Do You Like Her?

1469 Words
"Dari mana aja lo k*****t, jam segini baru masuk kelas." Alana meletakkan tasnya di meja dan langsung menenggelamkan wajahnya di sana.  Dalam hati merasa bersyukur juga, bahwa jam ketiga sampai keempat nanti kelasnya tidak ada pelajaran. "Ditanyain juga nih bocah," ujar temannya yang lain seraya menepuk kepala belakang Alana. Alana mendengus seraya mengangkat kepalanya dan langsung memukul lengan Ralin yang tadi menggeplak kepalanya. "Sakit tau," ringis Alana seraya mengusap kepala belakangnya. Gadis itu merubah posisinya menjadi bertopang dagu. “Tau nggak sih?” Mendengar kata-kata tersebut, teman-teman Alana yang lain segera merapatkan posisi kepala mereka masing-masing, siap mendengarkan gosip yang akan diberikan oleh Alana. “Gue tadi tuh telat.” “Oke, terus?” pancing Reva, temannya yang beramput pendek dan berwajah manis. “Tau nggak bareng siapa?” tanya Alana yang hanya mendapat gelengan dari teman-temannya. “Bareng David, anak konglomerat kelas sebelah itu.” “So, where’s the problem?” tanya Ralin, tidak tahu di bagian mana gosip panasnya. “Where’s the problem?” beo Alana. “There’s a problem!” ketus Alana setelahnya. “Lo tau nggak sih, dia bebas dari hukuman gitu aja— oke, ralat, bukan bebas tapi katanya dia ada hukumannya sendiri di kelas. Sedangkan gue? Gue dihukum di pepustakaan selama dua jam tadi, gila nggak tuh?” “Bukannya emang gitu, ya?” sahut Ralin, berhasil membuat Reva dan Alana menatap ke arahnya dengan pandangan bertanya. Ralin membetulkan posisi duduknya. “Serius, gue beberapa kali pergokin David datang terlambat dan dia boleh masuk gitu aja ke kelas.” “Enak banget anjir si David,” gerutu Alana, merasa dicurangi oleh laki-laki itu. “Dia nyogok guru apa—“ “Permisi.” Ketiga anak perempuan itu kontan saja menoleh ke arah pintu kelas yang barusan dibuka oleh seseorang, Alana langsung mendelik saat ternyata orang tersebut adalah David. Dengan tatapannya, ia mengibarkan bendera peperangan sementara David hanya meliriknya sekilas sebelum didatangi oleh ketua kelas dari kelas Alana. “Ada apa, Bro?” tegur Dion, ketua kelas XIIS-1. David menyerahkan beberapa lembar kertas yang ada di tangannya. “Dari Bu Rini karena nggak bisa ngajar kelas kalian, istirahat dikumpul.” “Oke, thanks ya,” sahut Dion seraya menepuk bahu David singkat lalu membagikan kertas selembaran itu kepada teman-teman sekelasnya. Alana, Reva dan Ralin kembali bertukar pandang. “Ngeselin kan mukanya?”                                                                                                                                                                                 o0o Setelah berkutat dengan sepuluh soal ekonomi tentang Perdagangan Internasional, akhirnya dering bel SMA Santer terdengar nyaring ke seluruh penjuru sekolah. Alana yang dari tadi sudah kelaparan karena tidak sempat sarapan langsung terlonjak dari kursinya. Tugasnya sudah dari tadi ia kumpul ke Dion, tapi karena belum istirahat ia dilarang melangkahkan kakinya ke luar pintu oleh Dion. "Eh, ayo buruan, keburu rame," ujar Alana sedikit berdecak menatap teman-temannya yang sedang memindahkan tumpukan buku dari atas meja ke kolong meja. "Sabar dikit anjir," dengus Reva dengan menatap Alana sekilas. "Udah, yuk, yuk." Ralin langsung mengamit lengan Alana, membawa gadis itu ke kantin dengan diikuti Reva di belakang. Koridor SMA Santer padat merayap jika sudah istirahat seperti ini. Nyaris semua murid tumpah ruah menuju kantin untuk mengisi perut mereka, ada juga beberapa anak yang memilih makan di rumah makan yang ada di sekitar sekolah. David yang saat itu diseret paksa oleh teman-temannya tidak bisa melawan untuk tidak ikut ke kantin. Biasanya di jam istirahat, David hanya diam di kelas. Mengistirahatkan tubuh atau pun mengumpulkan tenaga untuk menghadapi segala macam kemauan Amru nanti ketika ia sampai di rumah. "Dav, senyum dong, itu muka kaku banget udah mirip  beha baru," celetukan Karel itu tentu saja mengundang ledakan tawa dari Rama dan Aron. David hanya melirik sekilas sebelum menggeplak kepala belakang Karel dengan kesal. "Berisik banget sih lo." "Tau nih, berisik lo, huu!" Rama dan Aron langsung menyoraki Karel setelah David menyelesaikan kata-katanya. Mereka memang sudah kenal David cukup lama, jadi mereka tidak terlalu tersinggung jika David ketus seperti itu. "Untung ganteng," gumam Karel seraya mengusap-ngusap dadanya, seolah-olah memberi ketenangan untuk dirinya sendiri. "Yeee, si b**o," dengus Aron dan Rama bersamaan. Sementara David hanya terkekeh sekali menanggapinya. Jika David boleh jujur, ia ingin sekali bertingkah seperti ketiga temannya ini. Bertingkah normal layaknya remaja. Tapi apa daya, sejak kecil ia sudah dididik keras oleh Amru, dari yang ia bisa ingat selama hidupnya, ia tidak pernah mengucapkan kalimat Mama atau Ibu ataupun lainnya. Amru mendidik David menjadi pribadi yang kaku dan serius. Katanya, setiap pemimpin perusahaan harus memilik sikap seperti itu demi membuat kolega mereka terkesan. Sejak usianya empat belas tahun, Amru sudah mengenalkan tuxedo pada David, anak laki-laki itu dihias sedemikian rupa untuk menemani Amru menghadiri beberapa acara yang diselenggarakan rekan kerjanya. Baik seputaran Indonesia atau pun ke Negara orang. Amru benar-benar serius menyiapkan mental David untuk menjadi seorang pemimpin. Brugh! Suara debuman itu sontak menghentikan obrolan ringan ketiga temannya, David pun langsung menoleh ke asal suara dan sudah mendapati seorang gadis terjatuh dengan b****g lebih dulu mencium lantai koridor. David mengernyit kesakitan melihatnya, namun sisi lain dari dirinya ingin tertawa ketika melihat raut wajah gadis tersebut yang tampak menggerutu. "Aduh!" serunya kesakitan seraya memegangi bagian belakangnya yang terasa kebas. David menahan bibirnya yang berkedut ingin tersenyum. Wajah gadis itu konyol dan David merasa terhibur hanya dengang melihatnya dari kejauhan. Tidak lama, seorang adik kelas berlari menghampiri gadis yang terjatuh tadi dan langsung mengambil papan skate-nya yang tadi menabrak kaki gadis itu. "Kak, maaf ya, nggak sengaja." "Lain kali jangan main skate di koridor! Sakit nih p****t gue nyium lantai!" bentak gadis itu keras dan siswa-siswi yang mendengar itu pun tertawa kecil. Sementara, Reva dan Ralin langsung menggeplak kepala belakang temannya agar berhati-hati dalam memilih kosa kata. "Iya, Kak. Maaf." "Yaudah sana, pergi lo," ujar gadis itu ketus dan adik kelas tadi pun langsung berlari untuk bergabung bersama teman-temannya. David masih saja memperhatikan gadis dari kelas IPS Satu itu. Gadis itu terlalu gampang berekspresi sehingga David berpikir bahwa kehidupan mereka berbanding terbalik. Jika David hanya mengenal abu-abu, ia yakin gadis itu mengenal banyak warna. "Namanya Alana Putri Azarine," suara itu menyentakkan David dari lamunannya. Kepalanya menoleh ke kiri dan mendapati Rama di sana dengan cengiran lebarnya. "Siapa?" "Cewe yang lo liat dari tadi itu." David terdiam sebentar kemudian berdeham kecil. "Tau kok," ujarnya yang langsung berlalu meninggalkan teman-temannya yang sedang tertawa. "Lo naksir, ya?” David hampir oleng saat Karel bergelendot di bahunya. “Nggak apa-apa kok, daripada lo jalan sama Nenek lo terus. David tertawa kecil sambil menyikut perut Karel. “Sialan, lagian gue cumin sekedar tau nama itu cewe aja, mana mungkin bisa suka?” “Siapa tau ‘kan?” “Kejauhan lo mikirnya,” seru David seraya menoyor dahi Karel dan langsung bergabung dengan Rama dan Aron yang berjalan tiga langkah di depan mereka.                                                                                 o0o "Assalamualaikum," ujar Alana begitu memasuki rumahnya. Pandangannya melirik ke arah dua ransel besar yang tergeletak di kaki sofa. Spontan, Alana menggigit bibir bawahnya untuk menahan keinginannya untuk berteriak kegirangan. "Waalaikumsalam," sahut seorang lelaki dan Alana berusaha mencoba bersikap cuek ketika menatap Dean yang baru saja selesai mandi dan kini tengah duduk di ruang tengah/ "Kayanya ada yang kangen gue nih." Alana masih bersikap cuek saat mendengar suara Kevin yang sedang berjalan menuruni anak tangga rumah mereka. Gadis itu mengambil air mineral dari kulkas dan langsung meneguknya. "Sok jual mahal," ledek Dean dengan terkekeh kecil menatap Alana yang berjalan keluar dari dapur. Alana pun ikut tertawa dan langsung berlari menuju Dean dan Kevin yang sedang duduk berdampingan, sudah cukup ia pura-pura bersikap tidak merindukan kedua Abangnya ini. Alana melompat ke tengah-tengah Abangnya dengan memeluk leher kedua lelaki itu dengan kuat. "Lama banget perginya, Alana nggak ada teman tau." "Yang penting selamat sampai rumah kan?" sahut Kevin seraya menggeser duduknya agar Alana bisa masuk ke tengah-tengah. "Ya, harus lah!" "Kirain seneng kalau kita nggak balik ke rumah lagi." "Ih, apaan sih Bang Ke, Alana nggak gitu ya," sahut Alana kesal dengan kata-kata Kevin tadi. "Ya deh, serah lo, Dek." "Oh iya, Abangs nggak  bawa oleh-oleh gitu buat Alana?" tanya Alana seraya menatap Kevin dan Dean bergantian. "Mau gue bawain batu gunung emangnya?" sahut Dean dengan alis terangkat. "Ih, ya nggak gitu juga. Apa kek gitu bawain, atau seengganya bawa nama Alana ke gunung terus nanti Abang foto sambil pegang namanya Alana gitu." "Idih, males banget," ujar Kevin dan Dean bersamaan seraya menoyor kepala Alana dari kanan dan kiri. "Ih, Bang! Ngeselin banget sih." Kedua Abangnya itu hanya tertawa melihat Alana yang merengut dengan mengerucutkan bibirnya. Selama satu minggu di Rinjani, Kevin dan Dean tidak bisa berbohong kalau mereka memang merindukan Alana. Bahkan Kevin, dirinya sempat berhalusinasi mendengar Alana memanggilnya, padahal saat itu mereka beserta rombongan berada di tengah hutan yang pekat. Tentu saja hal itu membuat Dean ngeri. Tanpa pikir panjang, Dean langsung menggeplak kepala Kevin agar Abangnya itu berhenti menoleh ke belakang untuk memastikan ada tidaknya Alana. "Yaudah deh, Bangs. Alana mau mandi dulu." To be continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD