri koridor yang sangat sepi. Layaknya dia tengah berjalan di tempat yang tidak ada manusia. Di ujung sana, hanya terlihat jurang yang langsung terjun ke lembah Kematian seperti tempat asing yang mulai terbiasa bagi Wira, yakni Lembah Kegelapan yang berujung di Jurang Kematian. *** Udara yang memutar, membuat Wira harus berlari ketika angin lesus melilit dedaunan kering hingga batas tinggi batang pohon dan melemparkannya tak tentu arah bak barang tak berharga. Suasana siang yang begitu terang benderang di sana, meski terlihat gelap, tak membuat Wira merasa lebih baik juga. Justru, dia malah khawatir jika ditemukan dengan sosok lain yang ada dan sengaja ingin mengganggunya di sana. Tapi lama menunggu kejadian-kejadian mengerikan yang lainnya, Wira tetap tidak melihat apa-apa kecuali udara kosong yang membuat keringatnya jatuh membasahinya pelipis dan rambut-rambutnya. Baiklah, mungkin banyak yang menunggu Wira untuk bergerak lebih dulu. Karena itu juga, Wira bergegas berjalan seperti yang dia lakukan begitu ditarik ke dimensi lain. Hingga tiba-tiba, ada pikiran kalau Hantu tidak miliki rumah dan menetap pada batang pohon yang sudah tinggi. Entah pemikiran aneh macam apa ini, Wira bahkan tidak habis pikir dengan pikirannya sendiri. Keseringan datang ke sini, dia sudah tidak terlihat takut lagi. Malah yang ada, wajahnya lempeng-lempeng saja dan terkesan sombong sekali. Hai, kamu sekarang sedang di tempat orang lain, Wira! Tiba-tiba juga, Wira ingat dengan yang dikatakan Aris bertepatan saat melihat perempuan berbaju merah melintas di sebuah rumah yang agak jauh tapi Wira bisa mencapainya. Baru beberapa langkah, tahu-tahu dia sudah berada di depan bangunan sederhana itu, padahal dari penglihatannya, tempat itu jauh sekali. Tapi apapun itu, Wira tidak peduli. Dia hanya perlu untuk berbicara pada perempuan tadi. Kaki panjang Wira diayunkan pelan untuk menaiki tangga yang menuju ke pintu depan. Begitu tepat berada di depan pintu, belum diketuk, tiba-tiba pintu terbuka sendiri disertai dengan perintah agar Wira masuk. “Masuk, Mas.” “Sa—ya?” tanyanya kebingungan sambil menunjuk dirinya sendiri. Perempuan itu menampilkan wajahnya dan Wira langsung terdiam melihat wajah oriental perempuan tersebut yang terlihat cantik sekali. “Ayo, Mas?” tangan Wira ditarik pelan. Wira menurut begitu saja, bahkan saat perempuan itu mendudukkannya di tepi ranjang yang bisa dibilang cukup untuk tidur mereka berdua. “Namamu siapa?” tanya Wira dengan wajah mendongak, menatap perempuan jelita di depannya ini. “Saya pinkan, Mas.” “Di sini sendirian?” Perempuan itu menggeleng, kemudian duduk di samping Wira dan dengan tidak sopannya mengusap d**a bidang pria itu. Dan anehnya, Wira tidak bisa melawan. Semakin besar usahanya untuk melawan, bertambah besae juga tubuhnya tidak bisa digerakkan oleh pikirannya sendiri. “Saya akan menyenangkan, Mas,” Wira langsung meneguk ludah kesusahan. Tubuhnya merinding begitu merasakan sentuhan-sentuhan kecil yang dilakukan perempuan itu. Mungkin tubuhnya menerima, bahkan sesuatu yang di bawah sana sampai bergejolak meminta lebih, tapi otak Wira jelas menolak mentah-mentah apa yang dilakukan perempuan di atasnya sekarang. Wira bahkan tak berdaya begitu dibaringkan di ranjang. Kemeja atasnya sudah resmi terbuka. Tinggal celana yang sebentar lagi akan dibuka karena perempuan tersebut melihat ke arah itu dengan senyuman penuh arti. Wira ingin berteriak. Namun lebih dulu pintu terbuka dan terlihat Sabrina dengan tubuh seperti awal yang Wira tahu, datang dengan tubuh yang terikat sesuatu yang Wira tebak adalah akar tumbuhan. “Jangan menyentuh, Mas Wira!” katanya tidak suka. Dan beribu syukur, Wira bisa langsung bergerak sesuai keinginannya sendiri. Karena itu, dia langsung bangkit sambil memakai kemejanya kembali, mengancingkan kancingnya tergesa. “Sab? Ini beneran kamu?” tanya Wira mencoba memastikan. Dia bahkan seperti melupakan semua yang terjadi di antara mereka berdua selama ini. Sabrina hanya menatap Wira nanar dan putar balik sambil berjalan tertatih. Perempuan berbaju merah tadi membiarkan Wira pergi begitu saja hingga benar-benar keluar dari rumah itu dan menyusul Sabrina yang lebih dulu pergi. “Sab, Sabrina, hai, kamu kenapa pergi? Ayo pulang bareng aku.” Katanya. Mungkin Sabrina lelah. Karena itu dia berhenti dan dengan wajahnya yang pucat pasi, dia menatap Wira dengan mata berkaca-kaca ingin menangis. “Aku minta maaf, Mas. Tapi Mas harus pergi dari sini.” “Lhoh, Aris bilang—” Hilang Wira tersadar dan langsung berbalik ke arah ruangan Sabrina lagi. Dia bisa melihat dengan jelas tubuh perempuan itu kejang dan tengah ditangani oleh dokter. Aris yang memang tegar, sampai menangis melihat keadaan Sabrina. “Ris?” panggilnya kalut. Aris tak langsung menjawab. Dia memilih menghapus air matanya kasar lebih dulu baru memberi jawaban. “Gue bilang, kalau lo ketemu Sabrina, bawa dia pulang. Tapi kenapa lo pergi sendiri?” Wira terkejut sampai tidak sadar sudah melangkah mendekat dan duduk serong di samping Aris. “Lo bisa liat, Ris? Sabrina diiket, dia yang ngirim gue balik dan nggak mau gue ajak pulang.” Dengan berat hati, Aris menatap Wira dan mulai berbicara. “Karena kalau Sabrina yang pergi dari sana, berarti lo yang harus gantiin dia di sana, Wir.” “Mak—maksud lo apa?” Wira menatap Aris dengan kening menyerngit bingung. Aris menunduk sejenak, meremas tangannya yang berkeringat dingin. Tenggorokannya seperti tersumbat kerikil-kerikil besar yang bertumpuk-tumpuk hingga membuat bibirnya sulit sekali mengeluarkan sepatah dua patah kata. “Sab—Sabrina melakukan perjanjian sama iblis terkutuk, Wir." Wira terdiam dengan tatapan kosong ke arah Aris. Dia diam dan belum bisa mencerna maksud dari perkataan sahabatnya barusan. "Perjanjian? Sama iblis?" Aris tidak mengangguk apalagi menggeleng, dia hanya memalingkan wajahnya seolah beban yang sedang mendiami pundaknya begitu besar.  "Ris? Jawab?" "Gue udah bilang. Lo bisa percaya atau enggak, itu keputusan lo." Wira lantas berbalik ke dalam ruangan Sabrina dan kembali berpaling saat itu juga begitu melihat kaki Sabrina degerogoti sosok berbadan besar dan memiliki taring panjang. Tanpa sadar, Wira menyrntuh pundak Aris dan meminta Aris untuk menoleh ke dalam ruangan Sabrina juga.  "Kurang ajar si kutu kupret! Pergi nggak lo, lepasin Sabrina!" teriaknya lantang hingga makhluk yang ternyata matanya berwarna merah darah menatap ke arah mereka nyalang. Dan Aris memang sengaja menantang. "Sini lo kalo berani! Badan gede nggak punya akhlak. Kita punya Tuhan! Kita punya Allah yang Maha Besar, yang nggak pernah tidur, yang selalu bantu kita! Jangan main-main sama hamba-Nya! Allahuakbar!!" teriak Aris lantang hingga orang-orang yang ada di ruangan lain sampai keluar.  Wira yang sedari tadi terdiam sampi tercengang. Tidak habis pikir kalau Aris akan sebar-bar itu untuk mengusir setan. Sebenarnya sama saja bar-bar seperti Wira mengusir pocong yang berbau busuk. Salah siapa, saking takutnya, dia bisanya malah menghujat.  "Ini rumah sakit, Mas! Bukan pasar!" Kedua orang ini langsung meringis begitu ditegur banyak orang. Namun nasi sudah menjadi bubur, tidak apa-apa mereka dihujat asalkan Sabrina baik-baik saja. Akan dia basmi setann-setann terkutuk itu. Lihat saja nanti, selama mereka bersama, setann-setann terkutuk itu tidak akan pernah menang.  Untuk sesaat, Wira baru menyadari satu hal, dirinya tidak berbicara dengan Melati sama sekali. Di malam yang belum terllau larut seperti ini, Wira membuka aplikasi perepesanannya dan melihat pesan dari Melati dan memang ada pesan dari perempuan itu. Melati : 'Mas kok tidak ada kabar hari, ini? Sehat, Mas? Tadi aku bermimpi lagi, mau aku beritahu?" Mulanya, Wira agak berpikir. Tapi mengingat mimpi Melati tidak pernah meleset, Wira tanpa pikir panjang langsung membalas dengan menulis  'Iya, sy juga. Ada banyak yang ingin saya bicarakan denganmu.' 'Bagaimana kalau kita telfonan saja? Sy sedang sibuk sekali besok, mau menghadiri pernikahan teman saya' 'Oke, kalau begitu besok, ya. Terima kasih.' Tidak ada balasan setelahnya.  Wira menghela napas pelan. Dia menoleh ke arah Aris yang sedang menyandarkankan kepalanya pada dinding dan menatap langit-langit dalam diam. Sedang saat menoleh, Wira bisa bernapas dengan lega saat melihat tidak ada setann pengganggu itu lagi. Awas saja kalau masih terus saja mengganggu Sabrina, Wira tak segan memberi mereka perhitungan yang tak terlupakan.  "Lo juga harus tetap hidup, Wir." kata Aris tiba-tiba. Kali ini, begitu ditoleh, Aris sudah memejamkan matanya dengan kedua tangan melipat di depan d**a.  "Emangnya gue mau mati cepet? Tau dari mana, lo?" Dalam keadaan terpejam seperti itu, Wira masih bisa melihat Aris sedang tersenyum miris ke arahnya dan Wira pun tidak paham dengan artinya. Dia tidak mengerti dengan semua yang terjadi hari ini. Namun yang pasti, yang Wira tahu, Sabrina tengah diganggu makhluk dari dunia lain. Dan Wira merasa kalau dirinya harus ikut melindungi Sabrina.  Besok atau besoknya lagi, dia akan berbicara dengan Melati dan berharap perempuan itu bisa memberinya jawaban. Menurut Wira, Melati tahu hal-hal seperti ini, jadi Wira akan bertanya nanti. Lagi pula, Melati juga yang memiliki kelebihan seperti itu. Perempuan itu pasti punya pengetauan tentang hal semacam ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD