Bab 1 : Juliette Falton

2014 Words
Julie sedang duduk bersandar di kursi tinggi di dalam ruang tata rias sambil menatap cermin. Wajahnya terlihat pucat daripada biasanya, entah karena dia baru saja menghapus riasan di wajahnya, atau memang wajahnya pucat. Namun ini tidak mengurangi kecantikan gadis berambut panjang dan bermata cokelat terang itu. Ruangan itu berpenerangan kuning cerah nan hangat, namun di tiap- tiap meja rias terdapat cermin yang berlampu putih kecil- kecil yang makin mengesankan betapa putihnya rupa gadis itu kini. Ruangan penuh dengan model- model lain yang hilir- mudik. Karena ini runaway terakhir pada hari terakhir fashion week, jelas bahwa semua orang ingin segera pulang untuk beristirahat. Satu- persatu orang di dalam ruangan itu menyusut, hingga tinggallah Julie yang masih termenung menatap cerminnya. Tok-tok-tok. Terdengar ketukan cukup keras di pintu. Namun ini tak kunjung membangunkan Julie dari renungan panjangnya. Beberapa detik kemudian seorang penata rias masuk. “Kerja bagus, Julie! Astaga, kenapa kau belum berganti pakaian?” Julie tersentak kaget dan hanya menoleh sambil berkata,”Eh?” Penata rias tersebut menghela napas, lalu tersenyum.“Tak apa, Julie. Pengalaman pertama menjadi model beliau ya? Tak apa. Ini, ada temanmu yang datang.” Penata rias itu membuka pintu lebih lebar dan melambaikan tangan pada Julie,”Aku pergi dulu, ya!” Penata rias itu menghilang bersamaan dengan masuknya seorang pria berambut klimis oleh minyak, dengan setelan jas rapi. Rambutnya yang diminyaki terlalu banyak masih saja membandel, mencuat di beberapa bagian. Pria itu membawa buket bunga yang besar dan berwarna- warni. Ia tersenyum manis pada Julie. “Selamat untuk kontrak pertamanya, Julie.” Ia mengulurkan buket bunga itu pada Julie. Yang menerima sumringah menatap bunga-bunga harum nan cantik di depannya. “Anthony! Terima kasih “, sambut Julie dengan mata berbinar- binar. Ia memeluk buket bunga itu dengan erat. “Aku gugup Tony, karena biasanya aku hanya menjadi model untuk merk- merk pakaian biasa. Tapi kali ini aku menjadi model fashion week kota ini! Model untuk desainer Galliani pula! Aku diberitahu kontraknya begitu saja oleh agensi, padahal aku belum mencapai level fashion week.” “Aku tahu”, ujar Tony sambil memandangi Julie penuh pengertian. “Kau sangat senang, Julie?” Julie mengangguk, sambil menghirup aroma bunga di depannya. “Wangi sekali.” Julie pun memejamkan matanya sebentar. “Begitu pula aku.” Tony duduk di kursi meja rias di samping Julie. Ia meletakkan tangannya seenaknya di meja dan bertelekan pada sikunya. Julie menengadah,”Begitu pula kamu? Wangi maksudnya?” “Hahaha, bukan. Maksudnya aku juga ikut senang.” Tony tergelak melihat wajah Julie memerah. “Oh.” “Julie, aku sering menawarkanmu menjadi model beberapa teman- temanku yang juga desainer. Kenapa kau selalu menolak? Padahal mereka juga setingkat, atau...yah. Hampir setingkatlah dengan Galliani. Aku heran dengan keputusanmu ini.” Julie meletakkan buket bunganya di atas meja. Ia lalu menatap Tony dengan lembut. “Tony, terima kasih untuk tawaran- tawaranmu. Tapi aku sungguh tak ingin membuatmu terganggu karena aku. Aku baik- baik saja menjadi seperti ini, model pakaian biasa seperti ini. Bahkan jika nantinya kontrakku dengan Tuan Galliani habis, lalu aku kembali menjadi model biasa, aku tak masalah. Aku sudah bersyukur berkesempatan ikut fashion week kota ini.” “Tapi aku ingin kau juga berkesempatan menjadi model sukses, Julie! Dan aku bisa memastikan pada teman- temanku kau akan mendapat kontrak cukup lama.” “Aku tak ingin merepotkanmu Tony. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” “Tapi aku tak ingin hanya kau yang menjaga dirimu. Aku juga!” “Kita juga sudah berkali-kali membahas ini, bukan,Tony?” Tony berdiri secepat kilat dan berujar dengan suara bergemuruh,”Apa permintaanku terlalu berat untukmu, Julie?” Julie terdiam di kursinya sambil menunduk.”Tapi, aku sudah jan...” “Ya, ya, ya! Aku tahu kau sudah janji pada ibumu! Tapi aku tak repot olehmu, dan bisakah kau berhenti membahas segala tentang janjimu?” Teriakan Tony terasa bergema ke sudut- sudut ruangan. Julie tersentak kaget sekali lagi. Ia ikut berdiri dan menatap Tony dengan wajah muram. Tiba- tiba, matanya berkaca- kaca. Setetes dua tetes air mata mengalir di pipi Julie. Melihat ini, amarah Tony tiba- tiba surut. “Kita sudah berkali- kali bertengkar karena ini, Tony”, jawabnya masih dengan suara lembut, namun kali ini gemetar. “Aku ingin pulang saja Tony.” Julie meraih tasnya dengan serampangan lalu berbalik menjauhi Tony.  “Tunggu!” Tony mencengkeram erat lengan Julie yang masih memegangi tasnya. Tony tak pernah berniat membuat Julie menangis begini, dan ia ingin sekali meminta maaf. Tarik-ulur lengan berlangsung cukup lama hingga Julie dengan sekuat tenaga menyentakkan tasnya.  Bletak! “Akhh!” erang Tony kesakitan. Tanpa Julie sengaja, tas itu beserta rantai besinya mengenai wajah Tony, tepatnya mengenai pipi dan bibirnya. Tony terhenyak jatuh ke belakang, sambil terus memegangi pipinya. “Astaga, Tony! “ Julie berbalik menghampiri Tony. “A..apa kau t..tidak apa-apa?” Tony masih belum menjawab. Ia sepertinya merasa kesakitan sekali. Julie memegangi lengan Tony sambil memohon,”Maafkan aku! Maafkan aku, Tony! Sungguh, aku tak sengaja! Tadi aku hanya...” Tiba- tiba saja Tony menegakkan lututnya dan berusaha berdiri. Cepat- cepat Julie mengeratkan pegangannya pada lengan Tony dan membantunya berdiri. “Terima kasih Julie”, ujar Tony setelah benar- benar berdiri tegak sambil masih menutupi setengah wajahnya. Tony pun melepaskan tangan dari wajahnya dan sedikit meraba bibirnya. Berdarah! Bibir Tony terluka dan berdarah cukup banyak! Tak hanya itu, bilur- bilur biru tampak membayang- bayang di wajah Tony. Sepertinya itu jejak hantaman yang ditinggalkan rantai tas Julie. Julie terkesiap menatap akibat perbuatannya. “Apa yang telah kulakukan!” jeritnya sambil menutup mulut dengan tangannya. “Julie, Julie, tak usah pikirkan itu. Aku minta maaf atas kejadian tadi. Aku minta maaf karena telah membuatmu menangis. Dan...” “Tony aku juga minta maaf. Aku sungguh tak sengaja dan ...” Julie menunduk terdiam. Keduanya tak tahu harus berkata apa lagi. Julie kembali memegangi lengan Tony. “Mari, aku akan membelikanmu antiseptik dan salep untuk memarmu, Tony.” “Apa aku bisa mengantarmu pulang, Julie?” “Jangan... Jangan Tony, jangan terlalu...” “Aku akan menerima antiseptik dan salepmu kalau kau menerima tawaranku mengantarmu pulang. Aku tak memaksamu menjadi model desain temanku kok, apa itu juga sulit?” Julie menunduk. Yah, jika memang begitu, Julie tampaknya harus menyerah. Ia berbalik ke meja rias untuk mengambil buket bunga dari Tony, lalu menyusul Tony yang sudah menunggu di depan pintu. “Aku berganti baju dulu.” *** Sepanjang perjalanan pulang keduanya banyak terdiam. Tony telah memakai salep di pipinya dan Julie terus berjalan di sampingnya. Julie tak ingin menanyai Tony lebih dari masalah lukanya barusan, karena cemas lagi- lagi mereka akan bertengkar. Tony pun, dalam hati, mencemaskan hal yang sama. Keduanya berjalan di sepanjang pinggir jalan yang masih ramai, bahkan pada jam- jam tengah malam. Hingar- bingar orang- orang yang ada di restoran dan kafe- kafe di pinggir jalan sangat terasa. Cukup untuk menutupi kekikukan mereka. Julie berjalan takut- takut sambil terus mencuri pandang ke arah Tony. Dia bukannya takut pada Tony, toh buat apa dia mesti takut dengan teman masa kecilnya ini? Yang ia takutkan justru kemarahan Tony. Entah mengapa, akhir- akhir ini kemarahan Tony terasa berlarut- larut baginya. Tony seringkali naik darah untuk hal- hal yang sebenarnya tak terlalu penting baginya dulu, dan juga bagi Julie. Kalau sudah begini, Julie tak tahu harus bagaimana lagi. Ia hanya bisa menangis menggugu, tak tahu apa yang salah pada dirinya. Tony menangkap curi pandang terakhir Julie, dan secepat kilat Julie memalingkan muka. Tony berkata dengan terus terang,”Apa kau akan terus begini?” Julie menengadah memandang Tony, yang tak disangka-sangka sedang tersenyum. Senyum itu melunturkan ketakutan Julie. “Ada yang ingin kau katakan, Julie? Katakanlah. Aku tak marah padamu hanya karena kau melempar tasmu padaku.” “Hmm...mm...bagaimanaa... dengan k-konsermu?” Tony berpikir sejenak, lalu menjawab riang,”Aaah, konserku yang minggu ini, ya? Cukup baik. Aku senang sekali ternyata penikmat permainan pianoku lebih banyak dari yang kuperkirakan.” “A..ah begitu, ya? T-tapi maksudk-ku...konsermu selanjutnya. Bagaimana... dengan konsermu selanjutnya? W-wajahmu...” Tony lagi- lagi mengulum senyum. “Kenapa aku perlu cemas dengan wajahku, Julie? Kalau jari-jariku yang terluka, baru aku akan menuntutmu atas pembatalan konserku.” Sependek itu. Tak ada lagi lanjutan percakapan. Julie yang bingung mencari- cari topik pembicaraan, tak menyadari bahwa ia berada di dekat gang di sebelah kiri jalan menuju tempat tinggal Julie. “Nah, inilah mengapa aku merasa harus mengantarmu, selain karena malam sudah larut...” kata Tony menoleh pada Julie. Gang menuju tempat tinggal Julie, memang ramai. Bukan oleh kendaraan, tapi oleh wanita-wanita berpakaian seksi dan hampir tidak senonoh. Riasan wajah mereka sangat mencolok dan bau parfum menyengat menguar dari mereka. Beberapa di antaranya bersama lelaki dan beberapa lainnya melambai-lambai ke arah Tony. “Ayo, cepat!” kata Tony. Ia menarik Julie secepat mungkin melintasi gerombolan pria di kanan depan yang berselubung asap tebal dari rokok mereka.”Tempat mereka jauh di ujung sana, tapi kenapa mereka sudah bergerombol di sini?” gerutu Tony kesal. “Ayo, aku akan mengantarkanmu secepat mungkin”, kata Tony sambil terus berlari. Julie berusaha menyamai langkah- langkah Tony. Tak lama kemudian, mereka sampai di dekat rumah petak kecil yang ditinggali Julie. Rumah sederhana itu berwarna putih gading. Napas mereka ngos- ngosan sementara keduanya membungkuk mengumpulkan oksigen. Tony agak batuk setelah melewati selubung asap tadi. “Tony, terima kasih.” “Ya, sampaikan salamku untuk Mrs. Arden dan Ellis.” “Baik, aku sampaikan nanti. Tony...” “Ya?” “Kau tidak pernah berpikiran buruk atau aneh- aneh tentang kami kan? Ellis juga?" Tony menjawab dengan ringan,”Tentu tidak. Jangan mencemaskan hal yang tidak ada, Julie. Aku pergi dulu, ya. Good bye and good night.” “Night.” Julie melambaikan tangan pada sosok Tony yang lama-kelamaan menghilang dalam kegelapan malam.  *** “Julie! Aku baru saja menghangatkan sup untukmu. Astaga kau kenapa? Wajahmu pucat sekali!” kata- kata Ellis Arden meluncur bertubi-tubi menyerang Julie dari arah dapur. Julie yang baru saja melepas sepatu dan menaruhnya di rak, hanya tersenyum. “Aku hanya kelelahan, Ellis”, jawab Julie. “Mana nenek?” “Ah... Tadi nenek terlalu asyik merajut sampai- sampai ketiduran, masih dengan jarum rajut di tangan. Jadi aku suruh beliau lebih baik tidur saja. Tenang, nenek sudah makan kok tadi.” Julie tersenyum untuk kesekian kali sebelum melangkah menuju kamarnya. “Ah, Julie?” Ellis tiba- tiba berbalik menghadap Julie. Kompor telah dimatikan. Dia kini membawa semangkuk besar sup di tangan. “Ya?” “Ini...” Ellis cepat-cepat meletakkan mangkuk sup di meja. Ia lalu bergegas meraih sebuah kotak yang ia taruh di atas lemari. “Ini.” “Apa ini?” “Entahlah, Julie. Kukira itu hadiah biasa yang kauterima tiap tahun di hari ulang tahunmu, ingat? Kertas pembungkusnya sama. Tapi apa itu berarti kau menerimanya dua kali?” Julie tercenung menengadahkan tangannya saat Ellis menyodorkan kotak berbungkus kertas hijau dililit pita merah. “Aku selalu berpikir, kira- kira ini dari siapa ya?” Julie hanya menggeleng, tapi ia sedikit punya firasat bahwa hadiah itu masih dari keluarganya. “Masih dari keluargaku, mungkin?” “Yah, asal itu masih dari keluargamu dan persis seperti hadiah ulang tahunmu itu, tak jadi masalah. Aku takut yang kado ini hanya iseng saja. Apa hari ini bukan hari penting bagimu? Sekarang 22 Januari kan?” “Ya. Tapi aku juga tak tahu siapa yang mengirim ini Ellis. Bentuk kadonya memang seperti kado yang kuterima tiap tahun di hari ulang tahunku. Yah, semoga saja bukan iseng.” “Kuharap kau baik- baik saja, Julie. Apa ada yang membuntutimu beberapa hari terakhir? Atau kau sedang ada masalah? Kau memang agak pucat akhir- akhir ini.” Itu karena akhir- akhir ini aku sering memimpikan masa kecilku, jawab Julie dalam hati. Tapi ia belum mau menerangkan itu pada Ellis. Ellis menatapnya dengan tatapan tajam, menyelidik.  “Setelah berganti baju, langsung makan ya, Julie! Woahh, aku mengantuk sekali! Selamat malam.” Ia berpura-pura menguap dan melambai pada Julie. Ellis berlalu sambil mengacak- acak rambut hitamnya. “Selamat malam, Ellis.” Setelah Ellis masuk ke kamar, Julie masih menatap kado itu penuh tanda tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD