bc

Asmara Mira

book_age18+
1.2K
FOLLOW
9.4K
READ
HE
age gap
stepfather
heir/heiress
drama
bxg
lies
like
intro-logo
Blurb

Dipublikasikan sejak : 11 Januari 2023

“Saya tidak sedang merencanakan aksi bunuh diri dengan melompat dari jembatan ini, Pak. Jika Bapak hendak melakukannya. Saya sarankan segera ya, Pak. Mumpung sepi. Saya akan memejamkan mata untuk beberapa saat dan berpura-pura tidak tahu. Bapak merusak pemandangan saya saja!” –Amira Hessa Rosyadi.

“Saya memang sedang putus asa. Jelang hari pernikahan yang amat saya nantikan, calon istri saya kabur bersama pria lain. Sialnya, pria itu tidak lain dan bukan adalah sahabat saya sendiri. Jodoh memang cerminan diri dan mereka berdua cocok bersama—sesama pengkhianat!” –Edgar Rylan Abisena.

***

Di malam yang sepi, di sebuah jembatan besar, aliran sungai di bawah sana cukup deras. Seolah sungai itu tengah menyambut tubuh mereka apabila hendak mengakhiri segala permasalahan hidup. Namun hal itu tidak terjadi.

Dipertemukan dalam situasi yang sama yakni, sedang patah hati. Dua insan setengah putus asa itu lebih memilih mencari jalan lain. Jalan yang tidak pernah sekalipun terlintas di benak mereka. Namun justru mengikat kuat keduanya, selayaknya takdir yang memang telah digariskan oleh-Nya.

Amira Hessa Rosyadi dan Edgar Rylan Abisena.

Keduanya menikah karena mempunyai alasan lain, tentu bukan cinta.

Asmara Mira akan merangkum semuanya..

Mari menjadi saksi perjalanan Asmara Mira!

_________

cover by leonidas_design69

chap-preview
Free preview
Undangan Duka
“Eh Mbak Mira, udah pulang. Kebetulan barusan tamunya pulang. Emangnya Mbak Mira enggak papasan sama Mas itu?” Sosok yang baru memasuki rumah itu hanya menggeleng lemah sebagai jawaban. Sedangkan gadis kecil yang merupakan lawan bicaranya cukup mengerti akan rasa lelah yang menderanya setelah seharian bekerja dan baru tiba di rumah sore ini. Maka langsung saja, tangan mungilnya menyerahkan sebuah undangan yang sebelumnya tergeletak di atas meja ruang tamu. “Ini, Mbak.. Ada undangan pernikahan untuk Mbak.” Undangan itu berpindah tangan. Kemudian sang gadis kecil melanjutkan ocehannya, “Mas yang tadi nganterin itu katanya temannya Mas Dhafi. Terus Aza baca kok, ada nama Mas Dhafi di undangan itu? Bukannya Mas Dhafi itu pacar Mbak Mira, ya? Kok nikah sama siapa itu..mmm..tadi aku sempat baca, Mbak. De—de—” “Devita..” lirih sosok yang dipanggil ‘Mbak Mira’. “Nah, itu maksud Aza!” Gadis kecil yang menyebut dirinya ‘Aza’ menjentikkan jarinya. Tepat sekali! Sang kakak mengembalikan ingatannya setelah membaca nama yang tertera pada undangan. Ya, mereka merupakan saudara kandung. Adik dan kakak yang usianya cukup terpaut jauh. Perbedaan usia tujuh belas tahun membuat sang adik tidak mengerti bagaimana perasaan kakaknya. Yang ia tahu hanyalah sang kakak berpacaran dengan nama sosok yang tertera pada undangan. Jadinya, ia bingung ketika ada undangan yang diterima atas nama pacar kakaknya. Tetapi dengan santainya sang kakak justru mengambil duduk di sampingnya. Mengusap lembut rambut panjang nan lurusnya yang terurai dengan memasang senyum geli. “Rahza Saida Rosyadi! Tahu dari mana istilah ‘pacaran’? Hm? Pasti gara-gara Aza sering nonton sinetron sepulang dari warung, ya? Lain kali enggak ada alasan nonton TV biar bisa tidur. Apalagi makin malam itu siaran TV memang diperuntukkan orang dewasa. Aza ‘kan masih kecil. Pulang bantu Ibu di warung, Aza langsung masuk kamar. Tidur. Biar besoknya mudah dibangunin buat siap-siap ke sekolah. Paham?” “Mana bisa begitu, Mbak? Udah kebiasaan!” “Terus sengaja bikin Mbak setiap malam gendong kamu, buat pindahin kamu ke kamar kita. Begitu?” tanya sang kakak menunjukkan sisi muaknya. Tapi binar di matanya justru berbanding terbalik dengan sisi yang ditunjukkan. Secara jelas menegaskan bahwa ia sangat menyayangi sang adik. Gadis kecil itu hanya terkekeh. Merasa sedikit berdosa, mungkin. “Sekolah yang pintar, Aza. Cuman kamu harapan Mbak dan Ibu. Semoga kamu bisa sukses, enggak seperti Mbak.” Amira Hessa Rosyadi atau gadis yang biasa disapa Mira itu berpesan demikian pada sang adik. Ia menatap penuh harap pada sang adik yang baru berusia tujuh tahun. Seolah menggantungkan semua harapan kesuksesan pada pundak kecil di sampingnya. Namun justru sebuah gelengan tegas yang Mira dapati. “Aza mau seperti Mbak Mira! Yang enggak pernah punya rasa lelah. Setiap pagi sampai siang selalu semangat mengayuh sepeda buat jualan yogurt keliling. Sore sampai malam jadi guru les privat dari rumah ke rumah. Sebenarnya Aza mau bantuin Mbak. Tapi Aza ‘kan sekolah dari pagi sampai siang. Ibu juga pasti bakal marahin Aza kalau pulang sekolah enggak makan terus tidur siang. Kalau bantuin Mbak jadi guru les privat, Aza mana bisa? Jadinya Aza cuman bisa bantuin Ibu jualan nasi goreng dan mie goreng di warung setiap malam. Itu pun kadang Ibu maksa Aza pulang duluan. Kalau dipikir-pikir, Ibu kok sering banget nyuruh Aza tidur ya, Mbak.” Mira terkekeh. “Itu tandanya Ibu sayang sama Aza.” Senang rasanya mendengar celoteh panjang kali lebar Aza. Mira anggap sebagai nyanyian penghibur, padahal hatinya sedang hancur lebur. Undangan di tangan kirinya bahkan telah teremas hingga kusut. Padahal sebelumnya tampak menarik dan enak dipandang. Tetapi tidak dipandangan gadis berusia dua puluh empat tahun itu, karena nama mempelai pria yang tertera di sana merupakan nama mantan kekasihnya. Yang lebih menyakitkan adalah hubungan mereka baru putus seminggu yang lalu. Secepat itu mantan kekasihnya menemukan pengganti dan menikah. “Aza enggak boleh kecapekan. Biar Aza fokus sekolah dan belajar. Hm, ngomong-ngomong belajar. Ada PR hari ini?” lanjut Mira yang sebenarnya hanya sedang mengetes Aza. Karena matanya sempat melirik ke meja kecil ruang tamu minimalis ini. Di atas meja, terdapat sebuah buku tulis dan buku tematik kelas 1 SD milik Aza. Senyum Aza merekah. Ia mengangguk penuh semangat kali ini. “Ada. Tapi udah Aza kerjain kok, Mbak! Mbak tenang aja.” Pantas saja percaya diri, PR-nya sudah dikerjakan. “Pintar Adik Mbak!” puji Mira. “Nanti malam biar Mbak koreksi. Oke?” Seperti biasa malamnya ketika Mira hendak tidur selalu menyempatkan dirinya mengoreksi PR-PR Aza. Aza hanya mengacungkan jempolnya tanda ‘Oke’. “Mbak Mira kok, pulangnya sore? Tumben..” Topik lain dibahas oleh bibir mungil Aza. Sesuai dengan perkiraan Mira. Untung saja Mira telah menyiapkan jawabannya. “Iya, Za. Lagi laris.” “Alhamdulillah. Semoga laris terus ya, Mbak.” Do’a tulus Aza membuat Mira terharu. Padahal jawaban Mira berbanding terbalik dengan kenyataan hari ini. Hari ini yogurt dagangan Mira tersisa banyak. Sehingga membuat setoran uangnya ke toko yogurt besar tempatnya bekerja, berkurang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang memenuhi target atau bahkan lebih daripada target. Sebenarnya tidak akan dimarahi oleh bosnya. Hanya saja..upah Mira hari itu otomatis berkurang. Andai ia tidak mempunyai jadwal mengajar les privat di rumah salah satu murid lesnya, sudah pasti Mira akan pulang menjelang magrib saja. Toh, sudah beberapa tahun terakhir ini rasa lelah berteman baik dengannya. Terlebih semenjak cinta pertama Mira sebagai anak perempuan meninggal dunia. Kesedihannya bertambah ketika sang adik menyerahkan sepucuk undangan berduri kepadanya. Padahal kertas undangannya sangat halus. Mungkin bertekstur karena ada ukiran emas di pinggirannya. Menambah kesan mewah seperti undangan pernikahan pada umumnya. Ternyata yang tertusuk duri tak kasatmata itu bukan tangannya, melainkan hatinya. Hingga detik ini, Mira mencoba tidak mengeluh pada adik maupun ibunya. Ia mengeluh pada diri sendiri, pada sepi, dan pada sepeda tuanya. Ngomong-ngomong soal sepeda tua, jangan sebut tua. Ditakutkan besoknya akan rewel. Sebut saja, sepeda perjuangan! Setiap pagi tidak rewel saja, sudah merupakan anugerah luar biasa. Mira mensyukuri hal-hal kecil itu. Mencari pekerjaan di Kota Surabaya tidak semudah yang Mira bayangkan. Terlebih, ia hanya lulusan SMA. Ada yang percaya kecerdasan otaknya dan menggunakan jasanya sebagai guru les privat anak SD-SMP saja, Mira sudah sangat bersyukur. Berharap segala kesulitan yang dialaminya tidak menular pada Aza. Permata hati Mira dan Ibu. Suara serak Mira yang mencoba mengontrol rasa sedihnya terdengar meng-aamiin-kan do’a baik Aza. “Aamiin ya Rabb.” Berharap Tuhan mendengar do’a tulus anak baik seperti Aza. “Ya udah kalau gitu. Mbak siap-siap dulu. Mau ngajar les privat,” pamit Mira dengan tergesa-gesa ke belakang. Mandi menggunakan air dingin. Menjalani aktivitas seperti biasanya. Mira berharap rasa sakit hatinya hilang. Lagipula untuk apa berlarut-larut dalam kesedihan? Tidak mendatangkan uang yang banyak hingga bisa melunasi seluruh hutang-hutang almarhum bapaknya. Jadi, sia-sia ‘kan? Yang Mira coba lakukan saat ini adalah menepis rasa sakit hatinya dengan menyibukkan diri dan tetap pada tujuan awalnya. Melunasi hutang-hutang almarhum bapak sejumlah seratus dua puluh juta. Dengan berjualan yogurt keliling dan menjadi guru les privat, apakah Mira bisa? Mustahil. Orang bahkan ayam pasti menertawakannya. Tapi Mira percaya, tangan Tuhan senantiasa terulur untuk hamba-Nya yang gigih berjuang. Bukankah begitu? Tapi yang namanya hati, kerap tidak selaras dengan pikiran. Contohnya seperti sekarang, Mira sedang mengajar les privat di salah satu rumah murid lesnya—Randi—tapi pikiran Mira justru tertuju pada undangan kusut yang ia remas bahkan ia buang di tempat sampah belakang rumah. Aarrgghh..mengapa kisah asmaranya menjadi sebuah racun mematikan? Mira hanya takut bila esok semangatnya terkikis, perlahan-lahan, sampai hilang, membuatnya tak semangat menjalani hidup yang serba susah ini. “Mbak Mira!?” Astaghfirullah! Pikiran macam apa itu? Untung saja panggil Randi yang cukup keras itu berhasil menyentak Mira dari lamunnya yang tidak-tidak. Wajah Randi tampak bingung, karena hari ini guru les yang kerap dipanggilnya ‘Mbak Mira’ itu kebanyakan bengong. “Dari tadi Randi panggil-panggil buat tanya rumus persegi panjang, Mbak Mira enggak nyahut. Ini rumusnya sudah benar, Mbak?” Randi menunjuk buku tulisnya, yang di sana telah tertulis sebuah rumus matematika. Mira mengangguk dan mulai membantu Randi menyelesaikan satu persatu soal matematika bangun ruang itu. Tentu saja dengan metode : Mira membiarkan Randi berpikir terlebih dulu. Kemudian ketika Randi menemui kesulitan hingga jalan buntu, barulah Mira bergerak mengajari Randi sampai paham. Sejauh ini, metode yang Mira ajarkan pada murid-murid lesnya memberikan dampak yang positif. Sehingga tak sedikit dari para orang tua murid lesnya memberinya bonus upah yang lumayan besar. Sebagai ganti mereka yang tidak bisa menemani anak ketika belajar karena sibuk bekerja dan berkat Mira anak mereka ada yang selalu menjadi juara bertahan di kelas. Luar biasa! Mira sangat senang dan selalu memberi reward kecil-kecilan pada murid lesnya. Misalnya, membawakan mereka yogurt. Mmm..itu sudah reward istimewa yang akan membuat murid lesnya berlonjak-lonjak kesenangan. Anak-anak orang kaya itu, mana pernah dapat yogurt gratisan? Mira kerap menertawakan dirinya sendiri yang memberi reward minuman yang mungkin saja di kulkas mereka sudah tersedia banyak stoknya. Tapi sejauh ini, aman. Mereka tidak pernah sekali pun menolak pemberian Mira. Anak-anak kecil yang mengerti akan ketulusan kasih sayang memang secara otomatis menghargai pemberian. Sekecil apapun itu. Dari rumah ke rumah kompleks perumahan mewah, Mira mengayuh sepedanya menuju warung sederhana spesial ibunya. Jam tangan lawas di tangannya menunjukkan pukul delapan malam lebih sepuluh menit. Semenjak bapak meninggal, Rosiana—Ibu Mira dan Aza—memang memutuskan berjualan nasi goreng dan mie goreng di pinggir jalan. Semakin malam, jualan Rosiana semakin laris. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Rosiana tidak ingin Mira menanggung beban beratnya seorang diri. Banting tulang demi keluarga kecil mereka, sambil mengumpulkan uang demi mencicil hutang almarhum bapak, Rosiana tak sampai hati membayangkan betapa sulitnya keadaan Mira. Baik Rosiana maupun Mira berharap hutang itu segera lunas supaya di atas sana almarhum bapak tenang. Tetapi hingga tiga tahun lamanya belum juga lunas. Tersisa seratus juta. Yang entah kapan akan lunas? Ditambah, cerita Aza mengenai undangan pernikahan Dhafi. Bukan Rosiana tak tahu bahwa Dhafi merupakan pria baik-baik dari keluarga baik-baik pula, pernah menjalin hubungan dengan Mira, mungkin juga keduanya pernah berangan jauh tentang sebuah pernikahan. Tetapi sudah satu minggu terakhir ini keduanya tidak terlihat bersama. Rosiana baru menyadari bahwa hubungan mereka kandas. Mira tidak bercerita apapun padanya. Mungkin karena tak ingin memberinya beban yang tak berarti, masalah asmara. Karena selama ini ada beban yang lebih besar, hutang. Mereka tidak berjodoh. Itu kesimpulan yang Rosiana dapat ambil. Minggu ini Dhafi akan menikah dengan wanita lain. Rosiana turut merasakan rasa sakit yang menggerogoti hati putri pertamanya. Rasanya cobaan hidup Mira tiada habisnya. Rosiana hanya berharap, Mira senantiasa kuat. Atas setiap cobaan hidup yang menerpa, Rosiana yakin suatu saat Mira pasti bahagia. Tentu bahagia Mira bukan bersama Dhafi. “Bu, biar Mira yang cuci piringnya. Ibu duduk saja.” Rosiana terkesiap. Putrinya yang sejak tadi memenuhi pikirannya, sudah berdiri tegap di sampingnya. Mengambil alih piring-piring yang dicucinya. Rosiana membiarkannya dan bergegas membuatkan Mira segelas teh hangat. Pasti putrinya itu baru pulang dari mengajar les. “Teh hangat, Mir. Diminum mumpung masih hangat.” Melihat sang ibu menyuguhkan segelas teh hangat kepadanya dengan raut wajah sedih yang tak bisa disembunyikan itu, Mira meyakini bahwa sang ibu pasti telah mengetahui adanya undangan pernikahan Dhafi yang diterima Aza. Sudah saatnya Mira menepis rasa sakit hatinya demi meyakinkan sang ibu bahwa ia baik-baik saja. Ibu dan anak itu duduk bersebelahan. Menatap jalanan kota yang malam ini masih saja ramai. Tetapi hati mereka rasanya hampa. Aza juga masih di warung. Ia sibuk bercanda dengan beberapa pengunjung setia warung nasi goreng dan mie goreng ibu. Inilah hiburan Aza, karena ia tidak seperti anak-anak zaman now yang mempunyai ponsel canggih untuk sekadar menonton Y*uT*be atau Ti*k-to*. Tapi sejauh ini, Aza tidak pernah merengek supaya bisa dibelikan barang itu. Syukurlah..ia mengerti keadaan ibu dan kakaknya. Untuk keperluan sekolah, ada ponsel jadul kakaknya yang masih bisa mengatasi. Biasanya ‘kan ada pengumuman penting yang dishare melalui grup. Asalkan semua masih bisa diatasi, gadis kecil itu tidak khawatir sama sekali. Rosiana tiba-tiba menggenggam tangan Mira di bawah sana. Menoleh ke samping dan bertanya, “Kamu..baik-baik saja ‘kan, Mir?” “Memangnya Mira kenapa, Bu?” tanya balik Mira seusai memutuskan untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa sakit. Mungkinkah karena pertanyaan Ibu? Ahh..jangan sampai kesedihannya karena masalah asmara itu menular pada ibu. Ibu sudah banyak beban pikiran, sama sepertinya, maka jangan sampai ada tambahan beban lagi. Mira tidak ingin ibunya sakit dan..dan meninggalkannya. Sungguh Mira tidak sanggup membayangkan hal itu. “Hubungan kalian..” “Sudah berakhir seminggu yang lalu, Bu. Berakhir secara baik-baik. Makanya Mas Dhafi mengundang Mira ke acara pernikahannya. Ibu datang, ya. Temani Mira.” Begitu sahut Mira ketika ibunya tak mampu melanjutkan perkataannya. Mira tahu, ibunya tak tega mengutarakan hal yang telah diketahuinya. “Pasti. Ibu ‘kan juga mengenal baik ibunya Dhafi.” Tangan Rosiana menggenggam tangan putrinya semakin erat di bawah sana. “Syukurlah..” Mira lega. Setidaknya ia ada teman kondangan. Ibu Tercintanya! “Ibu berdo’a sangat khusyuk malam ini, Mir.” Ucapan Rosiana barusan ditangkap Mira sebagai curahan hati. Daripada larut dalam kesedihan yang tak berarti, Mira melempar candaan ringannya. “Do’a supaya hutang kita segera lunas ya, Bu? Hehe..” “Bukan.” “Lalu, do’a apa Bu?” Jantung Mira berdebar-debar. Berharap jawaban ibunya tidak membuat dadanya sesak. Sungguh..malam ini Mira ingin menjadi orang yang amnesia sesaat. Tidak ingat mengenai kandasnya hubungan asmara selama dua tahun ini, ditambah ditinggal menikah dalam kurun waktu yang terlalu cepat—satu minggu! Bahkan galau karena putus hubungan saja..belum kelar terobati. Ini ditambah dengan perhelatan duka akbar. “Semoga kamu bahagia suatu saat nanti. Walau saat ini Ibu tahu kamu sedang sakit hati. Kamu anak Ibu, Mir. Serapat apapun kamu menyimpan rasa sakit hatimu, Ibu tetaplah Ibu, Ibu bisa merasakan rasa sakitnya. Yang sabar ya, Nduk. Percaya sama Ibu. Dibalik ujian berat yang membuatmu bersedih, Tuhan tengah mempersiapkan kado terindah lengkap dengan bahagia untukmu, hamba-Nya yang tidak pernah putus asa.” Air mata Mira jatuh berderai. Ia menangis tanpa suara. Sedangkan Rosiana membawa tubuh putri pertamanya itu untuk masuk ke dalam peluk hangatnya. Orang-orang sekitar tampak sibuk sendiri. Kalaupun mereka menyaksikan adegan antara ibu dan anak ini, biar saja. Toh, sakitnya hati memang harus diluapkan dengan menangis. Berteriak kalau perlu. Tetapi Mira tidak selebay itu. Ia selalu menahan semuanya sendirian. Sampai dapat berbagi seperti sekarang ini. Puas menangis. Mira menatap Rosiana yang masih sibuk mengusap air matanya. “Mira enggak nangis karena sakit hati, Bu. Tapi Mira nangis karena Ibu turut merasakannya. Sungguh..jangan sakit hati, Bu. Biarlah dia yang bukan jodohku pergi menjemput bahagianya. Nanti juga ada masanya Mira menjemput bahagia Mira sendiri. Seperti kata Ibu. Mira percaya takdir Tuhan akan indah pada waktunya.” “Mira baik-baik saja. Pasti akan baik-baik saja, Bu.” Mira masih mencoba meyakinkan ibunya. Kali ini, air matanya tak lagi jatuh. Pengendalian dirinya telah kembali. Rosiana mengulas senyum bangganya dan menepuk-nepuk lengan Mira. “Kamu hebat, Mir! Ibu dan Aza bahagia mempunyai kamu di hidup kami.” ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook