"Cintailah semua orang, tapi percayailah beberapa saja. Jangan berlaku buruk kepada siapapun"
[William Shakespeare]
•••••
Hari persalinan semakin dekat. Darren bahkan menolak permintaan kantor untuk ikut serta seminar pengembangan teknologi di Singapura. Jasa design rumah juga untuk sementara ditutup. Dia selalu pulang sore paling lambat pukul enam sore. Sesulit apapun pekerjaan di kantor, dia tidak pernah ambil lembur. Semua dia lakukan demi Diana. Dia hanya ingin menjadi suami siaga yang menemani istrinya saat melahirkan.
"Apa aku ambil cuti aja ya?" tanya Darren pada Diana saat akan berangkat ke kantor.
"Jangan, perkiraan dokter kan masih seminggu lagi," tukas Diana. Diana mengantarkan Darren menuju mobilnya.
"Aku nggak tenang kalau di kantor," kata Darren gelisah.
"Nggak usah dipikirin, aku aja belum ada tanda tanda mau melahirkan," ujar Diana meyakinkan Darren untuk terus bekerja.
"Nanti kalau ada apa langsung hubungi aku. Ponsel nggak boleh mati, wajib lapor satu jam sekali." Diana menangguk angguk mendengar penuturan Darren. Dia paham, hanya dengan itu bisa membuat Darren tenang.
"Siap bos." Diana mengangkat telapak tanggannya, memberikan hormat pada Darren. Darren mengusap rambut Diana lembut.
"Aku berangkat, hati-hati di rumah. Duduk aja nggak usah kebanyakan jalan, nggak boleh capek capek," titah Darren ketika sudah memasuki mobil. Dia membuka kaca HRV-nya untuk memberikan titah itu kepada Diana. Diana pun melambaikan tangan seiring dengan melajunya mobil Darren.
***
Suasana pagi yang menjelang siang itu begitu terik. Tidak seperti biasanya. Diana rencananya akan berbelanja sayur pada tukang sayur keliling yang biasa mangkal di dekat taman kompleks, tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Pagi neng gelis, mau masak naon?" sapa tukang sayur denga logat sundanya. Diana sudah akrab dengan akang tukang sayur, karena hampir setiap hari dia berbelanja di sana.
"pagi, pagi juga ibu ibu," sapa Diana. Belanja sayur memang menjadi sarana ibu ibu kompleks untuk berkumpul.
"Dek, perutnya udah besar gitu kok jalan jalan jauh sih," omel bu Retno. Seperti biasa, beliau akan selalu cerewet setiap saat. Please, jaraknya aja tidak lebih dari seratus meter, ini tidak jauh.
"Selaian biar kakinya lemas bu," ucapku. "Nggak enak tiduran terus, kan badan jadi kaku," lanjutku. Aku sambil memilah sayur sayuran. Rencananya aku akan memasak capcay dan rica ayam. Resepnya baru aku pelajari di youtube semalam. Salah satu dampak selama aku tinggal bersama Darren adalah aku jadi sering memasak, mencoba banyak resep baru.
"Atau jangan jangan suami kamu yang minta kamu belanja gini ya," kata bu Retno curiga.
"Nggak kok bu. Suami saya nggak minta begitu, cuma saya yang nggak tega, kalau pulang kerja capek tapi di rumah nggak ada makanan."
"Dek Diana ini memang terbaik, masih muda tapi paham kewajiban sebagai istri. Saya dulu waktu masih pengantin baru, kerjaannya tiap hari DO," kata mbak Sekar membandingkan dengan kehidupannya.
Dia hanya tersenyum menanggapi omongan senior dalam hal berumahtangga itu. "Jadinya berapa kang?" tanya Diana pada tukang sayur.
"Tiga puluh ribu neng," jawab tukang sayur. Si tukang sayur pun memasukkan belanjaan Diana pada kantung plastik.
Setelah membayar dan mendapat kembaliannya, Diana pamit pulang. "Ibu-ibu, saya permisi mau pulang dulu," pamit Diana sopan.
Baru beberapa langkah berjalan, perut Diana keram. Dia mengaduh keras. "Aduh____," teriak Diana. Tangan kirinya memegang pinggang sedang tangan kanannya memegang perut. Sayuran dalam plastik yang baru dibelinya jatuh ke tanah dan isinya berhamburan keluar.
Ibu-ibu yang mendengar teriakan Diana dengan spontan melihat Diana. Kaki Diana sudah tidak kuat menopang tubuhnya. Dia jatuh ke tanah bertutup aspal.
"Dek Diana mau melahirkan," teriak mbak Sekar yang terlebih dulu berlari mendekati Diana.
"Sakit mbak," rintih Diana. Dia baru merasakan sakit yang teramat sangat pada saat ini. Sebetulnya dari semalam Diana sudah merasakan mules di perutnya, tapi dia menghiraukannya. Dia pikir hanya sakit perut biasa, karena telat makan. Jangan salahkan dia, karena ini kehamilan pertamanya, dan tidak ada yang membagikan pengalaman seputar kehamilan.
"Tarik nafas dek, pelan pelan buang," ucap bu Retno. Beliau berusaha tenang untuk membantu Diana.
"Sekar, cepat ambil mobil, kita antar ke rumah sakit," perintah bu Retno pada Sekar.
"mobil saya nggak ada di rumah bu," jawab Sekar gusar. Dia panik melebihi Diana. "Panggil ojol saja ya bu," lanjut Sekar.
"Nanti kelamaan, pakai mobil saja saya. Ambil di rumah, kuncinya minta ke anak saya."
"Ibu saja yang ambil, sini dek Diana biar saya pangku." Sekar berusaha memindahkan kepala Diana yang berada dipangkuan bu Retno.
"Saya kan takut naik mobil, udah kamu ambil, jangan kelamaan." Bu Retno sebenarnya bisa mengendarai mobil, hanya saja dulu dia pernah menabrak gerobak soto di pinggir jalan, itu membuatnya agak trauma.
Sekar pun bergegas menuju rumah bu Retno untuk mengambil mobil. Tidak menunggu lama, mereka membawa Diana ke rumah sakit dengan mengendarai mobil bu Retno.
"Sekar fokus, jangan ngebut, nyawa kita tetap nomor satu," ucap bu Retno cemas. Beliau tidak ingin ada kejadian lalu yang terulang karena kebut-kebutan.
"Ibu, suaminya belum dihubungi," kata Sekar mengingatkan bu Retno.
"Saya nggak ada nomornya, kalau kamu ada coba telepon."
"Saya nggak ada bu."
"Yasudah nanti saja yang penting sampai rumah sakit dulu."
***
"Suami pasien?" panggil suster.
"Suaminya belum datang sus, kami tetangganya," jawab bu Retno.
"Mohon untuk mengisi administrasi dulu bu," kata suster memberi perintah.
Sepeninggal suster, bu Retno dan Sekar bingung perihal cara menghubungi Darren. Tidak ada satupun diantara mereka yang memiliki nomor Darren. Sedangkan ponsel Diana ketinggalan di rumah, tidak dibawa.
"Assalamualaikum pa, papa punya nomornya Darren tetangga sebelah nggak?" tanya sekar pada suaminya melalui sambungan telepon.
"...."
"Istrinya mau melahirkan."
"...."
"Coba papa hubungi deh, minta dia dateng ke rumah sakit siloam sekarang."
"...."
"Papa send aja nomornya kalau gitu, biar mama sendiri yang hubungi dia."
Begitu panggilan dimatikan, chat berisi nomor Darren masuk.
"Siang pak, saya Sekar tetangga sebelah. Diana mau melahirkan, sekarang ada di rumah sakit Siloam___."
***
Darren Morrano Smith pov
Hatiku tidak bisa tenang dari berangkat kerja. Diana selalu memenuhi pikiranku. Mengerjaan tugas yang biasanya hanya memerlukan waktu tidak lebih setengah jam, kini menjadi satu jam lebih. Dokumen di hadapanku ini malah hanya berisi coret-coretan. Padahal ini dokumen untuk bahan meeting nanti sore.
Saat jam makan siang ponselku berbunyi. Ada sebuah nomor tidak dikenal yang menghubungiku. Aku mengabaikannya pada panggilan pertama. Biarlah mungkin hanya orang iseng. Tapi nomor itu ternyata memanggil lagi.
"Halo," sapaku membuka obrolan.
"Siang pak, saya Sekar tetangga sebelah. Diana mau melahirkan, sekarang ada di rumah sakit Siloam___."
Aku langsung memutus panggilan itu tanpa mendengarkan kata lanjutan. Sebelum berangkat ke rumah sakit aku izin terlebih dahulu pada bagian HRD. Bagaimanapun aku karyawan di sini, bukan bos yang seenaknya bisa meninggalkan kerjaan.
•••••
Sorry Typo ?
WARNING !!!
Jangan lupa tekan ?
True Love
©2020 laelanhyt
All rights reserved