Julie menoleh mencari arah suara itu dan mendapati seorang pria jangkung berambut sebahu yang acak-acakan beranjak dari bangkunya yang tak jauh dari bangku Julie. Ia berjalan menuju Julie dan bertanya, “Boleh aku duduk?”
Julie mengangguk terheran-heran. Apa ia bisa mendengar isi hatiku? Julie membatin. Ataukah tadi aku bergumam sendiri?
Julie memberanikan diri untuk bertanya. “Kau tadi mendengarkanku...bergumam sendiri?”
Demi mendengarkan itu, pria jangkung itu tertawa terbahak-bahak. Ia lalu duduk di bangku sampai akhirnya tawanya mereda. “Mana mungkin aku bisa? Jangankan bergumam, kalaupun kau berbicara, aku takkan bisa mendengarkannya dari sana.” Dia mengedikkan kepalanya ke arah bangku yang tadi ia duduki. “Kau tidak kelihatan seperti orang gila, kok, tadi.”
“Oh”, jawab Julie pendek dengan muka merah padam.
Pria itu sedikit membungkuk, menyandarkan sikunya di kedua tempurung lututnya. “Lalu, apa aku benar?”
Julie mengangguk. “Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku percaya kalau membuang botol ini akan membuatku lebih baik, tapi aku takut dengan apa yang akan kualami nanti.”
“Hooh.” Pria itu menegakkan punggungnya kembali. “Aku tak akan bertanya kau ada masalah apa, atau apa isi botol itu, jadi semua keputusan tetap ada padamu.”
Julie mengerlingkan matanya ke arah pria itu. Ia jauh lebih muda daripada Julie, dan wajahnya tak terasa asing bagi Julie.
“Hei, apa kita pernah bertemu?”
“Hm ?” gumam pria itu memandangi Julie. “Belum, kita belum pernah bertemu.”
“Oh, aku pikir juga begitu. Aku hanya merasa mungkin kau pernah melihatku saat membeli pil-pil ini, dan atau mungkin kita pernah tak sengaja berpapasan.”
Pria itu mengerutkan dahinya sedikit. “Tidak, aku rasa kita tak pernah berpapasan. Dan aku juga tak pernah bertemu denganmu di apotik manapun untuk membeli sebotol...ah..”
“Oh, ini hanya obat tidur.”
“Ya, obat tidur.” Ia menunjuk botol yang ada di tangan Julie dengan riang.
Julie berusaha berpikir keras. Ia menatap botol dalam genggamannya itu. “Lalu, darimana kau tahu aku hendak membuang obat tidur ini?”
Pria itu tertawa lagi seolah tanpa beban. Ia merentangkan kedua tangannya yang panjang di atas punggung bangku itu. “Tentu saja aku tahu. Kalau kau melihat seseorang bolak-balik di dekat tong sampah sambil terus memandangi tong itu dan benda di tanganmu secara bergantian, apa artinya itu? Kau ingin membuang benda itu, tapi kau ragu jika sewaktu-waktu kau masih membutuhkannya.”
Julie mengiyakan. Memang begitulah yang ada di pikirannya kini. Pria itu lalu mengeluarkan pemantik dan sebungkus rokok mahal dari saku kemeja putihnya. “Bahkan artis amatiran pun tahu apa yang kau lakukan, tahu? Mau rokok?” Pria itu menawarkan sebatang.
“Tidak, tidak terima kasih. Aku tidak merokok.”
Pria itu melambaikan tangan dengan isyarat-tidak-masalah pada Julie. Julie melanjutkan, “Hmm. Apa itu berarti... kau ini artis?”
Julie bertanya sembari memandangi pria itu. Pakaiannya berpotongan bagus, berupa kemeja putih panjang yang kancingnya dilepas hingga d**a, dan lengannya disingsingkan hingga siku. Namun teman pakaian itulah yang agak...yah, tidak biasa. Dia mengenakan rompi berbahan kulit yang halus dan hitam. Ia juga memakai celana berwarna merah menyala berpotongan cutbrai. (Apa itu juga celana kulit? Julie bertanya-tanya dalam hati). Ia juga mengenakan ikat kepala berwarna emas pucat ditemani anting-anting peramal di telinganya. Pria jangkung ini terlihat seperti seseorang dari era grunge atau kelompok hippies, semacam itu. Untungnya dia memiliki wajah yang enak dilihat kalau tak bisa disebut tampan.
Pria itu menyalakan rokoknya dengan tenang, lalu menghembuskan segelung asap ke jalanan di depannya. “Yah, bisa dibilang aku artis. Tapi makna ‘artis’ kini sudah menyempit ‘kan? Jadi kau bisa menyebutku seniman.”
“Ya, memang.” Julie kembali menoleh ke arah pria di sampingnya itu, memandangnya lekat-lekat. Seperti pria terpelajar, bukan begitu? Entah kenapa ia merasa begitu ingin tahu tentang pria ini lebih banyak, tak seperti biasanya. Ini bukan kau, Julie. Julie membatin lagi. Ia tak pernah terlalu ingin ikut campur urusan orang lain, tak pernah. Tapi entah apa yang membuat Julie ingin memandang pria itu lagi dan lagi, dan ada buncahan rasa senang di d**a Julie kini. Julie tak tahu apa itu. Rasa penasarannya pada pria itu itu tak dapat ia bendung, dan ia sudah terlalu banyak berinteraksi dengan batinnya hari ini. Julie memberanikan diri, seakan baru saja menanggalkan kepribadiannya yang biasa.
“Ehmm, kalau aku boleh tahu namamu?”
Julie agak takut-takut dengan tanggapan si pria itu. Sebenarnya Julie lebih sering ditanyai namanya oleh orang lain daripada dia sendiri yang menanyai nama orang lain. Tapi pria itu sepertinya tidak ambil pusing. “Panggil saja Zedd, namaku Zedd.”
Julie semakin penasaran. “Itu... nama aslimu?”
Pria itu memasang wajah serius sembari memandangi kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan. “Kau ingin tahu?”
Julie tak menjawab, namun wajahnya makin memerah.
“Itu hanya nama panggungku. Seperti yang kubilang, aku seniman.”
Semangat yang tadi membuncah kini menyurut dalam diri Julie. “Ooh.”
Tanggapan Julie seakan membangunkan pria yang sedang asyik merokok itu dari pemandangan jalan di depannya. “Kenapa?”
Dengan pelan Julie menjawab, “Aku hanya ingin tahu kau bekerja sebagai apa. Ya, aku tahu kau seniman, tapi... sebagai apa?”
Pria itu tersenyum. Dari hidungnya ada asap tipis berembus. “Kalau begitu, kenalkanlah dirimu.”
Julie heran dengan dirinya saat ini. Bersama pria itu, ia seakan seperti anak kecil yang mudah dirayu dengan janji-janji dan mainan-mainan. Ia merasakan kedekatan yang bahkan tak dapat ia lukiskan. Dengan penuh semangat, Julie menjawab, “Oh! Kenalkan namaku Julie. Aku model desain Galliani.”
Julie mengulurkan tangannya dengan tersenyum kecil. Pria itu membalas uluran tangan Julie, dan juga tersenyum sembari memamerkan gigi-giginya yang rapi.
“Wah, ternyata kau orang hebat. Dan kau sepertinya orang yang senang berkenalan dengan orang baru.”
Julie tersentak. “Ah, sebenarnya tidak seperti itu. Aku hanya...bisa dekat dengan beberapa orang. Dan sebenarnya aku selalu kesulitan mengajak orang lain berkenalan—atau belum pernah, sebenarnya.”
“Oh, ya? Kalau begitu, aku tersanjung menjadi orang pertama yang kau ajak berkenalan.”
Mata Julie kembali berbinar. Zedd membalas dengan senyum-gigi-rapi-nya. “Jadi, apa pil-pil itu sangat mengganggumu sekarang?”
Julie kembali resah memandangi botol dalam genggamannya. “Sebenarnya, ini membantuku melalui masa-masa sulit. Tapi sepertinya sekarang aku sudah ketergantungan.”
“Kau merasa begitu?”
“Teman-temanku pun bilang begitu.”
“Kalau pendapatmu sendiri?”
Julie tepekur memikirkan pertanyaan ini. Ya, bagaimana pendapatku sendiri? Julie merasa ia belum melebihi batas normal atau ‘kelewatan’. Ia juga benci mengonsumsinya, bukan begitu?
“Aku rasa, belum.”
“Nah, kenapa tak kau simpan saja kalau menurutmu belum?”
“Benarkah? Aku boleh menyimpannya lagi?” Ekspresi Julie seperti bocah kecil yang diiming-imingi permen.
Zedd menatapnya serius, setengah menyeringai. “Kenapa mencari pembenaran padaku? Putuskanlah sendiri.”
Tiba-tiba saja Julie merasa malu.
Zedd melanjutkan, “Tapi apapun yang melebihi dosis, selalu membahayakan. Kau bisa menjadikannya jalan pintas, kalau kau mau. Lagipula dunia ini terlalu kejam, ‘kan?” Ia kembali memberikan senyum-gigi-rapi yang misterius, yang siapapun tak mampu mengerti maknanya.
Julie benar-benar bimbang. Ia tak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba dari dalam tas Julie terdengar notifikasi pesan. Cepat-cepat Julie merogoh tasnya, meraih ponsel dan melihat pesan yang masuk.
Zedd memperhatikan Julie yang begitu repot dengan segala barang yang ada di tasnya, lalu kembali merokok. Julie ragu sesaat, tapi lagi-lagi ia hanya menaruh kembali botol itu kembali ke dalam tasnya. “Senang berkenalan denganmu, Zedd. Semoga di lain waktu kita bisa bertemu lagi.”
“Baiklah. Aku juga senang berkenalan denganmu.”
Keduanya saling bergantian melambai begitu Julie meninggalkan bangku di pinggir jalanan itu, meninggalkan si pria jangkung menghembuskan asap dari hidungnya dengan bertubi-tubi.
***
Tony bergolek menggeliat di tempat tidurnya. Tidak, sebenarnya tidak dalam keadaan malas, karena ia sudah berpakaian kemeja rapi dan celana panjang hitam. Rambutnya pun sudah diminyaki, meskipun di sisi kanan rambutnya mulai memberontak ria dari model yang sudah diatur Tony dari tadi. Si pemiliki rambut berbaring telentang sambil mengamati sebuah kartu indah yang ditulisi tinta emas yang cantik.
“Tony” , panggil ibunya sayup-sayup dari lantai bawah. “Tony, kamu sedang apa? Tunggulah di bawah.”
“Baik, Ma," sahut Tony. Ia bergegas bangun dan mengantongi kartu itu. Setelah meminyaki lagi rambutnya yang tadinya miring sebelah hingga menjadi elegan lagi, ia bergegas turun dari kamarnya menuju ruang makan di lantai bawah.
Di sana, di meja makan, sudah tersedia makanan dan minuman, beserta penganan ringan sesudah makan. Mr. Grosvenor, Papa Tony, sudah mengambil tempatnya di bagian paling ujung. Tony menarik kursi di dekat beliau dan duduk di situ. Mama Tony meletakkan seteko jus, seraya berkata, “Kapan Julie akan datang, Tony?”
Tony melirik jam di tangan kanannya. “Mungkin sebentar lagi, Ma.”
Tony dan Julie memang sudah berjanji akan makan bersama-sama akhir minggu ini. Tony menggunakan alasan bahwa papa dan mamanya sudah sangat rindu Julie. Lagipula, Julie juga tidak ada jadwal apapun di hari Minggu, jadi dia segera menyambut ajakan Tony dengan hangat.
Benarlah, beberapa menit menunggu, terdengar bunyi bel yang dipencet dari arah depan rumah. Tony segera beranjak dari kursinya dan segera menuju pintu dan tak lama ia sudah kembali bersama Julie.
“Selamat siang, Mr. dan Mrs. Grosvenor.”
Begitu melihat Julie, Mrs. Grosvenor langsung memeluk Julie erat, seperti anaknya sendiri. “Bagaimana kabarmu, Julie? Kenapa kau sudah jarang main kemari? Tidak kangen Tante dan Om?”
Begitu Mrs. Grosvenor melepas pelukannya, Julie menjawab, “Maaf, Tante. Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu. Tapi akhir-akhir ini jadwalku agak padat dari biasanya.”
“Tidak apa-apa sayang," jawab Mr. Grosvenor. “o*******g kau baik-baik saja. Oh, iya, kau baru saja dikontrak oleh Galliani, bukan? Congratulations!”
Gantian Mr. Grosvenor memeluk Julie. Julie tersipu-sipu dan mengucapkan rasa terimakasihnya pada mereka berdua. Mrs. Grosvenor kembali memeluk dan mencium pipi Julie.
“Oke. Sudah selesai?” tanya Tony. Suaranya kedengaran agak datar. Dia berdiri di samping kursinya sambil mengedikkan alis. Mrs. Grosvenor pun menggandeng tangan Tony dan Julie.
“Ayo, Julie, kita segera makan. Sebelum Tony lebih ngambek lagi," ujar Mrs. Grosvenor sambil mengedipkan mata.
***
Setelah makan-makan yang penuh perbincangan hangat, kini ruang makan keluarga Grosvenor mulai sepi. Hanya ada pasangan suami-istri itu berbincang-bincang, sementara piring dan gelas beserta makanan yang masih bersisa sudah dibereskan asisten rumah tangga mereka. Sementara itu, Tony dan Julie duduk-duduk di dekat taman.
Rumah Tony tergolong besar untuk keempat orang anak-beranak itu beserta dua asisten rumah tangga, satu orang tukang kebun, dan seorang supir yang tinggal bersama mereka. Keluarga Grosvenor menyukai rumah dengan arsitektur klasik, dengan kolom tiang-tiang besar dan berukir. Ada banyak ruangan dalam rumah itu, semuanya dibuat dari bahan berkualitas dengan perabotan yang elok. Di sekeliling rumah, ditanami bunga-bunga dan tanaman sayur kesukaan Mrs. Grosvenor. Karena di sisi sebelah kiri masih banyak tersedia lahan kosong, tukang kebun menganjurkan Mrs. Grosvenor untuk membuatkan taman khusus disertai meja dan kursi untuk duduk-duduk. Dan di sanalah kini Tony dan Julie berada. Keduanya duduk di kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar. Ada payung buatan besar yang meneduhi mereka.
“Bagaimana perasaanmu sekarang, Julie?” Tony bertanya pada Julie sambil menatapnya lekat-lekat.
Julie tersenyum seperti biasa. “Aku sungguh senang, Tony. Terima kasih untuk undangan makan-makannya. Dan aku sungguh, sungguh merindukan Mr. dan Mrs. Grosvenor. Rasanya seperti kembali ke masa dulu.”
Tony menunduk terdiam, tak ingin membawa Julie pada kenangan lama. “Kau tahu, Julie? Aku suka sekali taman ini. Kau lihat? Mama dan tukang kebun kami sekarang, Mr. Lynch, yang mendesainnya seperti ini. Beberapa bunga-bunga domestik dan bunga liar ditanami melingkar dan berdekatan satu sama lain, mengelilingi tempat duduk kita. Jadi ketika mereka sudah tumbuh tinggi, rasanya seperti kita sedang berbincang di tengah hutan.”
“Seperti ada di dunia peri," tukas Julie terkagum-kagum. Tony merasa senang melihat ekspresi Julie.
“Dan kau lihat, jalan setapak yang kita lalui menuju kesini tadi? Beberapa derajat dari situ adalah arah timur”, kata Tony bangga. “Dan saat matahari pagi terbit, kau akan melihat cahayanya menembus dedaunan yang lebat itu seperti tabung laser kuning panjang...”
“...Seperti mata Ellis," tukas Julie lagi.
“Maaf?”
Tony agak bingung dengan tanggapan Julie yang ia rasa menyimpang dari pokok pembahasan.
“Ya”, sahut Julie sambil tersenyum, “Kau pernah memperhatikan mata Ellis? Dia mempunyai mata hijau yang agak gelap dengan bintik-bintik kuning terang. Persis seperti cahaya matahari yang menembus dedaunan lebat di hutan. Apalagi saat ia sedang senang, matanya akan lebih berbinar-binar.”
Tony mulai paham dengan maksud Julie. “Ya, mungkin. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan mata Ellis.” Tony diam sesaat. “Kau sangat memperhatikan orang lain, ya?”
Julie mengangkat bahu. “Ya, dan tidak. Hanya orang-orang yang kukenal dan kusayangi.”
Tony memandang Julie nakal. “Apa kau pernah memperhatikanku, Julie?”
Julie terkejut dengan pertanyaan Tony itu. “M...maksudku?”
“Oh, jadi kau tidak menganggap aku kenalanmu dan aku juga tidak kausayangi, begitu?”
“Tony, aku tidak bermaksud...Aku bukannya,...”
Tony tergelak melihat reaksi Julie. “Santai, Julie. Aku hanya bercanda, kok. Jangan kautanggapi serius.”
Wajah Julie terus menekuk dan mungkin ia akan makin menunduk lagi jika lehernya bisa.
“Kau ini serius sekali, tidak seperti Ellis.” Tony masih tergelak.
Dengan pelan, Julie menjawab, “Ya, aku juga berpikiran begitu, Tony.” Suaranya terdengar setengah berbisik. “Aku ingin sekali seperti Ellis. Tak persis sepertinya pun tak apa. Sedikit kepintaran Ellis dan juga sedikit keceriaan yang ia punya.”
Tony sebenarnya sudah lama ingin menanyakan hal ini, namun juga Julie sepertinya terlihat sedih. Tapi ia tak mampu membendung rasa penasarannya lagi. “Tak apa, Julie. Kau adalah kau. Ellis adalah Ellis. Tapi...”
“Kau juga merasa begitu ‘kan, Tony? Entahlah, rasanya ada besi seberat jangkar kapal yang menimpa punggungku.”
Tony memutar posisinya sedikit. “Cobalah ceritakan, Julie, apapun yang ingin kauceritakan. Aku akan mendengarkanmu dan membantumu.” Julie terdiam.
Tony meraih tangan Julie. “Ceritakanlah, Julie. Kau wanita kuat, aku tahu itu.”
Julie yang sejak tadi hanya menunduk menatap kakinya, kini menengadah. “Apa kau bersungguh-sungguh Tony?”
Tony menegakkan punggungnya. “Ya, tentu saja! Apa yang bisa kubantu?”
Julie menetapkan tekadnya, menarik napas dalam-dalam. “Bisakah nanti kauantarkan aku ke rumahku, Tony?”
Wajah Tony yang tadi menatap Julie penuh rasa sayang kini berubah menjadi kaku dan mengeras. Ia melepaskan genggaman tangannya pada tangan Julie. “Tidak, Julie! Aku tidak bisa membantumu untuk itu. Lupakan saja!”
“Tapi...”
“Tidak, Julie! Sudah kubilang ‘kan tadi? Apa kau tak ingin melihat masa depanmu saja? Sekarang?”
Julie tak menjawab. Ia tak ingin berbantah-bantahan dengan Tony, tapi ia juga bukan orang yang akan mengalah begitu saja. Tekadnya sekuat besi. Meski begitu ia pun tetap menjawab, “Baiklah, Tony. Maafkan aku karena membuatmu marah seperti ini.”
Tapi sebenarnya di dalam hati, Julie sudah meneguhkan hatinya untuk pergi ke sana sendiri, yang untungnya tak bisa didengar Tony. Mendengar permintaan maaf Julie, Tony pun melunak. “Ya, maafkan aku juga, Julie. Aku hanya ingin kau mampu melihat ke depan, memikirkan masa depanmu sendiri. Aku sungguh ingin yang terbaik untukmu.”
“Ya, aku tahu.”
Ketegangan di antara mereka belum benar-benar mencair. Tony yang merasa kikuk dengan keadaan, tiba-tiba mencari-cari topik bahasan baru. “Oh! Kau lihat itu, Julie? Bunga itu?”
Perhatian Julie teralihkan. “Yang mana?”
“Itu”, kata Tony seraya mengarahkan telunjuknya pada bunga-bunga berkelopak putih dengan daun-daun hijau runcing seperti akar.
“Apa itu...chamomile?”
“Yap”, sahut Tony berusaha riang. “Sudah benar-benar mekar. Cantik sekali ya? Nanti kali kedua kau kesini, aku akan buatkan kau teh chamomile.”
Julie menatap Tony serius. “Kau bisa?”
Tony menggaruk rambutnya yang sama sekali tidak berketombe sambil nyengir sedikit. “Ehm, sebenarnya tidak. Tapi kalau kau suka, aku akan belajar cara membuatnya.”
Julie tersenyum melihat tingkah Tony, lalu dia menunjuk tanaman dengan banyak kuncup-kuncup bunga kecil. “Apa itu, Tony?”
“Itu...Kalau tidak salah kata Mamaku, itu sweet pea. Masih berupa kuncup sekarang, karena masih awal musim semi. Tunggulah beberapa bulan lagi, Julie. Akan kuajak kau melihat bunga-bunganya, cantik! Ada yang merah muda, putih, dan ungu.”
Julie tertawa kecil sambil bertelekan pada sikunya. “Dan sekaligus minum teh chamomile?”
Tony tergelak. “As you want, Miss.”