2. Dua Orang Gila

1292 Words
"Api di matanya menyengat kesadaranku, menarikku keluar ke dunianya yang berwarna-warni sama seperti rambutnya yang dicat serupa nyala api dan tato yang dirajah di sekujur tubuhnya." (Janu) *** Sudah lewat tengah hari saat Janu menjejakkan kakinya di sebuah bangunan tua bekas pabrik yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. Rumput-rumput tumbuh dengan liar mengisi setiap celah lantainya yang retak, merambat di tembok-tembok beton yang dingin. Pintu ganda bangunan itu terbuat dari besi baja yang masih kelihatan kokoh meski sudah berkarat di sana-sini. Tak ada gembok atau penghalang apa pun di sana, pintunya justru terbuka lebar seakan-akan mengundang siapa saja untuk masuk ke dalam, termasuk Janu. Sementara di dalam bangunan itu, tak banyak yang tersisa selain beberapa tiang besi peyangga yang mulai berkarat dan kotak-kotak kayu bekas peti kemas bertumpuk-tumpuk. Suasananya sepi, kosong, tempat yang tepat untuk mati. Di saat Janu sedang mengira-ngira berapa lamakah sampai seseorang menemukan mayatnya di sana, ponsel di sakunya bergetar. Dia mengumpat karena lupa mematikan ponsel sekaligus terkejut betapa kebiasaannya mengantongi ponsel telah tertanam di alam bawah sadarnya. Dulu dia punya seribu satu alasan untuk merasa panik jika bepergian tanpa ponsel, sebab semua bisnis dan kehidupan sosialnya terhubung dalam satu benda itu. Kini tak ada lagi alasan, tak ada lagi yang penting baginya, bahkan hidupnya sendiri. Dia mestinya tidak membawanya hari itu. Meski demikian, tetaplah Janu mengecek ponselnya. Ada pesan masuk dari Boy. 'Kau di mana, Bro? Aku tadi ke rumahmu dan ibumu bilang kau sedang keluar.' Janu hendak mengabaikannya, sebelum dia menyadari bahwa itu hanya akan membuat Boy semakin cemas. Janu tidak menginginkan itu terjadi. Dia mau mati dengan tenang. Jadi dia mengetikkan balasan, berbohong menutupi alibinya: 'cuma jalan-jalan sebentar, melemaskan kaki.' 'Aku bisa menemani.' 'Santai, Bro. Kapan-kapan, oke?' 'Ok. Just call me anytime!' Janu menonaktifkan ponselnya, memasukkannya kembali ke saku. Mendadak dadanya nyeri oleh rasa bersalah. Dia tahu Boy tidak pernah meninggalkan sisinya di masa-masa sulitnya. Boy tidak bicara banyak, tidak pernah berusaha merangkai kata sekedar untuk penghiburan. Boy memang bukan tipe seperti itu. Bukannya dia tidak pandai, tetapi kata-kata indah bagi Boy hanya berguna untuk merayu para perempuan dengan omong kosong dan baginya ketulusan bukan untuk diucapkan melainkan diwujudkan dalam suatu tindakan, seperti yang selalu dia lakukan untuk Janu. Boy hanya diam, duduk menemaninya, terus di sana sampai Janu mengusir. Janu menarik napas panjang, berusaha meraup sebanyak-banyaknya udara ke dalam paru-parunya, kemudian mengembuskannya perlahan-lahan, berharap nyeri di dadanya dapat berkurang. Dia mendongak, memandangi langit-langit bangunan, dan merasa yakin jika rangkanya cukup kokoh untuk menahan bobot seorang laki-laki dewasa. Dia hanya tinggal mengikatkan tali di salah satu rangkanya yang paling pinggir, yang paling rendah. Janu tidak membawa tali. Dia harus mencari sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai pengganti tali. Sambil mencari, sekelebatan memori tentang Anjani menyeruak tanpa bisa dia cegah. “Kau salah paham, Janu! Boy hanya membantuku. Dia temanmu! Teman baikmu! Kau tahu Boy seperti apa. Dia tak mungkin mengkhianatimu,” ujar Anjani kepada Janu di hari kematiannya. “Justru karena aku tahu Boy tipe laki-laki seperti apa, makanya aku tidak memercayainya!” Janu membalas ucapan Anjani dengan emosi. “Lalu aku? Bagaimana dengan aku? Apa kau juga tidak memercayaiku?” Anjani menatapnya dengan sorot mata terluka, sesuatu yang akhirnya selalu membayangi benak Janu. “Ini bukan pertama kalinya kau mencurigaiku, Janu. Aku lelah. Sudah cukup!” Anjani membalikkan badan kemudian pergi menjauh. Janu mengejarnya sambil berseru, “Apa maksudmu sudah cukup? Aku belum selesai bicara. Berhenti, Anjani!” Anjani tidak berhenti. Dia tidak mengindahkan seruan Janu. Awalnya Anjani hanya mempercepat langkahnya, tetapi dorongan untuk semakin memperlebar jarak di antara mereka berdua semakin kuat hingga dia mulai berlari. Sebenarnya Anjani pelari yang buruk. Dia mudah kehabisan napas meski hanya lari satu putaran di alun-alun kota. Namun, hari itu dia berlari cepat sekali. Janu terpisah beberapa meter di belakangnya. Anjani terus berlari dengan air matanya. Kesedihan dan kekecewaan telah mengalihkan semua kewaspadaannya sehingga terjadilah musibah itu. Dia tidak melihat sebuah truk besar yang melintas dengan kecepatan tinggi saat menyebrang jalan. Penyesalan tidak pernah mau pergi, bahkan setelah Janu meminta Boy untuk menghajarnya dengan pukulan. Janu menyadari kesalahannya. Matanya dibutakan oleh cemburu dan ketidak percayaan dirinya. Nyatanya tidak ada yang terjadi di antara Anjani dan Boy. Semuanya hanya kesalah pahaman, ilusinya belaka. Boy masih sahabatnya yang setia. Anjani masih mencintainya. Janu berharap bisa membalikkan waktu. Terlambat! Apa yang sudah hilang, tak mungkin kembali. Kematian menjadi pilihan Janu untuk menebus rasa bersalah yang terus menghantuinya. "Sebentar lagi, Anjani, sebentar lagi aku menyusulmu. Saat kita nanti bertemu, kuharap kau mau memaafkanku," Janu berbisik kepada udara. Janu menemukan gulungan kabel teronggok di balik tumpukan peti kayu. Dia mulai mengatur panggung kematiannya. Dia menggeser beberapa peti, menumpuknya sedemikian rupa agar bisa dinaikinya untuk mengaitkan kabel di rangka besi yang menyusun atap bangunan. Butuh waktu sedikit lebih lama dari yang dia perkirakan sampai semuanya siap. Untuk yang terakhir kalinya, dia mengucapkan salam perpisahan dalam hati kepada ibunya, sahabatnya, dan kepada dunia. Janu bersiap mengalungkan kabel yang sudah disimpulnya sebaik mungkin. Bruak! Suara keras benda jatuh menghentikan Janu. Dia bergeming, menajamkan pendengarannya. Janu berusaha menghindari saksi mata. Dia tak ingin ada orang lain di sana. Namun, keinginannya tak terpenuhi. Suara teriakan orang-orang terdengar setelahnya, riuh, ramai, disertai derap langkah. Janu memutuskan untuk menunda upayanya. Dia turun, kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati sumber suara. Keributan itu berasal dari luar gedung. Janu menghitung ada enam orang laki-laki yang semuanya berpakaian ala preman. Celana jeans sobek-sobek, rambut dicat warna-warni, badan ditato. Dua dari mereka memegangi seseorang yang wajahnya sudah babak belur, satu orang yang memakai gelang rantai berderet-deret di tangannya menghajarnya bertubi-tubi, sisanya menonton sambil tertawa-tawa. Janu melihat semuanya diam-diam sambil menduga-duga kemungkinan bahwa akan ada satu mayat lagi selain mayatnya. Pertarungan itu tidak seimbang. Enam lawan satu. Sampai tanpa diduga olehnya, lelaki yang babak belur itu tiba-tiba berteriak dan seperti sebuah adegan film eksyen, dia berhasil melepaskan diri dari kedua orang yang menahan tangannya, lalu balas menyerang. Lelaki itu petarung yang tangguh. Tangan dan kakinya tak berhenti bergerak, menendang, dan memukul. Dia meraih sebatang pipa besi tua yang tergeletak dan menjadikannya senjata. Tanpa sadar Janu memandanginya terkesima. Rambut gondrong lelaki itu, yang dicat berwarna merah menyala, bergerak seiring aksinya, melompat, berkibar seperti nyala api. Lelaki itu mengayunkan pipa besi di tangannya, memekik seperti anak kecil yang sedang bermain, sambil terus memukuli lawan-lawannya. Matanya berkilat-kilat, mulutnya menyeringai. Keadaan seketika berbalik. Kelima orang yang tadi menghajarnya kini seperti kumpulan lalat yang tak berdaya. “Kalian mencari lawan yang salah! Pergi dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” Lelaki itu berseru. Kelima lawannya bangkit dengan susah payah, sambil membungkuk menahan sakit mereka bergegas pergi, melewati Janu yang berdiri di sana terbengong-bengong. “Kau lihat, tadi?” Entah sejak kapan lelaki itu tiba-tiba saja berada di hadapan Janu dan mengajaknya bicara. “Ya ....” jawab Janu ragu-ragu. “Lumayan keren, kan?” Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya dengan penuh gaya. “Ya.” Janu meringis. Dia melihat darah segar mengalir dari pelipis sobek lelaki itu, juga dari bibirnya yang pecah. “Sky.” Lelaki itu menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangan. Dia tersenyum lebar seakan-akan tidak peduli dengan luka-luka di wajahnya. “Janu.” Alih-alih mengabaikan salam perkenalan dari Sky seperti yang seharusnya dia lakukan, Janu malah membalas jabat tangan Sky. Sky terkekeh, dia mengeratkan jabatan tangannya, sengaja tidak melepaskannya, dan malah menarik Janu sampai kedua wajah mereka begitu dekat. “Ikut aku!” “Ti-tidak! Tunggu dulu ... a-aku.” Janu menjauh, berusaha menolak. Itu bukan waktu yang tepat untuk berurusan dengan orang asing. “Akan kutunjukkan sesuatu yang lebih seru.” Sky bersikukuh, tidak menerima penolakan. Dia menatap Janu tajam. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, tetapi Janu mengenali sesuatu di dalam tatapan Sky: kegilaan yang sama. Selama beberapa detik dia menenggelamkan diri dalam cermin di mata Sky sebelum akhirnya menarik sudut bibirnya, lalu mengangguk. “Oke!” Janu mengikuti Sky pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD