Kellion berdiri di tengah hamparan reruntuhan kota yang sunyi setelah pertarungan panjang. Tubuhnya dipenuhi noda darah monster, cairan kental yang menempel di kulit, lendir yang menetes dari pakaian—yang ajaibnya, setelah beberapa pertarungan, tak ada sedikit pun kerusakan seolah pakaiannya memang didesain untuk tahan terhadap berbagai kondisi dan memang diciptakan untuk pertarungan, dan asap tipis dari api yang masih berkobar di beberapa sisi gedung roboh. Napasnya stabil, tapi aroma amis dan busuk menusuk hidungnya, membuatnya merasa semakin tidak nyaman.
“Ah ya, tubuhku masih kotor. Sebaiknya aku mencari sumber air dulu, lalu kucari pod-pod yang jatuh tadi. Ah, mendengarnya saja sudah merepotkan, kenapa juga aku malah terlempar jauh dari semua pod itu coba?”
Ia menurunkan pedangnya perlahan. Api yang tadi menyelimuti bilah itu mulai meredup, hingga kini hanya tinggal bentuk pedang mode basic lagi. Kellion menatap pantulan samar dirinya di bilah itu. Wajahnya kotor, rambutnya berantakan, matanya tajam tapi menyiratkan kebingungan mendalam.
“Lihatlah, si tampan keren itu, kehilangan cahayanya karena banyak noda.”
Kellion menyampirkan pedang di punggungnya. Secara kebetulan, di punggung jaketnya terdapat sabuk pedang dan dudukan yang menyangga pedang, senjata itu tergantung tanpa sarung pedang.
Kellion meninggalkan lokasi pertarungan, tujuan pertamanya adalah mencari air untuk membersihkan tubuhnya, setelah itu ia melanjutkan dengan tujuan keduanya yaitu menemukan pod-pod yang jatuh, berharap para manusia yang ada di dalamnya masih hidup.
Kellion memejamkan mata, mencoba memaksa pikirannya mengingat sesuatu. Wajah seseorang. Tempat asal. Suara yang pernah memanggilnya. Namun yang muncul hanya kehampaan, putih polos tanpa bentuk. Ia benar-benar tak memiliki ingatan apa pun selain namanya sendiri. Ia benar-benar tak mengingat apa yang telah terjadi, mengapa dirinya jatuh dari ketinggian bersama semua escape pod itu, bagaimana bisa banyak robot yang mengejar menargetkan dirinya dan semua manusia yang ada di dalam pod.
“Ini akan menjadi misi panjang yang melelahkan. Aku hanya berharap orang-orang di dalam pod itu masih hidup dan kondisi mereka lebih baik dariku.”
“Mungkin saja mereka punya informasi tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.” Kellion punya harapan besar bahwa kondisi orang-orang yang ada di dalam pod itu mungkin lebih baik darinya. Hanya itu saat ini yang menjadi satu-satunya andalannya.
“Kellion .... Kellion ...” Ia mengulang pelan, seakan mencoba menimbang beratnya di lidah. “Nama macam apa itu? Kedengarannya… aneh. Sulit diucapkan. Apakah benar itu identitasku?”
Ia menghela napas panjang, melangkah pelan di atas jalan retak yang penuh serpihan beton dan kaca. Di tangannya hanya ada pedang. Dan di pergelangan tangan kirinya, sebuah gelang logam hitam kusam dengan ukiran samar yang tak bisa ia pahami.
Kellion mengangkat tangannya, memperhatikan gelang itu. Bentuknya sederhana, tapi ada cahaya redup yang sesekali berdenyut samar, seperti aliran energi di dalamnya. Ia mengetuk gelang itu dengan jari, berharap ada sesuatu yang terjadi, semacam respons. Tapi tidak ada. Hanya getaran samar, lalu hening kembali.
“Gelang ini… apa ada fungsinya ya? Apa ini semacam alat pelacak atau pengekangku?” gumamnya. Ia berniat melepaskan gelang tersebut, tapi tak ada mekanisme apa pun yang membuat gelang itu terbuka. Ia berusaha menghancurkan gelang dengan menghantamkannya ke jalan, tapi yang ada malah tangannya yang sakit serta benda apa pun yang dihantamkan akan hancur, berikut permukaan yang dijadikan alas. Ia kembali dibuat teringat kalau kekuatan fisiknya melebihi manusia normal.
“Semuanya percuma,” kata Kellion saat melihat benda itu yang baik-baik saja, jangankan ada yang rusak, goresan pun tampak tak ada. Gelang itu tampak terlihat masih bagus, kukuh dan berfungsi dengan baik.
“Hanya satu cara yang belum kucoba untuk menyingkirkannya,” gumam Kellion. Dia ingat kalau dirinya memiliki kemampuan regenerasi yang cepat, dia juga punya pedang yang tajam. Dia bisa memotong tangannya untuk menyingkirkan gelang tersebut. Ia terbayang akan ide itu, api tiba-tiba dirinya merinding. “Yah, itu terlalu ekstrem. Aku tak akan memotong tanganku dengan sengaja kalau situasi tak mengharuskanku melakukannya. Ini hanya gelang, memangnya hal berbahaya macam apa yang akan menimpaku? Maksudku, apa yang lebih buruk lagi dari ini? Terdampar di kota hancur penuh monster, tanpa ingatan, tanpa suplai yang mendukung keberlangsungan hidup, tanpa alat apa-apa yang membantu.”
Sekali lagi, Kellion memandang gelang tersebut. “Ya sudahlah, setidaknya bentuk dan modelnya keren.” Kellion menyerah melepaskan benda itu, ia memilih untuk tak terlalu memikirkannya, lalu melanjutkan perjalanan.
Kellion melanjutkan langkahnya, menyusuri jalan-jalan kosong kota. Gedung-gedung tinggi menjulang, tapi banyak yang setengah roboh, jendelanya pecah, dindingnya retak dan hitam seperti pernah terbakar. Ada kendaraan-kendaraan besar di jalanan, tampak sudah berkarat, setengah tertimbun puing. Seolah waktu telah lama berhenti di kota ini.
Ia berhenti sejenak, menatap sekeliling dengan saksama. “Bentuk bangunannya… gaya arsitekturnya… aku merasa tidak asing. Aku… pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Tapi kapan? Di mana?” Ia mengerutkan dahi. “Apakah… ini Bumi? Bumi setelah kiamat?”
Kellion memungut sepotong papan jalan yang setengah terbenam di debu. Tulisan di atasnya sudah pudar, sebagian tergores, tapi ia masih bisa mengenali bentuk hurufnya.
“Ya… huruf ini. Aku bisa membacanya. Berarti… aku tahu bahasa ini. Tapi… kenapa aku bisa membaca tulisan, sementara aku tidak bisa mengingat satu pun tentang hidupku?” Pertanyaan itu hanya lenyap ditelan udara, tanpa ada jawaban yang memuaskan. Ia melempar papan itu, membiarkannya jatuh berdebam di tanah. Rasa frustrasi menekan dadanya.
Ia menghela napas, menunduk, lalu melanjutkan perjalanan. Langkahnya melewati jalanan utama kota yang sepi. Angin bertiup membawa debu halus, membuat visibilitas terbatas. Sesekali, suara logam berderit dari gedung-gedung tinggi yang setengah runtuh, seolah bangunan itu kapan saja bisa ambruk.
Kellion melirik ke tanah, melihat bercak darah monster masih menggenang. Ingatannya kembali ke saat ia ditelan makhluk raksasa itu. Ia masih bisa mencium bau busuk dari lendirnya, masih bisa merasakan jijik karena tubuhnya berlumuran cairan lambung kental.
“Dasar sial. Bahkan pendaratanku yang harusnya keren malah gagal total… aku malah jadi santapan monster,” gerutunya sambil menendang sebuah batu kecil ke arah reruntuhan.
Namun wajahnya segera kembali serius. Matanya menatap gedung-gedung tinggi yang seperti raksasa mati.
“Jika kota ini memang Bumi… kenapa hancur seperti ini? Apa perang? Apa bencana alam? Atau… serangan para monster ini yang menginvasi Bumi?”
Di sekitarnya, sebenarnya masih banyak monster berkeliaran, tapi tak satu pun yang berani mendekat dan mengganggunya.
Kellion berhenti lagi, kali ini di tengah perempatan besar yang kosong. Ia memandang ke segala arah. Jalan-jalan panjang penuh puing, kendaraan berkarat, tiang lampu roboh. Tak ada tanda kehidupan, hanya lenguhan angin.
Sebuah pikiran menghantam kepalanya. “Kalau kota ini sudah lama ditinggalkan… berapa lama? Puluhan tahun? Ratusan tahun?” Ia menatap sebuah gedung yang hampir rata dengan tanah, tanaman liar menjalar di dindingnya. “Sial, kalau terus begini, yang ada hanya semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban.”
Kellion berjalan menyusuri jalanan kota yang sudah lama hancur. Sisa-sisa bangunan yang menjulang seperti kerangka kosong tampak dililit akar-akar tebal berwarna keunguan, beberapa di antaranya berdenyut seolah hidup. Jalan yang dulu mungkin dipenuhi kendaraan kini ditutupi rerumputan asing yang meninggi hingga sebatas lutut.
Ia berhenti sejenak, mengamati satu pohon aneh di sisi jalan. Batangnya hitam berkilap seperti batu obsidian, cabangnya melengkung ke atas seperti tanduk, dan daun-daunnya berwarna merah menyala seperti api. Anehnya, setiap kali angin bertiup, daun itu tak bergoyang, malah bergetar pelan seolah mengeluarkan suara lirih, seperti bisikan samar.
“…Ini bukan tumbuhan yang pernah kulihat,” gumamnya sambil menyentuh batang keras itu. Hangat. Bukan seperti kayu biasa. Seperti menyentuh logam yang dialiri energi. Ia menarik tangannya kembali, lalu melanjutkan perjalanan. Semakin jauh ia melangkah, semakin banyak makhluk yang mulai muncul dari balik reruntuhan.
Di kejauhan, seekor monster berukuran raksasa berjalan perlahan. Bentuk tubuhnya menyerupai reptil, dengan punggung penuh duri yang bersinar biru samar. Setiap langkahnya menghancurkan aspal, meninggalkan jejak retakan besar. Monster itu berhenti di depan sebuah gedung setengah roboh, lalu dengan rahang besarnya merobek sisa dinding, memakan kawanan monster kecil yang bersembunyi di dalamnya.
Kellion memicingkan mata. “Monster lagi…” ia bergumam. Gerakannya agresif, tak segan melahap apa pun yang bergerak. Tapi ia perhatikan, monster itu tak memperhatikan dirinya. Seolah hanya fokus pada buruannya. Itu menurunkan kewaspadaannya, lalu lanjut berjalan.
Beberapa saat kemudian, suara geraman lain terdengar. Dari gang sempit, sekelompok monster herbivora melintas. Tubuh mereka menyerupai rusa, tapi kepala mereka dipenuhi tanduk bercabang tajam yang berkilau. Tubuhnya dilapisi bulu hijau luminescent. Mereka bergerak berkelompok, makan dari tumbuhan aneh di dinding-dinding gedung.
Kellion memperhatikan diam-diam. Salah satu dari mereka menoleh ke arahnya. Namun alih-alih menyerang, monster itu hanya memandanginya sebentar, lalu kembali mengunyah daun merah di dinding.
Langkahnya berhenti lagi ketika ia menemukan sebuah taman kota yang telah berubah total. Kolam air mancur di tengahnya kini dipenuhi cairan hijau bercahaya, permukaannya dipenuhi bunga aneh dengan kelopak transparan. Dari bunga itu, keluar kabut tipis berwarna biru, menari-nari di udara.
Ia mendekat, memperhatikan. Air kolam itu beriak pelan, dan dari dalamnya muncul makhluk seperti ubur-ubur transparan, melayang keluar dari air, lalu perlahan naik ke udara. Tubuhnya bercahaya samar, tentakelnya bergoyang lembut, membawa cahaya biru yang menenangkan.
“Uh sialan, aku tak mungkin menggunakan air ini untuk membersihkan tubuhku.”
Makhluk itu tidak menyerangnya, hanya melayang tenang di udara sebelum perlahan menghilang di balik kabut kota.
Di sepanjang perjalanan, ia melihat lebih banyak spesies aneh: Karnivora kecil berbentuk seperti anjing dengan kulit hitam licin, matanya merah menyala, giginya panjang seperti belati. Mereka selalu bergerombol, berlari cepat, dan langsung menyerang apa pun yang bergerak. Herbivora raksasa mirip gajah, tapi dengan enam kaki dan belalai yang bercabang. Mereka memakan akar-akar raksasa yang tumbuh dari gedung, sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Kellion. Monster amfibi mirip katak besar dengan tubuh bercahaya, tinggal di genangan air hijau beracun yang tersebar di jalan. Setiap kali melompat, mereka meninggalkan jejak percikan cairan asam yang melelehkan aspal. Predator udara, burung hitam berukuran raksasa dengan sayap ungu. Mereka berputar di langit tinggi, sesekali menyambar monster kecil di darat dengan cakar tajam. Serangga kolosal, sayap transparan mereka bergetar menimbulkan suara dengungan yang menusuk telinga. Tingginya mencapai sepuluh meter, dengan perut bercahaya, seakan ada energi yang menyala dari dalam tubuh mereka.
Tumbuhan pun tak kalah anehnya. Ada semak berduri yang meledak jika disentuh, menyebarkan biji beracun. Ada bunga raksasa yang mekar tiba-tiba, menutup seperti rahang dan menelan serangga besar yang hinggap. Bahkan rumput di tanah tampak asing, berwarna perak, berkilau seperti logam ketika terkena cahaya.