3. Posesif Galen

2561 Words
“Eh, pada mau kopi gak? Ditraktir Agus loh hari ini.” Rose datang melangkah sambil membawa ponsel dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Tidak butuh waktu lama sampai orang-orang dalam ruangan itu langsung mengangkat tangannya sambil menyebutkan pesanan mereka. Galen juga melihat hal itu, dia sedang bosan karena dari tadi dia tidak bisa melihat Greysa yang sedang pergi ke ruang pengembangan karyawan baru. Karena melihat kehebohan itu, Galen jadi ikut keluar dari ruangannya. “Pak Galen, mau pesan kopi gak? Agus ulang tahun jadi dia traktir kopi,” ujar Rose. Galen mengangguk, dia bukanlah tipe bos yang menjaga jarak jadi sebenarnya dia lumayan dekat dengan karyawannya. Hanya saja dia tidak suka dibantah jadi karyawannya sering takut jika Galen sudah bicara dengan nada tinggi. “Mau Amelicano, doubleshot.” Galen menyebutkan pesanannya. “Oke.” Galen tersenyum sedikit, sebelum matanya melirik ke arah meja kerja Greysa di mana terdapat foto Ibun dan juga seorang anak laki-laki dengan rambut mangkuk bersama Greysa. “Eh, si Greysa pesanin kopi apa ya?” tanya Rose. “Dia gak suka kopi.” Galen menjawab tanpa sadar. “Eh? Pak Galen tahu dari mana?” tanya Rose membuat Galen sadar. “Tebak aja. Kalian lihat aja wajahnya yang lemah begitu. Kena kopi dikit pasti pingsan anaknya,” dalih Galen. Rose dan yang lainnya mengangguk. “Tapi masalahnya, di kedai kopi yang ini cuma jualan kopi. Mereka gak jual minuman lainnya,” ujar Rose. “Ya udah, beli cappucino aja.” Galen menahan dirinya untuk tidak mencegah orang-orang itu memesankan kopi untuk Greysa. Dia cukup tahu kalau wanita itu tidak bersahabat dengan kopi karena selain Greysa tidak menyukai rasa pahit kopi, lambung wanita itu juga tidak menerima kopi ke dalamnya. Minum kopi hanya akan membuat Greysa muntah-muntah. Tapi Galen terlalu gengsi untuk mengatakan semua itu, bisa-bisa dia dikatai suka dengan Greysa. Dia tidak mau tampak tahu begitu banyak soal Greysa, dia masih mencoba meninggikan rasa cueknya itu. “Oke, sudah dipesan.” Galen mengangguk lalu bergegas pergi. “Kalau kopi saya datang, taluh aja di meja saya.” Karyawan Galen hanya menatap pria itu pergi dari ruangan mereka lalu kembali fokus pada pekerjaan mereka sampai akhirnya pesanan kopi mereka datang dan tidak lama berselang Greysa juga Agus kembali dari ruangan pengembangan karyawan baru. “Grey, kita-kita udah pesan kopi nih tapi karena gak tahu lo suka kopi apa jadi kita pesenin cappucino ya,” jelas Rose. “Minum ya, Grey. Traktiran ulang tahun gue tuh,” tambah Agus membuat Greysa yang awalnya ingin menolak malah menelan kembali kata-katanya. “I-iya. Thanks and happy birthday, Gus,” ucap Greysa tulus. “Your wellcome, Greysa.” Pintu terbuka membuat orang-orang di ruangan itu jadi melihat ke satu orang yang sama, Galen yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. “Pak, kop--” “Ah, ini cappucino ya? Kebetulan saya suka cappucino. Buat saya ya, kamu ini aja. Chocolate calamel with whipped cleam.” Tanpa menunggu persetujuan, Galen mengambil minuman Greysa dan meletakkan minuman yang dia bawa tadi di atas meja Greysa. “Makasih dan selamat ulang tahun ya, Gus.” Galen mengangkat gelas kopi itu lalu berlalu ke dalam ruangannya. “Lo katanya gak suka minum kopi ya?” tanya Rose pada Greysa. Greysa mengangguk sambil menyengir, “Gue ada masalah lambung tiap kali minum kopi.” “Iyakah? Sorry gue gak tahu!” ujar Agus. “Santai, Gus.” “Tapi kok bisa yang mulia itu bawa minuman coklat? Selama empat tahun gue kerja di sini, gue gak pernah lihat dia minum minuman manis.” Greysa menatap ke arah Galen yang sedang menyeruput kopinya tapi dia kemudian mendapati ada gelas kopi lainnya di atas meja lelaki itu. Tanpa sadar keduanya akhirnya berpandangan sebelum akhirnya Galen mengaburkan kembali dinding kacanya sehingga membuat mereka tidak bisa lagi saling berpandangan. Galen aneh. Sungguh aneh. *** “Bangke! Obatnya yang mana? Buluan kilim nama obatnya!” Galen berujar gusar di telepon. Dia sedang pergi membeli obat di apotek untuk Klif yang sedang sakit. Setelah memutuskan panggilan telepon, Galen berjalan cepat memasuki apotek dan bergegas mencari pegawai dari apotek itu. Kalau Galen yang harus mencari obat-obat itu, mungkin sampai Klif mati Galen belum bisa menemukannya. “Ibun!” Suara panggilan itu membuat Galen berbalik cepat, seorang anak kecil berlari ke arah seorang wanita setengah baya yang sedang mencari obat di rak. Galen terpaku sebentar sebelum dia mengenali dua orang yang berjarak tidak jauh darinya. Langkah kaki Galen pun mendekat ke arah mereka. “Ibun?” panggil Galen ragu. Wanita dan anak kecil itu kompak menatap Galen yang jauh lebih tinggi dari mereka. Wanita itu tampak memperhatikan Galen dengan saksama, dia mengenali pria jangkung di depannya itu tapi begitu sulit menemukan namanya. “Ibun? Ini aku, Bun. Galen.” Galen tersenyum lebar. “Astaga, Galen!” Ibun melebarkan tangannya dan memeluk Galen dengan erat. “Rindunya Ibun, Nak!” Galen tidak tahu apa yang terjadi yang jelas dia sudah menangis dalam pelukan hangat wanita yang selalu menjaganya saat kecil itu. Dia menikmati pelukan itu lagi sekarang, sungguh berkat untuk Galen. “Kamu dari mana saja, Galen? Kenapa gak pernah kabarin Ibun? Mamamu gimana kabarnya?” Galen terdiam. Dia baru akan menjawab tapi melihat situasi yang ada, Galen memilih menunda. “Ibun mau beli obat, sudah semuanya? Ayo kita bayal, habis ini Galen ajak makan ya,” ujar Galen. “Eh, gak usah.” “Bilang om ini beli aja, Bun. Dalitadi Ibun gak beli kalena mahal ‘kan obatnya?” Anak laki-laki kecil itu mengoceh di bawah sana. “Yoshi!” Ibun memberinya isyarat untuk diam. “Obat yang mana, Bun? Ayo bayal.” Wanita itu awalnya ragu tapi dia tahu kalau dia tidak membeli obatnya itu, kesehatannya mungkin akan kembali terganggu dan itu pasti akan menjadikan beban tambahan untuk Greysa. Jadi dengan terpaksa dia mengambil obat yang dia perlukan itu dan menyerahkannya pada Galen. “Tunggu di depan sebental ya, Galen bayal dulu.” Galen bergegas ke meja kasir sekalian untuk menanyakan obat Klif. “Om yang itu umulnya juga empat tahun ya? Soalnya cadel juga kayak aku,” ujar Yoshi begitu Galen berlalu. “Jangan ngomong gitu, Yoshi. Gak baik!” Ibun sebenarnya ingin tertawa tapi dia harus menjaga ucapan Yoshi yang terlewat polos. Tidak begitu lama menunggu, Galen sudah keluar dari apotek dengan 2 bungkus obat di tangannya. “Ini obatnya, Bun.” Galen menyerahkan kantong obat untuk Ibun. “Kamu beli obat untuk siapa? Kamu sakit?” Galen menggeleng, “Untungnya kalena jamu buatan ibun dulu, Galen jadi gak pelnah sakit sampai sekalang.” Keduanya tertawa singkat. “Mau makan gak? Ayo kita makan malam dulu!” ajak Galen. “Dibanding kita makan di luar, kamu masih mau gak makan masakan Ibun? Kebetulan tadi Ibun masak ayam kari kesukaan Galen,” ujar Ibun. Mata Galen berbinar dan dengan cepat kepalanya mengangguk. “Oke, langsung belangkat. Itu mobil aku.” “Wow! Om yang ini kaya, Ibun. Mobilnya bagus!” Galen menatap Yoshi yang sangat ceplas-ceplos dan begitu polos. “Mohon dimaklumi ya, dia memang anaknya abang tapi sifatnya nurun dari Greysa,” ujar Ibun membuat Galen tertawa. perjalanan mereka berlalu dengan seru sambil mengobrol dan juga mengenang masa lalu. Masa kecilnya yang banyak dihabiskan dengan Greysa dan keluarganya membuat hati Galen kembali menghangat. Dia merasa kembali menemukan hal yang sudah lama hilang darinya. Tangannya mengamit tangan Ibun sama seperti dulu kala, Galen memang hanya sering dititipkan pada Ibun dan juga ayah tapi keduanya menyayangi Galen sehingga membuat anak itu nyaman. “Loh, kok kamu tahu arah rumah Ibun? Perasaan Ibun belum kasih tahu deh.” Galen terkejut tapi kemudian tersenyum. “Gleysa belum celita ya?” “Cerita apa?” “Dia ‘kan sekalang kelja di kantol aku, Bun. Aku pelnah ngantal dia tapi kalna udah malam jadi gak mampil.” “Oh, yang dia pulang malam banget itu?” Galen mengangguk. Mereka tiba dan baru sadar kalau Yoshi sudah tidur di kursi belakang. “Ibun gendong dulu anaknya.” “Gak usah, Bun. Aku aja.” Galen keluar dari mobil membuka pintu penumpang belakang dan menggendong Yoshi masuk ke dalam rumah. Saat masuk ke dalam rumah, Galen menyadari sesuatu. Rumah itu tampak sepi, tidak ada yang bermain catur sendirian, tidak ada yang sibuk dengan motornya hanya ada tambahan mainan anak-anak yang berserakan di satu sudut rumah. “Bun, yang lain di mana?” tanya Galen saat dia kembali setelah menaruh Yoshi ke kamarnya. Raut wajah Ibun berubah, wanita itu menampakkan kesedihan yang kentara. “Ibun?” panggil Galen lagi. “Greysa belum cerita?” Galen menggeleng. Ibun menarik nafas panjang dan menatap Galen. “Ayah, Abang dan juga istri abang meninggal karena kecelakaan hampir sebulan yang lalu.” Galen terdiam, dia terlalu terkejut untuk bisa mengucapkan sesuatu. Sosok lelaki yang selalu bersikap lembut tapi bisa jadi tegas tanpa membedakan wanita dan lelaki itu kini tidak bisa dia temui. Sosok abang yang selalu menjadi idolanya, yang mengajarinya berbagai hal keren itu kini tidak bisa dia jumpai. Hatinya sakit. “Bun!” Galen memeluk kuat wanita yang dipanggilnya Ibun itu, keduanya menangis bersama. “Sekarang Ibun cuma punya Greysa sama Yoshi, Galen. Tapi Ibun bersyukur bisa melihat kamu tumbuh jadi anak yang baik sekarang.” Galen menghapus air matanya, dia menatap Ibun dengan tatapan tulus. Sudah lama sekali dia tidak menangis dan hari ini, air matanya turun tanpa permisi padahal biasanya sangat sulit untuk seorang Galen mengeluarkan air matanya. “Bun, Mama--” Tenggorokan Galen tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Tidak butuh penjelasan bagi wanita itu untuk paham bahwa anak lelaki yang dia kenal sejak kecil hingga remaja telah kehilangan orang yang paling dia cintai. Maka sebuah pelukan hangat coba dia berikan untuk menghangati hati yang sudah lama dingin, sebuah elusan lembut di punggung diberi untuk mengusir rasa sepi yang selama ini menghinggap di hatinya. “Kamu bertahan sejauh ini, Galen. Hebat sekali.” Air mata Galen semakin jatuh, dari dulu semua kata yang keluar dari wanita ini selalu bisa menenangkannya. *** “Baru pulang, Ge?” Greysa yang masih terheran-heran karena lampu rumahnya yang masih menyala padahal jam sudah larut itu hanya bisa menatap Ibun tanpa menjawab. “Itu di depan mobil siapa?” tanya Greysa. Ibun belum sempat menjawab saat pintu kamar mandi terbuka dan sosok lelaki jangkung itu keluar dari kamar mandi. “Lo kok bisa ke sini?” “Hush! Kamu nanya kok gitu amat? Tadi gak sengaja ketemu ibu pas di apotek.” “Astaga! Ge lupa banget kalo hari ini obat Ibun habis ya? Bentar ya, Ge coba cari dulu. Mungkin ada apotek dua puluh empat jam yang masih buka.” “Udah dibeli, Ge.” Greysa menghentikan langkahnya. “Dibantu sama Galen.” Greysa menatap Galen yang masih diam saja berdiri menatapnya. “Nanti gue ganti kalo udah gajian ya.” Galen hanya mengangkat bahunya. “Gue bilang gak usah diganti juga pasti lo tetap ngotot ‘kan?” “Kamu udah makan? Makan dulu, Ibun masak ayam kari tinggal dipanasin aja,” ujar Ibun. Greysa mengangguk. “Ibun tidur aja, Ge bisa sendiri kok.” “Galen, Ibun pengen ngobrol banyak tapi Ibun ini udah jompo jadi udah gak bisa begadang.” “Ibun, jompo paling cantik yang pelnah Galen temui.” Lelaki itu tersenyum manis sebelum memeluk Ibun. Galen dan Greysa sama-sama melihat kepergian Ibun yang masuk di kamarnya. “Lo udah makan?” tanya Greysa. “Udah tadi sama Ibun.” “Ya udah, sana pulang!” “Siapa lo belani ngusil gue?” Greysa memutar matanya malas. “Gue gak bisa tidul dan itu salah lo!” “Salah gue? Emang gue ngapain?” Galen menatap kesal ke arah Greysa, wanita itu memang tidak pernah peka. Tidak saat masa SMP sampai SMA mereka, tidak juga sekarang. *** “Ini beneran kantor kita ngadain outing?” Greysa yang sedang mengerjakan pekerjaannya tiba-tiba merasa tertarik dengan pembicaraan teman-teman di belakangnya. “Di puncak apa di Bali yang kali ini?” “Katanya si di puncak.” “Itu acaranya untuk semua karyawan ya?” tanya Greysa. Mereka yang sedang berkumpul itu melihat Greysa lalu mengangguk. “Paling yang ditinggal itu cuma orang-orang baru aja.” Greysa mengangguk, dia memang ingin ikut tapi kalau harus meninggalkan Ibun dan Yoshi sepertinya dia belum mau. Keluarganya hanya tinggal mereka bertiga dan di masa sekarang penting untuk mereka saling ada bersama. Suasana tiba-tiba berubah saat beberapa orang memasuki ruangan, 4 orang pria berjalan menuju ke arah ruangan Galen. “Itu petinggi di perusahaan ini. Kamu pasti udah tahu Pak Arka ‘kan?” Rose muncul tiba-tiba di samping Greysa membuat wanita itu sedikit kaget lalu mengangguk. “Nah, yang rambut pirang itu namanya Pak Rama dia marketing manager kalau yang pakai kacamata namanya Pak Klif, direktur keuangan. Mereka semua memang temenan dari kuliah terus bikin perusahaan bareng,” jelas Rose. “Ah, iya benar. Si Rama!” gumam Greysa. Tanpa diduga pria yang baru saja disebutkan Greysa kembali keluar dari ruangan Galen dan menuju ke arah Greysa. “Greysa?” Greysa yang kikuk hanya bisa mengangguk. Greysa ingat siapa lelaki ini, si paling eksis waktu sekolah dulu. Pernah jadi model bahkan jadi duta sekolah, yang jelas tidak ada orang yang tidak kenal Rama. “Gils! Lo berubah banget! Beneran! Woy, Len! Wah parah sih!” Entah apa yang sedang terjadi pada lelaki itu, dia seperti begitu bersemangat, terlalu bersemangat mungkin. “Lo! Lo jomblo gak? Kalau lo jomblo dan merasa butuh pendamping, nih kartu nama gue. Pokoknya gue nunggu di antrian kedu--” “Bisa gak belisik gak lo!” Galen sudah menutup mulut lelaki itu dan menggeretnya kembali ke dalam ruangan. Tampak Arka dan Klif yang hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah konyol sahabat-sahabat mereka. (Beberapa jam yang lalu) “Ini jas lo!” Galen melempar jas Arka pada pemiliknya yang sedang duduk menikmati roti. “Kok ada di lo? Perasaan kemarin gue kasih ke Greysa.” Arka kembali mengangkat jas itu dan menaruhnya di samping. “Kok jas lo bisa ada sama si Greysa?” Rama yang sedari tadi memainkan ponselnya menjadi tertarik dengan percakapan singkat Arka dan Galen. “Habisnya nih si bangke, masa tuh cewek ditaruh mejanya depan AC. Ya kedinginan orangnya, gue kasih aja jas gue,” jelas Arga. “Parah lu, Len!” tambah Rama. “Belisik! Mulai sekalang gak usah minjemin jas lo! Dia udah gue beliin jaket sendili!” Rama dan Arka saling berpandangan lalu tertawa kecil. “Apakah gue sudah mulai mencium bau-bau cemburu?” Rama membuat gerakan dengan tangannya yang sukses membuat Arka tertawa. “Kamplet lo! Gak ada yang namanya cembulu. Gue bikin gitu bial dia tahu kalau yang bisa menyiksa dia dan menyelamatkan dia itu cuma gue!” Galen menunjuk dirinya sendiri. “Widih, posesif!” balas Rama. “Tapi dia udah cantik banget loh,” ujar Arka. “Oh ya? Gue rasa sih biasa aja. Apa karena waktu dia wawancara kemarin dia gak dandan maksimal ya?” Arka mengangguk. “Ditambah lagi kalo lo pikirin Greysa yang dulu dan yang sekarang, jadi kelihatan banget kalo tuh cewek tambah cantik,” ujar Arka. “Lo beldua kalo gak belenti ngomongin Gleysa, gue lem bibil lo bedua ya! Lo Alka, kalo sampe macam-macam, gue aduin bokap lo soalnya masalah beli kapal itu. Dan lo, siap-siap mobil impian lo itu gak bakalan sampe sini!” ancam Galen. Tidak ada yang boleh bilang Greysa cantik. Ralat. Tidak ada cowok lain yang bilang Greysa cantik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD