Rindu

1459 Words
"Kal, sudah siap belum?" Kalila yang sedang berkaca pada cermin di depannya langsung menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka dan menampilkan wajah Althaf di sana. "Iya, bentar lagi, Pa," sahutnya seraya kembali berkaca dan memberi sentuhan kecil pada hijabnya. Althaf masih berdiri di ambang pintu menunggu sahabat hidupnya itu selesai berpayas. “Sudah?” tegur Althaf lagi saat Kalila sudah menatapnya dengan mata yang berbinar. "Kuy," ujar Kalila menahan tawanya seraya mengamit lengan Althaf, Althaf yang mendengar ucapan Kalila pun hanya tertawa seraya menggelengkan kepalanya pelan. Begitu sampai di lantai dasar, pemandangan yang mereka temukan adalah Kevin, Dean dan Alana sedang duduk diam di sofa dengan pandangan terfokus pada layar yang sedang menampilkan salah satu acara kartun yang memang digemari oleh hampir semua usia. Sesekali, Kevin dan Dean mendecih namun Alana tetap fokus memperhatikan. "Bang, Dek, ayo berangkat." Ketiga anaknya spontan menoleh dan langsung bangkit tanpa banyak bicara. Kevin yang berada di paling belakang mendengus saat Alana langsung bangun tanpa mematikan televisi terlebih dahulu. "Kebiasaan banget sih bocah," gerutunya. Sementara, Dean yang berjalan di depannya hanya menoleh sebentar sebelum tertawa kecil. Kedua anak laki-laki itu pun langsung berjalan keluar rumahnya menyusul anggota  keluarganya yang lain. "Eh, geser lo." Alana menggeser tubuhnya ke kiri saat Kevin membuka pintu mobil sebelah kanannya, namun belum sempat ia menempel pada pintu mobil sebelah kiri, pintu itu terbuka dan menampilkan Dean. "Sanaan dikit napa." "Ih, nyempit-nyempitin banget nih Abang!" Mendengar geraman putri bungsunya, Kalila dan Althaf nenoleh ke belakang namun Althaf kembali menolehkan kepalanya ke depan, karena mobil mereka sudah akan berjalan. "Pindah belakang, Dek, kalau sempit," sahut Althaf tanpa melihat anak-anaknya. Kalila hanya diam memperhatikan. "Nggak mau ah, masa Alana sendiri." "Ya lo kan nggak mau sempit-sempitan sama kita, belakang noh, luas," sahut Dean seraya memasang headset di kedua telinganya. "Bang Ke sama Bang De aja sana yang pindah, Alana nggak mau." "Lo bisa ga sih nyebut nama gue dengan bener? Nggak enak banget didenger," protes Kevin tiba-tiba karena namanya terdengar jelek ketika Alana yang menyebut. "Ya kan nama Abang gitu, gimana sih, ogeb dasar." "Alana," tegur Althaf dan Kalila bersamaan. Alana pun terkejut sendiri menyadari kata-kata yang lolos dari bibirnya itu. Sontak, Alana langsung menoleh ke arah Kevin seraya memasang wajah imutnya, "I'm sorry, Bang." Kevin melirik sekilas dan langsung menoyor dahi Alana. "Nggak usah sok imut deh." "Ih, Abang mah, orang minta maaf juga, cium nih galak-galak." Dean yang memang paling pendiam di antara mereka tertawa kecil saat mendengar ancaman Alana itu. Kevin saat itu hanya bisa bergidik kecil dengan diiringi tawa geli yang keluar dari bibir Kalila dan Althaf.      o0o "Assalamualaikum!" "Nenek!" Kalila menoleh ke arah Alana saat anaknya itu mengeluarkan teriakannya balapan dengan suara Kalila yang mengucap salam. Tidak menunggu waktu lama, pintu yang sedari tadi tertutup itu langsung terbuka dan menampilkan seorang laki-laki dengan senyum tipisnya. "Bang Sena!" teriakan melengking itu keluar bersamaan dari ketiga mulut anak Kalila dan Althaf. Spontan saja kedua orang itu menyingkir dari bibir pintu dan membiarkan ketiga anaknya memasuki rumah bersejarah itu dan langsung memberondong Sena dengan pelukan rindu. "Bang Sena, kapan balik ih! Kok nggak ngasih kabar kita-kita?" tanya Alana dengan nada penuh protes setelah melepas pelukan dari kakak sepupunya itu. "Baru tadi jam tiga pagi nyampe, nggak mungkin kan gue langsung nelfon kalian," sahut Sena seraya menggiring ketiga adik sepupunya itu menuju ruang tengah, meninggalkan ruang tamu yang dipenuhi oleh Laura dan para orangtua mereka. "Ya nggak apa-apa kali, Bang. Rumah Nenek sama rumah kita kan nggak jauh-jauh amat," sahut Kevin. "Tau nih, Bang. Kaya sama siapa aja," ujar Dean yang langsung menimpali kalimat Kevin tadi. "By the way, Bang, Abang nggak bawain kita oleh-oleh gitu dari Amerika?" Pertanyaan dari Alana itu spontan saja membuat kedua abang kandungnya menoleh bersamaan dengan mata melotot kesal. "Apaan sih lo, woi!" ucap Kevin dan Dean bersamaan lagi yang berhasil membuat Alana mengerucutkan bibirnya dan Sena tertawa. "Kan Alana cuman tanya, nggak bawa juga nggak apa-apa," sahut Alana berusaha membela diri. "Ya nantian aja tanyanya kan bis--" "Bawa kok, gue sempet beli sepatu aja buat kalian," sahut Sena yang memotong perkataan Kevin tadi. "Ih? Kita juga dibeliin, Bang?" tanya Kevin dan Dean bersamaan. "Nggak mau? Ya gue aja yang make kalo gitu." Dean langsung menoleh ke arah Kevin dan merangkul pundak Abangnya. "Ya mau lah, ya nggak, Bang?" Sena tertawa kecil melihat tingkah adik sepupunya ini, sepuluh tahun kemarin ia tinggal di Amerika bersama Faro dan Rena, namun itu tentu tidak menyurutkan tali persaudaraan yang mengikat mereka. Selama sepuluh tahun terakhir mereka berkomunikasi hanya melalui Line, Skype, Email atau sosial media lainnya. Sebenarnya, pertama kali bertemu setelah sepuluh tahun tidak bertemu itu cukup canggung bagi Sena. Tapi, melihat bagaimana tingkah sepupunya yang menurutnya asik, dia jadi asik-asik saja dan langsung menikmati kenyamanan dalam sekejap. o0o Dentuman musik malam ini berhasil menghentak detak jantung siapa saja yang mendengarnya, beberapa gadis terlihat mendekati area DJ yang sedang membentuk alunan keras namun menyenangkan untuk menggerakkan badan. DJ itu pun tidak terlalu ambil pusing, sesekali ia menatap ke depan dan kemudian kembali memainkan alatnya membuat orang-orang yang menari bebas di depannya loncat kegirangan. Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya David yang menjadi DJ tadi langsung melepas headphone dari telinganya, tugasnya sudah selesai dan sekarang akan digantikan dengan DJ lainnya. "Dav!" David menoleh ke belakang dengan sedikit mengangkat alisnya kemudian memicingkan matanya, suasana yang remang-remang tentu saja menyulitkan matanya untuk bekerja dengan fokus. Saat sadar itu orang yang menelfonnya tadi sore, David tanpa berpikir langsung melangkahkan kakinya ke meja bar yang ditempati orang itu. "Kenapa, Yo?" "Nih, duit buat lo," ujar Rio seraya menempelkan amplop berwarna coklat di d**a David. David meliriknya sebentar sebelum mengambilnya dan kembali meletakkan uang itu di atas meja. "Nggak, Yo. Gue ke sini bukan nyari duit, gue cuma ngilangin beban pikiran aja." "Ya tapi tetep aja, lo sudah sangat menghibur di sini, dan gue berhak bayar usaha lo." David mengulas senyumnya singkat. "Mending duitnya lo bagi terus kasih DJ lain yang lebih butuhin duit lo itu." "Orang tajir ya gitu tuh." David hanya tersenyum saat suara seorang bartender masuk ke telinganya. Memang, niatnya menjadi DJ di sini bukan mencari uang, uang dari Amru tentu saja sudah cukup berlebihan untuk menghidupi anak itu. Niat utamanya menjadi seorang DJ itu ya karena ia ingin terbebas sejenak dari segala macam tekanan yang diberikan Amru, tidak sering David bisa melakukan hal seperti ini. Sebulan sekali saja rasanya sudah untung, Amru terlalu kuat mengikatnya. "Yaudah, Yo, gue duluan sebelum Nenek gue dateng ke sini." "Anjir. Jangan pernah biarin Nenek lo dateng ke sini lagi, gue nggak mau tempat gua hancur kaya waktu itu." David tertawa pelan, beberapa bulan lalu David memang tertangkap basah pergi ke Club milik Rio, dan Amru pun tidak bisa diam saja. Beberapa orang suruhannya dipanggil untuk menghancurkan seisi ruangan milik Rio. Dan setelah itu Rio cukup banyak menguras dompetnya agar Club miliknya kembali seperti semula. "Nggak bakal, dah ya, gue  balik." o0o David melepas helm-nya begitu motornya sudah terparkir sempurna di halaman kos-kosan elit yang ditempati Karel. Karel memang tidak tinggal bersama orangtuanya karena orangtuanya tinggal menetap di Bandung, tempat usaha Ayahnya berjalan. Dengan langkah santainya ia berjalan ke lantai dua gedung itu, jam sudah menunjukkan tengah malam namun suasana di sini masih tidak terlalu sepi, setidaknya beberapa lampu kamar masih menyala dan membuat lorong gedung itu lumayan hidup di waktu selarut ini. David mengetuk tidak sabaran pintu kamar yang bertuliskan Karel's Area, hampir sepuluh menit pintu itu tidak terbuka sebelum akhirnya terbuka dengan menampilkan wajah mengantuk Karel lengkap dengan bantal guling di pelukannya. "Lo ngapain malem-malem ke sini anjir." David tidak sempat menghindar saat bantal guling itu menghantam kepalanya. Laki-laki itu mendengus dan langsung mendorong Karel kembali masuk ke kamar. "Gue nginep sini ya." "Ngapain anjir, rumah gede-gede lo tinggal demi kosan ini," sahut Karel dengan suara seraknya yang sudah kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. David diam saja seraya membuka jaket hitamnya, melemparnya asal ke sofa sebelum akhirnya ikut menjatuhkan tubuhnya di kasur Karel. "Geser dikit," ujar David seraya mendorong pinggang Karel dengan kakinya. Karel mendengus keras dan langsung berguling ke sudut kasur, menempel dengan tembok. David pun ikut bergeser agak ke tengah dan langsung memunggungi Karel. Mata laki-laki itu menatap sebuah figura yang terpampang tepat di depan matanya, figura yang memang diletakkan di meja dekat kasur milik Karel. Figura itu jelas menampilkan wajah Karel dengan kedua orangtuanya. Matanya terjatuh pada sosok perempuan yang merangkul Karel dengan hangat. Yang ia lihat itu Ibunya Karel namun perasaan rindu yang tiba-tiba merayap di dalam dadanya tidak bisa ia sembunyikan. David tersenyum sendu sebentar sebelum kembali memanggil Karel. "Rel, Karel." "Hm?" Karel hanya balas dengan gumaman samar. "Nyokap gue apa kabar ya sekarang?" Hening sejenak, Karel tidak menjawab dengan kata-kata namun David merasakan sebuah bantal membentur kepala belakangnya. "Tidur udah, jangan mikirin itu." To be continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD