4

3767 Words
Alana menghela napas panjang. Dia menatap ruang kerja Akira yang sepi. Semenjak insiden  Kirei mengamuk di ruangannya tanpa sebab yang jelas, Akira pergi dan tidak lagi kembali. Ada terbesit rasa cemas yang hinggap di hatinya. Lima tahun dia bekerja untuk Akira, tidak pernah dia melihat pria itu hancur di depan ibunya sendiri. Walau dia tahu, bagaimana diktator dan kerasnya  Kirei padanya, Alana tidak pernah melihat wanita itu melakukan kekerasan di kantor, terlebih muka umum. Dan juga, kenapa tatapan Kirei padanya terlalu dingin dan sinis? Apa karena Alana anak konglomerat? Berbeda sekali dengan cerita di televisi dimana ibu sang bos akan sinis jika sekretaris atau gadis yang dekat dengan putranya adalah orang miskin, keluarga yang sangat sederhana dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Alana berbeda. Dia bekerja untuk senang-senang. Agar dirinya sibuk dan lepas dari pengawasan orang tuanya yang super protektif. Alana pernah terkena flu dan demam, ibunya membawanya pergi ke Singapura untuk berobat. Untuk apa coba? Alana bosan memikirkannya. Dia yakin, Akira juga mendapat perlakuan yang sama. Terlebih dia putra konglomerat. Akira terkena diare, ibunya pasti membawanya ke Planet Mars untuk berobat. Biasa, tipikal keluarga banyak uang, bingung harus dihabiskan dengan apa. Kening Alana terlipat. Dia mendesis seraya membereskan meja kerjanya. Memasukkan ponsel dan memo ke dalam tasnya, dan merapikan rambutnya. "Apa karena derajatku setara dengan bosku, Nyonya Kirei tidak suka padaku? Atau dia merasa terHirongi? Penampilanku juga sama mahalnya dengannya?" Alana menggeleng pelan. Ekspresinya berubah sinis. "Dasar pendengki," gumamnya. Dia berbalik. Berjalan menuju lift saat pegawai divisi umum menyapanya dan mengucapkan selamat tinggal. Saat Alana turun dari lift dan berjalan membelah lobi, dia bertemu dengan Souma di tengah-tengah lobi. "Tuan ?" Souma menoleh. Dia menatap Alana dengan pandangan bersalah. "Oh, kau, Akira sudah kembali. Dia di apartemen, bukan di rumah," kata Souma. Alana mengangguk pelan. Dia kembali berbalik, menghentikan langkah Souma. "Dia baik-baik saja?" Sejenak Souma tidak yakin dengan jawaban yang akan keluar dari bibirnya, tapi dia tersenyum, tidak sampai mata. "Dia baik. Jangan pikirkan bekas di lehernya. Sudah kuberi plester." Souma menatapnya sebentar. Kemudian tangannya bergerak mengusap rambut kuningnya. "Aku tadi pergi ke firmaku, tetapi saat aku melihat ibu Akira keluar dari pintu masuk, aku langsung berbelok kemari. Seperti, yah, kau tahu, sesuatu yang buruk pasti terjadi," ada tawa pahit yang meluncur dari bibir Souma. Pria itu melambai padanya dan segera pergi. Meninggalkan Alana di tengah lobi seorang diri bersama puluhan pegawai yang berhamburan siap kembali ke rumah. *** "Oh, Haru, aku di parkiran Aster Group. Bisakah kita bertemu untuk makan malam?" Alana mengunci mobilnya dengan remote di tangannya. Dia menempelkan ponsel di bahunya dan membuka tasnya. "Tidak, aku tidak cuti besok. Ada sesuatu, dan aku tidak bisa meninggalkannya. Bagaimana kalau kita bertemu? Hm, aku di sana pukul delapan nanti. Oke, sampai jumpa." Alana berjalan. Dia menaiki anak tangga dan mengangguk pada keamanan yang ada di depan pintu kaca otomatisnya. Saat Alana masuk ke lobi, beberapa pegawai tengah bersiap untuk pulang. Beberapa lagi sedang duduk santai saling berbincang. Alana belum sempat kembali untuk mengganti pakaian. Dia langsung datang kemari setelah jam kerjanya seleHiro. Memberikan beberapa bungkusan khas Osaka pada orang tuanya sesuai janjinya pada Tuan Lei. "Sayang," Hayate menghambur ke pelukan Alana saat gadis itu masuk tanpa mengetuk pintu. Hanya dia dan ibunya yang memiliki akses semudah itu di dalam ruangan ayahnya. Kei tersenyum. Saat Alana memeluknya dan mendaratkan ciuman di pipinya. Dia menaruh bungkusan itu di atas meja dengan senyum manis. "Aku baru kembali dari Osaka. Dan lihat? Aku sudah berikan untuk Tuan Lei juga karena mengurus penerbanganku." Hayate tersenyum manis. Dia menatap bungkusan oleh-oleh dari putrinya dengan lembut. "Jangan begini. Kami tidak perlu apa-apa, kalau kau kesulitan dan butuh sesuatu, hanya perlu menghubungi ibu atau ayah, kan?" "Aku tahu kalian sibuk. Jadi, aku menghubungi Tuan Lei dan menebak-nebak apa pesawat kosong atau tidak." Kei mengangguk. Dia duduk di kursinya. "Gunakan saja kapan pun kau butuhkan. Lagipula ini pertama kalinya kau pakai pesawat pribadi untuk pekerjaan bisnismu bersama bosmu, kan?" Alana tersenyum malu. "Ah, iya," dia terkekeh pelan. "Pesawat miliknya dipinjam pimpinan Shimura Steel, kami terlambat kalau menunggu penerbangan pertama," katanya. Hayate menggeleng dengan senyum. Dia mengusap rambut panjang putrinya yang diikat kuda. "Tidak apa. Santai saja. Bukan masalah untuk kami kalau kau menggunakan fasilitas pribadi." Kei mengangguk menatap istri dan putrinya. "Ada apartemen yang aku investasikan atas namamu," Alana memutar mata mendengar ucapan sang ayah. "Kalau kau ingin pindah, silakan." Alana tiba-tiba tertawa. Dia menghitung dengan jemarinya dan menatap kedua orang tuanya dengan tatapan bosan. "Empat belas ditambah satu, semua jadi lima belas. Aku punya lima belas apartemen yang berbeda. Wah, ayah, aku tidak tahu harus bilang apa." "Untuk investasi properti, sayang," ucap Hayate. Menahan Alana dengan genggaman tangan. "Kau bisa menyewa apartemen itu untuk umum. Uangnya akan masuk ke rekeningmu. Kami memikirkanmu, tentu saja." "Kau memakai salah satunya, tersisa hanya empat belas saja. Kalau kau ingin menyewa dengan harga tinggi, silakan saja. Ayah membelinya untukmu dan investasi kalau-kalau kau sudah bosan bekerja untuk pria itu," kata Kei, menyeruput kopi di cangkir. Alana menghela napas panjang. Dia ingin keluar dari 's Company dan memikirkan dirinya sendiri. Tetapi kalau dia bebas dan tertangkap keluarganya, mungkin ini bisa jadi bumerang untuknya. Alana dilema sekarang. "Aku suka pekerjaanku," balas Alana enteng. Hayate mengangguk. "Kami tahu, kau sangat mandiri sekarang. Hanya saja, tetap sebagai orang tua, kami tidak akan diam saja." "Kau bahkan keluar dari dokter kecantikan yang ibu daftarkan untukmu. Dimana kau melakukan perawatan kulit rutin sekarang?" Alana mengernyit. "Aku hanya membeli beberapa produk kesehatan kulit dan memakainya di rumah. Sudah berjalan tiga tahun," ucapnya dengan senyum. Kei terperangah. "Kau tidak melakukan perawatan rutin, tetapi secantik ini? Ah, aku bangga. Ngomong-ngomong, ibumu bisa menghabiskan lima puluh juta hanya sekali suntik, kupikir kau juga bergabung." "Aku sibuk, ayah, tidak sempat. Aku hanya membeli produk yang baik, bertukar dengan Haru, dan masker wajah sebelum tidur. Hanya itu," kata Alana. "Aku merasa nyaman sekarang." Hayate mendesah panjang. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. "Jika itu membuatmu nyaman, terserah. Kalau kau butuh konsultan kecantikan, hubungi ibu, ya. Akan ibu carikan dokter yang bagus untukmu." "Bukan masalah," balas Alana santai. Kei berdeham. Dia melirik jam di tangannya dan memakai jasnya. "Karena Alana di sini, ayo kita pergi makan malam bersama. Kau ingin makan apa? Ayah traktir." Alana berdiri. Dia memasang wajah tak enak saat kedua orang tuanya begitu sumringah mengajak putrinya untuk makan malam bersama. "Aku punya janji dengan Haru sekarang." "Astaga,  itu, dia masih membebanimu dengan pekerjaan di luar jam kantor?" Hayate mulai menggeram dan Alana menggeleng. "Tidak, ini bukan pekerjaan. Ada sesuatu, dan aku harus bicara dengan Haru," ujarnya. "Apa sepenting itu?" Alana menatap mata sendu ayahnya. "Maafkan aku. Tapi akan kutebus. Besok, aku janji. Besok. Aku akan pesan tempat untuk kita makan malam. Bagaimana?" "Kau janji?" "Tentu, ibu," Alana memeluk ibunya. Mencium pipinya dan tersenyum bersalah. "Besok malam. Aku akan memesan tempat terbaik." "Baiklah," Kei menyerah. Dia memeluk putrinya cukup lama sebelum melepas kepergian Alana dari ruangannya. "Kau lihat, dia sudah semakin dewasa. Usianya dua puluh tujuh, tapi dia terlihat masih dua puluh tahun. Aku benar-benar mencemaskannya," ucap Hayate saat dia kembali duduk untuk memasang mantel bulunya. Kei berdeham. Dia menatap istrinya dengan sorot tajam. "Berhentilah bersikap demikian. Kau lupa kalau Alana pernah hilang dari kita karena sikapmu yang seperti ini? Jangan kau ulangi. Aku tidak mau kehilangan putriku hanya karena sikap protektifmu yang keterlaluan padanya." Hayate menghela napas lelah. "Dia ada di usia dua puluh tujuh. Aku ingin seseorang mencintai dan menjaga putriku lebih dari kita. Lagipula, apa aku salah? Aku yang melahirkannya, aku yang memberikannya cinta. Alana tidak pernah mengecewakanku selama ini." Kei menatap istrinya. Dia mendekat, memegang kedua pundak Hayate dengan ekspresi hangat. "Ingat, kita pernah membahas ini? Alana ada di samping kita. Kau tidak perlu secemas ini.  itu tidak menyakitinya, aku merasa dia baik-baik saja. Kau tahu, putri kita bisa memukulnya kalau dia macam-macam." Hayate tertawa pelan. "Kau benar. Tapi kau setuju, kan, kalau Akira sangat tampan? Dia sangat pantas untuk Alana?" Kei berdeham. Dia berdiri dan merapikan dasinya. "Jangan katakan itu lagi," dia melirik istrinya yang tersenyum. "Kalau mereka ada hubungan, ya ... bukan masalah. Aku menyetujui siapa pun pilihan Alana, asal tidak Rei Rei, b******n itu." Hayate memekik girang. Dia terkekeh pelan dan berjalan keluar ruangan disusul sang suami di belakangnya. *** "Kedai ramennya cukup sepi. Ini tidak biasanya," kata Haru saat dia meneguk ocha dingin di gelas. Alana melipat tangannya di atas meja. Dia menatap mata biru laut Haru lekat-lekat. "Kurasa, masa lalu Akira jauh lebih kelam dariku. Kau tahu? Pria itu berbicara sendiri kemarin. Dia bilang 'aku tidak membunuhmu.' Berulang kali, Haru. Kau pikir apa? Dia melakukan pembunuhan?" Haru menatap Alana tak percaya. Dia mendorong mangkuk ramennya. "Kau serius?" Alana mengangguk pelan. "Jika dia bergumam seperti itu, itu artinya dia tidak melakukannya. Tapi seseorang mungkin menuduh dia membunuh, hingga dia ketakutan dan trauma. Aku rasa itu," Haru mendesis tanpa sadar. Dia menatap Alana, kemudian pada lukisan monokrom yang terpajang di dinding-dinding kedai. "Kau benar. Aku rasa dia mengalami tuduhan selama bertahun-tahun hingga dia tertekan dan ketakutan. Akira, malang sekali nasibmu," ucap Haru, mengiba Akira. "Tapi, Alana," Haru mendadak serius. "Kau bisa membayar detektif swasta untuk mencari tahu masa lalu Akira yang menyeramkan itu." "Kau gila?" Alana menggeleng pelan. "Aku tidak akan melakukannya. Biarkan saja." "Aku yakin kau penasaran, tapi kau tidak bisa lakukan apa pun," Haru mendengus. Mengaduk ramennya tak berselera. "Masa lalu Akira menarik untuk ditelusuri." Alana menipiskan bibirnya. Dia melewatkan kejadian siang tadi. Dimana  Kirei datang dan membuat keributan di kantor Akira. Terlebih Haru tahu siapa  Kirei, dia tidak akan bicara. "Ngomong-ngomong, kau membeli mobil baru?" Alana menoleh, menatap jaguar merahnya dengan alis terangkat. "Tidak, kenapa?" "Aku baru melihatnya," "Oh," balas Alana singkat. "Aku menemukannya di garasi rumah orang tuaku. Jaguar seksi ini tidak dipakai, biar aku memakainya." Haru mendengus. "Benar-benar. Aku saja kewalahan mengurus satu mobil. Apalagi kau?" Alana mengangkat bahunya. "Siapa pula yang ingin menghabiskan waktu merawat mobil itu? Aku punya seseorang yang bertugas merawat mobilku dan mobil keluargaku." Haru tertawa pelan. "Aku ingat, saat mobilmu tergores tiang lampu di jalan bebas hambatan, kau membuang mobil itu dan membeli yang baru. Benar-benar, aku tidak habis pikir dengan jalan kepalamu. Apa ini tipikal orang kaya lama?" Alana hanya terkekeh dan menggeleng. Melanjutkan makan malamnya dengan celotehan tentang Haru yang mengalami hari sial di jam kerja. *** Alana membungkuk saat Akira memasuki ruangan tanpa menoleh padanya. Pagi yang buruk mungkin bagi pria itu. Saat Alana mengangkat kepalanya, dia terkejut karena Akira menutup tirai jendelanya dengan remote khusus. Membuat Alana tidak bisa mengintip kegiatan pria itu di dalam. "Apa yang terjadi?" Alana mendesis dalam hati. Dia kembali duduk, menatap layar komputernya dan bergerak menulis sesuatu di sana. Mencari latar belakang Akira yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Dimulai dari Alana yang mencari dimana pria itu bersekolah, alamat rumah lamanya dan segala macam. Alana menghentikan gerakan jemarinya saat dia mendapati sekolah Akira di masa lalu. International Junior High School Tokyo. "Dia termasuk murid berprestasi ternyata," gumam Alana. Dia tersenyum lebar. "Aku punya Hirongan di sini," dia menggeleng dengan raut memelas. "Kepintaran kami seimbang. Pantas saja aku tahan berada di sampingnya." Keningnya mengernyit. Alana menatap bangunan super mewah itu. Sekolah ini sama mahalnya dengan sekolahnya dulu. "Biaya bangku menengah pertamanya memakan hampir seratus juta pertahun?" Alana tertawa. "Sialan, aku baru tahu ada sekolah semahal ini. Sekolahku bahkan hanya berbeda lima juta dari harga ini." Lalu, dia beranjak dari sekolah menengah pertama Akira ke tingkat teratas. Sekolah Menengah Atas. Senior High School Sina. "Aku beruntung tidak masuk ke sekolah laknat ini," kata Alana, berbisik pada dirinya sendiri. Dia teringat kalau sekolah ini punya senioritas tinggi. Walau sekolah lamanya juga sama, tapi dia beruntung. Karena dia memiliki Haru selama sisa remajanya. Dia bisa bebas dari neraka-neraka yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Alana menghela napas. Ternyata orang tua Akira dan orang tuanya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama memiliki uang dan bisa lakukan apa pun untuk anak mereka. Terlebih harga sekolah yang mahal, fasilitas kelas wahid dan segala macamnya. Mata Alana tertuju pada seorang gadis yang menjadi lulusan terbaik SMA Sina, dia menduduki posisi kedua, dibawah Akira yang duduk di posisi pertama. Manik Alana menyipit ketika dia melebarkan foto gadis yang tengah tersenyum itu. "Layla?" Dahi Alana mengernyit terlalu dalam. Dia mencoba mencari tahu gadis dengan senyum manis yang menawan. Dia mencari-cari hingga terdalam dan lupa kalau Akira berdiri di depan mejanya, menatap dengan air muka datar, sedatar tembok. Dia berdeham. Dan Alana terlonjak. Dia menekan tombol close pada komputernya dan berdiri, menatap Akira dengan wajah pucat, seolah Akira baru saja memergokinya. "Kau melamun? Kau bahkan tidak dengar panggilanku?" "Ah, itu," Alana membungkuk. "Aku minta maaf." Akira mengintip ke layar komputernya yang kosong. Dia kembali pada Alana. "Kau masih memikirkan tentang pengunduran dirimu? Kau mencari sekretaris baru untukku?" "Itu ..." Alana tergagap. Dia menatap mata hitam itu dalam-dalam. "Ya, aku sedang membuka lowongan yang baru." "Aku bahkan belum tanda tangan, kau sudah berani membuka lowongan pekerjaan yang baru. Apa pihak HRD tahu?" "Belum," Alana menggeleng. Tatapan Akira semakin tajam. "Aku memintamu mengirimkan salinan laporan untuk proyek subkontraktor yang baru, karena hotel baru saja dibuka. Tapi kau melamun, kupikir kau butuh istirahat." "Tidak, terima kasih. Akan kukirimkan sekarang," Alana duduk di kursinya dan Akira menghela napas. Manik hijau hutan itu mengamati leher Akira yang sudah terplester dengan baik. Dia menarik napas, membuka laci mejanya. "Tuan ," panggil Alana. Akira menoleh. Menatap gadis itu. "Apa?" "Ini plester baru," katanya, mengulurkan telapak tangannya. "Untuk mengganti plester di tangan dan ..." Alana menunjuk lehernya dengan telunjuknya. Akira yang mengerti segera mendekat, mengambil plester itu dari telapak tangan Alana. Setelah Akira berlalu pergi. Dia mendapat telepon berdering dari telepon di mejanya. Alana mengangkat dengan sopan, mendapati suara yang dia kenal menyapa indera pendengarannya. "Aku kesana sepuluh menit lagi." *** Alana duduk di hadapan wanita cantik yang tampak dewasa dan matang. Dengan senyum separuh di wajahnya, Alana tahu, sesuatu terjadi dan itu membuatnya tak nyaman. "Maaf kalau aku mengganggu jam kerjamu. Tidak apa? Akira tidak tahu, kan?" Alana menggeleng dengan senyum ramah. "Tidak apa, Nyonya Tari. Semua baik-baik saja. Aku pergi menemui tamu setelah izin pada divisi umum." "Tari saja, tolong," dia mengoreksi panggilan Alana untuknya. "Ah, baiklah," Alana mengangguk dengan senyum. "Putriku sedang bersekolah. Aku mampir untuk mengobrol sebentar. Karena suamiku sibuk dengan bisnisnya, aku pikir aku kesepian," katanya. Alana menatap wanita itu dan sedikit iri. Dia tampak elegan dan berkelas.  Oki juga memiliki uang yang banyak. Tidak kalah dari Akira. Walau dia fokus pada bisnis raksasanya sendiri sebagai penyedia layanan belanja online terbesar di Jepang, Oki membawahi beberapa layanan produk online yang banyak. Bisnis e-commerce miliknya meledak. Alana tahu, kalau keluarga  memiliki bakat pebisnis yang sukses mengalir di darah mereka. Sangat berbeda dengannya. "Aku mendengar dari Oki, kalau ibu mertuaku datang kemari, dan dia melukai Akira, benar?" Alana mengerjap. Dia menatap ekspresi sendu Tari dan mengangguk pelan. "Aku tidak tahu apa masalah mereka. Hanya saja, kau benar. Nyonya Kirei datang dan mereka berdebat di dalam ruangan." "Aku sudah menduganya," ucap Tari. Menyesap teh hijau dari cangkir. "Suamiku sangat marah semalam. Saat Souma menghubunginya dan aku benar-benar tidak tahu bagaimana meredam amarahnya. Oki ingin menemui Akira, tapi pria itu semalam tidak di apartemen dan di rumah." Alana membelalak. "Benarkah? Aku tidak tahu. Maafkan aku." Tari tersenyum lembut padanya. Dia menepuk tangan Alana. "Tidak apa. Kau hanya sekretaris, aku memakluminya. Hanya saja, Akira membuat kami cemas." "Dia bekerja hari ini. Kupikir, semua sudah membaik," cicitnya pelan. Tari hanya tersenyum. Matanya tampak lelah menerawang jauh ke luar jendela. "Aku juga berpikir hal yang sama. Semua akan membaik," dia kembali berpaling, menatap Alana. "Usiaku tiga puluh tiga sekarang, dan aku seperti masih menjadi remaja yang dilema karena tidak tahu harus menempatkan posisiku dimana." Alana terenyuh. Dia menggeleng dengan senyum. "Jangan berpikir begitu. Bagiku, kau adalah wanita dewasa. Aku memang baru bertemu denganmu tiga kali, sejauh ini. Dan dengan hari ini, menjadi empat," Tari tertawa pelan mendengar kalimat Alana. "Tapi aku yakin, kau wanita yang baik. Kau istri  Oki dan ibu dari  Hani, aku yakin, kau sudah sempurna di dalam keluarga kecilmu sendiri." Tari tersenyum hangat. "Aku akan terus merekam kata-katamu di dalam kepalaku. Terima kasih, kau membuat perasaanku lebih baik." Alana mengangguk. Dia menegak lemon dinginnya dari sedotan dan menatap Tari. "Mau sampai kapan adik iparku tersiksa karena ibunya," gumamnya pelan. Tari menatap Alana. "Kupikir kau bosan dengan Akira, kudengar kau mengundurkan diri?" "Benar," Alana tersenyum. "Aku ingin memiliki waktu lebih banyak dengan diriku sendiri. Aku pikir ini jalan terbaik." "Yang terpenting adalah diri sendiri, kan?" Alana tertawa. "Ya," "Kau putri konglomerat kelas atas. Tidak seharusnya kau bekerja di sini, kan? Menjadi b***k dari Akira," "Itu terlalu kasar," kata Alana dan Tari tersenyum. "Tapi, yah, aku menyukai pekerjaanku." Tari hanya mengangguk pelan. Dia mengaduk teh hijaunya dan mendesah panjang. "Aku berharap Akira segera membaik dan mampu menata masa depannya tanpa setiran dari ibu mertuaku." Dahi Alana berkerut. "Maafkan aku, tapi semenjak kematian  Kun, kupikir ..." Tari menggeleng. "Setelah kematian ayah mertuaku karena gagal ginjal dan lemah jantung, kurasa semua semakin buruk. Oki tidak mau memegang perusahaan, dan semua tumpuan jatuh pada Akira yang malang." "Akira tidak mengeluh," Tari menatapnya. "Akira selalu menahannya sendiri, seorang diri. Dia bahkan tidak mau berbagi lukanya jika kami dan sahabatnya tidak memaksa." Alana terdiam sebentar. Tari menghela napas panjang. Dia menatap langit-langit kafe dengan pandangan nanar. "Ya Tuhan, mau sampai kapan dia menanggung beban seberat ini? Dia bahkan tidak membunuh gadis itu." "Gadis?" Tari terdiam sebentar. Alana menyadari tatapan Tari menyapu wajahnya cukup lama. "Layla," Astaga. Alana merasakan jantungnya berhenti memompa. Dia bilang, Layla? Dia tidak salah dengar. Saat dia mencari tahu masa lalu Akira, dia menemukan gadis itu. "Maaf, tapi siapa Layla?" "Dia ..." Tari menahan bibirnya sebentar. "Cinta yang Akira miliki di hidupnya." "Cinta pertama?" Tari tersenyum tipis. "Yah, mungkin. Semacam itulah," katanya dengan tawa hambar. "Sudah lama berlalu." Alana terdiam. Dia menatap gelas lemonnya dan menarik napas panjang. "Aku tidak tahu apa pun, maafkan aku." "Kupikir Akira bercerita karena dia lama bersamamu," kata Tari. "Dia mungkin tidak cukup nyaman bicara denganku," balas Alana dengan senyum samar. "Terkadang ada beberapa rahasia yang tidak bisa kita bicarakan dan cukup diri kita sendiri yang tahu. Aku mengerti. Dan aku tidak akan memaksa atasanku untuk bicara." Tari menatapnya. Kemudian, mengangguk pelan. Senyum terbit di wajah lelahnya. "Kau benar." "Akira pergi dari rumah, entah kemana. Dia menghilang setelah kematian Layla," ucap Tari. "Aku belum menikah dengan Oki saat itu, tapi Oki sangat putus asa mencari adiknya. Dan aku mendengar kabar kalau Akira bunuh diri. Itu membuat kami berdua hancur, terlebih untuk Oki." Tari tersenyum kembali pada Alana. "Aku mendengarnya. Kau bersama Akira. Kau menjaga adikku dengan baik," Alana terdiam. Dia mengangguk pelan. "Kami bertemu di waktu yang tidak tepat." Tari tertawa kemudian. "Yah, terkadang takdir pintar memainkan benang mereka." Tari mendengar panggilan dari ponselnya. Dia tersenyum pada Alana dan menjawab telepon masuk. Dari Oki. Ketika Tari berpamitan pergi untuk menyusul suaminya. Alana berdiam diri di kursinya. Menatap kosong pada kursi lain yang sebelumnya Tari tempati. Pikirannya terbang bebas entah kemana. Jadi, Layla yang pintar itu adalah cinta pertama Akira? Apa pria itu masih mencintainya? Alana memiringkan kepalanya, ikut berpikir keras. Alana menggeleng pelan. Saat dia seleHiro membayar dan memesan tempat reservasi untuk makan malam bersama orang tuanya. Alana beranjak pergi dari kafe itu dan bergegas kembali ke kantor. *** "Akira, berhenti." "Katakan Alana, ini apa?" Alana berdiri dengan d**a berdebar saat Souma menahan tangan Akira yang mendesak keluar dari ruangan dengan raut wajah murka. "Itu laporan mingguan tentang—" Alana menutup mulutnya. Dia mengambil dokumen itu dari tangan Akira dan membungkuk meminta maaf. "Maafkan aku," Akira mendengus tajam. Dia menatap gadis berambut gulali itu dengan sorot tajam dan dingin. "Kau mencari tahu tentang masa laluku? Kau membayar detektif swasta untuk mengorek masa laluku? Iya?" Akira membentak dengan nada tinggi. Alana bergetar di tempatnya ketika dia membungkuk berulang kali dan para pegawai divisi umum yang mendengar bentakan Akira segera berhambur untuk melihatnya. Souma mendesis. Dia menarik tangan Akira agar pria itu berhenti memarahi Alana. "Akira, dia tidak sengaja. Kau lihat, dia tidak sengaja mencetak tentang salinan Layla dan fotonya." "Tidak sengaja, katamu?" Akira menepis tangan Souma dari lengannya. "Dia sengaja. Memancing seluruhnya agar aku mau bicara padanya." "Licik juga dirimu," bisik Akira tajam. Alana memejamkan mata. Dia memeluk dokumen itu dadanya dengan takut. Souma sekali lagi mencoba menahan Akira agar tidak membuat keributan. "Kau pikir kau siapa?" Alana menarik napas panjang. Dia menaruh dokumen itu di atas meja. Menatap Akira. "Apa aku harus menekankan siapa diriku di hadapanmu, Tuan ?" Akira terdiam. Hidungnya mengerut menahan marah. Ketika wajahnya memerah siap mengamuk di hadapan gadis itu, dia melihat Alana ikut bergetar, menatapnya tak kenal takut. "Ya, aku mencari tahu tentang dirimu. Dan tolong, aku tidak pernah membayar siapa pun untuk mengorek masa lalumu. Terlebih jika aku bisa, aku tidak melakukannya karena aku menghormatimu." Souma menatap keduanya dengan lirih. Dia berdecak, pergi ke ruangan sebelah dan mengusir para pegawai divisi umum untuk segera berkemas dan bersiap pulang. Saat memastikan semua pergi dari meja mereka, Souma kembali pada Akira. Menarik pria itu untuk masuk ke dalam. Akira tertawa sinis. Dia menunduk, mengusap pelipisnya. "Baik, kau bisa keluar dari sini. Berhentilah dari pekerjaanmu menjadi sekretaris. Kau tidak perlu tanda tangan dariku untuk angkat kaki dari sini. Kau mendapat izinku." Alana tersenyum. "Terima kasih." Souma terkejut setengah mati. Dia mendorong bahu Akira agar pria itu sadar. "Kau gila?" Souma mencoba menahan Alana yang merapikan meja ke dalam tas dan lacinya. "Alana, tolong, dengarkan aku. Akira sedang—" Akira berbalik dan kembali ke ruangan kerjanya dengan pintu terbanting. Souma mengacak rambutnya, menatap Alana yang sibuk merapikan meja dan beberapa barang pribadi miliknya. "Alana, aku akan menemuimu nanti setelah semua membaik." Alana hanya mengangguk pada Souma dan kembali merapikan mejanya. Saat pria berambut kuning itu berbalik menyusul Akira ke dalam, meninggalkan Alana seorang diri yang sudah siap pergi dan menemui orang tuanya untuk makan malam. Alana memijit kepalanya yang berdenyut semakin nyeri saat dia mengemudi dan memutar kemudi menuju tempat makan dimana orang tuanya sudah menunggu. Saat Alana memakirkan mobilnya, dia menarik napas panjang. Setelah kembali ke rumah dan membersihkan diri, dia pikir rasa sakit di kepalanya membaik. Nyatanya, tidak. Rasa sakit itu terus menghantamnya bertubi-tubi. Dia berpegangan pada spion mobilnya. Alana menatap ibunya yang tersenyum dengan tangan melambai, pertanda mereka sudah datang dan menunggunya untuk bergabung. Alana hanya tersenyum lirih. Dia mampu melihat ekspresi ibunya yang cemas ketika pandangannya berkunang-kunang dan memburam perlahan. "Alana!" Dia mendengar suara ibunya berteriak dan berlari bersama langkah kaki seseorang yang dia tebak adalah ayahnya. Ketika tubuhnya limbung ke tanah dan tidak sadarkan diri akibat rasa sakit yang menderu kepalanya semakin hebat. Setelah dia hanya mampu tidur selama dua jam dalam satu hari, tubuhnya memberontak hebat. Menyuarakan kelelahan yang amat sangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD