Patah Hati

2773 Words
Sejak malam di mana Mira menangis di hadapan ibunya, hari-hari berikutnya terlalui begitu saja. Sakit hatinya memang masih ada. Tidak mudah melupakan seseorang yang pernah dicintainya selama dua tahun belakangan ini. Dua tahun? Mira tersenyum remeh. Ternyata, waktu dua tahun itu tidak berarti apa-apa. Memang dasarnya bukan jodoh. Mau dikatakan apalagi? Mau menangis sampai berdarah-darah pun, tidak akan mengembalikan hubungan yang telah kandas. Nyatanya, dua hari lagi Mira harus menjadi tamu undangan Dhafi. Padahal sebelumnya Mira berangan bersama Dhafi bahwa mereka akan duduk bersama di pelaminan suatu saat nanti. Ternyata takdir bersama bukan milik mereka. Perpisahanlah yang merupakan jalan terbaik untuk mereka. Pagi ini, udara sejuk sekali. Walau semua tidak berjalan dengan baik. Sambil mengayuh sepeda menuju toko yogurt tempatnya bekerja, kilasan memori pertemuan terakhirnya dengan Dhafi melintas. Seperti kaset rusak. Terputar begitu saja tanpa bisa Mira hentikan. “Mir, maaf. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Kita seperti jalan di tempat dan hanya membuang waktu. Aku tahu, waktu dua tahun masih terlalu singkat untuk dibawa ke jenjang yang lebih serius. Tapi usiaku sudah cukup untuk berumah tangga. Aku menginginkannya. Aku juga setahunan ini telah mempersiapkan masa depan untuk keluarga kecilku nanti. Tapi melihatmu yang hanya fokus dengan hidupmu, dengan tujuanmu, aku merasa..kita berbeda misi, Mir.” Bangku taman yang Mira dan Dhafi duduki seperti terdapat durinya. Sehingga membuat mereka tidak nyaman dalam duduk bersama untuk berbincang serius itu. Mulanya, Dhafi mengajak Mira ketemuan. Mira mengatakan sibuk, akan tetapi sang kekasih memohon untuk bertemu secepatnya. Mira tahu, pasti pertemuan mereka akan diisi dengan pertengkaran. Semua sudah tidak seperti sebelum-sebelumnya. Satu bulan terakhir ini, Dhafi kerap menyinggung-nyinggung perihal menikah. Namun Mira belum siap. Masih ada beban hutang yang harus ia lunasi dan tak ingin ia bawa dalam kehidupan pernikahannya. Kalau pun nanti Mira menjadi perawan tua, ia sudah siap. Asal hutang-hutang almarhum bapaknya lunas terlebih dulu. “Aku tahu kemana arah bicaramu, Mas.” Mira menoleh kepada Dhafi. Menahan air matanya yang sudah mengintip, memburamkan pandangannya. Sakit. Sungguh sakit ketika seseorang yang kita cintai malah memutuskan sebuah hubungan yang terjalin indah sebelumnya. Sebut saja ini tragedi asmara. Saatnya bagi Mira membuang mimpi indah mengenai kisah asmaranya. Toh, sudah menjadi keputusannya untuk mendahulukan tujuan hidupnya. “Kita putus saja ya, Mir?” “Itu sebuah pertanyaan atau ajakan?” Dhafi sempat terkejut dengan tanggapan Mira yang sangat santai. Padahal pipinya sudah basah oleh air mata. Namun hal itu tak meluluhkan Dhafi. Ia dan keputusannya untuk menikah telah bulat. “Anggap saja ajakan. Karena kalau pertanyaan, jawabanmu..” “Jawabanku pasti tetap merelakan kepergianmu, Mas. Aku sadar, aku tidak berhak menahanmu untuk tinggal bersamaku yang sehari-hari hanya memikirkan tujuanku, melunasi hutang almarhum bapak.” Mira memang sudah pasrah. Tidak ingin memperjuangkan Dhafi yang telah mantap berpisah. “Maafkan aku, Mir. Aku tidak bisa membantu melunasinya..” Dhafi merasa bersalah atas tanggung jawab yang bukan ranahnya. “Aku paham, Mas. Selama ini, aku pun tidak pernah memintanya ‘kan?” Mira menghapus air matanya. Ia menunjukkan pada Dhafi bahwa ia tidak selemah itu. Hanya putus hubungan, bukan putus rezeki. Masih ada hutang yang menunggu untuk dilunasi. “Ibu dan Bapak pasti sangat kecewa dengan keputusanku,” lirih Dhafi mulai cemas dengan memilin tangannya. Jika biasanya Mira akan meraih tangan Dhafi dan menggenggamnya erat, kini tidak. Sekuat hatinya Mira mencoba tidak mempedulikannya. Mereka akan berakhir. Tidak perlu adegan kontak fisik lagi. “Tidak akan. Mereka hanya menginginkan kebahagiaan putranya. Dan, ternyata..kebahagiaan putranya itu tidak ada padaku. Lalu, apa yang membuat mereka sangat kecewa? Mengenal baik diriku bukan berarti mereka menentang pilihan kamu ‘kan, Mas? Jadi, beritahu aku siapa wanita yang berhasil menemani hari-harimu semenjak aku hanya fokus pada diriku sendiri?” Begitu pendapat yang Mira utarakan sambil mengorek informasi dari sumbernya. Walau sebenarnya, beberapa minggu terakhir ini Mira telah merasa bahwa Dhafi mungkin sedang dekat dengan wanita lain. Tetapi Mira tidak marah. Karena Mira memang tidak bisa memberikan banyak waktu pada kekasihnya itu. “Aku b******n ya, Mir. Selingkuh di belakangmu..” kata Dhafi penuh sesal. “Enggak. Kamu enggak selingkuh, karena aku tahu. Aku mengenal seperti apa dirimu, Mas. Jadi, yang kamu butuhkan memang seseorang yang selalu ada untukmu. Ah, kita sebut saja dia teman wanitamu, Mas.” “Devita.” Satu nama meluncur seperti petir. Tapi sambaran petir itu hanya mengenai hati Mira. Rasanya sakit sekali mendengar Dhafi menyebutkan nama wanita lain yang membuatnya yakin mengarungi bahtera rumah tangga. “Hmm..tidak asing,” gumam Mira. Dhafi mulai terbuka pada Mira. “Teman SMA-ku, seangkatan denganku, kakak kelasmu.” “Ah, yang terkenal itu ya? Cocok sama Mas! Dia cantik dan berprestasi pada masanya. Sekarang pasti kariernya bagus.” Mira memang memuji wanita itu, tapi dengan suara yang tak beraturan. Menahan marah, menahan isak tangis, dan menahan-nahan segala kehancuran hatinya. Supaya pria baik ini tidak merasa bersalah lebih dalam. Supaya pria ini bisa mengejar bahagianya. Katakanlah Mira bodoh. Tetapi sungguh Mira sangat mencintai Dhafi. Mira ingin Dhafi bahagia. “Dia jadi perawat, Mir.” “Syukurlah.. Ibu dan Bapak Mas Dhafi akan mendapatkan menantu yang terbaik!” “Kamu juga terbaik, Mir. Tapi..aku tidak bisa menunggumu. Maaf, Mir. Aku memang sebajingan itu.” “Enggak apa-apa, Mas. Kita berpisah secara baik-baik. Memang semua akan jauh lebih ringan bila tidak ada yang dipaksakan.” Dhafi membenarkan ucapan Mira barusan. Ia manggut-manggut dan tersenyum manis. “Kamu memang selalu mengertiku, Mir.” “Tapi tidak lantas menjadikanku tujuan akhirmu, Mas.” Mira juga membalas senyum Dhafi. Tetapi bukan dengan senyum manis. Melainkan senyum penuh luka dengan lelehan bening air mata yang masih mengucur. Dhafi hendak menghapus lelehan itu. Tapi Mira lebih sigap untuk menghindar. “Maaf.. Semoga kamu bahagia, Mir.” Sepanjang perjalanan Mira mengayuh sepeda, air matanya jatuh begitu deras. Seperti hujan dari langit yang jatuh ke bumi. Meski tiada isakan, rasanya jauh lebih menyesakkan. Orang-orang mungkin memandanginya dengan tatapan iba. Mengira Mira sedang sedih karena jualannya. Padahal Mira sendiri belum mengambil yogurt yang menjadi barang dagangan kelilingnya. Hari ini terlalui begitu cepat, walau pagi tadi diisi dengan drama Mira menangis sepanjang perjalanan menuju toko yogurt. Tapi tangisnya pagi tadi langsung dibalas Tuhan dengan nikmat jualan yang laris manis hari ini. Sehingga pukul dua belas siang ia sudah di rumah. Aza tentu saja menyambutnya dengan riuh gembira. Apalagi, Mira menyisakan satu botol yogurt ukuran kecil untuk Aza. “Makasih, Mbak Mira! Mmm..selalu enak rasanya.” “Enggak bosan memangnya?” heran Mira. Adiknya tampak senang sekali, seperti baru meminum yogurt. Padahal seminggu bisa sampai dua tiga kali meminumnya. “Enggak, dong! Gratisan kok, bosan.” Semangat Aza menyebut kata ‘gratisan’ membuat Mira tertawa kencang. Melupakan kejadian menangisnya tadi pagi. “HAHAHHA! Bisa aja kamu.” “Mbak..” panggil Aza saat Mira hendak ke belakang. “Apa?” Dari ekspresi Aza, seperti memperlihatkan bahwa gadis kecil itu sedang menginginkan sesuatu. Apa yang diinginkannya? Semoga bukan sesuatu yang mahal. Setidaknya, Mira bisa mengusahakannya. “Di kamar kok ada gaun bagus? Punya Mbak Mira? Beli dimana?” Kamar mereka memang menjadi satu. Jadi, Aza selalu tahu bila ada barang yang asing. Yang sebelumnya tidak kakaknya miliki. Mira mengernyitkan dahinya. “Ha? Gaun bagus?” Ia tidak mengerti ‘gaun bagus’ yang dimaksud Aza. Seingatnya, Mira tidak pernah membeli gaun. “Iyaa! Aza kepengen nyobain. Kalau boleh, hehe..” Aza meringis. Ia ternyata ingin mencoba gaun bagus yang dimaksudnya. Baiklah. Mira mengikuti saja permainannya. “Boleh, dong! Ayo ke kamar.” Langkah keduanya terhenti saat Rosiana muncul dari tirai yang memisahkan area belakang dengan ruang tamu. “Sudah pulang, Mir? Makan dulu terus cobain gaunnya.” Rumah mereka memang kecil. Hanya terdapat dua kamar, satu kamar mandi, dapur minimalis, dan ruang tamu yang minimalis juga. Tapi rumah itu tetap menjadi tempat ternyaman Mira dan Aza. Keduanya tumbuh-kembang di sana. Mira mengangguk, mencium tangan ibunya. Kemudian membuka kamarnya dan terpampanglah gaun bagus yang dikatakan oleh Aza. Wow! Memang sangat bagus. Mira perkirakan bila gaun itu dipakainya, mungkin pas selutut. Bisa saja di atas lutut sedikit. Tapi masih sopan. Lengannya pendek, aman, tidak akan gerah. Tapi kalau hati Mira jangan ditanya, melebihi rasa gerah! Terbakar. Gaun itu berwarna cokelat dengan corak bunga dan dedaunan. Simple. Tapi memukau. Pantas saja Si Tuan Putri Rahza ingin mencobanya. Bila dipakainya, bisa setungkai bawah! Hahaha.. “Ini Ibu yang beli?” tanya Mira menoleh secara bergantian pada sang ibu dan gaun yang tergelar di atas ranjang. Seolah memang sengaja ditunjukkan padanya. Sebagai kejutan, mungkin. Rosiana tersenyum dan menjelaskan sambil menerawang ke masa lalu. “Enggak beli, Mir. Itu gaun lama Ibu, hadiah Bapakmu dulu. Masih bagus banget. Modelnya vintage, tapi enggak katrok-katrok banget kok. Elegan malah. Kayaknya cocok sama kulitmu, soalnya ‘kan kulitmu menurun Ibu. Bapak memang pintar pilih baju untuk Ibu. Semoga saja kamu mau memakainya untuk pergi ke kondangan Dhafi. Bajumu ‘kan kebanyakan celana, Mir. Masa bajumu sehari-hari mau kamu pakai ke acara nikahan, enggak spesial dong! Makanya Ibu siapkan yang spesial untuk kamu. Walau lungsuran Ibu. Maaf ya, Mir.” Rasa bersalah Rosiana membuncah. Ia sebagai ibu sekaligus ayah, sudah seharusnya memberi barang baru pada putrinya. Tetapi karena keadaan ekonomi yang pas-pas-an, Rosiana tak mampu membelikan sebuah gaun baru. Harga gaun juga pasti mahal. Mira mendekat pada ibunya, merangkul malaikat tak bersayapnya dengan penuh kasih sayang. “Kenapa Ibu minta maaf? Aza saja bilang bagus. Kepengen nyoba katanya.” “Iya, Bu. Aza ikut nyobain gaunnya ya, Bu? Setelah Mbak Mira nyobain, deh! Enggak apa-apa. Ya? Ya?” bujuk Aza supaya diizinkan. “Iya, biar kamu kelelep!” Tanggapan Rosiana membuat Mira tertawa kencang lagi. Sedangkan Aza merengek, “Ibuu!” “Nangis yang kenceng, Za. Gulung-gulung di teras juga boleh.” Rosiana mempersilahkan dengan suara lembutnya. Walau kedua putrinya tahu bahwa dari nada bicaranya, memperingati supaya tidak melakukan apa yang ia perintahkan barusan. Memang begitu ‘kan seorang ibu? Dengan tegas Aza mengatakan, “Enggak! Aza enggak cengeng ya, Bu.” Rosiana yang gemas turut merangkul Aza. “Baguslah. Memang seperti itu harusnya putri-putri hebatnya Ibu!” Seusai makan siang, Mira mencoba gaun lungsuran ibunya. Ia memandangi dirinya di pantulan kaca. Pas. Sesuai perkiraannya yang kedua, di atas lutut sedikit. Tidak masalah. Masih nyaman untuknya. Walau tidak terbiasa memakai gaun. Demi tampil memukau dan terlihat bahagia di acara pernikahan mantan kekasihnya yang masih ia cintai—Mira bersedia mengenakan gaun ini. “Nah, cantik banget ‘kan Mir? Tinggal dandan sedikit pasti sempurna,” puji ibunya saat memasuki kamarnya. Aza juga berdecak kagum sejak tadi. “Iya, Bu. Terima kasih ya, Bu.” Rosiana hanya tersenyum dan mengangguk. Senang menyaksikan putri pertamanya mengenakan gaunnya. Seperti memandangi dirinya di masa lalu. Ia pernah sebahagia Mira saat memandang dirinya di pantulan kaca dengan mengenakan gaun itu. Plus, mendapat pujian dari suami tercintanya. Kebahagiaan yang lengkap sudah bukan? “Mbak udah selesai belum cobain gaunnya? Gantian, dong!” seru Aza tidak sabaran. Mira menghela napas dan geleng-geleng kepala, “sabar, Aza..” Sedangkan Rosiana gemas mengacak rambut putri keduanya. Memang hanya mereka berdua sumber bahagia dan kekuatan Rosiana. Maka dari itu, jangan sampai salah satu diantara mereka rapuh. Karena itu juga dapat berpengaruh padanya. *** “Jadi, bisa kamu jelaskan mengapa Zola tidak terlihat beberapa hari belakangan ini? Padahal sebentar lagi kalian akan melangsungkan acara pernikahan. Tidak mungkin ‘kan Zola mau dipingit? Dia anti begituan, Edgar.” Di sebuah ruang tamu rumah mewah. Duduklah Tuan dan Nyonya Besar Abisena dengan sang putra tunggal—Edgar Rylan Abisena—yang tengah menghadap, lebih tepatnya tengah di sidang. Hanya meja kaca persegi panjang nan mewah yang membatasi keduanya yang duduk di sofa berseberangan. Raut wajah keluarga kecil itu tidak ada yang bersahabat. Lelah, muak, dan mungkin sedang menahan amarah masing-masing. Terutama Edgar. Edgar merasa telah dikhianati oleh wanita sialan yang kabur dengan sahabatnya sendiri—Levon—menjelang hari pernikahan mereka. Astaga..seumur hidup Edgar, tidak pernah sekalipun berpikir hal buruk seperti ini akan menghampirinya. Harga dirinya berhasil diinjak-injak oleh Zola—MANTAN Calon Istrinya. Sungguh, sekalipun Zola kembali, Edgar enggan bersamanya lagi. Sudah cukup Zola mempermalukannya. Selamanya, tidak akan Edgar mengulang momen yang pernah ia lalui dengan penuh bahagia bersama Zola. Kabar kaburnya Zola bersama Levon telah sampai ke telinga kedua orang tuanya. Untung saja belum sampai meluas. Mungkin beberapa petinggi perusahaan miliknya telah mengetahui kabar itu. Namun mereka sadar diri, memilih diam, menutup rapat-rapat kabar buruk yang belum diklarifikasi sama sekali oleh sosok yang bersangkutan. Sebenarnya, hingga detik ini Edgar masih berusaha mencari Zola dan Levon. Bukan untuk kembali menyeret Zola dalam rencana pernikahan yang sudah kacau balau ini. Padahal gedung, undangan, catering, gaun, dan segala persiapan pernikahan lainnya telah siap. Tetapi Edgar belum mau untuk mengklarifikasi batalnya pernikahan mereka. Pria itu masih berharap bisa menyeret Zola ke hadapan semua orang. Setidaknya bila mereka berdua yang mengklarifikasinya, tidak terlalu memalukan. Tidak seperti sekarang. Yang tersisa hanya Edgar dan harga dirinya yang hampir tak bersisa. Edgar marah. Sakit hati. Dan, masih banyak lagi perasaan-perasaan tidak mengenakkan dalam dirinya. Tetapi ia bisa apa selain merelakan cintanya? Toh, Zola sendiri yang memutuskan untuk kabur bersama Levon. Sempat Edgar bertanya-tanya pada dirinya sendiri, Apa yang membuat Zola lebih memilih Levon dibandingkan dirinya? Apa yang ada pada diri Levon, tapi tidak ada pada dirinya? Cinta? Bukankah selama ini Zola mencintainya? Atau..semua yang Zola perlihatkan selama ini hanya sebuah drama? Seumur hidup, baru kali ini Edgar merasa kehilangan rasa percaya dirinya. “Edgar, jawab Mama.” Nada bicara Harini Abisena—Nyonya Besar Abisena—memang tidak meninggi. Tapi sarat akan penekanan. Berharap mendapat jawaban yang sebenarnya dari sang putra tunggal yang terlihat putus asa itu. Sebagai seorang ibu, Harini merasakan sakit hati yang Edgar rasakan. Oh..Tuhan, wanita macam apa Zola? Mengapa Zola membuang Edgar hanya demi MANTAN sekretaris sekaligus orang kepercayaan Edgar di perusahaan? Ya, memang itu jabatan Levon. Makanya mereka bertiga kerap bersama. Dan, semua orang tidak menyadari adanya affair diantara Levon dan Zola. Keduanya sama-sama licik. Pandai bermain api di belakang Edgar dan semua orang. “Edgar sedang mencari keberadaan mereka, Ma. Sabar ya, Ma. Semua akan baik-baik saja. Edgar bisa mengatasinya.” “Apa katamu? Sedang mencari keberadaan mereka? Untuk apa, Edgar!? Kamu masih menginginkan wanita itu?” Kali ini Tuan Besar Abisena yang angkat bicara. Nada bicaranya sempat naik. Kemudian sang istri mencoba menenangkannya. Jangan sampai ada yang masuk ke rumah sakit untuk opname karena tragedi batal nikah ini. Memalukan. Orang lain yang berulah, mereka yang menanggung rasa sakit dan malunya? Tidak bisa! Keluarga Abisena sangat menjunjung harga diri mereka. “Edgar sudah tidak menginginkannya, Pa. Hanya saja..Edgar ingin kami bersama-sama mengklarifikasi batalnya pernikahan kami ini. Soal alasan, skenario, dan sebagainya. Edgar yakin Zola jagonya.” Edgar tersenyum miring. Mengingat betapa teganya Zola kabur bersama Levon. Pesan terakhir Zola yang ditemukan Edgar di rumah masa depan mereka, terlintas kembali di benak Edgar. Padahal sekuat hati dan pikirannya, Edgar berusaha melupakan pesan sialan di secarik kertas itu. Aku pergi bersama cintaku, Levon. Jangan mencariku. Biarkan aku bahagia bersama Levon, karena perasaan seperti ini tidak aku rasakan saat bersamamu. –Zola. Berbeda lagi dengan pesan singkat yang masuk ke ponsel Edgar. Pesan itu dari pria b******n yang selalu Edgar anggap sahabat bahkan saudaranya sendiri. Maafkan aku, Edgar. Aku dan Zola hanya ingin bahagia. Semoga kamu juga segera menemukan bahagiamu sendiri. Mengingat dua pesan berbeda cara penyampaian itu membuat Edgar menghela napas berat. Untuk menangis pun, Edgar tidak bisa. Entah mengapa? Harini dan Abisena yang menyaksikannya sempat berpandangan sesaat, kemudian sama-sama yakin untuk memberikan waktu pada putra mereka guna menenangkan diri. Kasihan Edgar.. “Tidak usah mencari-cari mereka, Edgar. Mama tidak ingin kamu membuang-buang waktu mengurus hal yang tidak penting. Masalah klarifikasi, serahkan saja pada Mama dan Papa. Kamu tenangkan saja dirimu. Istirahat dan makanlah dengan benar. Maafkan kami, Edgar. Kamu pasti menjadi pihak yang sangat terpukul di sini.” Harini menatap sendu putra tunggalnya yang sedang dilanda patah hati berat itu. Tapi tanggapan Edgar justru di luar dugaan kedua orang tuanya. Dengan tegas Edgar mengatakan, “Tidak, Ma. Hati Edgar telah mati.” Tuan dan Nyonya Abisena semakin khawatir. Takut apabila kedepannya Edgar akan membujang dalam waktu yang lama, karena kehilangan kepercayaan terhadap wanita. Padahal usianya telah menginjak angka dua puluh sembilan tahun. Sungguh mimpi buruk yang tidak pernah mereka inginkan. Karena sejujurnya mereka sudah menginginkan hadirnya cucu pertama Keluarga Abisena. Yang nantinya akan meramaikan suasana yang berpuluh-puluh tahun ini dingin nan sepi. “Papa tidak pandai merangkai kata manis seperti Mamamu. Tapi satu hal yang ingin Papa katakan. Ah, lebih tepatnya Papa peringatkan. Jangan pernah kamu kembali padanya yang dengan tega telah meninggalkanmu. Camkan itu.” “Tidak akan pernah, Pa.” Edgar sangat yakin saat mengatakannya. Membuat Abisena lega, karena tidak akan ada drama CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) dan lain sebagainya. Tidak ada ruang untuk wanita licik di Keluarga Abisena. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD