Mata Julie yang tadinya terpejam dalam lelap tiba- tiba membuka. Ia terbangun dengan napas memburu dan titik-titik keringat dingin bermunculan di dahinya. Julie benar- benar merasa sesak. Tenggorokannya seakan tersekat masih di alam mimpi, dan matanya berkunang- kunang. Rasanya masih ada gelap dalam kepalanya menariknya kembali. Namun setelah beberapa menit, akhirnya Julie dapat menenangkan diri. Dan mendapati bahwa ia masih berada di tempat tidur, Julie sangat bersyukur.
Julie melirik jam di dinding. Masih pukul dua dini hari. Julie menyelubungkan selimut tebal kembali ke tubuhnya, meski tubuhnya berkeringat. Ia menatap langit- langit yang disinari cahaya jingga dari lampu tidurnya. Julie memang terbiasa tidur dengan lampu tidur dibiarkan tetap menyala. Bukan karena takut gelap, tapi karena kegelapan seakan terus menyeretnya ke dalam mimpi buruknya. Bahkan, beberapa malam terakhir ia selalu saja bermimpi buruk meski lamput tidurnya menyala. Begitu juga malam ini.
Ya, sudah seminggu berlalu sejak Tony datang ke rumah dan ikut bebersih. Sejak ia mulai memberanikan diri menatap kembali masa lalunya, masa kecilnya yang bahagia. Menatap kenangan- kenangan lama dan ingin mengingatnya lagi. Tapi jika sebelumnya ia hanya mendapat kilasan- kilasan masa lalunya, kini ia bahkan dapat mengingat seluruh masa kecilnya, yang sudah berusaha ia tinggalkan. Ketika ia berusaha melupakan dengan membuka kembali lembaran yang sudah terlalu dalam disimpan, ia malah membiarkan lembaran- lembaran itu masuk ke dalam mimpinya. Kata- kata orang yang mengatakan bahwa melupakan sesuatu dengan melihatnya kembali dan menerima, sepertinya tidak mempan bagi Julie.
Ia tahu Ellis dan Tony cemas dengannya. Ia juga tahu seharusnya ia tak berusaha sok hebat membuka- buka kembali albumnya itu. Ia masih ingat bagaimana Ellis berusaha membuat Julie nyaman dan tidak terlalu tenggelam dalam semua itu. Dan Tony dengan keras menyuruhnya menyimpan saja. Tapi apa? Aku hanya berusaha melupakan, batinnya. Tapi kebalikan yang justru ia dapatkan membuatnya merasa bersalah pada Ellis dan Tony.
Tapi jikalau dia bisa melupakannya, apakah semuanya akan lenyap begitu saja? Julie juga meragukan. Ia masih bisa mendengar suara- suara lembut menari- nari di telinganya. Tawa ceria ayah dan ibunya yang memberi semangat terus terngiang- ngiang. Bagaimana senyum mereka melihat dia sewaktu kecil dulu, meski wajah mereka tak dapat ia ingat kembali. Kenapa sulit sekali melupakan senyum ketika kita bahkan tak ingat wajahnya? Kata- kata mereka seakan terbelenggu dalam hatinya. Semua ungkapan cinta mereka, harapan mereka untuk Julie. Semuanya seakan merantai hati Julie yang mesti ia bawa kemana- mana. Tapi apakah ia ingin? Ini bukan soal ingin, tapi ini semua ingatannya tentang keluarganya. Hanya ini yang dapat membuatnya merasa bahagia.
Julie meraih botol yang terletak di samping lampu tidurnya. Dua pil sudah tak mempan lagi, pikir Julie. Meski ia telah mengonsumsinya dengan teratur, malahan tidurnya semakin gelisah dan lagi- lagi ia bermimpi buruk. Apa perlu tiga pil? Julie menimbang- nimbang. Sekali ini saja, tegas Julie dalam hati. Ia menumpahkan isi botol itu dan menyisihkan tiga butir pil. Lalu ia memasukkan lagi sisanya ke dalam botol. Ada teko air dan gelas di meja tempat tidur Julie, karena di tengah malam ia sering merasa haus. Setelah menelan ketiga pil itu dan meminum air dari gelasnya. Julie kembali membaringkan badan.
Dari balik tirai cahaya bulan begitu terang. Julie berpikir, bagaimana jika ia sudah kebal juga dengan tiga pil tidur? Ia merasa resah. Apakah ini berarti ia akan selalu merasa kesulitan tidur? Bahkan dengan melakukan pekerjaannya hingga malam pun tak cukup untuk membuatnya tertidur lelah. Ketika ia baru datang ke rumah Mrs. Arden dulu, mimpi-mimpi ini dengan gampang ia singkirkan dengan bermain hingga ia letih. Atau belajar hingga otaknya tak mampu lagi berpikir. Namun kini, semua itu tak lagi mempan. Lalu bagaimana?
Julie juga teringat Ellis yang semakin sering mengamat-amati dirinya yang terlihat lesu dan pucat. Apakah Ellis curiga? Julie tak dapat menjawab. Beberapa kali ia memergoki Ellis mengomentari betapa kurusnya ia dan menatapnya dengan tatapan tajam penuh selidik. Tapi, hanya begitu saja. Seringkali sesudah itu Ellis mengalihkan topik pembicaraan. Apa itu dilakukan Ellis agar Julie tidak merasa curiga bahwa ia curiga? Memang, Ellis tak pernah menemukan botol obat Julie saat ia memasuki kamar Julie. Dan Julie-lah yang membersihkan kamarnya sendiri. Ellis hanya sesekali memasuki kamarnya bila ada keperluan. Tapi yang jelas, Julie kini berjanji pada dirinya untuk lebih berhati- hati menyimpan botol obat itu.
Tapi ia bingung bagaimana harus menyembunyikan kepucatan dan kelesuannya. Apalagi Tony juga mulai berkomentar tentang betapa pucatnya ia. Apa ia lebih baik memakai riasan saja di rumah? Atau berjemur di bawah sinar matahari akan membuat kulitnya lebih segar? Tapi ia tak akan tahan berjemur jika ia kurang tidur di malam hari, seperti sekarang. Ia akan pusing dan merasa seolah- olah akan pingsan jika dipaksakan. Apalagi hanya untuk membuat dirinya terlihat lebih segar. Jika dosis biasa tidak manjur, apa ia harus mulai menelan tiga pil setiap hari?
Ah, sorak Julie dalam hati. Obat demam dan flu ‘kan bisa membuat orang mengantuk. Apa harus ‘kucoba juga ya, tanya Julie dalam hati. Julie memejamkan matanya yang mulai berat. Ia mulai memikirkan obat demam apa yang ampuh dipakainya. Pikirannya melayang menuju setengah sadar.
Bulan mulai tertutupi awan perak ketika Julie mulai terlelap kembali.
***
Di kamar lain namun dalam rumah yang sama, ada orang lain yang malah belum kunjung tidur. Mata Ellis menatap langit- langit kamarnya. Dia belum bisa melupakan kejadian beberapa hari lalu. Kejadian apa? Ah, Ellis lebih suka merahasiakannya. Dia tak hanya merahasiakannya dari orang- orang terdekatnya, Mrs. Arden dan Julie, tapi juga merahasiakannya dari dirinya sendiri. Begitulah, sesaat Ellis tersenyum memandangi bulan di luar yang tak lagi ditutupi awan. Astaga, apa yang kupikirkan ini? Ellis mencubit pipinya sendiri hingga ia meringis.
***
Di ruang tengah, Mrs. Arden sibuk merajut. Tangannya lincah menelisik, menarik, dan menelisik lagi jarum ke dalam benang warna- warni. Ruang tengah memang ruang favorit Mrs. Arden untuk merajut, hingga kadang ia membiarkan benang wolnya tergeletak begitu saja dan berantakan. Mrs. Arden sebenarnya tadi sudah tertidur, tapi memang dia sering terbangun tengah malam. Terlebih beberapa hari ini.
Di sisi Mrs. Arden terlihat sebuah baju hangat jadi berwarna merah tua. Baju hangat itu ia peruntukkan untuk Julie, meskipun ia belum memberitahukannya pada Julie. Pasti akan serasi dengan rambut dan mata Julie yang berwarna coklat, pikir Mrs. Arden senang. Ia lalu menatap baju hangat kedua yang sedang dirajutnya. Baju itu berwarna hijau mint yang menyegarkan. Ia sengaja memilih warna ini untuk Ellis yang berambut hitam dan bermata hijau zaitun. Matanya berbintik- bintik kuning, bagai cahaya matahari yang menyelinap di antara hutan belantara yang hijau. Mata yang membuat Mrs. Arden menyayangi Ellis pada pandangan pertama.
Mrs. Arden menguap sejenak, tapi itu tidak menghentikannya. Betapa Mrs. Arden menyayangi keduanya. Dan kini ia hanya ingin menyelesaikan baju hangat itu dengan baik, lalu memberikan pada kedua gadis itu sebagai kejutan. Dengan hati riang, Mrs. Arden melanjutkan rajutannya tanpa menyadari sudah satu setengah jam berlalu sejak ia mulai terbangun.