“Anak baru ya?”
Sebuah sapaan menghentikan langkah Greysa, matanya mendapati seorang wanita muda berkemeja biru pucat berdiri tidak jauh darinya. Greysa sontak mengangguk sambil tersenyum.
“Ikut gue, gue tunjukin meja lo.”
Greysa menurut mengikuti wanita muda itu sampai ke sebuah meja partisi di sudut ruangan itu.
“Ini satu-satunya tempat di sini yang tersisa. Habisnya gak ada rencana nambah anak baru.” Wanita itu tersenyum simpul.
“Iya, gak apa-apa.”
“Oh iya, kenalin gue Rose.”
“Greysa.”
Keduanya hanya saling tersenyum setelah memperkenalkan nama masing-masing.
“Kalo lo butuh tanya apa-apa, bisa ke gue.”
“Ehm, di sini ada berapa orang?” tanya Greysa.
“Sebenarnya ada banyak tapi yang ada di ruangan ini cuma ada sepuluh orang aja, nnti juga lo pasti bisa kenal mereka. Tapi ada satu orang yang harus banget lo tahu,” ucap Rose.
Greysa menyimak.
“Bos kita, manajer HRD namanya Pak--”
“Selamat pagi, Pak Galen.”
Ucapan Rose itu menggantung saatu pandangannya juga Greysa sama-sama tertuju pada seorang lelaki jangkung yang memakai kemeja biru tua yang digulung lengannya.
“Kamu! Masuk ke luangan saya!” Galen menunjuk ke arah Greysa sebelum dia masuk ke dalam ruangannya.
Greysa dan Rose hanya bisa saling pandang tanpa ada kata, hanya dengan mata Rose seakan menyuruh Greysa untuk segera masuk ke dalam ruangan Galen.
“Hei, ingat. Jangan membantah apa pun kata-kata Galen. Bahkan Pak Arka aja gak mau berdebat dengan orang itu!”
Rose tidak harus bilang begitu karena Greysa jelas lebih mengenal Galen, dia tahu betapa egois, keras kepala juga sombongnya pria itu. Pria yang sedari dulu menjadi musuh nomor satunya.
“Se-selamat pagi,” sapa Greysa begitu dia masuk ke dalam ruangan kerja Galen yang sudah pria itu gelapkan kacanya.
“Ibun apa kabal?” tanya Galen begitu Greysa menutup pintu.
“Hah?”
“Ayah gimana? Bang Gleyson?” lanjut Galen bertanya.
Raut wajah Greysa berubah ketika dua nama orang yang dia sayangi itu disebutkan.
“Ah, lebih dali itu. Gimana lasanya jadi bawahan gue?” Galen tertawa.
“Lo dali dulu selalu bilang bakalan lebih hebat dali gue ‘kan? Well, itu telnyata omong kosong.” Galen lanjut tertawa.
“Lo sengaja nerima gue di perusahaan ini ‘kan? Kayaknya gue di sini juga karena lo ‘kan?”
Galen menyeringai lalu mengangguk pelan.
“Well, thank you. Sering-sering aja lo perhatian gini ke gue.” Greysa balas tersenyum dengan mengangkat ujung bibirnya.
“Gue gak pelhatian ke lo ya.”
“Tapi buktinya?”
Galen memicingkan mata, dia tidak berharap reaksi yang seperti ini dari Greysa. Minimal Greysa akan marah-marah dan mengomel padanya mungkin sedikit memukul seperti dulu.
“Kelual sana!” Wajah kesal Galen tidak bisa dia tahan membuat Greysa menahan senyum. Dia senang melihat Galen masih memiliki kebiasaan yang sama. Gampang kalah darinya tapi selalu mencoba menantang Greysa.
“Baik, Pak Galen. Saya permisi dulu.” Greysa semakin bertingkah dengan membungkukkan badannya untuk memberi hormat lalu keluar dari ruangan Galen.
Galen kembali duduk di kursinya, dia menatap Greysa yang kembali ke arah pojok ruangan. Karyawannya di ruangan itu memang sudah cukup tapi keinginan besarnya untuk Greysa membuat Galen sedikit memaksa. Setelah memperhatikan beberapa saat tiba-tiba senyum licik muncul di wajah tampan lelaki itu.
“Lo pikil bisa lolos dengan mudah? Setidaknya lo halus datang dan sujud di depan gue.”
***
“Anak balu! Siapa nama kamu? Betty?” Galen yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu langsung menarik perhatian.
“Nama saya Greysa, Pak. Betty itu nama nenek saya yang dijadikan nama tengah saya.”
“Ah, too much information. Saya mau panggil kamu Betty saja biar kayak film telenovela jaman dulu,” ujar Galen yang mengundang beberapa tawa.
“Terserah bapak saja kalau begitu. Mungkin nama Greysa saja agak susah diucapkan.”
Kata-kata Greysa langsung membuat orang-orang di dalam ruangan itu menahan tawa mereka mengingat Galen memang tidak bisa mengucapkan huruf R.
Galen yang bersumbu pendek itu mencoba menahan amarahnya agar tidak meledak. Dia menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan lalu menatap Greysa lagi tepat saat beberapa orang masuk ke dalam ruangan itu.
“Nah, pindahkan meja paltisi itu ke sini.” Galen menunjuk tempatnya berdiri.
Orang-orang di dalam ruangan itu tampak kebingungan karena itu artinya meja partisi itu akan berada di tengah-tengah ruangan dan sendirian tidak berdempetan seperti meja partisi lainnya.
Greysa menatap Galen tidak suka, dia tahu pasti lelaki itu pasti sengaja untuk melakukan itu tapi dia juga tahu dia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Dan, kalena kalian sering mengeluh kepanasan jadi akan saya tambah pendingin luangan dan akan diletakan di sini.” Galen bergeser satu langkah dari tempatnya berdiri tadi yang berarti mesin pendingin udara itu akan berada tepat di samping Greysa.
Galen tersenyum puas melihat wajah terkejut Greysa, dia tahu pasti wanita itu tidak bisa menebak apa yang dia lakukan.
“Dan Agus.” Panggilan Galen membuat Agus langsung berdiri dari tempat duduknya.
“Folmulil kenaikan jabatan kalyawan itu, ajali dan selahkan semuanya pada Gleysa! Saya tidak peduli walaupun dia harus lembul!” Galen kembali menatap Greysa dengan pandangan mengejek lalu pergi kembali ke dalam ruangannya.
“Lo sih nantangin! Disiksa di di hari pertama ‘kan!” Rose datang mendekat ke arah Greysa.
“Lo harus tahu kalau yang mulia Galen itu gak pernah suka dibalas kata-katanya atau lo bakalan berakhir kayak karyawan-karyawan lainnya,” tambah Agus.
“Gue tahu,” ucap Greysa sambil menatap ke arah Galen yang berada dalam ruangannya.
“Tahu banget malah.”
***
Greysa kembali mengusap matanya yang terasa perih karena terus menerus menatap layar komputer dan tumpukkan kertas di atas meja. Dia sudah diajari oleh Agus dan untung saja dia sudah paham dan kini hanya perlu menyelesaikan laporannya.
Penderitaan Greysa bukan cuma itu karena kini di depannya ada sebuah AC berdiri yang cukup besar dan itu jelas membuatnya kedinginan. Galen bahkan membuat AC itu menghadap tepat ke arahnya membuat Greysa harus beberapa kali berhenti untuk menggosok-gosok tangan juga lengannya agar tidak terlalu dingin.
“Masuk angin sih ada.” Greysa bicara pada dirinya sendiri.
“Masih banyak, Grey?” tanya Agus yang datang ke meja Greysa.
“Kayaknya,” jawab Greysa sambil memandang tumpukan kertas itu.
“Duh, gimana ya. Gue pengen bantuin cuma gue ada acara keluarga,” ujar Agus.
Greysa mengulum senyum lalu mengangguk. “Pulang aja, lembur dikit gak ngaruh buat gue.”
Agus memaksakan senyum lalu mengangguk.
“Atau lo pulang aja, nanti selesain besok pagi-pagi, gue bantuin deh nanti.” Agus memberi ide.
Namun Greysa menolak, dirinya adalah tipe manusia yang tidak bisa tenang sebelum pekerjaannya selesai. Daripada dia pulang dan tersiksa dengan ingatan akan pekerjaannya yang belum selesai, lebih baik Greysa lembur saja.
“Ya udah deh kalo gitu, gue balik dulu ya.”
Agus segera kembali ke mejanya mengambil tas kerja lalu segera pulang. Tinggal Greysa dan beberapa orang lain yang masih ada di kantor, Galen juga belum kembali tapi masih berada di dalam ruangannya.
Pintu kembali terbuka dan membuat beberapa karyawan yang tersisa langsung bangkit berdiri ketika melihat seorang pria masuk ke dalam ruangan itu.
“Ah, tidak perlu. Duduk saja.” Pria itu tersenyum kecil dengan tangan melambai kecil.
Lelaki itu terpaku sebentar melihat Greysa sebelum berjalan ke arah Greysa.
“Hai, Grey. Remember me?” tanya lelaki itu.
Ingatan Greysa bisa mengingat sosok lelaki yang kemarin mewawancarainya itu.
“Pak Arka ‘kan?”
Sosok Arka tertawa kecil lalu menggeleng. “Kamu benaran lupa? Atau cuma ingat Galen aja?”
Ucapan Arka itu membuat Greysa terdiam untuk sesaat, sel-sel otaknya saat ini sedang mengobrak-abrik memori ingatannya sampai akhirnya dia mengingat lelaki itu.
“Arka ya?”
Arka kembali tersenyum dan mengangguk.
“Kamu berubah banget jadi kemarin aku sama Rama gak ngenalin kamu,” ujar Arka.
“Ya ampun, aku malah udah lupa sama sekali.” Greysa tertawa kecil.
“Kenapa meja kamu di sini?”
Bahkan Arka yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu pun tahu kalau tata letak meja Greysa itu aneh tapi Greysa hanya bisa merespons dengan senyum terpaksa. Arka menyadari hal aneh lainnya yaitu sebuah pendingin udara yang terletak tepat di depan partisi wanita itu.
Dia kembali menatap Greysa yang saat itu tidak sengaja sedang menggosok lengannya karena dingin.
“Pakai ini.” Arka membuka jas yang dia kenakan dan memberikannya pada Greysa.
“Eh, gak usah!” tolak Greysa. Dia tahu pasti harga jas itu lebih mahal dari gajinya, bisa gawat kalau sampai rusak di tangan Greysa.
“Pakai aja, Grey. Aku maksa!” ujar Arka menjulurkan jas itu lebih dekat ke arah Greysa.
“Ma-makasih.” Greysa memakai jas itu perlahan. Hangat sekali. Entah hangat karena berbahan bagus atau hangat karena tubuh Arka.
“Aku ke Galen dulu.” Arka kembali tersenyum lalu meninggalkan Greysa dan masuk ke dalam ruangan Galen.
“Kita mau makan malam sama investol, mana jas lo?” tanya Galen begitu Arka masuk ke dalam ruangannya.
“Gue punya cadangan di mobil,” jawab Arka santai lalu duduk di sofa yang ada di ruangan Galen.
“Gue udah nemu beberapa orang yang bisa kenalin kita ke agensi besar di Korea sana, minggu depan ketemu mereka ya?” Arka berkata sambil memejamkan matanya, dia beristirahat sejenak.
Arka menunggu respons Galen namun tidak ada sehingga dia membuka matanya dan mendapati pandangan lelaki itu tengah menatap lurus ke arah Greysa yang sedang tersenyum di meja partisinya. Arka jadi menyadari sesuatu, Greysa tampak dengan jelas dari ruangan Galen. Seakan-akan lelaki itu memang sengaja menaruh partisi Greysa di sana agar bisa melihatnya dengan jelas.
Pandangan Arka lalu beralih pada Galen yang menatap wanita itu dengan tatapan tidak suka yang kentara. Entah karena apa.
***
Greysa melirik ke arah jam di komputernya yang sudah menunjukkan pukul 12 malam, dia sudah sendirian di ruangan itu sejak jam 9 lalu dan kini baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tubuh Greysa rasanya begitu pegal, dia terpaksa memijit kecil tengkuk leher juga pinggangnya. Namun rasa lelah itu seakan hilang setelah ponsel Greysa menyala dan memperlihatkan foto Ibun juga Yoshi di sana.
“Gak boleh menyerah, Greysa! Demi Ibun dan Yoshi!” Greysa menyemangati dirinya sendiri.
Greysa bergerak mematikan komputernya dan bergegas turun ke bawah, dalam hatinya dia berdoa semoga saja masih ada ojol yang mau menerima pesanannya di tengah malam ini dan semoga saja dia dapat ojol yang tidak genit.
Greysa keluar dari kantornya, dia baru saja akan memesan layanan ojek online saat tiba-tiba saja sebuah lampu sorot mobil mengenai dirinya. Mobil dengan merek BMW itu berjalan mendekat ke arahnya dengan perlahan sebelum berhenti tepat di depan Greysa.
Kaca mobil itu turun dan memperlihatkan pengemudi mobil itu.
“Naik! Gue antal pulang!”
“Galen?” Greysa tidak percaya dia melihat Galen karena yang dia tahu Galen dan Arka sudah pergi dari jam 8 tadi.
“Buluan bisa gak sih?” ulang Galen membuat Greysa akhirnya naik ke dalam mobil pria cadel itu.
“Bukannya tadi udah pulang?”
“Tadi makan malam sama investol! Kalyawan biasa gak akan ngelti deh, cuma bos yang bisa.”
Greysa menatap Galen dengan tatapan jengah, lelaki ini sepertinya dulu mengambil jatah sombong terlalu banyak sebelum dilahirkan di dunia.
“Lumah lo di mana? Udah pindah ‘kan?” tanya Galen.
“Iya. Sekarang di jalan Angkasa,” jawab Greysa.
“Jauh banget. Melepotkan!”
Greysa terdiam sejenak.
“Gue bisa naik ojol sih kalau lo keberatan,” ujar Greysa.
Galen mencebik sembari melirik ke arah Greysa.
“Memangnya gue ada bilang kebelatan?” ucap Galen sebelum dia menjalankan mobilnya membelah jalanan yang sudah mulai sepi.
Tidak ada percakapan yang terjadi di dalam mobil itu sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai di depan rumah Greysa.
“Yang ini lumah lo?” tanya Galen sambil melihat ke arah rumah satu lantai sederhana yang sudah padam lampu depannya.
Greysa mengangguk.
“Mau ngajak lo masuk tapi kayaknya Ibun sama Yoshi juga udah tidur.”
“Yoshi?”
“Keponakan gue, anaknya abang.”
“Abang Gleyson udah punya anak? Wow!” Galen benar-benar terkejut.
Greysa kembali mengangguk.
“Lo baliknya hati-hati, kalau ngantuk mending tidur dulu aja,” ujar Greysa sebelum bersiap untuk turun.
“Tunggu!” Galen menahan Greysa.
Lelaki itu lalu menjangkau sesuatu di kursi belakang dan memberikannya pada Greysa.
“Apa ini?” Greysa bertanya sambil membuka tas belanja yang bertanda dari sebuah toko pakaian terkenal.
“Kenapa lo ngasih jaket?” tanya Greysa.
“Supaya lo gak minjem dali olang lain lagi. Malu gue sebagai atasan kalau lo minjem-minjem balang olang!” ujar Galen.
Ingatan Greysa kembali saat Arka memberinya jaket.
“Tapi gue gak ada minjem, emang Arka baik jadi minjemin.”
“Bodoh amat! Yang penting sekalang jangan pelnah pinjem jaket lagi ke dia! Kalau gue tahu lo pinjam balang olang lagi, balangnya langsung gue bakal!”
Greysa memutar matanya malas.
“Udah sana tulun!”
“Iya!” balas Greysa.
“Minimal bilang makasih lah!”
“Iya, makasih!”
“Yang ikhlas!”
Greysa bersumpah kalau dia ingin meremas kepala lelaki cadel di sampingnya itu.
“Terima kasih untuk tumpangannya yang mulia Galen.” Greysa tidak menunggu lagi, dia langsung turun lalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Galen yang tertawa geli sendiri di dalam mobil.
(Beberapa jam yang lalu)
Galen mencebik kesal karena ada saja yang menghalangi pandangannya ke arah Greysa. Entah orang yang tiba-tiba lewat, tumpukkan kertas atau sedakar orang yang berdiri di depan mesin fotokopi.
Galen sedang bekerja tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk menatap Greysa yang bekerja seperti magnet yang selalu menarik dirinya.
Kesal dengan semua halangan itu, Galen mendapatkan ide lalu segera menelepon bagian maintenance untuk mengerjakan keinginannya.
Galen rasanya puas sekali karena sekarang dia sudah bisa melihat Greysa dengan lebih leluasa. Galen sudah cukup hafal dengan kebiasaan Greysa menggigit bibir bawahnya saat sedang berpikir namun kini ada satu lagi kebiasaan Greysa yang diperhatikan Galen. Wanita itu kini suka memperbaiki rambut panjangnya ke belakang telinga.
“Damn, is she always that pretty?” Galen merasa jantungnya berdebar keras.