Mengambil batu petuah

1195 Words
“Batu sukma itu ada di museum ini?” tanya Lusi sambil menatap museum dengan tekstur bangunan tua yang sudah tutup. Rangga menganggukkan kepalanya. Ia menoleh ke belakang, menatap Nina. “Aku tidak bohong Nina. Jika kamu ingin mengubah takdir tunanganmu, Andre dan juga adikmu Luna, kamu harus mengambil batu sukma yang tersimpan di museum ini. Tapi batu sukma merah delima itu konon hanya mau menampakkan petuahnya pada yang diinginkannya saja. Semoga kamu adalah salah seorang yang diinginkan batu sukma itu ....” Sejenak hening. Apa yang diucapkan Rangga seakan menggema di telinga Lusi dan Nina. “Apa ini serius?” tanya Nina dengan tatapan bergetar. Rangga menarik nafas kesal. “Sejak tadi aku berbicara serius. Tapi kenapa kalian menganggap aku hanya bercanda?” “Karena ceritamu memang tidak masuk akal,” sahut Lusi. “Nenekku tidak akan pernah bicara bohong. Batu sukma petuah itu nyata,” kata Rangga lagi penuh keyakinan. “Ayo turun, kita masuk lewat pintu belakang.” Dahi Nina berkerut. “Kita akan mencuri batu itu?” “Minimal kita melihatnya. Batu sukma itu memang sudah sangat lama di taruh di museum Kota sejak pertama kali ditemukan di dalam gua yang ada di dekat danau Lentera. Danau yang berada di bagian utara Kota ini,” jawab Rangga sambil membuka pintu mobil. Lusi yang duduk di bagian kursi depan menatap ke arah Nina yang berada di kursi belakang. Mereka bertatapan sebentar, memikirkan hal yang akan mereka lakukan. “Kakak mau turun?” tanyanya meminta kepastian. Karena jika Nina tidak tertarik mengikuti Rangga. Dia pun tidak akan turun. Karena bagi Lusi apa yang diceritakan Rangga ini mustahil. Bagaimana bisa mereka kembali ke masa lalu dan mengubah takdir lewat sebuah batu? “Aku hanya ingin tahu, apa yang dikatakan temanmu itu benar atau tidak,” kata Nina dan kemudian turun dari mobil. Nina dan Lusi mengikuti langkah Rangga yang lebih dulu berjalan di depan. Baru sampai di pintu museum, Rangga sudah merasa janggal. Karena tidak biasanya museum tidak dijaga oleh satpam. Padahal ia sudah membawa dua bungkus rokok dan juga akan memberikan uang pada satpam agar diizinkan masuk ke dalam. “Kamu lihat banget Ga, udah biasa ke mari malam-malam ya?” tanya Lusi sambil mengamati kesekeliling. “Aku pernah ke mari tiga kali saat malam,” jawab Rangga sembari tetap fokus berjalan menuju pintu belakang. “Hah tiga kali?! Itu mah sering. Memangnya kamu mau ngapain ke sini malam-malam?” Lusi menjadi ingin tahu. Nina hanya menatap punggung Rangga yang sedang berusaha membuka pintu belakang musium. Dan lagi-lagi anehnya, pintu belakang museum ini tidak dikunci. Rangga terdiam. Merasakan kejanggalan. “Ada apa?” tanya Nina saat melihat air muka Rangga mengerut. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya dan kemudian membuang rasa kejanggalannya itu jauh-jauh. “Ayo masuk! Mumpung engga ada satpamnya!” Rangga, Nina dan Lusi pun masuk ke dalam museum yang gelap. Dengan bantuan cahaya senter dari fitur ponsel yang dipegang oleh Rangga. Sedikit cahaya membantu penerangan mereka. Nina dan Lusi terdiam sejenak. Pandangan mereka berpendar mengamati seluruh bagian dalam museum. Nina baru sadar jika museum ini adalah museum barang-barang peninggalan sejarah. Banyak sekali benda-benda aneh, seperti kapak purba yang telah ditemukan. Tembikar kuno di jaman sebelum masehi dan lain sebagainya. Tapi satu benda di museum yang menyita perhatian adalah sebuah batu bulat berukuran sedang berwarna merah delima yang dikelilingi oleh kaca transparan dan tebal. Batu yang nampak seperti batu alam itu berpendar bak lampu yang menerangi ruangan saat Nina, Rangga dan Lusi mendekat. “Aneh ...,” ujar Rangga lirih. Tiga kali sebelumnya dia kemari saat malam, hingga menyuap satpam agar diperbolehkan masuk, Rangga tidak melihat batu sukma ini berpendar indah seperti ini. Tapi sekarang batu sukma ini bersinar dengan indahnya. Apa jangan-jangan salah satu di antara mereka adalah salah seorang yang diinginkan batu itu?, tanyanya di dalam hati. “Batu ini sangat indah ....” Nina memuji. Tatapannya tidak bisa lepas dari batu itu. “Bagaimana caranya mengubah takdir dengan batu ini Rangga?” tanya Lusi dengan kedua alis terangkat ke atas. Rangga terdiam. Ia tidak bisa menjawab karena memang tidak tahu. “Rangga, kenapa diam?” tegur Nina. “Aku diam kerena aku tidak tahu,” jawab Rangga dengan pandangan mata tidak bisa beralih pada batu petuah yang bersinar itu. “Bagaimana sih ... Aku kira kamu tahu, ternyata tidak tahu ...,” gerutu Nina sebal. “Nenekku cuma bilang, batu sukma merah delima yang ditemukan di perut bumi pada beberapa ratus tahun yang lalu di Kota ini memang memiliki keajaiban. Tapi tidak semua orang bisa melihatnya. Beberapa kali aku ke mari, aku tidak pernah melihat batu sukma ini berpendar seperti ini ...,” jelas Rangga dan langkah mereka semakin dekat. Bola mata Nina berbayang warna batu sukma itu, batu yang kononnya memiliki petuah yang maha dahsyat. Manik mata Nina kini bercahaya orange, merah dan keemasan. Lalu, tiba-tiba saja dia melihat bayangan Andre di dalam batu yang sedang berkilau itu. Bayangan samar Andre dan juga Luna, mereka seperti sedang berpelukan mesra. Nina menggelengkan kepalanya sambil memejamkan mata. Lalu ia membuka kelopak matanya kembali sambil memicing. Merasa pandanganya kurang jelas, Nina membungkuk dan menempelkan tangannya pada pembatas kaca tebal yang mengelilingi. “Krek!” Suara kaca pembatas yang tiba-tiba terbuka. Rangga dan Lusi yang berdiri tepat di belakang Nina, mereka bertatapan. Nina seraya mengikuti hatinya. Ia membuka kaca pembatas yang menutupi batu bulat itu. “Kak, jangan ...!” Lusi melarang. Hatinya takut dan cemas, melihat hal yang tidak biasa begini. Nina mengambil batu bulat itu dengan kedua tangannya. Terasa hangat di kedua telapak tangannya. “Nina ...,” desis Rengga dengan sepasang mata membulat. Lusi juga tampak cemas dengan apa yang akan dilakukan kakaknya. Bulu kuduknya meremang. “Kakak, kita pulang saja ....” Nina mengabaikan permintaan adiknya. Kedua alisnya berkerut. Dia mengamati sesuatu yang ada di dalam batu bercahaya itu. Kini sedikit jelas ia melihat dirinya dan Andre sedang bersama dan tertawa. Tapi di belakang mereka Luna melihat ke arah mereka dengan rasa iri. Dan kemudian ia melihat bayangan samar Andre dan Luna berciuman. “Apa-apaan ini ...,” desisinya lirih. “Kakak, kita pulang saja!” ajak Lusi sekali lagi. “Tidak, Lusi, aku tidak ingin pulang ... aku ingin mengubah takdir Andre dan Luna, Luna saudari kita! Aku ingin mereka hidup!” sahut Nina lantang. Rengga yang melihat semua yang terjadi meresa gemetar. Aura mistis sangat terasa. “Batu petuah! Aku ingin memutar waktu kembali ke masa lalu dan mengubah takdir Andre dan Luna! Aku ingin mereka hidup kembali apa pun konsekuensinya!” Tiba-tiba saja seketika lantai yang mereka pijak begetar. Dinding museum bergoyang. Seperti ada gempa dahsyat yang mengguncang. “Aaaa!” Lusi berteriak. Ia memegangi lantai. “Kakak, jangan mengatakan hal macam-macam, karena takdir yang sudah digariskan adalah yang terbaik walau kadang terasa sulit ....” Bersamaan dengan suara Lusi yang menegur Nina. Seketika itu pula lantai museum retak. “Aaa ...!” Nina pun berteriak. Karena tepat di bawah kakinya lantai terbelah. Lubang dalam menganga lebar. “Kakak!” seru Lusi. “Nina!” teriak Rangga. Lalu Nina terjatuh ke dalam lantai yang berlubang dalam itu. “Aaaaa! Lusi ...! Rangga ...!” teriak Nina takut. Gelap. Nina masuk ke dalam lubang kegelapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD