Ceklek.
Pintu terbuka. Angin menguar dari luar, menghembus isi rumah hingga ke sudut- sudutnya. Tampak Ellis masuk mengenakan jaket yang membungkus dirinya. Ia meniup -niup tangannya yang ia tangkupkan.
“Selamat datang, Ellis.” Ellis menoleh cepat ke arah meja makan. Ada Julie yang duduk manis di kursi.
“Oh, kau pulang lebih cepat, Julie?”
Yang ditanya mengangguk semangat. Julie sedang menyusun rajutan- rajutan nenek. Beberapa di antaranya telah ia bungkus dengan rapi.
“Sudah semuanya sesuai yang aku chat tadi?”
“Sudah, aku sudah susun semua. Ada dua merah tua dengan hiasan abu-abu, satu warna biru tua polos, satu hitam ya.”
“Yap. Betul sekali, Bu Julie.” Setelah membuka sepatu, ia langsung mengambil salah satu bungkusan pesanan dengan hati- hati.
“Apa belum ada pesanan untuk pullover?”
“Belum, Jul. Sepertinya kita harus menunggu hingga bulan September dulu. Oh, bungkusan yang rapi sekali.” Elis menimang-nimang bungkusan tadi dengan gaya profesional.
“Oke. Sudah semua”, ujar Julie, yang lalu menggeser bungkusan itu lebih dekat ke arah Ellis.
Ellis menaik- turunkan alisnya dengan cepat. Ia mengambil semua bungkusan lalu membawanya keluar menuju sepedanya.
“Kau tidak istirahat dulu? Mau dikirim sekarang?”
Ellis dengan fokus menyusun semua pesanan di keranjang sepedanya, lalu masuk lagi ke rumah . Ia menjawab, ”Selagi aku belum berganti pakaian, Julie. Hari ini aku malas sekali harus keluar- keluar lagi. Sekarang ‘kan mestinya cuaca lumayan bagus, tapi entah kenapa hari ini dingin sekali.”
Julie memandang langit dari kaca jendela. Memang awan bergulung abu- abu pekat terus menyaru langit di atas kota mereka. Seolah -olah akan hujan, tapi tidak ada tetes air yang turun, melainkan angin dingin yang bertiup. Padahal pagi hingga siang tadi matahari bersinar terang dan membuat siang lumayan gerah.
“Ellis memang rajin, ya?” tanya Julie yang tersenyum kecil. Ia asyik bertopang siku di atas meja sambil menatap Ellis yang baru saja hendak memakai sepatunya.
“Ah, sial.” Ellis mengikatkan tali sepatunya sambil mengumpat pelan.
“Kenapa?”
“Dingin- dingin seperti ini para wanita jal...”
“Hush!” Julie memukul angin dekat mukanya. Matanya membelalak pada Ellis penuh arti.
“Ya, ya. Pokoknya mereka itulah. Baru sore sudah berkumpul lagi. Dan kenapa mesti bermesra-mesraan dengan lelaki hidung belang di dekat rumah kita? Dan kenapa tempat terkutuk itu mesti di dekat rumah kita? Memang sih kalau cuaca dingin, enaknya ...”
“Sssh.” Julie tidak lagi membelalak pada Ellis, tapi melengong ke arah kamar nenek. Ellis juga ikut-ikutan melengong, tegang. Ia melanjutkan dengan agak berbisik -bisik.
“Ah, maaf. Aku... kadang hanya menyesalkan kenapa rumah kami ada di dekat sini. Kau juga pasti merasa terganggu. Maaf ya, Julie.” Wajah Ellis terlihat tidak nyaman.
“Aku merasa tak terganggu selama aku masih bersama kalian.” Julie tersenyum manis.
“Ooooh... sore ini aku sudah mendengar bualan puitismu yang langka, Julie! Sudahlah, aku antarkan dulu rajutan -rajutannya ya.”
“Iya, segera tutup pintunya, ya. Dingin.”
Mereka berdua hendak berlambaian, namun tangan mereka terhenti di udara ketika Mrs. Arden muncul. Keduanya terdiam kaku, cemas mengetahui apakah nenek mendengarkan pembicaraan mereka atau tidak.
“Ehmm, baru bangun tidur ya, Nek?” tanya Ellis diramah-ramahkan.
Nenek mengerling ke arah Ellis dengan pandangan aku-tahu-apa-yang-kau-sembunyikan. Ellis menunduk smbil bergumam pelan,” Aku hanya kesal pada mereka, Nek. Aku minta maaf.”
Nenek menarik kursi di dekat Julie, lalu duduk. Ia menatap tenang kedua gadis itu. Ellis juga ikutan duduk dekat rak sepatu, seakan- akan tatapan nenek barusan adalah perintah mutlak untuk segera duduk. Mrs. Arden pun menghela napas panjang.
“Tak ada awal mula sejarah lokalisasi di sini, bahkan sejak buyut nenek. Ini hanya daerah biasa yang cukup dekat dari dermaga, itu saja. Beberapa pelaut membawa kapal mereka untuk singgah di sini, turun untuk makan. Ada yang juga istirahat semalam- dua malam.”
Nenek melanjutkan, “Tapi, Ellis cantik, keluarga nenek dan keluarga manapun yang asli penduduk sini tak pernah ada niatan untuk membuka usaha yang seperti itu. Kami sudah sejak dulu mewarisi tanah ini, turun- temurun. Ya, meskipun keluarga nenek bukan keluarga yang kaya sejak dulunya.”
Ellis makin menunduk. Masih ada gumaman ‘maaf’ terdengar.
“Tidak apa- apa. Kau hanya benci keadaan ini ‘kan? Nenek tidak marah padamu, dan nenek juga tahu kamu bukannya marah pada nenek. Kau marah pada keadaan ini. Tapi kau menerima, itu yang paling penting.”
“Tapi...boleh aku bertanya, Nek? Kenapa mulai ada lokasi prostitusi dekat sini?”
“Hmm, Nenek hanya ingat itu bermula dari seorang wanita pendatang yang menjadi pembantu sebuah keluarga. Suatu ketika ia diusir karena mencuri. Ia begitu tergiur melihat perhiasan majikan wanita yang dengan sombong dipamerkannya kesana- kemari. Namun, dengan cepat perbuatannya diketahui majikan hingga ia diusir dari rumah. Sejak saat itu tak ada yang mau memberi pekerjaan padanya, tak jarang orang menjauhinya dan enggan mengajaknya berbicara. Dengan sedikit tabungan, ia membeli gubuk tak jauh dari sini. Gubuk itulah, nenek rasa.”
Kata- kata Mrs. Arden terhenti sampai situ. Julie dan Ellis mengerti bahwa gubuk itu adalah tempat lokalisasi prostitusi ini kini berdiri. Ellis bergerak tak nyaman mendengar kenyataan ini. Ada setitik rasa iba di hati Ellis pada gadis yang terusir itu.
“Ia menyewakan ‘jasa’nya pada para pelaut yang singgah untuk turun. Dan dari rumahnyalah rumah prostitusi pertama ada. Dia lalu mencari gadis- gadis baru, mungkin... dari sanalah kemunculan rumah- rumah ‘jasa’ yang baru.”
Kini wajah Mrs. Arden berubah santai. “Tidak ada yang bisa nenek lakukan, ataupun kalian lakukan. Melaporkan pada pihak berwenang pun tak berguna, karena pemerintah setempat juga tidak melarangnya. Menerima keadaan, berdamai dengannya. Lalu kau mungkin bisa memperbaikinya, suatu saat nanti. Julie juga.”
Julie menatap rajutan nenek yang sudah disusunnya. Ellis melamun memandangi keranjang sepedanya.
Mrs. Arden melanjutkan,”Nenek yakin, tidak seorang pun di antara mereka yang ingin menjadi seperti itu. Siapa yang ingin menjual dirinya hanya untuk segepok uang? Hati nurani mereka pasti juga membenci itu. Tapi hidup terlalu keras bagi mereka, karena mereka punya keterbatasan pilihan. Antara pendidikan mereka yang kurang, keterampilan yang kurang, atau pekerjaan yang ada sangat terbatas. Atau ketiga-tiganya.”
Nenek merapikan meja makan. “Kita hanya produk masa sebelum kita. Lingkungan yang seperti ini, masyarakat yang seperti itu, keluarga seperti ini. Kita tak bisa memilih untuk lahir di zaman yang ideal, yang bahkan zaman ideal itu juga tak pernah ada. Kita tak bisa memilih keluarga kita, tapi kita bisa memanfaatkan apa yang kita punya secara baik. Kita hanya mewarisi apa yang sudah mengalir dalam darah kita, dalam keluarga kita.”
Mrs. Arden merenung sambil menatap kejauhan. Beliau tersentak begitu tiba-tiba yang juga menyentakkan keheningan Julie dan Ellis mengamati rajutan dan keranjang sepeda.
“Ah, hampir senja! Ayo, Ellis, antarkan pesanannya kalau kau tidak ingin ketinggalan makan malam!”
Ellis memeriksa ikatan sepatunya dan melambai riang pada Mrs. Arden dan Julie. Julie membantu mengambilkan piring dan mangkuk beserta sendok.
Keluarga ya, batin Julie sambil meletakkan piring. Aku juga tidak bisa memilih keluargaku, begitu pula Ellis. Julie memandang lekat- lekat nenek yang tengah sibuk di dapur. Aroma telur goreng tercium ke mana-mana. Sementara itu dari arah depan, terdengar bunyi pagar yang ditutup Ellis dengan agak sembarangan.
Tapi mereka adalah keluargaku juga. Keluarga yang aku sayangi.
Angin masih bertiup di sela- sela ventilasi, yang makin menyebarkan aroma masakan bersama wangi petang.
***
Angin yang bertiup kencang di kota hanya menghembuskan sepoi-sepoinya di sela pepohonan. Membawa wangi- wangi bunga liar ke sisi pegunungan, terus ke padang hijau yang luas. Cahaya keemasan menerangi padang- padang itu, yang berada di kemiringan melandai dekat lereng gunung.
Di lereng sana tampak sebuah bangunan putih bergaya lama berdiri kokoh tanpa peduli terpaan angin. Di depannya ada beberapa set meja dan kursi. Tampak beberapa orang tua duduk menikmati senja jingga yang indah di sana.
“Indah, ya”, gumam Mr. Grey. Ia tengah duduk- duduk di kursi plastik putih sembari menikmati kopi hangat.
Mr. dan Mrs. Chamberlaine mengiyakan. “Aku agak menyesal, ke mana saja aku selama ini sampai tak pernah menyaksikan matahari terbenam dan langit ini? Dimanapun kita berada, aku yakin sore yang bagaimanapun pasti selalu indah.” Mata Mrs. Chamberlaine berbinar- binar penuh ketertarikan menatap bunga- bunga liar yang tengah mekar di kejauhan. “Bukan begitu, sayang?”, ia menoleh manja ke arah suaminya.
“Ke mana saja? Kau selama ini sibuk bekerja, sayangku”, jawab suaminya terkekeh. “Apa kau yakin sore yang hujan juga akan indah?”
Mrs. Chamberlaine memelototi suaminya itu. “Ya, indah! Hujan di sore hari itu I.N.D.A.H, Franklin Chamberlaine!” Ia menyikut Mr. Chamberlaine tepat di rusuk yang membuat Mr.Chamberlaine mengaduh maaf.
Sang istri merasa puas saat melihat suaminya mengalah dan Mr. Grey tertawa mengejek. Dengan riang ia menanyai kawan mengopinya yang lain,” Bagaimana dengan Anda? Sore tetap indah meski hujan bukan?”
“Aku tidak yakin, Madam”, jawab pria tua bungkuk tak jauh darinya dengan sopan. Ia hanya tersenyum kecil sambil memamerkan giginya dan keriput yang makin jelas.
“Aku juga tidak,” jawab beberapa wanita tua yang terbahak-bahak bagai mendengar gosip baru.
Wajah Mrs. Chamberlaine memerah. Ia butuh dukungan yang kuat. Ia lalu menoleh ke arah lain.
“Bagaimana dengan Anda, Mr. Grey?” tanyanya bermanis- manis.
Yang ditanya menghirup kopinya dengan pelan. Sosok pria setengah botak itu masih memiliki rambut di pelipisnya, namun sudah seluruhnya menjadi uban. Tak beda jauh dengan teman di samping kirinya, meski rambut temannya masih belum sepenuhnya memutih.
“Yaah, hujan sore memang agak menjengkelkan untuk saya. Siapa yang suka dingin dan basah? Tapi saya kira menikmati kopi di sore yang hujan pasti akan nikmat”, jawab Mr. Grey.
“Nah!” sorak Mrs. Chamberlaine penuh kemenangan.
“Selain itu akan ada pelangi, bukan begitu?” jawab teman Mr. Grey di samping sana. “Sinar matahari sore keemasan, disiram hujan yang bening, nantinya ada pelangi berwarna- warni, bukan? Saya yakin, itu sore yang paling indah.”
Mrs. Chamberlaine sekali lagi menyikut suaminya. Si suami mengangkat tangan menyerah dan mengangguk- angguk melihat istrinya yang berwajah puas. Semuanya hanya tertawa terbahak melihat tingkah laku pasangan suami- istri itu.
“Tapi... bagaimanapun aku bersyukur telah diberi kesempatan menikmati hari yang indah ini,” kata salah seorang di antara mereka.
“Aku juga,” sahut yang lain. “Aku selalu mengabaikan apa yang sudah ada di sekitarku. Beruntung rasanya masih punya waktu menyesali waktu yang terbuang dan bersyukur untuk sisa hidupku. Tak sia-sia ubanku ini ada.”
Mr. Grey dan yang lain mengangguk- angguk. Beberapa bergumam mengiyakan, menghirup udara penuh rasa damai. Mereka terus menikmati kopi dan petang mereka yang makin terbenam sebelum sisa senja itu berubah menjadi temaram malam, dan sebelum para pengasuh memanggil mereka untuk masuk ke dalam. Semuanya hanya tenggelam dalam pikiran masing- masing. Pikiran mereka ada yang melayang jauh, entah pada pemandangan di sekitar mereka, entah pada kenangan mereka di senja- senja lain di masa muda.
Angin semilir kembali bertiup lembut.