bc

Kakakku Hantu

book_age16+
487
FOLLOW
2.7K
READ
dark
family
fated
others
tragedy
bxg
scary
city
supernatural
like
intro-logo
Blurb

Foto yang terpampang di dinding, dengan bingkai bunga menampakan seorang gadis dan orang tuanya yang tengah tersenyum. Devan hanya dapat melihat wajah kakaknya di foto. Dia hanya bisa menerka-nerka seperti apa kakaknya jika ia bertemu langsung.

Hingga suatu peristiwa tak terduga terjadi. Devan yang hendak mengambil buku di kamar kakaknya, tak sengaja membuat sebuah buku diary ikut terjatuh ke lantai. Ketika ia menyentuh bukunya, wajah yang begitu familiar baginya berada di depan mata.

Nandini menjadi hantu, karena janji yang dibuat untuk dirinya ketika adiknya lahir nanti. Janji yang membuat kegembiraan tetapi membuat kesedihan. Kenapa Nandini tidak ingin membatalkan janjinya jika dia bisa? Apa yang terjadi jika semua janji telah dilunasi?

chap-preview
Free preview
BAB 01: Devan
Tirai jendela yang telah dibuka lebar oleh seorang wanita paruh baya. Membuat sinar mentari masuk ke dalam kamar, menyilaukan mata seorang remaja yang sedang bermimpi di atas tempat tidur yang empuk dan selimut hangatnya. "Devan!" seru wanita paruh baya itu kepada anaknya supaya bangun dari mimpinya. "Aku udah bangun," jawab anaknya yang mengubah posisinya menjadi duduk. "Hari ini sekolah loh," ingat Ibu pada Devan anaknya. Devan yang masih setengah sadar, hanya membalas dengan anggukan kecil. Sang Ibu yang melihatnya, kemudian beranjak pergi meninggalkan Devan. "Hoam..." telapak tangannya menutup mulut ketika ia menguap. Matanya masih berat untuk membuka. Perlahan matanya menutup kembali dan menyelam ke dalam lautan mimpi. Meskipun masih dalam posisi duduk, dia masih bisa terlelap. "Devan!" seru Ibu yang menggema dari seberang ruang makan. Devan terlonjak kaget, mendengar suara sang Ibu yang menggelegar. "I-iya, Devan udah bangun kok!" balas Devan sedikit teriak agar suaranya terdengar oleh Ibunya di seberang ruang makan. Devan berjalan mengambil handuknya, sambil sesekali menguap. Kantuknya masih menghantui, tetapi dia masih berjalan ke kamar mandi untuk menyegarkan kembali tubuhnya dengan air dingin yang menanti. "Brrr..." Devan menggigil kedinginan setelah usai mandi dengan air yang cukup dingin baginya. Dengan masih memakai handuk yang melingkar dari perutnya hingga lututnya. Kedua lengan melipat berharap dingin pergi. "Devan, cepetan. Makanan udah siap nih!" ucap Ibunya menyuruh Devan cepat mengenakan pakaian. Devan segera masuk ke kamarnya dan mengenakan seragam sekolah. Seusai memakai seragam dia keluar kamarnya sambil membawa tas yang ada di pundak kanannya. Kriet... Decitan kursi yang ditarik, membuat Devan jadi pusat perhatian Ibunya yang sedang mengambilkan nasi untuk suaminya. "Ini, dihabisin ya," ucap Ibunya sambil menyodorkan nasi yang ada di piring kepada Devan. "Iya-iya," jawab Devan. "Nanti berangkatnya sama Putri, Van?" tanya Ayahnya yang sedang mengambil sendok. "Nggak mau, aku mau berangkat sendiri aja. Aku bukan anak kecil lagi," jawab Devan dengan nada kesal. "Hehehe..." Ayah hanya bisa terkekeh melihat anaknya yang dibuat kesal oleh pertanyaan dari dirinya. "Ayo sarapan! Udah siang nih," ucap Ibu mengingatkan akan waktu yang terus berjalan. Setelahnya hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang beradu. *** "Bu, aku berangkat yah!" seru Devan yang sudah berada di pintu. "Iya, hati-hati!" balas Ibu. "Bu, anak kita udah gede ya?" tanya Ayah yang tak memerlukan jawaban. Ibu hanya bisa menghela nafas panjang, "Ya iyalah, dikasih makan tiap hari juga," jelas Ibu. "Kalau Nandini masih ada mungkin tingginya bisa sama seperti Devan," ucap Ayah yang melihat ke arah foto keluarga sebelum Devan lahir bersama Nandini anaknya. Ibu yang sedang menyapu, memperhatikan lekat-lekat suaminya dengan raut wajah kesedihan yang mendalam. "Yah," panggil Ibu lembut. "Ah, iya. Yaudah, aku berangkat yah!" ucapnya sambil mengelap air mata yang sudah keluar. "Hati-hati," ingatnya lagi, sambil mencium punggung tangan suaminya. "Iya," jawab dengan senyuman. Kini hanya bisa melihat punggung suaminya yang mulai menjauh. Menyisakan dirinya dengan sepi yang menemani. Melihat anak pertamanya yang meninggal 16 tahun lalu. Seulas senyuman, terukir di bibir Nandini dalam foto yang diambil pada waktu itu. Membuat segala kerinduan ingin diluapkan langsung kepada Nandini, anaknya. Brak... Suara pintu yang terhentak keras ke tembok, membuat Ibu terkejut. "Kamu ngagetin aja, sih," ucap Ibu yang terkejut karena kehadiran Devan yang mendorong pintu keras. "Hah... hah... ada yang... keting-galan," ucap Devan terengah-engah. "Aduh, lupa apa?" tanya Ibu yang menepuk keningnya. "Buku novel," jawab Devan yang mengatur nafasnya. "Buku novel?" tanya Ibu. "Dev-," "Iya, aku ambil dulu," ucap Devan sambil berlari kecil dan menghindari celotehan yang akan segera keluar dari mulut Ibunya. "Anak itu," gumam Ibunya. Tak berapa lama Devan kembali dan mengucapkan salam kepada Ibunya, kemudian pergi ke sekolah dengan langkah secepat mungkin menuju jalan raya untuk menunggu angkutan umum. Kakinya melangkah cepat, hingga sampai trotoar jalan. Memperhatikan sekeliling menunggu angkutan umum lewat. "Devan?" panggil seseorang di belakang Devan. "Arga, aku pikir siapa," ujar Devan menoleh ke arah sumber suara. "Putri mana?" tanya Arga. Devan yang mendengar, tak menjawab pertanyaan Arga. Tak berselang lama angkutan umum datang, Devan segera masuk dengan diikuti Arga di belakangnya. "Van, Putri mana?" tanyanya lagi di dalam angkutan umum. "Sekolah," jawab Devan singkat. Devan sangat risih apabila orang menanyakan keberadaan Putri tetangganya itu. Arga yang mendengar jawaban Devan hanya ber-oh ria. Angkutan umum yang berisi anak sekolah, ibu-ibu, membuat panas di dalam angkutan umum. Meski masih pagi, sudah seperti tengah hari yang di kala matahari berada di atas kepala. "Kiri pak!" seru Devan yang melihat tempat tujuannya sudah dekat. Devan membayar sejumlah uang dan turun dari angkutan umum, diikuti Arga di belakang. "Gerahnya," gumam Devan. "Devan, ada yang senyum di gerbang sekolah kita," ucap Arga lirih. Devan melihat ke arah yang dituju, tapi tidak ada yang tersenyum ke arah mereka. Bahkan satpam tidak ada di gerbang, kecuali yang lalu lalang masuk ke sekolah. "Ayo masuk saja," ucap Devan menepuk bahu Arga dan pergi memasuki sekolah yang sudah mulai ramai. Arga memang bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata sejak kecil. Terkadang membuatnya harus pandai memilah mana yang hantu dan manusia. Karena tidak semua hantu berwujud menyeramkan. Arga hanya dapat mengikuti langkah Devan di belakang. Hantu wanita itu tersenyum kepada Arga dengan lebar. Matanya tertutup, dan sekujur tubuhnya penuh kotoran tanah, kulitnya putih pucat dengan pakaian sekolah putih biru. Arga hanya bisa menundukan kepala tanpa melihat. Semua tempat memiliki penunggu, dan itu mengganggu Arga yang berkunjung ke tempat seperti sekolahnya ini. *** Devan dan Arga kini sampai di depan kelasnya. Mereka berdua berada pada kelas yang sama. Memasuki kelasnya, banyak yang berbincang-bincang terutama kaum hawa dan sebagian menyibukan diri dengan ponsel. Sementara yang laki-laki banyak menghabiskan waktu untuk bermain video game di ponsel masing-masing. Ada pula, yang menyapu karena jadwal piketnya. Devan duduk di kursi pojok dekat jendela sebelah kanan, dimana dia bisa melihat orang lain berlalu lalang melewati kelasnya. Devan duduk di kursinya, kemudian mengambil buku novel yang diambilnya di rumah tadi, sembari menunggu jam pelajaran dimulai. Sementara Arga duduk di depan Devan bermain dengan ponselnya, sambil berusaha mengabaikan hantu yang ada di depan pintu dengan mata merah, tubuh yang tinggi dan hitam. Kring... Kring... Suara bel berbunyi, tak berapa lama guru datang dengan membawa buku pelajaran dan penggaris panjang. Pelajaran dimulai, seketika kelas yang tadinya ramai jadi hening. Hingga pada saat, soal matematika yang terpampang di papan tulis membuat seluruh murid meringkuk. Karena tak ingin disuruh maju mengerjakan soal yang tidak dimengerti. "Ayo, siapa yang mau maju?" tanyanya. Sebagian berpura-pura membaca, sebagian berpura-pura menulis. Mereka menyibukan diri dan berusaha tak menatap sang guru berkumis tebal, dan sedikit berambut putih. Semua orang menatap ke arah Devan, seolah berusaha menyuruhnya untuk maju ke depan. Devan yang melihat hanya bisa menghela nafas panjang, dan mengangkat tangan kanannya. "Ok, maju," ucap Pak guru menunjuk Devan. Devan melangkah maju ke depan, dan menulis menggunakan spidol di papan tulis. Kurang dari lima menit satu soal selesai dikerjakan. Devan memang pintar, tapi pemalu. Dia lebih suka membaca buku novel dan komik. Tak jarang banyak yang memanggilnya kutu buku. Waktu silih berganti, mata pelajaran berganti, istirahat berlalu kembali, dan pelajaran lagi. Begitu setiap hari, sampai waktu pulang yang dinanti menghampiri. Dengan girang menunggu detik-detik bel berbunyi. Kring... Kring... Murid di kelas telah membawa tas di pundak, hingga salam perpisahan untuk pulang ke rumah diucapkan. Semuanya berbondong-bondong pulang. Girang, karena besok tak memulai pelajaran. Devan dan Arga berjalan ke luar kelas paling terakhir, menunggu teman-teman yang lain keluar. "Devan!" panggil seseorang yang tersenyum manis di bibirnya, dengan rambut pendek sebahu di jendela luar kelas. Devan menoleh ke arah sumber suara, ia mulai berjalan keluar kelas diikuti Arga. "Kak Put-" ucapannya terhenti ketika melihat raut wajah Putri yang mulai berubah. "Eh, maksudnya Putri," ujar Devan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sudah kubilang berapa kali, kalau panggil saja aku Putri?" geram Putri kepada Devan. "I-iya deh, maaf," ucap Devan. "Putri, ada apa?" tanya Devan kemudian. "Pulang sama-sama," jawab Putri seadanya. "Rumah kitakan searah, selain itu. Besok libur, dan teman-temanku banyak yang pergi berbelanja hari ini," ucap Putri. "Kenapa gak ikut mereka aja?" tanya Devan. "Apa kamu mengusirku?" tanya Putri kesal. "A-aku, itu," ucap Devan yang terbata-bata tak berani menatap mata Putri yang sedang marah. "Sudah, sudah. Ayo pulang," ucap Arga menengahi pembicaraan. "Ck," Putri hanya bisa berdecak kesal. Mereka berjalan melewati kelas lain. Sekolah hampir sepi sepenuhnya, hanya ada beberapa orang murid dan guru yang masih di kantor. Beberapa kendaraan bermotor dan mobil milik guru yang terparkir. Beberapa murid berada di lapangan untuk ekstrakurikuler olahraga. Suara teriakan untuk mengoper bola bergema. Sampai di gerbang sekolah mereka berbincang sebentar, meski sesekali Arga kerap melihat makhluk astral yang menatap mereka. Tetapi Arga berusaha mengabaikannya, sampai angkutan umum yang sedari tadi ditunggu datang. "Arga, masuk!" perintah Devan yang mengetahui gelagat Arga ketika melihat makhluk astral. "Hm, maaf membuat menunggu," ucap Arga tak enak hati. Angkutan umum sore ini tidak terlalu ramai, dan tidak terlalu sesak. Hanya berisi penumpang orang yang pulang kerja, dan sekolah. Sesampainya di tempat tujuan, mereka turun dari angkutan umum. "Liburan kali ini, kalian mau ke mana?" tanya Putri sambil berjalan. "Entahlah," jawab Arga. "Devan?" tanya Putri kemudian. "Aku berniat membaca buku novel sampai selesai," ucap Devan yang tetap memandang lurus ke depan. "Kamu itu, gak bosen apa baca buku terus?" ucap Putri memutar bola mata malas. "Aku duluan," ucap Arga berjalan ke arah lain. "Hati-hati, Arga!" ucap Putri melambaikan tangan. Sedangkan Devan hanya melambaikan tangan dengan senyuman tanpa berkata. Tak berselang lama Rumah Devan telah terpampang jelas di depan mata. Putri memecah keheningan dengan memulai pembicaraan. "Van, gimana kalo kita ke-" ucapannya terpotong oleh Devan yang sudah sampai di rumah. "Aku duluan Put," ucap Devan memasuki rumahnya dan menutup pintu. "Ih... anak itu, gak punya tata krama apa? Belum selesai ngomong, udah main pergi aja. Dasar!" celoteh Putri yang kesal perkataannya dipotong. Devan yang masih di balik pintu bergumam, "Syukurlah, jika aku masih di sana. Pasti sudah dipaksa untuk ikut berbelanja bersamanya," Devan hanya bisa mengelus d**a.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Marry The Devil Doctor (Indonesia)

read
1.2M
bc

Dear Doctor, I LOVE YOU!

read
1.1M
bc

Bad Prince

read
509.4K
bc

Mengikat Mutiara

read
142.5K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
312.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook