Bab 5

1052 Words
Bab 5 Mentari kembali menampakan dirinya, suara ayam membangunkan orang di pagi hari. Mata terasa berat untuk dibuka. Terdengar sayup-sayup namanya dipanggil oleh seseorang. Dengan suara lirih yang membisikan ke telinga. "Devan..." "Devan..." Namanya dipanggil terus hingga matanya terbuka lebar. Devan melirik ke arah sumber suara. Tidak ada siapapun di sampingnya. Devan bangkit dari tidurnya untuk memgumpulkan kesadaran sepenuhnya. Menengok ke arah sampingnya, mencoba memastikan apa yang didengar dengan penglihatannya. Devan turun dari tempat tidurnya, berjalan sambil mengucek matanya sesekali. Klek... Krieet... "Aaa!" Devan membuka pintunya perlahan, tetapi sudah ada yang menyambutnya di depan pintu. Berambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya, sedikit tertunduk. Memakai pakaian putih yang lusuh. Brak! Pintu kembali ditutup dengan keras. Sehingga membuat seisi rumah terkejut, dan teriakan Devan yang cukup keras. "Hahaha..." suara tawa Nandini yang meledek membuat Devan kesal. Mendengar tawa puas dari Nandini, dia membuka pintunya kembali. Dari sorot matanya seolah bertanya kepada Nandini. "Devan penakut," ucapnya sambil sedikit menutup mulutnya karena menahan tawa. "Kakak, gak lucu sama sekali. Kekanak-kanakan!" ucapnya kesal. Karena kesal, Devan pergi melewati Nandini dan pergi mandi. Sementara Nandini masih terlihat sesekali menahan tawa. *** Di meja makan ini, terlihat Devan yang masih kesal. Hanya dentingan suara sendok dan piring yang beradu. Setelahnya Devan langsung pamit, tetapi langkahnya terhenti oleh seseorang yang memanggilnya. "Devan," panggil Nandini. Devan menoleh ke arah sumber suara, "Ikut," pinta Nandini. "Nggak!" tegas Devan. "Van," panggil Nandini. "Besok aja," balas Devan yang mengikat tali sepatu. "Masa kakak sendiri gak boleh lihat adiknya sekolah?" kesal Nandini. "Udahlah, ngalah aja sama kakaknya," ucap Ibunya. "Tapi bu," Ibunya hanya mengibaskan tangan menandakan Devan harus segera pergi dengan Nandini. Devan hanya bisa pasrah, akan sulit untuk tidak menuruti perkataan ibunya itu. "Hufft..." "Eh, Devan jangan lupa bawa buku diarynya," ingat Nandini. "Serius aku harus bawa ini? Kalo ada yang lihat gimana?" tanya Devan tak percaya. "Terus kalo gak bawa, kakak gak bisa ikut dong," papar Nandini. Lagi-lagi Devan hanya bisa menghela nafas panjang. Mana mungkin dirinya harus membawa buku diary, berwarna merah muda yang bukan gayanya. Jika ada yang mengetahui Devan membawa buku ini kemana-mana, pasti sudah jadi buah bibir di sekolahnya. Nandini tidak dapat pergi terlalu jauh dari buku diary itu. Buku yang membuatnya tetap berada di dunia ini. Dengan pasrah, Devan menaruh bukunya di tas. Dengan begini, Nandini bisa berkeliling sekolahnya Devan. Tentu saja tidak bisa terlalu jauh. "Yang ikhlas dong naruhnya," ledek Nandini. Devan pun memasang senyum lebar yang dipaksakan. Raut wajahnya begitu lucu hingga Nandini tertawa. "Pfft... Hahaha," tawa Nandini yang keras menggema di rumah ini. Meski yang mendengar hanya orang-orang yang bisa melihatnya Nandini. Devan melirik Nandini yang tertawa. Tatapannya yang datar membuat Nandini menghentikan tawanya perlahan. Seketika itu suasana hening. "Ketawanya udah selesai?" tanya Devan. "Udah, yuk!" balas Nandini yang berjalan terlebih dahulu. "Kakak bisa jalan pake kaki?" heran Devan. "Bisa tuh," ucap Nandini. Baru keluar dari pagar, seseorang memanggil nama Devan. Dia tahu siapa itu, tapi Devan berusaha menghindarinya. Dengan cara pura-pura tidak mendengarnya. Jika dia menoleh, pasti Devan akan diminta untuk ikut dengannya kemana pun perginya. "Devan!" panggil Putri dengan keras. "Van, Putri manggil tuh," tunjuk Nandini yang tidak digubris oleh Devan. "Eh, Devan!" panggil Nandini yang melihat Devan semakin cepa. Dengan sedikit berlari kecil, Putri menyamai langkah kaki Devan. Mengetahui Devan hanya berpura-pura tidak mendengar, dengan telapak tangan kanan siap di atas. Plak! Telapak tangannya tepat menepuk punggung Devan keras. Pukulan yang didaratkan sepertinya membekas di punggung Devan. "Aww aw..." pekik Devan kesakitan. "Ya ampun, kayanya terlalu keras," ucap Putri menutup mulutnya tak percaya. "Devan kamu gak apa-apa kan?" tanya Nandini memastikan. "Ya ampun Devan, maaf pasti sakit ya?" ucap Putri menyesal. "Memangnya aku kulit baja gak ngerasain sakit?" kesal Devan yang masih kesakitan. Devan mencoba meregangkan ototnya agar merasa lebih baik. Setelah beberapa waktu, sakitnya tidak terlalu terasa. "Masih sakit?" tanya Putri. "Aduh, maaf Devan. Lagian kamu dipanggil pura-pura gak denger sih," kesal Putri. "Lain kali tuh ya, kalo ada orang manggil itu direspon. Bukannya pura-pura gak denger, kena karmanya kan?" papar Nandini. "Iya tuh bener!" ucap Putri membenarkan. "Loh, kok aku yang salah? Kan yang mukul Putri," heran Devan. "Cowo itu harus ngalah sama cewe," ujar Putri. "Udah ah, waktunya gak banyak nih," ucap Devan menunjukan matahari yang mulai meninggi. "Hari ini upacara?!" ucap Putri terkejut. "Iya makanya buruan!" seru Devan. Mereka pun bergegas ke sekolah. Tepat di persimpangan jalan mereka bertemu Arga. "Arga!" panggil Putri. Arga sedikit terkejut dengan kehadiran sosok gadis yang seperti sedang mengikuti Devan sedari tadi. Arga hanya bisa berpura-pura tidak melihatnya. Tanpa basa-basi Arga mengikuti langkah kaki mereka. Sampai di trotoar jalan raya, Arga masih terheran-heran dengan keberadaan gadis itu. Wajahnya pucat dan tidak terlalu menakutkan baginya, tapi pakaian putih lusuh itu dan tidak ada yang melihat sudah menunjukan bahwa dia hantu. Arga sesekali melirik ke arah sosok gadis itu. Dia ingin memberi tahu Devan akan hal ini. Sebelum itu terjadi tiba-tiba sosok gadis bertanya padanya. "Apa kamu bisa lihat aku?" tanya Nandini mendekati Arga tepat di depan matanya. Arga hanya bisa menelan salivanya berharap dia bisa pergi sesegera mungkin. Mengetahui pertanyaannya sama sekali tidak direspon oleh Arga. Nandini kembali ke samping Devan. "Udah dateng, ayo naik!" ajak Putri yang sedari tadi menunggu kendaraan umum. Suhu panas karena banyak orang yang ada di dalam bus kecil ini, membuat pagi yang dingin terasa panas. Waktu yang berjalan, berharap bus lebih cepat melaju. Karena hari ini ada upacara, semua siswa wajib mengikutinya. Bus berhenti, mereka turun dengan langkah cepat. Masuk tinggal lima menit lagi. Mereka beruntung waktu masih memihak. "Devan aku duluan!" seru Putri berlari. Devan yang sedang mengatur nafasnya di depan gerbang. Terburu-buru memang tidak menyenangkan baginya. Sementara itu, Arga di belakang Devan. Sedari tadi Nandini melihatnya kembali setelah berada di depan gerbang ini. Dia menatap Arga dengan jarak yang cukup dekat. "Arga?" panggil Devan melihat Arga yang diganggu Nandini. Devan mendekati Arga, dan mulai menceritakan segalanya sambil berjalan menuju kelas. "Jadi gitu, dia kakakku Nandini," jelas akhir Devan. "Ah, ha-hai," lambai tangan kaku Arga. "Tapi sangat tidak mungkin aku ngomong sama dia disini, karena aku bisa dianggap gila," ujar Devan. "Sekali-kali dianggap gila gak apa-apa kan?" ucap Arga sembari tersenyum. "Gak apa-apalah, buat jawab pertanyaan kakakmu ini. Sekali seumur hidup loh," sambung Nandini. "Arga, kamu memihak siapa?" tanya Devan kesal. "Memihak kakakmu tentu saja," ucapnya kemudian berlalu bersama Nandini meninggalkan Devan. "Ah, apaan coba?" kesal Devan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD