1. Kematian Anjani
"Tubuhnya tercerai berai di depan mataku, hancur, tak berbentuk, tak bersisa, masihkah bisa kusebut dia kekasih? Anjani! Anjani! Nama siapa yang kupanggil? Kekasihku mati!" (Janu)
***
Waktu seakan-akan telah berhenti berputar bagi Janu. Malam atau siang tak lagi memiliki arti. Dia terjebak dalam kenangan-kenangan masa lalu bersama Anjani, kekasihnya yang telah tiada.
“Love is life, Boy!” Dua tahun yang lalu, itulah yang dikatakan Janu kepada sahabat karibnya, Boy, saat Anjani menerima cintanya dan resmi menjadi kekasih pertamanya.
Janu tergila-gila kepada Anjani sejak SMU. Siapa yang tidak? Anjani cantik, cerdas, populer, primadona sekolah, gerak-gerik dan kerling matanya mampu menimbulkan riak di d**a setiap lelaki. Janu tidak dapat menahan dirinya untuk tidak mengekor ke mana Anjani pergi, diam-diam, dari jauh, tanpa sepengetahuan perempuan itu.
“Kau menyedihkan, Bro!” celutuk Boy dari balik punggung Janu ketika Janu tanpa berkedip mengamati Anjani yang sedang mengobrol dengan teman-teman perempuannya. “Ungkapkan saja perasaanmu kepadanya! Kalau kau terus begini, aku tidak heran jika suatu hari nanti Anjani akan mengadukanmu sebagai seorang stalker.”
“Psst, Boy! Dia bisa mendengarmu,” Janu menepuk bahu Boy dengan gugup.
“You are okay, Bro!” Boy menangkupkan telapak tangannya ke wajah Danu, meneliti setiap inchi wajahnya seperti seorang pelukis mengagumi hasil karyanya sendiri. “Cewek mana yang bisa menolak wajah setampan ini? Percaya dirilah sedikit, pancarkan auramu!”
Janu menepis tangan Boy gusar. “Stop main-main, Boy! Aku serius suka sama dia. Aku bukan Don Juan sepertimu.”
Boy mengacak-acak rambut Janu dengan gemas. Dia mengenal Janu hampir seumur hidupnya. Mereka bertetangga, dan orang tua mereka juga saling mengenal baik. Mereka tumbuh besar bersama-sama bagaikan saudara. Di mana ada Janu, di situ pasti ada Boy.
Meskipun bersahabat baik, karakter keduanya bagi bumi dan langit. Janu pendiam, tidak pandai bergaul, terutama kepada perempuan, sahabat satu-satunya hanyalah Boy. Sementara Boy sebaliknya, dia seumpama matahari, membawa kecerahan di sekitarnya. Senyum Boy serupa racun yang tanpa sadar membius lawan jenisnya. Dan, Boy sangat menyadari itu. Jika cinta berarti segalanya untuk Janu, maka Boy mencintai segalanya. Dia tidak pernah menolak setiap perempuan yang datang menawarkan cinta. “Hatiku cukup luas untuk menampung semua cinta,” dalih Boy saat Janu menegurnya karena memiliki lebih dari satu pacar dalam satu waktu.
Kemudian masa remaja sebagai pelajar SMU berakhir dan Janu masih rapat menyimpan perasaannya untuk Anjani. Dia bahkan tidak yakin jika Anjani tahu namanya. Keraguannya baru terjawab saat dia bertemu lagi dengan Anjani di reuni sekolah beberapa tahun setelahnya. Perempuan itu memanggil namanya. Tanpa dia sangka, Anjani mengingat Janu dengan sangat baik.
“See? Sudah kubilang, kau harus datang ke reuni,” bisik Boy. Sebelumnya dia setengah menyeret Janu agar mau keluar dari cangkang emasnya untuk bersenang-senang di pesta reuni. Boy berpikir dia harus menyelamatkan sahabatnya itu dari tumpukan buku-buku kuliah dan dari kesia-siaan masa mudanya. “Hari ini kau harus bilang kepadanya! Just say, i love you! That’s it!”
Janu tidak serta merta mengikuti saran Boy, meski dengan caranya sendiri dia berhasil bertukar nomor kontak dengan Anjani dan dari sanalah hubungan keduanya berkembang. Ternyata, selama ini Anjani bukannya tidak tahu kalau Janu mengaguminya dari jauh, bahkan dia juga tahu kalau Janu yang diam-diam meletakan makanan kecil di laci meja kelasnya setiap hari disertai pesan anonim, ‘have a good day, Anjani!’
Anjani dan Janu, mereka berdua akhirnya menjadi sepasang kekasih yang penuh cinta. Tahun-tahun bersama Anjani adalah tahun terbaik dalam kehidupan Janu, sampai sebuah kecelakaan tragis merenggut semuanya. Di depan mata kepala Janu, Anjani tewas. Laki-laki itu bahkan tidak dapat memeluk jasadnya karena sebuah truk besar melumat Anjani tanpa ampun. Tubuhnya berserak, tergerus roda truk, darah mewarnai aspal dengan kegelapan.
Kematian Anjani membunuh separuh diri Janu. Dia menutup diri terhadap dunia, mengurung diri di dalam kamar, tidak menerima telepon, tidak menerima tamu, tidak bekerja. Bagaikan mayat hidup, Janu tidak melakukan apapun kecuali menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Anjani.
Boy tidak menyerah untuk membuatnya bangkit, dia datang hampir setiap hari meski Janu terus menolaknya.
“Pergilah, Boy!”
“Bro ... please?”
Sebuah bantal melayang mengenai wajah Boy. Janu yang melemparnya. Dia menatap Boy putus asa. Boy dapat mendengar jeritan minta tolong dari tatapan itu, tetapi dia tidak tahu harus bagaimana. Boy sama frustasinya. Dia ingin Janu kembali.
“Maafkan dia, Boy.” Bu Sastro, ibunya Janu, menepuk lembut bahu Boy. “Tolong, jangan bosan datang kemari. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kau sekarang.”
Boy menghela napas dan tersenyum sedih. Dia mengangguk sebelum pamit pulang.
Janu adalah anak satu-satunya, keluarga satu-satunya Bu Sastro. Ayah Janu, suami Bu Sastro, meninggal bertahun-tahun lalu. Perempuan itu merasa sudah cukup memberi waktu untuk Janu meratapi kehilangannya. Dia ingin putranya menghadapi kenyataan dan mulai memikirkan masa depannya, masa depan keluarga mereka. Jadi, dia berderap menuju kamar Janu, kemudian berteriak, “Janu, apa selama-lamanya kamu akan begini terus?”
Bu Sastro mendekati ranjang, menarik selimut yang dipakai Janu sebagai tamengnya dari dunia, dari kenyataan bahwa Anjani sudah tiada.
Teriakan ibunya berdengung di telinga Janu. Dia menutupi kepalanya dengan bantal dan berpikir, "Seberapa lamakah ‘selamanya’ itu? Selalu akan ada akhir untuk segalanya, bukan? Termasuk untuk kata ‘selamanya’?"
Bagi Bu Sastro, ‘selamanya’ berakhir hari itu juga. Dia bertekad untuk menarik keluar Janu dari masa berkabungnya. Bu Sastro membuka jendela kamar lebar-lebar, mempersilakan udara pagi yang dingin masuk sebebas-bebasnya setelah tertahan untuk sekian lama. “Kamar ini berbau busuk! Kapan terakhir kalinya kau mandi, heh? Angkat kakimu, pergi ke kamar mandi sekarang atau Ibu siram pakai air!”
“Tak bisakah kau membiarkanku sendiri, Bu?” Janu membalikkan badan, tidur menelungkup di atas kasur.
“Bangun!” Seorang ibu kadang harus keras kepala demi kebaikan anaknya. Melihat Janu tidak juga bereaksi sesuai dengan harapannya, Bu Sastro meraih segelas air dari meja di sisi tempat tidur dan menyiramkannya ke atas tubuh Janu.
Seketika Janu melompat terkejut. “Ibu!” protesnya.
Bu Sastro menyeringai. “Ibu rasa kau butuh lebih dari segelas air untuk menghilangkan bau badanmu.” Dia lalu bergerak hendak mengisi lagi gelas kosong di tangannya.
“Oke, oke, aku bangun! Lihat ini? Aku sudah bangun. Jangan siram lagi!” Janu menggerutu.
“Bagus, teruskan, ayo, sekarang jalan, maju! Kamar mandi ada di seberang dapur. Kuharap kau masih ingat tempatnya.”
Janu memaksakan diri untuk bangkit. Kepalanya sedikit pusing karena terlalu lama menghabiskan waktu di tempat tidur. Sambil melangkah pelan menuju kamar mandi, sesekali dia menengok ke belakang dan mendapati ibunya tengah mengawasinya, memastikan bahwa dia tidak berubah pikiran untuk kembali berbaring seperti orang lumpuh. Ah, mungkin saja pikiran dan hati Janu memang telah lumpuh sebab laki-laki itu kemudian bergeming, diam, tak bergerak.
Bu Sastro memukul b****g Janu dengan gagang sapu. Pukulannya ringan saja, pukulan sayang seorang ibu. Lama dia menatap putra kesayangannya, berharap dapat menyalurkan kekuatan lewat pandangan mata. Janu tersenyum sambil balas memandang ibunya dan dalam imajinasinya, dia mengubah sang Ibu menjadi penyihir berwajah masam, lengkap dengan sapu terbang yang bisa membawanya pergi ke mana saja dia suka.
"Ibu, sihirlah aku dengan mantera penghilang ingatan, biar aku lupakan satu nama itu—Anjani," batin Janu.
Tak ada penyihir, tak ada mantra. Anjani dan lesung pipitnya yang manis terus menghantui pikiran Janu.
***
“Ibu, aku mau keluar sebentar.” Janu berkata setelah selesai membersihkan diri.
Bu Sastro terkejut sekaligus gembira. Itu pertama kalinya Janu keluar dari rumah setelah kematian Anjani. “Ajak Boy. Kau tahu dia yang paling mencemaskanmu.”
“Baik, Bu.” Janu mengecup pipi ibunya, memeluknya, lalu berbisik lirih, “Maafkan aku, Ibu.”
“Masa-masa sulit ini pasti akan berlalu, Sayang, pergilah ke tempat yang kau suka, lalu cepat kembali!"
Janu mengangguk sambil berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh, dan dari dalam hatinya berkata, "Aku pasti akan kembali, tapi tidak dalam keadaan hidup."