Bab 4 : Album

2034 Words
 Kamar Tony lumayan luas. Ia memiliki beberapa instrumen musik lain di ruangnya, serta beberapa helai kertas berisi lagu- lagu. Kamar itu sudah rapi, begitu pula dengan Tony. Hari ini hari Minggu, dan ia baru saja terpikir untuk pergi ke rumah Mrs. Arden. Ia hanya ingin menghabiskan waktunya bersama Julie dan Ellis. Ia sudah menghabiskan waktu sepanjang Sabtu siang sesudah latihan kemaren bersama keluarganya. Tony juga makan malam bersama ayah dan ibunya, yang baginya sesuatu yang sangat berharga karena semingguan ini Tony sangat sibuk latihan untuk konser minggu depan. Nah, hari ini ia menginginkan quality time dan ia ingin menghabiskannya bersama kedua sahabatnya itu. Setelah memakai gel rambut dan wewangian, Tony turun menuju meja makan. “Pagi, Mama. Papa belum bangun, Ma?” Tony mengecup pipi mamanya. “Pagi, Sayang. Oh, sudah, Papa sedang mandi. Pagi- pagi begini sudah rapi, mau kemana Tony?" Tony tersenyum riang, lalu menjawab, ”Ke rumah Mrs. Arden, Ma. Aku ingin mengunjungi Julie dan Ellis." “Apa tidak terlalu pagi?”. Mrs. Grosvenor memandang anaknya itu dengan dahi berkerut. “Ehmm... Benar juga. Apa nanti aku mengganggu, ya?” Kening Tony ikut-ikutan berkeriut. Mrs. Grosvenor hanya menatap Tony dengan kosong seolah tanpa keinginan untuk memecahkan masalah Tony. Beliau menata meja, dan menyusun cangkir- cangkir di atas meja. Lalu dengan ringan, beliau berkata,”Kenapa tidak bawa makanan ke sana? Roti? Kalian bisa sarapan pagi bersama di sana.” Tony menepuk tangannya. “Ah, Mama memang pintar!”. Dengan agak ceria dari sebelumnya, ia menarik kursi ke belakang dan duduk di depan meja makan. “Mama sudah cukup lama tidak bertemu Julie. Bagaimana kabarnya, Tony?” Tony mengoles rotinya dengan telaten. “ Baik, Ma. Dia sedang senang dapat kontrak model baru.” “Wah, syukurlah. Mama agak mengkhawatirkannya karena dia juga jarang kesini. Mama senang sekali dengan Julie sejak dulu. Anak baik, dia. Yah, sayang, banyak hal yang terjadi padanya. Tapi masalah sulit juga datang pada orang yang memang kuat menghadapinya, kan?”  Tony mengangguk- angguk sementara Mrs. Grosvenor termenung memandang roti-roti. “Tony, kau tak lagi memakai salepmu?” “Ah!” Tony secepat kilat menutupi bekas memar pipi dan luka bibirnya dengan roti yang dipegangnya. “Tidak apa- apa, Ma. Sudah mulai sembuh kok.” Kali ini Mama Tony mengerutkan lagi dahinya dengan gaya petugas inspeksi. “Mama heran, sebenarnya lukamu itu karena apa? Kamu tak pernah menjawab kalau Mama tanya, Tony.” “Bukan apa-apa, Ma. Luka kecil. Biasa, pria.” “Nah, kau sekarang sudah menyadari kalau kau sudah dewasa?” Mrs. Grosvenor tanpa ampun mencubit pipi anaknya yang masih dibayangi sedikit warna kebiruan itu. Setelah puas, beliau lalu pergi menuju dapur tanpa menghiraukan erangan pura- pura anaknya. Beberapa menit kemudian, Mrs. Grosvenor kembali membawa sebuah kantong kertas berisi kotak- kotak yang kelihatannya penuh. “Nah," beliau mengangsurkan kantong kertas itu pada anaknya. “Ini apa, Ma?” “Kau ‘kan akan membawa makanan kesana? Mama sudah isikan roti dan selai, juga buah- buahan di dalamnya. Titip salam untuk Mrs. Arden, ya! Oh, jangan lupa katakan pada Julie, Mama kangen! Kapan-kapan Mama ingin bertemu.” Tony memberi sikap hormat pada sang Mama yang menggeleng- geleng tersenyum. “Tolong bilang Tony keluar dulu ya, Ma, ke Papa! Bye, Ma!” Tony menyeruput sisa kopinya sampai habis, lalu mengambil kunci mobilnya sebelum menuju pintu keluar. *** Ting-tong. Tony menekan bel rumah Mrs. Arden dengan tergesa- gesa lalu buru- buru mundur. Ia mengelap peluhnya sehingga rambutnya makin acak- acakan (dan dia sengaja melakukannya). Meski tadi ia mengendarai mobil, Tony memarkirkan mobilnya di jalan depan karena mobil itu tidak bisa masuk melewati gang rumah Mrs. Arden. Dan entah untuk apa, Tony memilih berlari dari depan gang hingga ia sampai di depan rumah berwarna gading itu hingga keringatnya bercucuran. Tony meletakkan kantong kertas titipan mamanya ke pinggir dan dengan penuh gaya bersandar ke tiang rumah sambil menyilangkan kaki. Ia bertahan pada pose ini sejenak hingga langkah- langkah kaki terdengar menuju pintu. Nah, gumamnya. Tanpa menunggu pintu benar- benar terbuka, Tony mengedikkan alisnya sambil berkata, ”Mama kangen.” Sedetik. Dua detik. Ellis berdiri di depan pintu dengan lap kotor di tangan kirinya. Hendak mengatakan sesuatu, tapi terlanjur terperangah oleh pose Tony yang masih bersandar pada tiang. Cepat-cepat Tony berdiri dengan tegak dan tersenyum konyol. Ia menyeka rambutnya sedikit. “Maaf, Ellis, kukira tadi itu Julie! Astaga, apa aku kelihatan konyol? Apa Julie ada di rumah? Mamaku membawakan sarapan agar kita semua bisa sarapan bersama.” Tony berbicara terlalu cepat sambil menggaruk- garuk kepalanya yang tidak berketombe. Menanggapi itu, Ellis hanya menatap Tony dengan mulut menganga. Tiba- tiba saja Ellis tertawa lepas. “Hahahaha”. Ellis benar-benar tertawa terbahak- bahak. Tawanya membuat kuping Tony mulai memerah. “Memang konyol, ya?” gumam Tony, menunduk. “That's okay, that's okay. Aku panggilkan Julie dulu.” “Oke.” “Maaf, aku tak menawarimu masuk, Tony. Kami sedang bersih-bersih rumah," kata Ellis sambil lalu. Tony memiringkan kepalanya mengiyakan. Ellis secepat mungkin berbalik dan menghilang ke dalam rumah dengan pipi yang memerah. Ellis terus berkomat-kamit ‘astaga, astaga’ hingga ia menemukan Julie sedang ada di ruang tengah. Ia sedang membersihkan setumpuk kertas di lemari. “Julie! Ada Tony di depan menunggumu. Oh, iya hari ini cukup panas, ya?” Ellis mengibas- ngibas bajunya kegerahan. “ Masa’?” gumam Julie, sambil berpikir- pikir. Ia meraba- raba udara kosong, merasakan hawa. “Ya, akan kutemui di depan," jawab Julie dengan senyum manisnya. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan. Sementara itu di depan, Tony yang seakan tidak menyerah, kembali mengulangi pose dan kata-katanya yang tadi, meski tanpa keringat bercucuran (karena terlanjur ia seka saat dipergoki Ellis). Sayang, Julie tidak memberikan respon yang memuaskan Tony, selain, “Eh?” Tony menatap tak percaya. “Julie, lihatlah aku!” Julie lagi-lagi menatap tak mengerti, lalu dalam sedetik menaikkan alisnya. “Oh, lukamu sudah membaik, Tony? Syukurlah!” seru Julie senang. Tony menghela napas panjang dan memperbaiki posenya hingga kembali berdiri normal. “Yah, sudahlah, Julie. Lagipula aku sudah melakukan pose ini dua kali pagi ini, dan aku memang ingin memamerkan kesembuhanku. See, Julie? Kau sebenarnya tak perlu mencemaskan lukaku waktu itu.” Sekali lagi Tony menghela napas panjang, lalu tersenyum hambar. “Apa kabarmu, Julie? Yang tadi itu, mamaku bilang beliau sudah lama tak berjumpa denganmu. Katanya kangen.” Tony menyorongkan kantong kertas itu ke tangan Julie. “Aah, iya! Aku juga kangen dengan beliau! Bagaimana kabar Papa dan Mamamu, Tony?” “Beliau berdua sehat.” “Aku juga berharap bisa bertemu beliau lagi.” Julie yang baru sadar tangannya dijubeli kantong kertas, memandang Tony dengan lembut. “Apa ini, Tony?” “Beliau selalu di rumah, kok. Sesuaikan saja dengan jadwalmu. Oh, ini sarapan dari mamaku. Beliau ingin kita makan bersama, dengan Ellis dan nenek juga. Nah, bagaimana?” Sekilas Julie menatap ke dalam rumah dengan ragu. Tony dengan cepat menangkap keraguan itu. “Aku sudah tahu, kok, kalian sedang bersih- bersih. Aku bantu, ya?” “Apa tidak apa- apa?” “Tidak apa- apaaa, Julieeee! Kita memang butuh bantuaaaaan!” Ellis bersorak dari dalam rumah. “Apa suara kita terlalu keras?” bisik Tony dengan kening berkerut. Ia lalu ganti bersorak, “Elliiiissss Ardeeeeenn! Kamu barusan nguping yaaaa?” Yang ditanya lagi-lagi hanya tertawa keras. Julie dan Tony tersenyum senang, lalu keduanya masuk ke dalam. *** “Pagi, Nek.” “Hai! Pagi, Nak Anthony!”  Tony segera menghampiri Mrs. Arden dan memeluk beliau. “Keluargamu baik-baik saja, Nak?” “Baik, Nek. Ah, Mama menitipkan ini, juga salam dari beliau," ujar Tony. Julie segera menunjukkan kantong kertas tadi. “Wah, kau terlalu repot. Terima kasih, Nak. Salamku juga pada ibumu. Kau mau teh? Ah, tapi tunggu sebentar di luar, ya? Disini agak kotor.” “Nek, aku memang berniat ikut bersih- bersih. Apa yang bisa kubersihkan?” Tony dengan cepat mencari- cari tempat yang ia rasa masih berantakan. Ruangan lain sudah mengilap, karena baru selesai dibersihkan. Sepertinya memang hanya ruang tengah yang belum. “Lemari yang sebelah situ, Tony," kata Ellis ngebos. Ia berdiri sambil berkacak pinggang. Tony menatap Ellis datar dan mengerutkan hidungnya, namun ia tetap menuju lemari itu dan mulai merapikan. Ellis hanya tertawa ngebos lagi menanggapi sikap Tony. Tony memang terbiasa seperti itu pada Ellis, begitupun sebaliknya. Dengan teliti, Tony mulai menata lemari yang penuh kertas- kertas, buku- buku, dan beberapa album yang penuh debu. Mrs. Arden membawa sarapan dari Tony ke meja dan kursi di teras. Beliau lalu bolak-balik dapur mengambil cangkir, teko dan peralatan makan. Beberapa saat lamanya mereka semua bekerja dalam diam. Tidak benar- benar dalam diam, sebenarnya. Tony terbatuk- batuk membersihkan debu sembari menyusun kembali kertas dan buku. Julie merapikan rak- rak ruang tengah dan kolongnya. Ia berbicara sendiri ketika menemukan beberapa gumpal benang wol Mrs. Arden yang ia pakai untuk merajut saling menggulung, bergabung dengan warna lain. Serat- serat kecilnya beterbangan kian kemari di ruang tengah. Ellis mengelap jendela dan perabotan sambil bersenandung. Pekerjaan mereka perlahan- perlahan mulai selesai, tinggal merapikan setumpuk album yang tersisa dan mengepel lantainya. Sementara itu, Mrs. Arden sibuk di dapur. “Oh”, gumam Tony di tengah- tengah keheningan. “Kenapa, Tony?” tanya Julie. “Ini”, Tony menunjukkan sebuah album foto usang pada Julie. Sampulnya tampak mulai menguning, namun tulisan di depannya yang berukir warna emas masih tampak jelas. Ellis ikut melihat dari belakang Julie. ‘Our Loving Juliette’. “Itu album fotomu ‘kan, Julie?” kata Ellis. Julie mengangguk, lalu meraih album itu dari uluran tangan Tony. “Simpanlah baik- baik”, kata Tony. “Itu berharga bagimu, bukan?” Julie mengusap-usap sampul depannya, membersihkan debunya sekali lagi. “Aku ingin melihatnya lagi Tony”, kata Julie pelan. “Ayo, lihat.” Tanpa dia sadari, suara Tony meninggi. “Nah, kau akan bersedih lagi, Julie! Apa kau ingin terluka lagi? Aku tahu itu penting bagimu, jadi sudahlah! Simpanlah, Julie!” “Hei!” tegur Ellis. Ia membelalak dengan garang pada Tony. Tony bahkan juga terkejut dengan kata-katanya barusan. Secepat suaranya meninggi, secepat itu pula suaranya merendah menjadi gumaman. “Maaf.” Namun Julie seakan tak mendengar kata- kata Tony. Ia bagai tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Ayo, kita lihat. Aku ingin sekali melihatnya bersama kalian.” Ellis menaruh tangannya di bahu Julie, menatap Julie seolah bertanya apakah dia baik- baik saja. Julie menoleh dan menjawab,” Aku baik, Ellis. Terima kasih.” Julie lalu mulai membuka sampul album itu. Sementara itu kedua temannya berkomunikasi dengan mata dan akhirnya sepakat mengikuti keinginan Julie. Tony dan Ellis pun mendekat. Perlahan- lahan Julie membuka halaman pertama. Julie berseru senang “Ah, ini aku bersama ayah dan ibu! Aku kecil sekali, ya, dulu?” Ia meneruskan menunjuk foto di bawahnya, yang menampakkan sepasang suami- istri bersama bayi kecilnya. Foto- foto itu menampakkan perkembangan Julie hingga ia bisa merangkak, berjalan, dan berlari. Julie terus memberi komentar sambil menunjuk tiap fotonya. Tony juga mulai menanggapi Julie yang sedang senang.  Julie menunjuk foto-foto selanjutnya. Tampak Julie kecil bergaya keren di depan kamera, dengan pakaian yang sangat fashionable untuk anak- anak. “Dulu aku menjadi model untuk pakaian anak-anak. Mama dan Papa senang sekali, dan berharap aku bisa terus menjadi model. Lihat! Aku kelihatan begitu manis ya, disini?” Ellis mengiyakan dengan semangat semu. Sementara Tony menggerutu pelan, namun menatap Julie sedikit iba. Matanya beralih menatap foto-foto Julie kecil yang tertawa, tersenyum, dan memonyongkan mulut dengan gaya. Kau memang tak seceria dulu. Julia terus membalik foto-fotonya saat menjadi model anak- anak. Dari dulu Julie memang sudah berambut panjang, dan kulitnya memang pucat. Tibalah pada foto Julie yang sedang tertawa riang memandang sosok anak laki-laki yang sedang memainkan piano. “Ah, itu aku!” kata Tony sambil menunjuk sosok anak laki- laki itu. “Kau?” tanya Ellis penuh selidik. Tony mengangguk. Ya, itu memang Tony. Tony sedang memainkan piano dengan senyum dingin pada Julie. Sementara Julie duduk di atas karpet merah seperti habis menangis, namun tertawa ke arah Tony. “Ah, kelihatannya kau memainkan piano dengan pandangan meremehkan Julie!“ celetuk Ellis. “Dan Julie, kau seperti baru saja memohon- mohon pada Tony untuk memainkan sebuah lagu. Lalu akhirnya Tony mengabulkan permintaanmu, Julie, tapi dengan sangat terpaksa.” Tony mengangkat bahu sambil tersenyum. “Entahlah, ya? Apa kau benar-benar ingin tahu, Ellis?” tanya Tony terbahak. Julie ikut memerhatikan foto itu. “Aku juga lupa, kenapa aku menangis ya, waktu itu? Tapi kau memang agak berbeda daripada dulu ya, Tony? Tapi rasanya aku masih ingat lagu yang sedang kau nyanyikan. Itu...” Julie berusaha mengingat- ingat kembali dan menelusuri pelosok memorinya. “Ah, apa ya...” “Ingatanmu memang agak parah, Julie,” celetuk Ellis lagi sambil geleng- geleng kepala. Tony juga mengingat saat itu. Tidak, ia mengingat semuanya, juga saat di foto ketika mereka berada di dekat piano itu. Ia memang agak berbeda dari sekarang. Tony dulu adalah anak yang sopan, namun dingin dan keras kepala. Tapi entahlah ya, sekarang? Tony bertanya dalam hati. Ia juga mengingat Julie dulu adalah sosok anak yang gembira dan selalu mengganggunya. Gangguan Julie selalu membuatnya jengkel, namun Julie selalu berhasil menarik sudut- sudut bibirnya, membuatnya setidaknya tersenyum meski dingin. “Aduh, apa ya? Ingatanku parah sekali...” “You'll be dancing once again...,” sayup- sayup Tony menyanyikan lagu itu. “Oh, itu ya? Aku tahu lagu itu!” ujar Ellis, yang lalu terdiam mendengarkan Tony. “Ya," gumam Julie pelan. Ellis dapat merasakan nyanyian Tony itu begitu merdu. Mereka bertiga duduk berdekatan, bak terhipnotis mereka memandangi album itu dengan tatapan kosong. Namun anehnya, di sini perasaan begitu hangat dan nyaman. Tony terus bernyanyi kecil, menyelesaikan lagu itu. Ia juga tenggelam dalam kenangan, membayangkan dirinya kembali bermain piano bersama sesosok gadis kecil berpakaian seperti laki- laki dengan wajah cemberut sehabis menangis. Sementara dari dapur, air yang direbus Mrs. Arden telah menggelegak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD