Bab 2 : Kado

1817 Words
“Selamat pagi, nenek.” “Selamat pagi, Julie sayang”, jawab nenek ambil mengecup dahi Julia. Beliau tengah melanjutkan rajutannya semalam di ruang tamu, sebuah syal merah tua dengan pinggiran jalinan abu- abu. Julie menatap Mrs. Arden dengan penuh sayang. “Nenek lebih baik banyak beristirahat. Aku dan Ellis bisa membiayai hidup kita bertiga, kok.” Mrs. Arden tersenyum hangat. Kerutan di wajahnya nampak lebih jelas. Mrs. Arden berperawakan kurus, berambut pendek yang keseluruhannya telah menjadi uban, dan senang sekali memakai baju hangatnya yang berwarna coklat. Tipikal nenek yang selalu membolehkanmu makan permen dan makanan manis- manis tanpa perlu gosok gigi sebelum tidur. “Astaga, astaga, astaga. Cucuku yang cantik Julie berkata begini, cucuku yang manis Ellis juga berkata begini. Sayangku, aku bekerja bukan karena kalian tidak bisa membiayaiku, sayang. Aku merasa lebih sehat bila aku setidaknya menggerakkan badanku.” Julie memeluk nenek penuh sayang. “Tapi nenek hanya menggerakkan tangan kalau merajut.” “Nah, nanti aku akan sedikit berkebun. Aku ingin menemani kalian sampai nanti, berumur panjang.” “Apa wortel nenek sudah berumbi?” Nenek terhenti merajut seketika. Seketika itu pula tawanya yang lepas pecah. Julie hanya terbengong menatap Mrs. Arden. “Oh, bukan apa- apa, Nak. Nenek hanya teringat Ellis juga menanyakan hal yang sama kemaren. ‘Apa wortel nenek sudah berbuah?’, begitu.” “Oh”, pengertian datang ke Julie dan ia tersenyum kecil. “Ellis memang tidak berbakat menjadi petani. Jangan khawatir, Nek, ada aku di sini, asisten perkebunan Nenek.” “Oh, that's so sweet of you, Dear. Belum, Nak, belum berumbi. Dan kau”, kata Mrs. Arden sambil mencubit hidung Julie, “Lakukan saja pekerjaanmu dengan baik. Aku tidak butuh asisten tani.” Julie tertawa kecil menatap nenek sambil meraih tasnya.“Yayayaa... Nenekku yang petani sejati ini. Jaga kesehatan, Nenek. Aku pergi dulu.” Ia mencium nenek di kening. “Tidak makan dulu, Julie? Ellis sepagian tadi sudah memasak sebelum kerja di toko.” “Sudah, Nek. Ellis sudah ke toko?” “Sudah, ia berangkat pagi- pagi sekali tadi.” “Hmm...Padahal aku ingin memberinya coklat. Oh,iya, nenek mau coklat?” “Hahaha. Makanlah bersama Ellis dan Tony, Julie. Aku tidak sanggup lagi makan yang seperti itu.” “Aku berangkat dulu, ya Nek?” “Hati- hati, Julie.” Begitu Julie keluar dari pintu, ia langsung bertemu Anthony. Anthony berpakaian olahraga hitam yang serasi. Rambutnya masih awut-awutan seperti baru bangun tidur. “Pagi, Julie.” “Oh, hei! Pagi, Tony. Kau... sedang tidak ada jadwal latihan pagi ini? Astaga rambutmu itu memang bandel sekali ya?” Anthony berusaha merapikan rambut di puncak kepalanya, meski sia-sia. “Tidak. Aku baru hendak lari pagi. Jadi aku ingin mengantarmu dulu sampai stasiun kereta api. Tidak, tidak menggangguku, kok”, Tony buru- buru mencegah Julie menanyakan kemungkinan ia mengganggu atau tidak. Keduanya berjalan dengan santai di pagi yang sepi. Pagi itu cukup sejuk, mengingat musim semi baru saja dimulai. Dari kejauhan terdengar nyanyian burung, dan rerumputan hijau terasa masih berembun dan segar. Tony berkali- kali menghirup dan menghembuskan napas dengan riang. Sedangkan Julie, ia dalam 24 jam melakukan hal yang sama lagi, yaitu mencuri pandang ke arah Tony. “Ehm... Tony? Bagaimana dengan lukamu semalam?” Tanpa bertanya pun Julie masih bisa melihat plester kecil tertempel di sudut bibir Tony. Pipi Tony juga terlihat agak mengkilap, yang Julie duga sisa polesan salep yang mungkin ia kenakan pagi ini. Tony menatap Julie ringan, lalu melambaikan tangan kirinya dengan cuek. Julie mengangguk. “Baiklah Tony. Aku... sekali lagi minta maaf.” “It's okay. Aku juga minta maaf. Rasanya akhir- akhir ini aku mudah marah. Emosiku rasanya... mudah tersulut jika kau sering keras kepala, Julie,” ucap Tony tak jelas dengan wajah merona. “Hei, tasmu kelihatannya berat. Tumben, kau bawa apa?” “Oh, ini.” Julie merogoh tasnya untuk kedua kali dan mengeluarkan kotak cantik berisi coklat. ”Mau?” “Boleh.” Tony mengambil sebuah dan membuka bungkusnya. “Sepertinya olahragaku pagi ini tidak akan membakar lemak.” “Kenapa?” “Karena kau memberiku coklat. Saat lari nanti, mungkin aku hanya akan membakar lemak dari coklat saja. Aku berterima kasih kok, untuk coklatmu.” “Ambillah lagi. Tapi sisakan Ellis, ya?” “Kau akan mampir dulu ke toko Ellis bekerja?” “Ya, aku mau membaginya juga untuk Ellis. Kau nanti duluan saja ya, Tony? Ellis masuk shift pagi dari jam enam, jadi aku belum sempat menemuinya.” “Oke.” Beberapa menit lamanya mereka terdiam menikmati coklat sambil berjalan di jalanan sepi. Tiba-tiba Tony membuka percakapan,”By the way, Julie, apakah kau sudah mempertimbangkan usulku?” Julie tiba- tiba berhenti melangkah. “Aku hanya ingin mandiri, Tony.” “Aku hanya ingin melindungimu, Julie. Kau tetap bisa mandiri seperti sekarang. Bebas. Tapi aku ingin kau hidup aman. Kau masih ingin tinggal dengan Ellis dan Mrs. Arden? Kau tetap boleh tinggal bersamanya. Oke, aku tak akan memintamu menjadi model untuk desain temanku, tapi tinggallah di apartemen yang aku pernah usulkan padamu. Jika kau tidak ingin gratis, kau bisa mencicil pembayaran padaku, dari uang yang kau dapat dari pekerjaanmu menjadi model sekarang.” “Entahlah, Tony. Aku tidak tahu.” “Aku akan membantumu menjadi model sukses. Tidak membantu dengan cara nepotisme, kau tahu, tapi aku bisa membantu mempromosikanmu pada desainer lain, bukan pada teman-temanku yang desainer itu. Aku rasa itu cukup fair.” “Entahlah, aku belum memikirkannya. Tentang model atau apapun itu.” “Belum? Julie, apa kau benar-benar mencintai dunia model?” Keduanya terdiam di jalanan lengang. Lalu Julie melanjutkan langkahnya sambil berujar,”Aku terpikir untuk menjadi model karena aku rasa orang tuaku menyukai itu, Tony. Aku dulu pernah menjadi model cilik. Aku hanya ingin membuat mereka senang.” “Senang?” teriak Tony. Dia bergegas menyusul Julie yang sudah beberapa meter di depannya. “Bagaimana dengan kesenanganmu, Julie?” “Oh, itu toko tempat Ellis”, kata Julie cepat-cepat. “ Bye, Tony!” Julie bergegas menuju minimarket 24 jam itu dan membuka pintu toko. Tak ada gunanya membahas sekarang, gumam Tony dalam hati. Ia tertegun memandangi Julie dari kejauhan, yang sudah disambut Ellis dengan heboh di dalam toko. “Bye, Julie.” *** Ellis menguap lebar- lebar di meja kasir toko. Jam sembilan lewat tiga belas menit. Pagi. Jam- jam segini memang minimarketnya selalu lengang. Orang- orang biasanya memenuhi toko itu di pagi hari, siang saat jam makan, dan sore sampai malam. Karena itulah, biasanya Ellis sering terkantuk- kantuk kurang kerjaan pada saat seperti ini. Ellis lalu mengeluarkan ponselnya dan menyalakan data seluler. Tring! Oh, ada pesanan lagi, sorak Ellis dalam hati. Kini matanya terbuka lebar menatap layar ponsel. Ada pesanan tiga buah syal buatan nenek. Ya, Ellis memang membantu Mrs. Arden menjual rajutan-rajutannya via daring. Penjualan secara daring tersebut lumayan memuaskan. Meskipun sekarang baru permulaan musim semi, setidaknya selalu ada orang yang menginginkan lehernya tidak terkena angin yang terlalu kencang. Setelah menyelesaikan transaksi di ponselnya (Ellis biasa mengirimkan pesanan ke pembeli di sore hari setelah selesai bekerja), Ellis kembali menguap malas. Saat ia sudah di ambang kesadaran menuju alam mimpi, tiba- tiba ia dikejutkan tangis seorang anak yang cukup keras. Seorang anak berjongkok di luar minimarket sambil menangis, sesekali memanggil mamanya. Ellis lalu keluar menghampiri anak itu. “Hai, Dik. Kamu kenapa?” Anak laki- laki itu meneruskan tangisannya tanpa peduli. Ellis celingukan ke kanan-kiri. “Kehilangan mamamu?” Bocah itu terdiam lalu menatap Ellis sesaat. Wajahnya tak karuan penuh air mata dan ingus. “Mamaaaaa.....”, teriak anak itu sambil menangis sekencang- kencangnya lagi. Ellis menghela napas dan merogoh- rogoh saku bajunya. Tadi Julie sempat mampir ke tokonya untuk memberikan beberapa coklat untuk Ellis, yang merupakan isi kado semalam. Syukurlah, itu kado dari pengirim yang sama, bukan dari pengirim yang iseng, meskipun mereka tidak tahu siapa dia. Ellis lalu menyodorkan coklat yang terbungkus kertas emas itu. “Ambillah.” Anak itu benar- benar terdiam kini. Ia berdiri lalu meraih tiga buah coklat yang diulurkan Ellis. Ellis merasa mendengar suara ‘Telmakash’ dari anak itu. Si bocah laki- laki berusia kira- kira lima atau enam tahun. Setelah benar- benar diperhatikan, Ellis baru menyadari bahwa pakaian anak itu terkesan elit. Mungkin dia terpisah dari mamanya saat berjalan- jalan di taman atau apa? Tak jauh dari sini, memang terdapat taman bunga yang sering dikunjungi mulai kalangan biasa hingga elit. Mungkin ia terlepas dari pengawasan ibunya, lalu terus berusaha berjalan, hingga nyasar ke sini. Anak itu masih menunduk malu- malu menatap sepatu Ellis. “Siapa namamu?” Bocah itu menjawab takut-takut.”B..ba..stian.” “Wah, nama yang bagus. Bastian tadi pergi bersama mama?” “K..kakak.” “Keluargamu besar ya? Apa Bastian juga punya adik?” Bastian yang merasa Ellis cukup ramah, mulai berusaha menengadah ke arah Ellis. Ia menggelengkan kepala. “Oh, jadi Bastian dua bersaudara?” Bastian mengangguk. Ia berusaha mengatakan sesuatu tapi masih takut. Ellis menatap Bastian ramah, ”Ya?” “A...ak,akuu t-di telpisah dali kakak. Mungking kakak juga sedang mencaliku.” “Apa Bastian tadi ke taman?” Anak itu mengangguk- angguk semangat. Sudah kuduga, pikir Ellis dalam hati. “Ayo, kakak temani kamu mencari kakak.” Ellis menggandeng tangan Bastian. Ia sebenarnya agak cemas meninggalkan toko tanpa orang. Tapi toh, aku takkan lama, kata Ellis meyakinkan dirinya. Bastian menurut saat Ellis membawanya menuju jalan ke arah taman. Namun, baru beberapa langkah, terlihat sesosok pria dua puluh tahunan berambut sebahu dari kejauhan berlari mendekat. “Basty!” soraknya sambil berlari menuju Ellis dan Bastian. “Kakak!” sahut Bastian. Ia segera berlari menuju pria itu dan menggenggam tangannya. Mata pria itu lalu tertumbuk pada sosok Ellis. “Ah, Anda yang menemukan Bastian, ya? Terimakasih banyak.” Pria itu menampakkan giginya yang berseri dengan wajah yang ramah. Biar begitu, ia punya hidung yang benar- benar mancung dan rahang yang kokoh. Ia kelihatannya agak lebih muda dari Ellis. Tidak tampan tapi bisa menaklukkan hati wanita, pikir Ellis. Ia sempat terkikik kecil sambil menutup mulut dengan tangannya sebelum menjawab dengan wajah sopan dan serius. “Oh iya, sama- sama.” Sekali lagi pria itu membungkuk sedikit ke arah Ellis sebelum pergi bersama Bastian. Ketiga orang ini secara bersamaan berbalik menuju arah yang berlawanan. Ellis sangat mencemaskan toko yang ditinggalkannya. Bagaimana jika bosnya tahu? Ia bisa dipecat. Sekilas, ia menoleh ke arah kedua kakak-beradik itu. Sosok mereka makin mengecil, bergerak menuju arah taman. Tapi entah kenapa, kejadian barusan membuatnya tiba- tiba saja teringat Julie dan coklat yang dibawakannya. Apa yang membuat ia ingat Julia begitu? Ia teringat senyum Julia tadi pagi, senyum yang lemah lembut, seperti biasa. Tapi kenapa harus ingat coklat juga? Ia terus bertanya-tanya dalam hati. Mungkin karena tadi aku mencemaskan kado Julie, Ellis berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Tapi rasanya masih ada yang mengganjal. Ellis bergegas mendorong pintu depan minimarket itu dan pikirannya sudah kembali lagi pada pekerjaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD