"Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk. Kata yang ada di Langit sana, kalau baik ya alhamdulillah, kalau buruk ya disyukuri saja."
Sapardi Djoko Damono
•••••
Darren Morrano Smith Pov
Malam panjang yang menguras emosi. Aku melanjutkan obrolan perihal masa lalu Diana sampai pukul dua belas malam. Dari situ banyak kutemui keganjalan keganjalan tentang kehidupan Diana.
Aku merasa Iba dengan dia. Dia tidak pernah merasakan bahagia. Hidupnya susah, padahal dia anak orang berada yang cukup disegani. Pamor keluarganya bahkan bisa menyaingi pejabat di negeri ini.
Aku juga bertukar pemikiran dengan tante meta tentang kesehatan mental Diana. Tante meta cukup terkejut saat ku menceritakan ketakutan ketakutan yang sering Diana alami. Awalnya tante Meta menolak menceritakan kondisi kejiwaan Diana kecil, tapi mungkin karena kasihan jadinya tante meta menceritakan semua.
Aku bersyukur memiliki mereka. Meskipun bukan keluargaku, tapi mereka sudah menganggapku bagian dari mereka. Mereka semua bahkan berjanji akan membantuku memecahkan masalah Diana.
Setelah memastikan mama papa Andre, dan juga andre pulang, aku bergegas ke kamar. Seperti saat meninggalkan tadi, aku membuka pintu kamar ini dengan sangat pelan. Gelap, memang aku mematikan lampunya, agar Diana lebih nyenyak tidur.
Aku berjalan menuju tempat tidur. Langkahku terhenti, telingaku menangkap suara seperti orang menangis. Aku mengedarkan pandanganku, mencari suara. Tapi karena gelap jadi aku tidak menemukan suara itu. Aku berjalan lebih cepat menuju tempat tidur. Aku mendapat Diana tidak ada di sana.
Lampu kamar langsung ku nyalakan. Diana, dia duduk di lantai pojokan kamar. Kedua kakinya dilipat dan dia memeluknya erat. Ia menyembunyikan wajahnya pada celah kedua kaki. Tubuhnya bergetar, dia menangis. Seringkali aku melihat dia menangis, tapi rasanya tangisan ini yang paling menyayat.
"Diana," panggilku. Aku mensejajarkan tubuhku sama dengannya. Tanganku refleks mengusap punggung wanita itu. Diana menengadah. Matanya merah, wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata.
Kedua tanganku memegang mukanya. Kuusap air mata yang jatuh dan kurapikan rambut yang berantakan.
"Ada aku, jangan takut." Netraku bertemu dengan netranya. Aku membawanya ke dalam pelukanku.
"kamu mendengar percakapan kita tadi?" Diana mengangguk.
"Menangislah kalau itu membuatmu tenang, tapi setelahnya kamu harus bangkit."
"Aku jahat___," ucap Diana disela tangisannya.
"Diana, kamu nggak jahat, kamu hanya tidak tau."
"Anterin aku ke makam orangtuaku," pinta Diana. Dia berusaha berdiri namun ditahan oleh tangan Darren.
"Ini udah malem, besok aku anterin. Sekarang kamu istirahat, kasihan adek, dia butuh istirahat," bujukku. Dia mengusap perut Diana penuh sayang.
Diana berusaha bangkit untuk berdiri. Beberapa kali mencoba tapi kakinya gemetar. Alhasil dia kembali duduk. Aku ambil badan dan langsung membopongnya ke kasur.
"Darren____," lirih diana. Tangisannya sudah mulai mereda.
"Apa? tidur diana, sudah malam." Aku memeluk tubuhnya erat. Aku memejamkan mataku, terus terang saja aku sangat mengantuk.
"Darren____, aku lapar," kata diana lirih tepat di telingaku. Aku langsung berdiri akan mencarikan dia makanan. Mungkin menangis sudah menguras energinya, jadi dia lapar.
"Kamu mau kemana?"
"Katanya laper, aku mau ambil makanan." Aku menoleh ke arah Diana.
"Aku mau nasi kapau, lauknya kepiting."
Drama ngidam lagi. Malem malem suruh cari nasi kapau. Tidak enak juga menyalakan mobil malam malam, mengingat ini bukan rumahku. Tapi jika tidak dituruti, bisa dipastikan dia akan menangis lagi. Aku berlalu meninggalkan Diana. Ahh, lebih baik pesan go-food saja.
***
"Berangkat ke makam sekarang?" tanya Diana. Begitu membuka matanya dia langsung menanyakan hal demikian kepada Darren. Dia takut Darren akan mengingkari janjinya.
"Mandi terus makan, udah ditunggin ivan sama mama papa nya, nggak enak." Darren bangun lebih pagi daripada Diana. Bahkan dia sudah selesai mandi pagi.
"Kamu jadi anterin aku ke makam orangtua ku kan?" tanya diana memastikan.
"Iya, masalahnya aku belum tau lokasi tepat makamnya dimana, cuma sementara dugaan sih di San diego hills, nanti kita coba ke sana."
"tapi___."
"Kamu itu kebiasaan, dikerjakan dulu jangan kebanyakan pakai tapi," ucap Darren sembari mengacak rambut panjang Diana, gemas.
"Tapi aku nggak bawa baju," bentak Diana. Dia tidak terima diperlakukan demikian oleh Darren. Sifat sensitf kehamilannya membuat dia marah.
"Pake baju ini dulu, aku juga nggak ganti baju. Nanti kita balik ke hotel dulu sebelum ke makam, sekalian check out," ucap Darren melembut. Matanya melihat ke arah baju yang saat ini dikenakan Diana.
***
"Selamat pagi Diana, gimana tidurnya, nyenyak?" tanya tante meta yang sudah duduk di meja makan bersama suami dan anaknya.
"Nyenyak tante," jawab Diana sembari menyunggingkan senyumnya.
"Diana mau makan apa? tante masak nasi goreng, sandwich, sama oatmeal. Mau yang mana?" Tante meta bersiap akan mengambilkan makanan Diana.
"Sandwich saja tante," kata diana.
Meta pun dengan lihai mengambil sandwich dan menghidangkannya di piring yang ada di depan Diana.
"Sudah berapa bulan kandungannya?" tanya om Doni.
"lima bulan jalan enam bulan," jawab Diana sambil mengelus perut buncitnya.
"Wah sudah bisa dilihat jenis kelaminnya" tukas meta antusias.
"Seharusnya sudah bisa tan, tapi Darren nggak mau tau sekarang, biar jadi surprise aja," ujar Darren membantu menjawab pertanyaan Meta.
"ahh, nggak seru, kan jadi deg-deg an," cibir om Doni.
"Diana, dihidung kamu ada apanya itu?" tanya ivan yang duduk bersebelahan dengannya. Hidung diana keluar cairan yang dari kejuhan berwarna hitam.
Diana refleks memegang hidungnya.
"Darah diana," pekik meta.
Darren mengambil tisu yang ada di atas meja makan. Dia mengusapnya pada hidung Diana yang mengeluarkan darah. Semua yang ada di meja makan mendadak panik.
"Kepalanya diangkat di, hadapnya ke atas," perintah Darren. Setaunya untuk menghentikan mimisan adalah dengan menengadahkan kepada.
"Jangan, kamu nunduk, biarkan darahkan turun keluar," larang meta.
Menengadahkan kepala ke atas bisa menyebabkan darah menetes ke bagian belakang tenggorokan, bukannya menghentikan aliran darah. Berkali kali ganti tisu, namun darah yang keluar belum berhenti juga.
"Kompres pake es aja ma," kata dion memberikan usulnya. Ivan pun langsung dikomando dion untuk mengambil air es untuk mengompres Diana.
Selain dikompres, meta juga mencubit bagian atas lubang hidung diana dengan ibu jari dan telunjuk. Setelah beberapa saat kegiatan itu dilakukan akhirnya mimisan bisa dihentikan.
"Darren, lebih baik Diana diperiksakan ke dokter," ujar meta memberitahu Darren. Mimisan memang biasa terjadi pada ibu hamil, tapi untuk lebih memastikan keadaannya lebih baik pergi ke dokter.
•••••
Sorry Typo ?
WARNING !!!
Jangan lupa tekan ?
True Love
©2020 laelanhyt
All rights reserved