3

4591 Words
Alana datang pagi-pagi sekali untuk mengurus berkas keberangkatan mereka menuju Osaka. Jika ditempuh dengan mobil akan memakan waktu cukup lama. Bahkan sangat lama. Jadi, mempersiapkan pesawat adalah hal yang terbaik. "Bagaimana dengan pesawat direktur utama?" Alana bertanya saat dia seleHiro mengkopi seluruh dokumen dan menyalin ke dalam flashdisk miliknya. "Kita akan naik penerbangan pertama," kata Akira, mengejutkan Alana dan pegawai divisi umum yang terlonjak, bersama-sama membungkuk padanya. Akira hanya mengangguk tipis. Dia menatap Alana. "Aku sudah menyuruh Souma untuk mendapatkan tiketnya, tunggu sepuluh menit lagi," ucap Akira saat dia berlalu dari hadapan mereka menuju ruangannya. Alana tersentak, dia berlari mengejar sang atasan dan masuk tanpa permisi. Akira menoleh, mengangkat alis ketika tatapannya jatuh pada map yang dipeluk gadis itu. "Tidak perlu. Aku punya alternatif lain agar kita sampai di Osaka tepat waktu," kata Alana, memecah pikiran Akira tentang tepat waktu. Akira hanya diam. Saat dia melihat Alana menempelkan ponsel ke telinganya, dia terkejut. Mendengar suara gadis itu memerintah orang lain di seberang telepon. "Siapkan pesawat pribadi, aku tidak punya pilihan lain selain memakai pesawat pribadi itu. Kabari aku sepuluh menit lagi," ucapnya, lalu mematikan telepon. "Sebentar," Akira mendengus. Otak cerdasnya berkeliaran memikirkan dengan siapa Alana bicara. "Pesawat pribadi? Kau menyewa pesawat pribadi untuk kita?" Alana tersenyum manis. "Tidak, aku jamin untuk yang satu ini gratis," dia berbisik, senyum tidak hilang dari wajahnya. "Aku membawa pesawat pribadi milikku. Karena milikmu sedang digunakan oleh pimpinan Shimura Steel, kita tidak punya pilihan lain." Akira berdeham. Dia menatap Alana yang memasang senyum puas. Dia membungkuk, berpamitan pada pria itu sebelum menutup pintu dan kembali ke kursinya sendiri. "Dia gila? Dia membawa pesawat pribadinya sendiri untuk perjalanan bisnisku?" Akira berdecak, dia berulang kali merutuki dirinya sendiri. "Apa yang akan orang tuanya katakan tentangku?" Alana berdiri saat Akira keluar dari ruangannya. Menatap gadis itu dengan sorot tajam. "Jangan lakukan ini," suaranya merendah agar pegawai divisi umum tidak mendengarnya. "Aku tidak akan berhutang apa pun padamu. Ini perjalanan bisnis perusahaanku." "Tidak, Tuan ," balas Alana menolak permintaan Akira. "Kita pasti menginginkan yang terbaik. Ketepatan waktu dan disiplinmu sangat terkenal, aku tidak akan mencoreng itu hanya karena kita naik pesawat kelas satu di jam pertama. Kita sedang terburu-buru, bukan urusan liburan." Akira mendengus tajam. Dia memandang sekretarisnya dengan menahan jengkel. Saat dia hendak bicara, Alana menahan telunjuk di bibirnya, menyuruh Akira untuk diam. "Ada telepon masuk," katanya. Dia mengangkat panggilan itu dengan santai. Senyumnya mengembang lebar. "Baik, aku akan sampai di bandara setengah jam dari sekarang. Terima kasih, Tuan Lei, sampaikan salamku pada ibu dan ayah. Aku akan bawakan oleh-oleh untuk mereka dan untukmu," ujar Alana dengan kekehan pelan. Membuat rasa dongkol di hati Akira semakin besar. Ponsel Akira berbunyi. Dia berpaling, menatap layar ponsel mewahnya dan nama Souma tertera di layar. Alana menunggu dengan alis terangkat, Akira mengangkatnya. "Batalkan. Aku sudah mendapatkan pesawat yang jauh lebih eksklusif," katanya sarkatis. Alana tidak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi. Akira mematikan sambungan teleponnya. Menatap Alana yang kini memiringkan kepala dengan senyum manis. Dia menghela napas panjang. Tidak bisa berbuat apa-apa. Terdengar kekehan agak lama dari sosok di depannya, sedangkan saat mata mereka bertemu, Alana hanya mengangkat bahu. "Aku tahu perjalanan ini sangat penting bagimu setelah aku melihat kegiatanmu di Osaka nanti, maafkan aku," Akira hanya diam. Dia menunduk, mengusap pelipisnya dan menggeleng pelan. "Tidak," dia terdiam sebentar. "Bukan masalah. Kau tahu alasanku mengajakmu pergi, kan?" Alana menatapnya dalam diam. Kemudian, kepalanya mengangguk pelan. "Aku tahu. Karena aku sekretaris paling berkompeten yang kau miliki, juga karena kau tidak bisa mengurus dirimu sendiri terlebih kau sangat manja dan menyebalkan, kau pasti mengharapkanku ada di sampingmu. Benar?" Akira mendengus tajam. Tetapi dia tidak bisa menampik kalau ucapan Alana benar adanya. "Tentang cutimu ..." "Lupakan. Aku harus mengurus keperluanmu karena ini penting. Setelah itu aku akan membahas tentang cutiku," kata Alana. "Bagaimana?" "Oke," Akira kemudian berbalik kembali ke ruangannya. Alana membungkuk, setelah pintu tertutup dia kembali duduk di kursinya. Menatap keperluan dokumen untuk dia bawa ke Osaka dan persiapan hotel mereka. Gerakan tangannya merapikan sisa kertas di atas meja terhenti. Dia terdiam, mendadak perasaannya menjadi tak karuan. Alana menoleh, mengintip Akira dari kursinya saat pria itu sibuk membaca dokumennya dan merapikan beberapa keperluan yang harus dia bawa. Kepalanya tertunduk. Genggaman Alana pada pena miliknya tiba-tiba menguat. Dia menghembuskan napas kasar, mendadak kepalanya terasa pening. Osaka. Tempat itu menyimpan kenangan yang tidak bisa Alana lupakan. Dimana dia bertemu sang atasan untuk pertama kalinya. Di tempat asing, di tanah orang lain yang jauh dari rumah dan tempat kelahirannya. Dengan kondisi Akira yang menyedihkan, ekspresi Akira kala itu masih sangat membekas dalam ingatannya. Alana mengerjap. Dia menatap langit-langit dengan mata mulai menggenang. Sialan, kenapa dia ingin menangis? "Wah, ada yang tidak beres denganku," gumamnya pada diri sendiri. Dia segera berdiri, pergi ke dapur untuk mencari cokelat batangan yang tersisa di laci. *** Mata Alana menyipit saat dia melihat pesawat pribadinya sudah siap terpakai. Dia sedikit kesulitan ketika menarik koper miliknya dan milik Akira dengan kedua tangan dan tas besar yang menyelempang di punggungnya. Dengan santai, Akira meninggalkannya masuk ke dalam pesawat. Alana harus beberapa kali membungkuk pada anak buahnya yang menatapnya bingung hendak membantunya, tetapi Alana seperti punya tenaga lebih untuk mengatur segalanya sendiri. Saat dia masuk, dan pramugari membawakan koper mereka berdua ke tempat yang lebih baik, Alana baru bisa menarik napas bebas dan menghembuskannya kasar. Dia menatap Akira yang berdiri di depan rak sampanye dan anggur, napasnya mencelos keluar sekali lagi. "Selera orang tuamu boleh juga," kata Akira saat Alana berdiri di sampingnya. Alana hanya memutar mata. Dia meminta pramugari yang merangkap sebagai penjaga minuman untuk memberikannya air putih dingin. "Kenapa tidak anggur?" Akira berkata dengan ekspresi bingung. "Ada banyak pilihan minuman yang bisa kau coba di sini," "Kau punya rapat setelah sampai di Osaka, Tuan , jangan cari masalah," balasnya dingin. Dia mengucapkan terima kasih dan berlalu dengan gelas air putih di tangan. Alana mengambil tempat di dekat jendela. Dia menikmati pemandangan saat pesawat siap lepas landas dan merasakan sebelah kursinya bergoyang, dia menoleh. Akira duduk di sampingnya. "Ini agak aneh," dia mengerutkan hidungnya. "Aku pergi untuk urusan bisnis dengan pesawat milik sekretarisku," dia memutar tubuhnya. Menatap Alana yang memandang ke depan. "Bukankah kau sekretaris yang mahal? Satu banding satu juta," katanya. "Tolong, jangan menyanjungku terlalu jauh," kata Alana dengan senyum. Menatap Akira yang memasang raut datar. "Aku tidak akan begini kalau kau bicara dari beberapa hari yang lalu. Paham?" Akira menghela napas panjang. Dia kembali memutar tubuhnya, terkejut dengan pramugari yang membungkuk dengan senyum lebar pada mereka. "Ms, , ada yang bisa dibantu?" "Tanyakan pada pria di sampingku, dia lapar. Aku lupa tidak memberikannya kudapan dan teh tawar hangat," kata Alana. Dan pramugari itu segera berlalu dari mereka. "Aku bahkan tidak ingat kalau aku belum makan apa pun sejak pagi," Alana tersenyum samar. "Osaka benar-benar menyita pikiranmu, benar?" Dia menatap Akira yang menunduk, memejamkan mata. Dia tersentak. Alana berdeham, tiba-tiba merasa tidak enak hati pada atasannya. Dia menipiskan bibirnya, melempar tatapannya kembali pada pramugari yang membawakan pesanannya, Alana segera membantunya memindahkan ke meja untuk Akira. Akira membuka matanya. Menatap kudapan dan teh tawar di hadapannya dengan sorot tajam. Dia menoleh, mendapati Alana sedang sibuk mengunyah potongan buah di piring. "Apa pesawat ini menyediakan kamar tidur?" Alana mengangguk tanpa menoleh. Melihat awan di bawah pesawat mereka jauh lebih baik ketimbang wajah masam bosnya. "Kamar mandi mewah? Dengan air hangat dan shower berisi mineral yang bercampur vitamin dan sabun herbal agar tubuh tetap sehat?" Kunyahan Alana di mulutnya terhenti. Dia menoleh, menatap ekspresi angkuh Akira karena pesawat pribadi pria itu memilikinya. "Aku sangat yakin dengan pesawat ini memiliki fasilitas yang tidak kalah mewahnya dengan Raja Arab di luar sana. Kau meragukannya?" Akira menggeleng dengan senyum sombong. "Tidak, hanya saja, aku berpikir pesawat milikku yang terbaik di Jepang dan di kelasnya. Tapi, ini tidak buruk," dia tertawa pelan, mengusap permukaan sofa yang bisa dia putar untuk dijadikan tempat tidur. Alana mendengus. Dia membanting garpu di atas piring dan Akira merespon dengan alis terangkat. "Aku punya fasilitas spa dan karaoke kalau kau ingin memanjakan dirimu, di lantai atas," bisiknya dingin. Akira mendengus, menahan tawa. "Bagaimana dengan parkiran mobil mewah? Aku tidak melihatnya tadi," Alana tersenyum. "Setelah pesawat ini lepas landas di bandara, aku akan membuka pintu itu untukmu," dia cemberut, merasa jengkel dan berpaling kembali menatap jendela. Akira tertawa pelan. Dia memainkan jemarinya mengetuk meja dan memakan kudapan pengganjal perut di pagi hari. " Group tidak main-main rupanya," Akira mengunyah makanannya dan menatap Alana yang menguap bosan, bersandar pada sofanya. "Perjalanan kita masih satu jam lagi, jika kau perlu sesuatu, panggil pramugari," dia mulai mencari posisi nyamannya, membelakangi Akira yang terdiam, menatap punggungnya. "Kenapa kau tidak tidur di kamar pribadi?" Alana terdiam, dia menggeleng kemudian. "Tidurlah," Akira mengucapkannya dalam suara pelan. Dia berdeham, meminum teh tawarnya saat dia meraih tablet di meja, mencolok kabel untuk mengisi daya tabletnya yang hampir habis. "Alana," "Semalam aku tidur pukul empat pagi, Tuan ," bisik Alana parau. "Dokumen untuk rapat hilang dan aku lupa menaruhnya dimana. Aku butuh tidur. Jika kau berisik sekali lagi, aku akan melemparmu turun dari pesawat ini," Alana menoleh, matanya tampak sayu dan berat, tetapi dia tersenyum. Akira terdiam. Dia mengangguk pelan, membuka tabletnya dan larut dalam bacaan pagi harinya yang rutin dia lakukan di kala senggang. *** Alana terdiam di depan pintu masuk villa minimalis dua lantai yang besar terletak di pinggir kota Osaka. Dia menatap Akira yang membuka pintu, menatapnya dengan alis menekuk. "Apa?" "Aku memesan dua kamar hotel kelas satu untuk kita, dan kau memilih tidur di villa?" Alana mengerjap, dia menatap Akira lelah. "Maafkan aku, tapi apa alasannya?" Akira menatap villa ini dengan pandangan kagum. "Ini milik Oki, dia bilang aku bisa menggunakannya kapan pun jika aku kemari. Kuncinya selalu ada di pot ini, terkubur di sini," kata Akira, menunjuk pot bunga yang berantakan. Alana terdiam. Dia menatap Akira yang mendekatinya dan membawa koper miliknya sendiri masuk ke dalam. Setelah Akira masuk, dia menarik kopernya sendiri masuk ke dalam. Villa ini cukup luas. Dengan perabotan yang tidak terlalu banyak dan bersih, Alana mendadak merasa nyaman dan jatuh cinta. "Hanya ada tiga kamar di sini, kau bisa memakai salah satunya," kata Akira saat dia mulai menaiki anak tangga dan Alana mengikutinya. "Aku akan membatalkan pesanan kamar hotel kita. Mereka akan membayar uang muka yang sudah kuberikan tadi," ucap Alana saat dia diam, kebingungan mencari kamar untuknya. "Dua-duanya sama," sahut Akira. Dia menunjuk kamar yang berseberangan tepat di depan kamarnya. "Gunakan kamar ini, kau bisa mendapati pemandangan belakang villa yang bagus." "Oke," Alana tersenyum. Tanpa banyak berpikir, dia menarik koper miliknya dan masuk ke dalam. Begitu juga dengan Akira yang membawa kopernya masuk ke kamar yang lain. Alana mengamati isi kamar yang luas. Dia menghela napas, kamar ini seperti kamar pada umumnya yang biasa. Kamar tamu. Tidak ada televisi, tidak ada apa pun kecuali hanya satu set lengkap kamar tidur berukuran besar dengan lemari dan meja rias. Saat dia keluar, Akira sedang menatap ponsel dengan handuk di lehernya. Mereka punya waktu satu jam sebelum rapat dimulai. "Pembukaan perpustakaan dan pusat seni Osaka jam satu siang," kata Alana saat dia menutup pintu. Akira hanya mengangguk dan mematikan ponselnya. "Kamar mandi ada di sana," Akira menunjuk toilet di lantai dua dan Alana mengangguk. Pria itu kemudian berbalik, kembali ke kamarnya. *** Dua puluh lima menit berlalu. Alana merapikan ikat rambutnya dengan dokumen di d**a dan tas yang tersampir di bahu. Dia berjalan, menyusul Akira yang lebih dulu menuruni anak tangga. "Aku sudah menyewa mobil dari rental mobil ternama. Tanpa supir, karena aku akan mengemudi," Akira meliriknya sekilas, kemudian kembali berjalan. "Rapat akan diadakan di perusahaan subkontraktor 's Company. Mereka sudah siap, sedang menunggumu datang." Langkah Akira yang terlalu cepat berjalan tidak lagi membuat Alana kesulitan. Dia menutup pintu, menguncinya dan membawa kunci itu ke dalam tas miliknya. Dia berlari kecil ke mobilnya, mengambil alih kemudi. "Ini pertama kalinya kita ke Osaka setelah lima tahun, bukan?" Alana terdiam. Dia menyalakan pendingin dalam mobil dan mengangguk. Mengaktifkan GPS dan mulai mengemudi. "Aku masih mengingat dengan jelas jalan di sini, walau banyak yang berubah, mungkin." Akira hanya diam di sampingnya. Pria itu duduk dengan tenang. Pandangannya terlempar ke luar jendela mobil yang melaju. Alana menekan pedal agak dalam, Akira tidak berkomentar dengan kemampuan menyetirnya yang terkadang bisa membuatnya lolos casting film Taxi yang terkenal itu. Alana menghembuskan napas panjang. Dia memperbaiki rambut dan kemeja abu-abunya saat Akira berjalan dan disambut baik oleh petinggi perusahaan yang siap di depan pintu masuk. Alana ikut membungkuk, dia menyalami beberapa pegawai penting di sana dan berjalan mengikuti langkah Akira seperti yang biasa dia lakukan. Mereka sampai di ruang rapat. Para kolega sudah datang dan menempati tempat masing-masing. Mulai membuka laporan dan tablet mereka, sedangkan Akira duduk dalam diam, mengamati presentasi salah satu dari mereka di depan. Alana siap mencatat seluruh isi rapat hari ini. Dia menulis beberapa poin penting sebelum diketik dan dilaporkan pada Akira setelah semua siap. Akira bersikap pasif kali ini. Dia hanya mendengarkan, memberi beberapa masukan yang tidak terlalu cerewet, Alana menghela napas lega, dia tidak mencatat terlalu banyak. Saat seleHiro, Alana membereskan beberapa dokumennya dan bersiap pergi. Akira bersiap berdiri, dia menatap beberapa dari mereka yang masih tinggal di ruangan. "Sekretaris ," sapa mereka. Alana mengangkat kepala dengan senyum. "Ya?" Lain halnya dengan Akira yang menoleh dengan ekspresi datar. Dia menatap tiga kolega muda yang tersenyum malu saat Alana melempar senyum ramah pada mereka. "Sudah lima tahun bekerja untuk 's Company, bagaimana perasaanmu?" Akira mendengus pendek. Pertanyaan basi macam apa itu? Dia menatap Alana yang menunduk, masih tersenyum. "Semua berjalan baik. Sesuai yang kalian duga, ini tidak mudah," katanya, melirik Akira yang melempar mukanya ke arah lain. "Kami tahu siapa dirimu," salah satunya tersenyum pada Alana. Akira menyipit mendengar dari mereka mencoba merebut hati Alana. "Tidakkah bekerja menjadi sekretaris di perusahaan yang super padat dan sibuk menguras waktumu?" "Sebenarnya, ya. Tapi aku sudah siap menerima segala konsekuensinya. Dan untuk latar belakangku, aku rasa tidak keberatan untuk mencoba tantangan baru, bukan? Sebelum aku memegang kendali yang lebih besar lagi, ini baru permulaan," balasnya tenang. Alana melirik Akira sebentar. "Agar aku nantinya tidak terlalu bergantung dan menekan sekretarisku saat memimpin perusahaan." Akira mendengus tajam mendengar kalimat Alana. Dia menatap gadis itu, menemukan Alana mengedip padanya dan dia menggeleng kecil. "Kau benar-benar jenius," salah satu dari mereka berdiri. "Bagaimana kalau kita makan malam nanti? Jadwalmu kosong?" "Ah, itu," Alana tiba-tiba kehilangan suaranya. Dia menipiskan bibirnya, menatap mereka dengan pandangan bersalah. "Mengajak sekretarisku makan malam?" Akira menoleh, melempar tatapan tajam pada ketiganya. "Kalian bahkan baru melihatnya hari ini," Akira menggeleng tak percaya. "Keberanian kalian boleh juga." "Ah, aku tidak keberatan dengan ajakan makan malam sebenarnya," sela Alana. Dia terkejut dengan Akira yang secepat angin menoleh padanya, melotot dengan ekspresi dingin. Alana berdeham pelan. "Tapi aku punya urusan nanti malam. Aku tidak bisa, maaf," katanya, menolak dengan halus. Mereka hanya mengangguk dengan senyum memaklumi. Tidak ada yang berani menatap Akira, sang bos tertinggi kali ini. Mereka saling menunduk, merapikan barang mereka sebelum berlalu pergi setelah membungkuk memberi salam. Alana menghela napas. Dia menatap Akira yang berjalan lebih dulu di depannya. "Tidakkah kau berpikir kau kelewatan pada bawahanmu sendiri?" Akira meliriknya. Dia menekan tombol lift. "Aku tidak merasa demikian," Alana memutar mata. "Oh, ya?" "Lucu ketika mereka berani menggodamu di depanku, direktur utama mereka. Seharusnya, mereka tahu tempat," Akira melangkah masuk ke dalam lift dan menatap Alana yang cemberut di depan pintu. "Kenapa wajahmu? Cepat masuk sebelum pintu tertutup," bentak Akira pada Alana yang terburu-buru masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka. *** "Bagaimana liburanmu?" "Liburan, matamu?" Alana memekik tak percaya. Dengan piyama polkadot yang dia pakai, dia duduk santai di sofa dengan camilan ringan di tangan dan segelas bir. "Akira bahkan sangat kurang ajar padaku." "Kurang ajar, bagaimana?" Alana mendesah panjang. "Sepulang kami dari pembukaan perpustakaan dan galeri seni, dia membawa lari mobil yang kusewa, dia pikir aku sudah kembali lebih dulu. Padahal kau tahu? Aku sedang mengurus buku yang akan direvisi dan diterbitkan untuk promosi. Dia gila!" Alana semakin bosan mendengar suara tawa Haru yang meledak. "Lalu, kau kembali dengan apa?" "Taksi! Jangan bertanya lagi! Kau pikir aku terbang?" Tawa Haru semakin keras. Alana menggembungkan pipinya sebal. Rasa dongkol dan jengkel itu masih mengembang hebat di dadanya. Siap meledak. Beruntung, Haru meneleponnya. Dia jadi melampiaskan kekesalannya pada sahabatnya, bukan bos kurang ajarnya. "Bagaimana dengan pesawat pribadimu? Aku dengar tadi saat Hiro bilang Akira menumpang pesawatmu. Bagaimana bisa?" "Kau tahu, pesawat pribadinya sedang digunakan pimpinanmu, kami terlambat jika menunggu penerbangan pertama. Aku tidak punya waktu berpikir selain memakai pesawat milik keluarga." Alana mengunyah makanan itu di dalam mulutnya. "Dan kau tahu? Aku bertanya padanya apa dia ingin berterima kasih karena aku berbaik hati meminjamkan pesawatku padanya atau apa," "Kupikir dia akan membayar uang bahan bakar pesawatmu?" "Cih!" Alana memekik nyaring. Membanting bungkus plastik makanan ringannya di atas meja. "Pria seperti dia mau membayarnya?" "Lalu?" "Dia bilang dia akan mengganti bahan bakar pesawatku dengan bensin solar bersubsidi. Dia gila? Sejak kapan pesawat memakai solar? Mana bersubsidi lagi. Aku rasa, otaknya tertinggal di ketinggian tiga puluh ribu kaki pagi tadi." Tawa Haru semakin pecah. Alana mengambil kaleng bir yang baru di atas meja. Sudah tiga kaleng bir dia habiskan untuk meredam hari buruknya. "Kau sedang apa?" Alana menyembur keluar isi kaleng bir di dalam mulutnya. Dia terbatuk berulang kali, mematikan telepon Haru secara sepihak tanpa ucapan selamat malam atau perpisahan ala manja mereka, dia berdiri, mengusap mulutnya dengan sebal. "Apa?" Alana membentak, membuat Akira mundur dengan ekspresi bingung. "Buatkan makan malam, aku lapar," "Kau pikir aku pembantumu?" Alana membentak dengan nada tinggi. Akira tersentak, dia menatap gadis yang wajahnya memerah itu lekat-lekat. "Aku sekretarismu, ya. Kalau kau lapar, pergi sendiri cari makan malammu. Atau pesan makanan. Jangan manja!" Akira mengerutkan keningnya. Dia menatap Alana. Meneliti ekspresi gadis itu. Alana dalam balutan piyama tidur sebenarnya tidak asing dengannya. Karena Alana tidak suka memakai pakaian yang mengundang iman seseorang, dia lebih suka memakai piyama atau kaus dengan celana kain panjang. "Kau sendiri bagaimana? Memesan satu bungkus ayam goreng tanpa mengajakku makan bersama. Egois sekali," kata Akira sinis. Alana melotot tak terima. Dia menunjuk Akira dengan ponsel mahalnya. "Astaga, aku ingin sekali menguburmu di belakang villa ini," umpatnya. "Kau lupa? Kau memesan dua bungkus pizza keju dan sosis untuk dirimu sendiri dua jam yang lalu. Apa kau ingat padaku? Aku bahkan belum makan apa pun dari siang. Dan kau? Apa yang kaulakukan dengan pizzamu di kamar? Menonton blue film?" Akira menggeleng. Dia menatap Alana datar. "Aku menonton sepak bola," ujarnya kalem. Dia menghela napas. Menggaruk belakang tengkuknya. "Kau bisa menontonnya di sini, di ruangan ini. Bersamaku. Dengan pizzamu. Tapi kau tidak melakukannya," Alana berkata dingin. "Kurasa kau tidak akan peduli jika aku mati kelaparan." Akira mengangguk pelan. "Nyatanya, kau tidak mati kelaparan," dia berujar santai, menunjuk bungkusan ayam goreng yang hanya tersisa bungkusnya saja. "Ngomong-ngomong, klub favoritmu kalah. 2-0, Barcelona hanya hebat di kandang," katanya dengan senyum puas penuh kemenangan. Sedangkan, Alana siap meledak dengan menyemprot bos sialannya menggunakan kalimat u*****n yang tidak bisa dia keluarkan. Hanya sampai di kerongkongannya, Alana menunduk, menahan gejolak di dalam dadanya dan membanting kaleng bir malang itu ke atas lantai. Alana terbangun di tengah malam. Dia menatap jam di atas nakas. Pukul dua pagi. Dia bangun dari ranjang, mengusap wajahnya dan pergi untuk membuang air kecil di kamar mandi. Dia membuka pintu kamar. Suasana remang dan sepi langsung menghampirinya. Alana berjalan, menuruni anak tangga secara perlahan, tetapi dia mendengar suara gelas terbanting dari lantai dasar, Alana terkejut. Dia berlari menuruni anak tangga dengan kecepatan penuh, tanpa kewaspadaan. Karena dia sudah mengunci seluruh pintu di villa ini, siapa pun tidak akan bisa masuk. Alana terkejut. Dia membeku selama beberapa saat ketika Akira berdiri dengan gelas kaca pecah berkeping-keping di bawah kakinya. Pria itu membatu. Kedua tangannya bergetar hebat. Alana berjalan mendekat dengan hati-hati, dia mendadak bingung dan panik. "Akira?" Alana memanggilnya lirih, dan Akira tidak merespon panggilannya. "Aku tidak membunuhmu," Alana semakin dibuat bingung. Dia sekarang berdiri di samping pria itu, tetapi Akira masih tidak mengetahui keberadaannya. Akira berbicara pada diri sendiri. Membuat Alana ketakutan. "Aku tidak membunuhmu," Pria itu berbalik menghadapnya. Alana tidak bisa menutupi keterkejutannya menatap Akira yang kacau dengan mata menggenang. Dia tidak pernah melihat pria ini sebegitu hancur sebelumnya. Apa ini karena Osaka? Karena mereka berada di tempat yang tidak seharusnya? Akira menunduk, dia mundur saat menginjak serpihan kaca dari gelas yang pecah. Alana segera berlutut, merapikan bekas pecahan itu saat Akira membeku, tidak beranjak dari tempatnya. "Biar aku yang bereskan," kata Alana. Tetapi Akira tidak mendengarkan. Dia berlutut, memegang serpihan itu dengan terburu-buru dan tidak berhati-hati, serpihan itu menggores telapak tangannya, kulitnya sedikit membuka dan darah mengalir. Alana meringis. Dia menatap Akira dengan sorot mata hancurnya. "Aku tidak membunuhnya," "Membunuh ... siapa?" Akira beranjak dari tempatnya. Dia berlari menaiki anak tangga dan membanting pintu kamarnya. Alana bergeming, menatap serpihan kaca yang tidak terlihat dengan jelas karena lampu ruangan yang temaram menyulitkan pandangannya. Tujuh tahun mereka bersama, nyatanya Alana tidak bisa benar-benar mengenal Akira dengan baik. *** "Terima kasih. Aku akan menukarkan tiketnya saat di bandara nanti. Kami berangkat pukul tiga sore nanti." Seseorang bicara di telepon dan Alana mendengarkan. "Aku akan mentransfer uangnya sekarang juga. Terima kasih sebelumnya. Tolong, persiapkan mobil di bandara juga untuk direktur utama." Sambungan telepon terputus. Alana menghela napas panjang. Dia melirik pintu kamar Akira yang masih tertutup rapat. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, dan Akira bukan tipe pria dengan intensitas bangun terlambat. Alana menatap plester di tangannya. Dahinya berkerut memikirkan pria itu semalaman hingga dia kesulitan tidur. Alana pergi ke dapur, merebus air untuk dirinya sendiri sebelum dia bersiap membuat sarapan. Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini yang menelepon adalah Souma. "Alana, kau dimana?" "Aku ada di villa. Apa terjadi sesuatu?" "Aku tidak bisa menghubungi Akira sejak semalam. Dia di sana?" Alana berjalan kembali ke bibir tangga dan menggeleng pelan. Percuma, karena Souma tidak bisa melihatnya. "Entahlah, aku tidak yakin. Pintu kamarnya tertutup rapat." "Akira tidak menyalakan ponselnya sejak semalam. Aku sedikit bingung dan khawatir. Kau mau mengetuk pintu kamarnya untukku?" Alana mengangguk pelan. "Sebentar," dia berlari menaiki anak tangga. Mengetuk pintu kamar pria itu berulang kali dan tidak ada jawaban. "Tuan , selamat pagi—" "Astaga! Dia tidak di kamar," Alana kembali menuruni anak tangga dan Souma berubah gusar di sana. Dia berlari, menuju garasi mobil dan tidak menemukan mobil yang dia sewa ada di sana. "Akira mungkin pergi ke suatu tempat," Alana mendengar Souma bicara. Tapi dia sangat panik sekarang. "Aku akan mencarinya. Jangan khawatir. Aku akan menghubungimu lagi jika aku sudah menemukannya." Alana berlari menuju kamarnya. Mengambil tas dan mantelnya lalu berlari mencari taksi saat dia menuju jalan besar dan memberhentikan taksi di pinggir jalan. Di dalam taksi, Alana begitu putus asa. Dia tidak peduli dengan argo yang harus dia bayar. Asalkan dia bisa menemukan pria itu, tidak masalah. Saat Alana menyebut pantai, sang supir segera melesat menuju pantai terdekat yang sepi dari pengunjung. Sesuai permintaan Alana. Setelah membayar, Alana berlari memutari pagar yang tinggi dan menatap seseorang yang tengah duduk membelakanginya. Helaan napasnya memberat, tapi rasa lega membanjiri dadanya. Alana berjalan. Menembus tebalnya pasir pantai ketika dia mendekati Akira yang duduk melamun menatap ombak yang bergelung membentur batu karang. Pandangan Alana mengedar ke seluruh penjuru. Hanya ada beberapa turis di sini yang tampak menikmati suasana pantai. Beberapa dari mereka mengambil gambar dan berjalan bergandengan tangan bersama pasangannya. Akira menghela napas panjang. Dia memutar kepalanya, terkejut karena Alana berdiri menjulang di depannya, sorot mata gadis itu kosong, tidak terbaca. "Alana?" Alana berlutut di sampingnya. Dia menatap Akira dengan tangan terkepal erat. "Kau mencoba membunuh dirimu sendiri lagi?" Akira tidak menjawab. Dia berpaling, menatap ombak sekali lagi dan mengabaikan gadis di sampingnya. "Kau tahu," Alana mendengus tajam. Dia mengambil tangan Akira tanpa izin. Membuat Akira terkejut, tapi dia tidak menarik tangannya menjauh dari genggaman tangan Alana ketika gadis itu memberikan plester di tangannya. "Kau lemah. Kalau kau berpikir untuk kembali mati konyol di sini." Akira terdiam. Dia menatap plester cokelat itu dengan pandangan kosong. Alana menoleh, menatap hamparan lautan yang biru. "Aku egois kalau aku bicara seperti ini, tapi kau tahu, masa lalu tidak harusnya merusak masa depan kita." "Kau tahu apa?" Akira mendengus mendengar kalimat gadis itu. Dia menarik tangannya dan menatap jauh ke depan. "Setidaknya, kita berdua sama," kata Alana pelan. "Sama-sama mencari kenyamanan lain yang tidak kita dapatkan di rumah." "Orang tuamu menyayangimu," "Lebih dari apa pun," balasnya. Alana tersenyum, menatap langit Osaka yang biru. "Aku tahu itu." Alana menoleh. Menatap sebelah wajah Akira dengan senyum. "Aku mencemaskanmu. Aku tidak akan bohong dengan hal itu, karena kita pergi ke Osaka, itu artinya kita kembali di hadapkan pada luka lama." Akira terdiam. Dia menunduk, menatap gundukan pasir yang di buat di bawah kakinya. "Aku memasak sarapan. Anggap saja hutang karena semalam kita bertengkar," Alana berdiri, dia menatap Akira yang masih menunduk. "Aku sudah memesan tiket pesawat. Kau bisa istirahat sebelum pergi dari sini. Lepaskan semuanya kalau kau ingin hidup tenang di masa depan." Alana berjalan, menjauhi Akira yang menatap kepergiannya dengan sorot tak terbaca, sebelum akhirnya kembali pada ombak yang datang memecah batu karang. *** Kunyahan cokelat di mulut Alana terhenti saat dia terkejut mendapati tamu yang datang setelah makan siang berakhir satu jam yang lalu. "Selamat siang," Alana membungkuk dalam. Dan lirikan sinis dari  Kirei, selaku ibu dari Akira membuat Alana kebingungan. Kenapa Kirei selalu sinis padanya? Apa dia pernah melakukan kesalahan selama ini padanya? Alana kembali duduk di kursinya. Dia mengintip dari jendela yang tirainya tersingkap. Akira berdiri dari kursi kerjanya, menghampiri ibunya dan Alana memekik saat mendapat tamparan di pipi Akira dari sang ibu. "Astaga," Alana menoleh, para pegawai divisi umum sedang sibuk tentang laporan mingguan mereka. Dia berpaling sekali lagi, Alana meringis ketika dia tidak sanggup menatap apa yang terjadi di depannya untuk yang pertama kalinya setelah lima tahun dia bekerja. Kirei memang tampak tidak menyukainya, tapi dia tidak pernah tahu kalau wanita sosialita itu juga mencintai kekerasan. Alana duduk dengan gelisah. Dia bahkan tidak bisa membaca dokumen yang diberikan divisi keuangan dengan benar. Lidahnya berdecak, Alana memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia kembali berdiri, menatap Kirei yang terengah dan merapikan kalung berliannya yang miring sedikit ke kiri. Alana membungkuk, setelah kepergian wanita paruh baya itu, dia langsung mendesak ke ruangan Akira. Pecahan gelas mengejutkan Alana sekali lagi. Dia berjalan mendekati meja saat Akira duduk di sofa, menunduk dalam. "Apa kau terluka?" Alana mendekatinya dan Akira menggeleng tanpa menatapnya. Alana menunduk, memandang gelas dan piring camilan yang tercecer di atas lantai. "Akira," Alana menoleh, mendapati  Souma berlari dengan ekspresi kacau dan panik. Alana semakin tidak mengerti apa yang terjadi di antara Akira dan ibunya. Juga ekspresi Souma yang mengatakan dia begitu cemas dan tahu masalah yang dihadapi Akira saat ini. "Biar kubereskan," Alana berlutut. Membenahi serpihan kaca saat Souma memandangnya nanar dan bergantian pada Akira yang menjambak rambutnya sendiri. "Dia menamparmu? Dia mencakarmu? Wanita psikopat itu ingin membunuhmu?" Souma berteriak, membuat Alana terlonjak dari tempatnya. Menatap pria yang terbiasa hangat dan tenang itu tiba-tiba hilang kendali. Akira mengangkat kepalanya. Dia menatap telapak tangannya yang masih terdapat plester di bekas goresan. Dan sekarang, lehernya mendapat luka yang sama akibat cakaran. "Aku punya plester di laci meja kerjaku," kata Alana, saat dia melihat luka di leher pria itu. Akira berdiri, dia menggeleng sekali lagi tanpa bicara pada Alana yang masih duduk menbersihkan pecahan kaca. Akira meninggalkan ruangan, bersama Souma dan Alana di ruangan yang sama. Alana menatap Souma yang gusar dengan ponsel di telinganya. "Temui aku di tempat biasa, Hiro. Sekarang." Souma menatapnya sebentar kemudian berlari pergi menyusul Akira yang entah hilang kemana. Alana menghela napas. Dia membereskan kekacauan ini sendiri dengan sigap. Sampai semua benar-benar bersih, dia baru beranjak pergi, meninggalkan ruangan atasan yang senyap dan kembali ke mejanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD