Bab 9 : Bimbang

2183 Words
Setelah mereka selesai sarapan dan peralatan makan sudah dibereskan kembali, ketiganya duduk- duduk di ruang makan. Mrs. Arden lebih memilih menggerakkan tubuhnya dengan merawat kebunnya. Ia bersikeras menolak bantuan dari mereka bertiga. “Aku cuma punya beberapa petak kecil di kebunku, kalian mau merampas waktu olahragaku?” tanyanya sengit, namun setengah tersenyum. Jadilah mereka, setengah menguap, hanya mengistirahatkan perut yang penuh tanpa keinginan untuk melakukan apapun. Tiba- tiba dari arah dari kamar terdengar dering ponsel. Julie tersentak dari kantuknya lalu beranjak meraih ponselnya. Beberapa detik kemudian, Julie sudah mendekatkan telinga ke ponsel dan membawanya ke dekat jendela. Kedua temannya menatapnya penuh perhatian. Namun mendadak, Tony yang sedari tadi duduk bersandar dengan malas- malasan, segera duduk tegak dan memanggil Ellis setengah berbisik, ”Hei!” Ellis terkejut dan menoleh. “Apa?” jawab Ellis, juga dengan mengecilkan suaranya. Tony melihat sekilas ke arah Julie yang masih sibuk dengan teleponnya, lalu mengarahkan wajahnya lagi pada Ellis. “Aku ingin tahu... Kau tadi sengaja menghindariku ‘kan?” Ellis mengerutkan kening, berpikir. “Kapan?” Tony menatap Ellis tak percaya, dan mengarahkan wajahnya pada Ellis lebih dekat. “Masa’ kau tak ingat? Tadi saat kamu ingin membicarakan sesuatu dengan Ellis.” Saat itu kedua wajah mereka berjarak tak lebih dari dua inci. Ellis setengah mengernyit, lalu buru- buru ia mendorong wajah jauh wajah Tony dengan gelas. “Napasmu bau, tahu!” bisiknya ketus. “Aku memang melupakan sesuatu kemarin.” Tony menghembuskan napasnya sambil lalu ke telapak tangannya sendiri, lalu berkata, “Tadi itu kau seperti mencari- cari alasan, tahu. Mana ada orang yang terdiam seperti robot begitu sebelum tiba-tiba ingat sesuatu!” “Tapi aku memang lupa, kok! Ya, memang, kalau aku sedang lupa aku terdiam seperti robot. Puas?” Tony masih menatap Ellis tidak percaya. “Aku tidak bodoh, Ellis. Lagipula apa, sih, yang kau bic...” Tony menghentikan pertanyaan karena Julie baru saja selesai menelepon. Ia berjalan ke arah mereka berdua, menarik kursi di samping Ellis dan duduk. “Aku baru saja ditelepon lagi oleh agensiku yang lama.” “Apa katanya?” tanya Tony penasaran. “Ya...mereka hanya ingin memintaku menandatangani dokumen-dokumen, pertanyaan bahwa kontrakku telah habis.” “Jadi?” tukas Ellis. “Ya berarti aku harus ke sana, ‘kan? Olivier memintaku datang ke sana pagi ini, jam sembilan. “Ih, mengesalkan sekali," tukas Ellis kesal. “Aku ingat, dulu kau dengan susah payah meminta pekerjaan pada mereka. Mereka menanggapimu sambil lalu saja, seakan- akan kau hanya pengemis atau apa. Terlebih Olivier itu! Mentang-mentang! Dia bahkan tidak memberimu gaji yang layak, Julie!” “Sabar, Ellis," kata Tony. “Lagipula, Julie, aku tidak yakin kalau dia memanggilmu hanya untuk masalah tanda tangan dokumen," serbu Tony. “Hei, apanya yang sabar? Kau malah mendukungku!” ejek Ellis, menaikkan sudut bibirnya tapi dengan jempol teracung. Tony tidak menanggapi, melainkan menatap Julie dengan serius. Julie meluruskan jari- jarinya di atas meja makan. “Apapun yang telah diperbuat Olivier padaku atau masalah gajiku, itu tak lagi menjadi masalah bagiku sekarang, Ellis, Tony.” Julie menyilangkan jari- jarinya. “Aku tidak ingin marah pada Olivier. Aku hanya bersyukur dengan keadaanku sekarang. Lagipula, dari agensinyalah karirku bermula, bukan begitu?” tanya Julie sembari tersenyum. “Ah, lagipula apa maksudmu, Tony, tentang dia memanggilku bukan hanya tentang masalah dokumen?” Tony terdiam, lalu menoleh pada Ellis. Keduanya kemudian hanya menghela napas panjang bersamaan, membuat Julie makin menatap mereka dengan wajah bertanya- tanya. “Kenapa?” tanya Julie serius. Ellis meraih tangan Julie. “Baiklah kalau begitu pendapatmu, Julie. Aku dan Tony menghargaimu. Tapi kau, cobalah nikmati posisimu di dunia model sekarang, ya?” Julie memandang keduanya heran.”Sudah, sudah," ujar Ellis cepat- cepat. “Tak usah kau pikirkan. Lebih baik kau sekarang bersiap- siap. Jam sembilan, ‘kan?” “Ya.” “Kalau begitu, bersiap- siaplah.” Julie mengangguk lalu beranjak menuju kamarnya. Ellis segera membuka percakapan, “Lebih baik kau mengantarnya, Tony.” “Ya, tentu saja.” “Masalahnya bukan kau suka mengantarnya atau tidak. Tapi masalah anggapan orang lain.” Tony mengerutkan dahinya memikirkan kata- kata Ellis barusan. Seketika itu juga dahinya licin dan mulus kembali. “Aku paham maksudmu. Anggapan orang saat Julie keluar dari gang ini ‘kan?” Ellis menatap gelasnya lurus- lurus. “Biasanya Julie pergi kerja pagi bersamaan denganku, sekitar setengah enam atau jam enam. Belum ramai. Kami tak pernah keluar jam sembilan atau jam sepuluh.” “Lalu bagaimana caranya kalau kalian ingin berbelanja?” Ellis menatap Tony penuh iba. “Aku ini ‘kan bekerja di minimarket, Tony.” “Oh, iya.” Tony menaikkan kedua alisnya sekilas, sambil mengeluarkan perahu tisu dari sakunya lalu memainkannya. Ellis menatap kejauhan. “Belanja jadi tanggung jawabku karena aku bekerja di sana. Nenek tidak bisa berjalan terlalu jauh, dan Julie juga kadang sibuk hingga malam. Barang yang tak ada disana akan kubeli di tempat lain, tapi ya, pada malam hari. Bukan saat matahari terang- benderang begini. Nenek hanya di rumah.” Tony menoleh ke arah Ellis penuh simpati. “Pasti berat bagi kalian hidup begini. Apa masih banyak orang yang ehmm.. memanggilmu dengan buruk?” tanya Tony dengan hati- hati. “Kau tahu bukan, bahwa kami bukan pelaku prostitusi?” Tony terkejut dengan pertanyaan Ellis yang terang- terangan. “Astagaa.. Tentu saja aku tahu, Ellis. Aku sudah kenal kalian sejak kecil. Lagipula...” “Nah, bagaimana kalau kau tidak mengenal Julie ataupun aku sejak masih kecil? Bagaimana anggapanmu tentang kami?” Tony butuh usaha untuk menjawab pertanyaan yang satu itu. “Aku tidak menyalahkan mereka, Tony, karena mereka tidak mengenal kami sejak dulu. Jadi wajar saja banyak yang mencerca kami saat kami keluar rumah, bahkan yang menyoraki kami terang- terangan juga ada. Tapi, Julie mungkin tidak tahan dengan hal itu. Hei, itu ‘kan perahuku!” Ellis yang sedari tadi terfokus pada pembicaraan, baru menyadari kalau  perahu mahakaryanya telah digunakan Tony untuk mengipas- ngipas lehernya. “Kapan kau mengambil perahuku?” Tony hanya menanggapi dengan datar. “Tak perlu ribut begitu, Ellis. Aku mampu membeli perahumu. Berapa harganya, ini?” “Ini bukan masalah harga perahu, Tony! Ah, sudahlah," Ellis melengos. “Oke, berarti boleh aku simpan?” Tapi sebelum Ellis menjawab, Julie sudah keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. “Aku pergi dulu, ya?” Secepat kilat Tony memasukkan lagi perahu itu ke kantongnya dan berdiri. “Oh, biar kuantar.” Mereka berdua pun berjalan menuju keluar. *** Sepanjang gang kecil itu, mereka berjalan dalam diam. Tony lalu bertanya, “Kau tidak melarangku mengantarmu, Julie?” Yang ditanya tersenyum kecil. “Aah, tidak... Aku tahu bagaimanapun aku melarang, kau akan tetap bersikeras.” “Kalau begitu aku antar kau sampai ke agensi lamamu itu, ya?” “Nah, untuk ini aku menolak.” “Kenapa?” “Karena, Tony, aku tahu kau ada latihan nanti siang. Lagipula, sesudah menyelesaikan urusan di agensi lama, aku akan ke tempat Mr. Galliani. Ada pemotretan.” “Kenapa mendadak?” “Ya, itulah. Aku juga baru dapat e-mail tadi pagi, sesudah mendapat telepon dari agensi lama. Katanya, mereka lupa mengatakannya kemaren.” “Ooh.” Keduanya sudah sampai di ujung gang yang berakhir dekat jalan raya. Julie berjalan duluan dan melambaikan tangan, “Bye, Tony!” Tony mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Julie untuk menunggunya. Ia berkata, “Aku antar kau ke stasiun, Julie!” Julie heran, memiringkan kepala. Belum saja Julie bertanya ‘Kenapa?’, ia sudah mendengar ocehan yang dilontarkan keras secara sengaja, “p*****r!” Julie benar- benar shock dengan kata itu. Tony menoleh ke arah si pengoceh. Beberapa orang ibu-ibu paruh baya yang lewat, dan itu pasti salah satu dari mereka. Tony segera mengejar mereka, meninggalkan Julie yang masih mematung akibat keterkejutannya. “Maaf ya, Bu! Dia ini pacar saya!” teriak Tony, ia sudah mendahului ibu- ibu itu dan berdiri di hadapan mereka. “Lagipula kalau gadis itu memang p*****r, LALU APA?? Ibu juga takkan memberinya pekerjaan lain juga, ‘kan?” Mereka terdiam sejenak dikritik seperti itu. Namun tak lama, dua di antaranya berbisik- bisik. Yang seorang lagi berkata, “Aduduuh, maaf ya, Nak? Kami sepertinya salah sangka. Jadi itu pacarmu, ya? Kok, kalian keluar dari situ?” ibu itu tertawa cekikikan menatap mereka. Yang lain tersenyum-senyum. Palsu. “Kami memang tinggal di sana, Bu! Ada masalah?” Tapi sepertinya intonasi Tony yang agak meninggi tidak mampu meyakinkan mereka. Ibu- ibu itu hanya tersenyum manyun lalu menjawab, “Ya, sudah, maafkan kami ya, kalau begitu? Selamat bersenang-senang!” Kata mereka sambil lalu. Saat mereka terus berjalan menjauhi Tony dan Julie, tawa mereka terdengar semakin keras. Tony kesal. Sungguh kesal. Matanya menyipit dengan awas mengikuti segerombolan ibu- ibu itu hingga mereka menghilang di belokan. Tapi tiba- tiba Tony tersadar bahwa ia meninggalkan Julie jauh di belakangnya. Ia pun bergegas menghampiri Julie yang tak lagi mematung. Namun pada rautnya, membayang perasaan kecewa. Tony memegang bahu Julie. “Kamu tidak apa-apa, Julie?” tanya Tony. Julie hanya terdiam. “Jangan dengarkan perkataan mereka, Julie. Mereka hanya ibu- ibu rumpi yang sibuk mengurusi hidup orang lain.” Julie menengadah, menatap Tony tepat di matanya, “Terimakasih, Tony, kau sudah membantuku.” “Tidak masalah, aku tidak ap-...," Tony menyadari sesuatu. “Ah, maaf Julie! Tadi aku mengatakan itu hanya untuk membantah ibu- ibu itu!” Julie, seperti biasa, menatapnya heran. “Soal apa?” Tony menunduk malu. Kedua kupingnya terus memerah. “Aku... yang tadi itu, Julie. Aku tadi mengatakan kalau kau pacarku. Aku tidak bermaksud...Ah, pokoknya aku menyesal. Maafkan aku.” Julie manggut- manggut mengerti. “Ya, tidak apa-apa. Aku tahu kau bermaksud baik.” Tony mengangkat kepalanya, dengan mata yang berbinar- binar menatap Julie. “Benarkah? Jadi..., bagaimana kalau aku mengantarmu hingga stasiun?” Julie tersenyum. “Aku sudah biasa ke stasiun kereta sendiri, Tony. Tak masalah.” “Tapi aku ingin mengantarmu agar tak ada lagi yang mengejekmu seperti tadi! Mereka bahkan tak tahu apa- apa!” gerutu Tony. “Oh, aku takkan mengatakan aku pacarmu lagi, kok!” Julie mengangguk kecil. Dengan senyum senang, Tony pun mengenggam tangan Julie ke arah stasiun. *** Julie berjalan pelan- pelan dari tempat pemotretan untuk pakaian- pakaian Mr. Galliani. Dia berjalan setengah merenung mengenai kegiatannya hari ini. Tadi, dia memang pergi ke agensi lama. Tak seperti biasanya, Olivier, si pemilik, menyambutnya dengan gembira. “Oh, Julie-ku sayang? How’re you, dear?” sambut Olivier sambil memeluk Julie. “I’m very good, Olivier. Jadi bagaimana, dokumen apa saja yang harus kutandatangani?” Olivier mendecak penuh gaya sambil mengerjapkan matanya dengan centil. Ia lalu menurunkan lengan baju hitamnya yang tadi ia singsingkan. “Oh, why being so serious? Duduklah dulu, sayang, kita masih punya banyak waktu. Kau mau minum apa? A cuppa? A coffa?” ‘Coffa’ sebenarnya hanya istilah buatan Olivier untuk menyebut kopi. Tapi karena Julie sudah terbiasa dengan bahasa buatan Olivier sejak dulu, ia langsung menjawab seraya tersenyum, “Teh saja, Olivier. Dan maaf, sebenarnya aku tak punya banyak waktu.” Olivier menyipitkan matanya, memandang Julie. “Aaah, your job, right?” “Ya, sebenarnya aku ada pemotretan hari ini.” Olivier masih menyipitkan matanya tak senang, lalu meraih gagang telepon di sisinya, mendial office girl-nya untuk pesanan teh Julie. Saat menelepon, Olivier terus mengamati Julie yang gelisah menatap jam tangannya beberapa kali. Wajah Olivier agak mengeras dibandingkan tadi. Seusai menelepon, Olivier segera mengeluarkan sebundel berkas dan menyorongkannya kepada Julie. “Oke, jika kau memang meminta cepat, kita langsung saja. Kau tanda tangan di sini, di sini, dan di sini.” “Baiklah, k****a dulu.” “Okay, dear.” Julie menghabiskan sekitar sepuluh menit untuk membaca dan menandatangani semua dokumen. Ia mengembalikan dokumen- dokumen itu pada Olivier. “Done,"  katanya. Tepat pula saat itu, seorang wanita mengantarkan teh hangat mengepul dan meletakkan di depan Julie. “Terima kasih," kata Julie. Si wanita lalu meletakkan secangkir kopi di depan Olivier. Olivier, dengan memiringkan kepalanya, memandang Julie yang tengah menghirup tehnya. Setelah Julie menaruh cangkirnya kembali di tatakan, Olivier berkata, “Bagaimana rasanya bekerja dengan Mr. Galliani, Julie?” Julie menatap Olivier dengan cerah. “Oh, seru sekali! Aku benar- benar dibimbing rasanya, dan rekan kerjaku juga baik semua. Begitu pula dengan Mr. Galliani.” “You must be very happy, my dear. Aren’t you?” tanya Olivier yang tersenyum ironi. Sayang, Julie tidak memperhatikan itu. Ia menjawab dengan senyum. “Ya, aku bahagia bekerja di sana, Olivier! Tapi bagaimanapun, aku mesti berterimakasih padamu karena membantuku memulai karirku.” “Of course, you should," tanggap Olivier tanpa memandang Julie. Ia menghirup kopinya dengan nikmat. “Lalu, setelah kontrakmu dengan mereka habis, kau akan kerja dimana?” Julie memandangi meja Olivier. “Hmm, sebenarnya aku belum memikirkan itu.” Olivier bergerak maju dan mendekatkan wajahnya pada Julie. “Kau bisa kembali lagi ke sini, kalau kau mau.” Kini ia tersenyum lagi. “Entahlah, Olivier. Aku benar- benar tidak tahu nanti bagaimana. Aku belum memikirkannya sama sekali.” Olivier kembali menjauh, menatap Julie dengan pongah. “Well," katanya. Itu saja, tanpa komentar lain. Ia lagi- lagi hanya menghirup kopinya acuh tak acuh. Semenit lamanya mereka terdiam tanpa pembicaraan apapun. Julie yang kikuk karena tidak keheningan itu, segera berdiri. “Kalau begitu aku pergi dulu ya, Olivier? Harus ke pemotretan sekarang. Oh, terimakasih untuk segalanya, juga untuk tehnya.” Julie melambai penuh senyum ke arah Olivier, lalu melangkah menuju pintu. Tanpa jawaban, seakan-akan Julie tak pernah ada di sana, Olivier hanya mendecap- decap menikmati kopinya. Yah, begitulah, batin Julie sembari mengingat- ingat pertemuannya dengan Olivier tadi. Ia agak merasa tak nyaman dengan sikap Olivier untuk sesaat, tapi untungnya hal itu mudah ia lupakan saat ia memulai sesi pemotretan desain Mr. Galliani. Ia merasa tak apa- apa sekarang, tapi entah kenapa ia merasa hanya ingin duduk dulu di suatu tempat sebelum pulang. Julie terus berjalan pelan menapaki jalan yang mulai ramai. Hari memang sudah sore, dan banyak orang-orang pulang kerja saat ini. Tak jauh di depannya, Julie memasuki jalan lain yang di setiap pinggirannya terdapat bangku- bangku panjang. Bangku itu berjarak sekitar tiga meter satu sama lain. Di bangku-bangku yang berada jauh di depannya, sudah terisi oleh dua tiga orang. Julie hanya ingin duduk sendiri sekarang, dan hanya ada satu bangku yang kosong, yang berada tepat di depannya. Ia mendekati bangku itu lalu duduk. Julie menatap orang- orang yang berlalu- lalang di pinggir jalan. Hembusan angin sore meniup rambut Julie hingga berantakan. Julie merasa kerongkongannya agak kering, lalu merogoh tasnya mencari botol air. Tapi ia merasakan botol kecil ada di dalam tasnya. Julie hanya menatap botol itu, lalu meletakkannya di sampingnya. Julie mengeluarkan botol minum, meneguk air di dalamnya, dan menaruh botol itu kembali ke tas. Kini ia mengambil botol kecil di sampingnya dan kembali menatapnya dengan gundah. Ellis bilang, aku harus membuangnya. Julie merasa bertekad, tapi bimbang. Ia tidak yakin, apakah nanti ia bisa tertidur lelap tanpa pil- pil ini? Julie menatap botol itu dengan resah, mengguncang- guncangkannya tak tentu arah. Apa pil- pil ini aku buang atau simpan saja, ya? “Kenapa tak kausimpan saja?” Julie terkejut. Dia menoleh mencari arah suara itu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD