Benda Pusaka

1071 Words
Rangga menganggukkan kepalanya. “Iya, benda pusaka, yang ada di musium Kota ini.” Nina mengerutkan dahinya. Seraya ragu dan tidak percaya dengan apa yang diceritakan Rangga padanya. “Jika tidak percaya, coba saja ambil benda pusaka itu. Buatlah dua permohonan pada batu itu dan kamu pasti bisa mengubah takdirmu,” kata Rangga kembali. “Ini adalah cerita turun temurun. Kebenarannya masih diragukan. Makanya jika ingin membuktikan hal itu kamu coba saja sendiri.” Kedua mata Nina membulat. Ia menjadi sangat penasaran dengan bentuk nyata benda pusaka yang diceritakan oleh Rangga. “Bagaimana bisa aku memiliki benda pusaka itu?” tanyanya sangat ingin tahu. “Benda pusaka dari sukma bumi di tanah Kota ini hanya bisa dilihat. Tapi tidak bisa digenggam atau pun diambil.” Rangga memperjelas. “Dan belum ada yang tahu keaslian cerita legenda dari turun temurun tentang benar atau tidaknya kesaktian benda pusaka itu,” ujar Rangga sekali lagi sambil memajukan bibir bawahnya sedikit ke depan. Nina terdiam. Ia seakan ingin mencoba membuktikan apakah cerita legenda turun temurun ini benar? Hal konyol dan tidak masuk akal yang membuat seorang dokter hewan seperti Nina ingin membuktikannya. “Kalian sedang ngobrolin apa?” tanya Lusi pada Nina dan Rangga. Ia senang melihat Nina kembali dapat bersoasialisasi kembali. Tidak melulu hanya mengurung diri di rumah dan menyalahkan diri selama dua tahun belakangan ini. “Itu ... kita sedang ngobrolin tentang batu petuah yang ada di museum. Konon katanya dapat mengabulkan permohonan dan mengubah takdir seseorang,” jawab Rangga sambil mengambil satu donat kecil dari kantung kertas yang ditawarkan Lusi padanya. “Oh, tentang legenda itu ...,” timpal Lusi sambil mengigit donatnya. “Itu hanya sebuah dongeng sebelum tidur. Mana ada batu yang bisa mengubah takdir seseorang ... Hahahaha ....” Lusi tertawa tidak percaya. Nina diam. Sejak tadi dia seraya berpikir tentang apa yang diceritakana oleh Rangga. ‘Apa mungkin karena batu petuah ini makanya, Bagas papanya, menyuruhnya dan Lusi untuk tinggal sementara di Kota ini?’ batinnya. Lusi melirik ke arah Nina yang diam dan tidak berusuara. “Kak, kenapa? Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya perhatian. Satu kantung donat dijulurkan ke arah Nina. Tapi Nina menggelengkan kepala. “Tidak aku tidak ingin makan donat bertabur gula seperti itu,” kata Nina sambil menatap beberapa donat yang ada di kantung kertas dan berselimut gula bubuk. “Donat seperti itu kesukaan Andre ....” Lagi-lagi sepasang mata Nina berkabut saat mengingat tentang almarhum Andre. “Andai aku bisa membawanya kembali ke dunia ini ....” Rangga dapat melihat ketikdak iklasan yang tersirat dari sorot mata Nina. “Mungkin aku tidak tahu apa-apa Nina ... Tapi Nenekku selalu mengatakan padaku, jangan pernah ingin mengubah takdir yang sudah digariskan. Karena sesungguhnya takdir yang kita jalani adalah yang terbaik untuk kita. Perginya Andre ke surga itu adalah hal yang terbaik ...,” katanya lirih dan hati-hati. Nina langsung melihat ke arah Rangga. Menatapnya tajam. Tersinggung dengan kata-kata Rangga yang sebetulnya bermaksud baik. “Apa yang kamu tahu tentang hidupku, hingga mengatakan begitu?!” Nina sedikit berteriak dan membuat semua mata memandang ke arahnya. Rangga dan Lusi terdiam. Mereka menatap Nina prihatin. Keterpurukan Nina memang sangat akut. Dia tidak bisa bangkit dan melupakan masa lalu. Orang-orang yang lalu lalang di dekat mereka duduk pun menatap aneh ke arah Nina. Merasa suaranya yang keras membuatnya menjadi pusat perhatian, Nina merapatkan bibirnya dan menarik nafas panjang. Berusaha menenangkan diri dan duduk tertunduk. Sepasang matanya yang sudah berkabut sejak tadi, kini mulai menggenang air mata dan kemudian meluncur perlahan membasahi pipinya yang mulus. Lusi mendekat. Ia mengusap bahu Nina dengan lembut. “Rangga tidak bermaksud menyinggung hatimu Kak ...,” ujarnya lirih. “Maksudnya baik. Kakak tidak perlu terus memikirkan tentang kecelakaan yang menimpa Andre dan Luna. Ini sudah dua tahun berlalu tapi kakak tidak kunjung bangkit ... Masa depan kakak masih panjang ....” Nina terisak. Menangis dengan kedua tangan menutupi seluruh mukanya. Suasana menjadi hening. Rangga menatap iba seorang dokter hewan yang masih belum bisa bangkit dari kepedihan atas kehilangan orang-orang yang dicintainya. “Ini salahku ... Jika aku tidak meminta Luna mengambil gaun pengantinku, maka kecelakaan itu tidak akan terjadi,” kata Nina lirih dan perih. Lusi memejamkan matanya. Memegangi keningnya dan teringat akan senyuman terkahir Luna, saudara kembarnya itu saat sebelum kecelakaan berlangsung. “Aku akan pergi bersama Andre mengambil gaun pengantinnya Kak Nina,” kata Luna pada Lusi. Suara Luna masih terngiang jelas di telinganya. Lusi menggenggam tangan Nina dan mengusapnya. “Semua ini sudah digariskan takdir Kak ... Jangan terus begini dan membicarakan hal yang sama,” pintanya lirih. Isakan tangis Nina semakin terdengar. Ia tertunduk dan tak mau mengadahkan muka. Suara-suara riuh bahagia anak-anak yang sedang bermain bianglala yang ada di depan mereka bahkan tidak membuat Nina ikut tertarik merasakan kebahagiaan malam ini. “Apa kamu memang ingin mengubah takdir yang telah digoreskan di tanganmu?” Suara Rangga yang bertanya memeceh keheningan di antara mereka. Nina tidak menjawab. Dipikirnya pertanyaan Rangga itu hanya pertanyan berbasa basi yang tidak berfaedah. Tangan Rangga terjulur ke depan wajah Nina. “Aku akan membantumu untuk mengubah takdir yang sudah digariskan itu ...,” katanya serius. Nina terkejut dengan apa yang dikatakan padanya. Ia langsung mengandahkan muka dan menatap Rangga lekat. Pria berbadan tegap, tinggi dan berhidung mancung itu tidak beralih pandangan. Tatapannya lurus dan tidak teralihkan. Lusi yang duduk di samping Nina pun sama, ia menatap Rangga dengan air muka tidak percaya. “Kalo ngomong jangan bercanda Rangga ... Jangan buat kakakku sedih lagi dengan candaanmu ....” “Aku tidak bercanda Lusi. Aku memang akan membantu Nina mengubah takdir yang sudah digariskannya. Apa menurutmu legenda di Kota ini tidak benar? Sejak kecil aku selalu mendengar cerita itu dari Nenekku. Jika kita mendapatkan batu sukma merah delima yang ada di museum, mungkin Nina bisa kembali ke masa lalu, dan menghentikan kecalakaan yang akan terjadi,” jawab Rangga menjelaskan. Sorot mata Nina langsung mengilat. Sangat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh Rangga. Hal mustahil yang harusnya tidak dipercayai Nina. Nina adalah seorang wanita perpendidikan tinggi dan juga seorang dokter. Tapi dia begitu mudahnya percaya dengan apa yang diucapkan Rangga padanya barusan. “Jangan membual!” sahut Lusi sambil tersenyum tipis dan memalingkan mukanya. “Mana ada yang seperti itu!” “Ada!” sahut Rangga yakin. Nina tidak berkomentar. Dia hanya menatap Rangga dengan tatapan penuh tanya. “Jika kamu tidak percaya, ayo ikut aku ...,” ajak Rangga sambil menanti Nina menyambut tangannya yang terulur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD