Julie sudah menunggu Anthony di depan gang menuju rumah Mrs. Arden di malam berbintang. Bersamaan dengan mobil Tony yang menderum berhenti di depan Julie. Tony keluar dari mobil sambil memamerkan senyum tampannya yang meski hari sudah lewat senja, masih tampak jelas.
“Sudah lama?”
“Belum. Aku baru saja sampai di sini.”
“Masuklah.”
Tony membukakan pintu untuk Julie. Setelah keduanya berada di dalam mobil, Tony menghidupkan mesin mobilnya dan mulai melaju perlahan.
“Sabuk pengamannya, Julie.”
“Oh, iya. Aku lupa.”
Julie meraba- raba sabuk pengaman di sekitarnya, dan dengan susah payah memasang sabuk pengaman itu lalu mengencangkannya.
“Ah, aku lupa belum menyalakan lampu dalam mobil, Julie.”
“It's okay. Tak usah, aku sudah pasang sabuk, kok. Lagipula katamu tadi ‘kan restorannya dekat?”
“Right.” Tony menoleh ke arah Julie.
“Ngomong-ngomong, Ellis pergi kemana, Julie?”
“Dia tidak memberitahumu?”
“Ya... dan tidak. Ellis cuma mengirimiku pesan kalau dia tidak bisa ikut makan dengan kita. Saat kutanya kenapa, dia tidak membalas- balas lagi," gerutu Tony dengan wajah datar.
Julie menggeleng-gelengkan kepala. “Ellis memang kadang begitu. Tadi katanya ia ada shift tambahan di toko, jadi dia tidak bisa datang.”
“Apa tidak ada karyawan lain yang bisa menggantikannya?”
“Kata Ellis sih, ada. Tapi dia hanya ingin kerja lembur saja hari ini. Dan dia terlanjur sudah mengatakan itu pada bosnya sebelum aku memberitahu tentang rencana makan- makan kita.”
“Hanya ingin lembur? Astaga.... Apa Ellis sudah jadi maniak kerja? Workaholics?”
Julie menutupi tawa kecilnya dengan punggung tangan.
“Lepaskan saja, Julie” ,kata Tony mendengar tawa kecil yang teredam itu.
“Apa?”
“Tidak usah menutup- nutupi tawamu seperti itu. Cuma ada aku, and I can assure your spit won't spurt into the air that much when you're laughing.” Tony tersenyum sembari terus fokus menatap jalan di depan, meski Julie tak dapat melihat senyumnya.
“Bukan, bukan begitu, Tony. Cuma kebiasaan.” Julie sedikit menggeliat di jok kursinya, dan berkata, “Ellis bukan workaholics, kok. Tapi kadang- kadang dia memang begitu. Katanya ingin cepat kaya.”
Tony tergelak, tangannya memutar setir agak ke kanan. “Baiklah, aku ikut mendoakan semoga Ellis cepat kaya. Ngomong- ngomong, tumben sekali jalanan sangat lancar jam segini.”
“Yah, sayang sekali Ellis tidak bisa ikut.”
“Setidaknya dia tak perlu ngomel tentang macet kalau dia bisa ikut kita.”
“Padahal sudah lumayan lama kita tidak makan bersama.”
“Kalau tidak salah, tujuh tahun lalu?” tanya Tony, memiringkan kepalanya. Julie mengangguk- angguk kecil.
“Ah, sudah sampai” , ujar Tony senang. Ia kemudian memarkirkan mobilnya di sisi restoran. Setelah mematikan mesin, ia dan Julie keluar bersama dari mobil.
“Oh, astaga! Bukannya kita akan makan- makan?” tanya Julie terperangah.
“Ya, memang kita akan makan- makan.”
Julie membelalak. “Tapi ini...’makan-makan’, Tony!” kata Julie, memberi kutipan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Julie tidak benar-benar memperhatikan restoran apa yang ada di hadapannya sampai saat ia akan memasukinya. “Dan Tony! Kenapa kau berpakaian formal begitu dan... kamu modis sekali! Bukannya kita akan makan- makan?” Julie menoleh ke arah Tony dan mendapati dirinya terkejut luar biasa.
“Yap! Dua pertanyaan yang sama barusan kau tanyakan Julie, jadi lebih baik kita segera masuk.” Tapi mengenai keterkejutan Julie, memang wajar dia begitu. Tony mengenakan tuxedo berwarna hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupu dan selapis rompi di bagian dalam berwarna keemasan. Tak lupa, sekuntum mawar berwarna putih di sakunya. Julie menatap Tony lekat-lekat, membandingkan dengan pakaiannya yang seadanya. Namun Julie bersyukur kualitas dan harga one-piece dress yang ia kenakan tertutupi oleh warnanya yang hitam pekat. Meski harga pakaiannya itu tak seberapa, sekilas orang akan melihat pakaiannya cukup elegan, kecuali jika mereka benar- benar melihat Julie dari dekat. Mengetahui kenyataan ini, Julie meringis dalam hati.
Tony selesai menanyakan meja yang kosong, dan kini seorang waiter berjalan menyertai mereka, mengantarkan keduanya menuju meja yang kosong. Tapi Tony segera menyadari Julie yang sedari tadi terdiam sambil menatap pakaiannya.
“Kenapa harus minder, Julie? Aku berpakaian seperti ini karena tadi aku ada konser, kok. Bukan disengaja untuk makan- makan.” Tony tertawa terbahak- bahak.
“Oh.” Julie menunduk malu.
Mereka akhirnya sampai di meja yang dituju dan duduk. Waiter tadi memberikan buku menu.
“Saya pesan, hmm... Steak entrêcote dan french omelette. Kamu, Julie?”
Julie yang pikirannya dari tadi masih sibuk membandingkan pakaiannya dengan Tony, tersentak kaget. Ia tergagap- gagap tanpa benar- benar melihat buku menu. “Ehmm, ah, sama denganmu saja.”
Tony menyelesaikan pesanan pada waiter hingga akhirnya waiter itu berlalu meninggalkan meja mereka. Tony memandang Julie lurus- lurus. “Aku pesankan jus untuk minuman untuk kita. Kau lebih suka jus, kan?” tanpa menunggu jawaban Julie, Tony meneruskan, “ Apa kau masih merasa tidak nyaman dengan pakaianku?”
Julie menatap Tony dengan tatapan mengiba.
“Baiklah," kata Tony ringan.
“Ah!! Tapi jangan...”
Percuma bagi Julie mencegah, karena Tony sudah terlanjur membuka tuxedo-nya dan menaruh mawarnya di atas meja. Ia menyampirkan tuxedo-nya di punggung kursi.
“Nah, dengan begini oke, ‘kan? Mawarnya untukmu, Julie” , Tony memberikan mawar itu ke tangan Julie. Julie meraih dengan ragu-ragu, tapi tetap menerimanya.
“Terima kasih.”
Tony menaikkan alisnya dengan tatapan bukan-masalah ke arah Julie. Ia lalu melihat ke sekeliling. Ya, meskipun kadang- kadang Tony keras kepala, tapi Julie sungguh bersyukur Tony selalu ada di sampingnya. Tony yang pengertian
***
Ellis mengotak- atik ponselnya tak tentu tujuan. Setelah mengecek pesanan rajutan, melihat semua sosial media, kini ia merebahkan kepalanya di atas meja. Kedua tangannya terjulur, dengan tangan kiri memegang kaleng minuman soda. Ellis memang masih berada di toko tempat ia bekerja. Di depan toko ada beberapa kursi yang melingkari dua meja bundar, yang sering digunakan untuk nongkrong, atau mendapat wifi gratis. Malam ini angin bertiup cukup kencang, dan tanpa mempedulikan perutnya yang masih kosong, Ellis sudah menghabiskan sisa soda dalam kaleng minumannya.
Angin bersiut- siut mengurai rambut hitam Ellis hingga awut-awutan. Sebenarnya Ellis tidak ada shift tambahan alias lembur kerja. Dia juga tidak terlanjur memberitahu bosnya bahwa ia ingin lembur atau apa. Tidak ada sama sekali. Dia hanya dengan bodohnya memberi alasan itu pada Julie, hanya karena ingin Julie dan Tony berduaan saja. Ia juga tidak bisa pulang, karena jika ia pulang pasti nenek mempertanyakannya. Julie pasti sudah memberitahu nenek kalau ia sedang lembur. Jadilah Ellis di sini, menghabiskan malamnya yang berangin di meja luar toko, dengan tatapan penuh tanda tanya dari bos dan teman kerjanya. Untungnya, Ellis cukup cuek untuk itu.
“Aku hanya belum ingin pulang," kata Ellis tadi saat ditanyai teman kerjanya, Jess. Jess pun langsung berlari ke dalam toko, berbisik- bisik memberi tahu si bos. Si bos yang penasaran lalu keluar, dan memandang Ellis dengan serius, “Kau sedang ada masalah, ya?”
Ellis menoleh heran, tapi Ellis gadis yang pandai. Tatapan bosnya yang salah tafsiran itu dimuluskan oleh Ellis. Ia sengaja memberi bosnya itu, Mike, tatapan mengiba, penuh beban dan rasa stress. Mike tak bisa berbuat apa- apa karena ia sudah terlanjur kasihan melihat Ellis berantakan seperti itu. “Ya sudah, kalau kau nanti ingin pulang, bilang padaku, ya? Biar kuantarkan. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Sekarang dingin sekali dan kau barusan malah membeli soda. Kalau ada masalah, kau bisa cerita padaku.” Ellis hanya menjawab ‘Hmm’. Sesaat kemudian, Mike masuk lagi ke dalam toko.
Begitulah, setengah jam lalu Mike melihatnya dengan rasa khawatir dan hingga kini pun Mike terus menatapnya seperti itu dari balik kaca toko. Mike memang menyukai Ellis sejak pertama kali mereka bertemu, sejak Ellis bermain ke toko warisan ayahnya itu. Dan Ellis tahu itu. Ia merasakannya, dan Mike juga sudah beberapa kali menyatakan perasaannya. Ellis sangat menyayangi dan menghargai Mike, tentu saja, tapi itu sebatas teman dan pimpinan kerjanya. Mereka tidak pernah bersikap formal di antara keduanya, karena jarak usia mereka hanya terpaut tiga tahun. Mike berusia tiga puluh tahun kini, sedangkan Ellis berusia dua puluh tujuh. Mike pernah secara terang-terangan mengajaknya menikah, tapi sayangnya Ellis tidak punya perasaan apa- apa pada Mike. Ellis sangat peka dengan perasaan Mike. Ia bisa merasakan Mike masih menaruh harapan padanya. Tapi Ellis tidak mau memberi harapan apapun pada Mike. Ini membuatnya sering bersikap dingin pada Mike akhir- akhir ini, meski ia tahu Mike tidak salah apa- apa.
Namun sayangnya, Julie tidak peka dengan sekitarnya, batin Ellis. Sejak pertama kali Tony mendatangi mereka untuk bertemu Julie tujuh belas tahun lalu, Ellis sudah tahu. Mereka memang teman kecil, tapi Tony tidak pernah ingin mereka terpisah. Tony sangat menyayangi Julie dan berusaha melindunginya. Meskipun hingga kini Tony tidak mengatakan apa-apa pada Julie, namun Ellis ingin memberi kesempatan untuk keduanya makan malam bersama. Berdua. Ellis menyayangi Julie dan juga ingin yang terbaik untuknya. Dan yang terbaik untuk Julie saat ini adalah keberadaan orang yang bisa mendampinginya, yaitu Tony.
Duh, erang Ellis memegangi ulu hatinya. Bersama itu pula perutnya yang keroncongan berbunyi cukup keras. Apa mungkin aku terlalu banyak minum soda? Ellis bertanya- tanya sendiri. Seharusnya dia memang tidak menghabiskan cuaca berangin ini di luar, dengan perut hanya diisi soda. Sial, kenapa aku memberi alasan bodoh ingin lembur segala tadi? Ellis mengumpat dalam hati. Seluruh tubuhnya kedinginan. Hawa dingin terasa menusuk- nusuk tulangnya. Baiklah, ia akan membeli sebuah miecup saja ke dalam toko, baru setelah itu pulang. Ellis memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya.
Tapi saat Ellis belum sepenuhnya berdiri, ada tangan kurus panjang yang menjulurkan miecup yang mengepul tepat di hadapannya. Ellis terbengong. Ia menengadah melihat sosok di depannya.
“Makanlah” , kata pria itu.
***
Tony dan Julie sudah setengah jalan menikmati makanannya. Dengan wajah berbinar-binar Julie menceritakan pengalamannya sebagai model baru Galliani.
“Aku senang bila kau senang begini, Julie” ,kata Tony sambil memotong steaknya. “Asalkan kau jangan terlalu kelelahan. Hidup sebagai model itu...Ah, no, no, apapun pekerjaanmu sebenarnya, pasti ada tantangannya. “
“Ya, Tony. Terimakasih untuk nasihatnya. Aku berusaha untuk tidur sejenak di sela- sela waktu istirahat supaya tidak terlalu lelah.”
“Matamu itu sudah terlihat cekung dan menghitam, Julie. Jangan sepelekan istirahat dan makan.”
“Iya, aku tahu. Tapi rasanya semuanya sebanding dengan pengalamanku. Tapi bagaimana, ya? Aku juga tidak bisa terlalu banyak makan, sih. Aku juga harus menjaga tubuhku tetap ideal seperti ini kalau ingin tetap jadi model.” Julie tersenyum tulus.
Anthony menyipitkan matanya ke arah Julie sejenak, lalu menatap lagi steak di hadapannya. Tony sebenarnya kurang setuju saat Julie menunjukkan ketetapan hatinya untuk menjadi model dulu. Ia tak terlalu suka melihat Julie terlalu kurus begini, seperti mannequin yang didesain kurus. Tulangnya terlihat menonjol di sisi wajah, lengan dan lutut. Dia tak ingin Julie hidup dengan diet ketat serampangan demi pekerjaannya. Tapi, kelihatannya Julie baik- baik saja. Dan lagipula, Julie suka dengan pekerjaannya, meskipun Tony kadang- kadang melihat wajahnya menyampaikan perasaan yang berbeda di beberapa waktu. Seperti saat dia mengantarkan Julie di pagi hari sebelum jogging dulu.
“Julie, boleh aku bertanya sekali lagi, tentang sesuatu?”
Julie yang baru saja menuntaskan potongan french omelette-nya yang terakhir, menatap Tony ringan. “Ya, ada apa?”
“Ehm, dengarkan aku baik-baik, ya, Julie. Dan jawablah dengan jujur.”
“Baik, aku akan mendengarkanmu dengan fokus. Dan jujur.” Julie tiba-tiba mengerutkan dahinya dan menatap Tony dengan tajam.
Hampir saja Tony tersedak karena ini, namun ia berhasil meraih gelas dan minum sejenak. ia tahu Julie barusan bukan pura-pura serius, tapi ia memang berusaha fokus dan serius untuk menghargai Tony. Setelah meneguk jusnya sekali dan napasnya tak lagi tercekat di tenggorokan, Tony bertanya, “ Apa kau memang suka dunia model ini, Julie?”
Julie terlihat berpikir keras. Tony tahu suasana hati Julie yang cukup baik ini terjadi hanya beberapa kali. Julie seringkali menutup-nutupi pendapatnya tentang apapun, jadi inilah kesempatan Tony menanyai pendapat jujur Julie tentang pekerjaannya sendiri. Tony pun meneruskan, “ Tak jadi masalah, jika kau ingin menjadi model karena kau melanjutkan apa yang sudah kau lakukan dulu, Julie. Tapi kau tahu, hidupmu penuh pilihan, sebenarnya.”
Tony berkata lagi dengan lembut, “Dengar, ya, Julie? Aku hanya ingin kamu mencintai dirimu sendiri, dan juga hidupmu. Kau, seorang manusia, dengan satu jiwa. Jadi kau punya satu kehidupan juga, yang tak harus sama dengan kehidupan orang lain. Kau mengerti maksudku, ‘kan?”
Julie mengangguk perlahan. Ia lalu menatap Tony lembut, namun bukan dengan senyumnya yang biasa. Tony sedikit terpana.
Senyum Julie saat ini, adalah senyum yang Tony lihat tujuh belas tahun lalu.
“Terima kasih, Tony. Aku benar-benar bersyukur mempunyai seseorang sepertimu dalam hidupku. Aku paham, kau hanya ingin aku melakukan yang terbaik bagiku, untuk itu sekali lagi aku sungguh- sungguh bersyukur.” Julie meraih kembali pisau dan garpunya. “Ayo makan lagi, “ tukas Julie.
Tony merasakan ada perubahan dalam perasaan Julie. Apa Julie akan kembali seperti dulu?
Tapi Tony seharusnya tidak berharap untuk hal yang bisa berubah dalam semalam.
***
Cup itu sudah nyaris kosong, menyisakan genangan kuah dan remah-remah mie di dasar. Ellis memang sudah terlalu lapar untuk berlama-lama menyelidiki orang asing yang ada di depannya itu. Ia sudah mengajukan pertanyaan berkali-kali pada pria itu, bahkan pada Mike dan Jess di dalam toko, apakah pria ini jahat dan berniat meracuninya atau tidak. Mike tentu tidak suka melihat ada pria asing yang mendekati Ellis, tapi jiwa profesionalnya menuntutnya untuk tidak berbohong. “Dia tidak menaruh apa- apa dalam mie itu, Ellis. Setelah membeli, ia pergi menyeduhnya dengan air panas, itu saja.” Begitu jawab Mike dingin.
Ellis mulai merasakan kehangatan kuah mie menjalari lambungnya. Ah, menyenangkan sekali. Mau tak mau ia menatap pria asing di hadapannya yang juga sedang menikmati mie (ia membeli miecup tambahan setelah memberikan miliknya pada Julie) dengan lahap. Pria ini asing, tapi kenapa rasanya bukan asing? Ellis bertanya- tanya dalam hati. Rambut panjang pria itu terikat kuncir kuda ke belakang sementara ia menikmati mie. Bagian depan jaket faux-fur-nya yang ia kenakan di atas kaos oblong bulukan terkena sedikit cipratan kuah mie saat ia menyeruput dari cup itu. Namun, ia seakan merasakan pandangan Ellis mengikuti gerak- geriknya, yang membuatnya segera mengangkat kepala.
“Hm? Kenapa?”
Ellis tersentak. “Oh! Tidak kenapa-napa.”
“Kalau ingin berterima kasih, tidak usah sungkan begitu.”
Ellis hampir saja lupa. “Oh, iya! Terima kasih banyak.”
Pria itu tidak menjawab melainkan terus menyeruput habis kuah mienya. Dengan sendawa keras ia meletakkan cup itu di atas meja. “Aku juga pernah jadi pengemis, jadi aku tahu bagaimana rasanya pada keadaan seperti ini.”
Ellis menatap pria itu dengan pandangan bertanya. Apa ia mengira aku pengemis?
“Hei, aku ini bukan pengemis!”
“Lalu orang macam apa yang berdingin-dingin dan kelaparan berada di luar seperti ini?”
Ellis secepat kilat menjawab dengan ketus, “Aku bekerja di toko ini, tahu! Aku sudah selesai bekerja untuk shift hari ini dan aku baru saja mau pulang, kalau aku tidak bertemu denganmu!”
“Lalu kenapa tidak pulang?”
Ellis hanya bisa terdiam. Dengan ragu, ia kemudian menjawab, “ Yah, sedikit masalah. Lagi pula, apa urusanmu?”
Pria itu menatap Ellis tanpa ekspresi. “Ya, terserah kau sajalah,” jawab pria itu. Dengan tidak sopan, ia terang-terangan mengupil di depan Ellis.
“Kau ini jorok sekali!” Ellis mengernyit jijik. Ia sebenarnya juga sempat memperhatikan jaket faux-fur yang dikenakan pria itu, yang agak berbau keringat bercampur parfum. Bau-bauan itu terbang saat angin bertiup kencang ke arah Ellis.
“Kau ini sebenarnya miskin ‘kan, sepertiku? Sepertinya jaket itu satu-satunya barang mewahmu.”
“Tapi setidaknya aku bukan pengemis” ,jawabnya santai.
“Hei, aku ini bukan pengemis!”
“Ya, kau orang yang bekerja di toko ini. Mentang- mentang cowok toko itu naksir kau, ya?” Pria itu mengedikkan kepala ke arah Mike yang masih menatap mereka berdua dengan dingin.
“Kau!”
“Apa? Kau mau bilang apa, pengemis tak tahu terima kasih?” tanya pria itu menantang.
Tak ada gunanya berdebat dengan orang ini, batin Ellis. Dia bertanya dengan sopan, “Baiklah, terima kasih untuk makanannya. Jika boleh tahu, apa kau tinggal di daerah dekat sini?”
“Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Mau numpang tidur di tempatku?”
Baru saja Ellis hendak membuka mulut, pria itu sudah mencerocos lagi. “Tidak punya rumah? Berarti memang pengemis, ya?”
Grr. Pertanyaan bertubi-tubi yang menusuk itu membuat Ellis menaikkan sudut bibirnya setinggi mungkin. Tapi pria itu sama sekali tidak menyadari wajah Ellis yang memerah menyala seakan hendak meledak. Ia menyelesaikan pembersihan hidungnya yang jorok itu dengan wajah agak bangga. Ellis tak tahu harus berkata apa lagi. Sesaat kemudian pria itu mengeluarkan pemantik dan sekotak rokok. Ia mengarahkannya pada Ellis.
“Oh, aku tidak merokok. Dan tolong, aku tidak tahan dengan bau asap rokok.”
Pria itu tak menanggapi, tapi langsung menarik sebatang rokok dari kotak lalu menyalakannya. Ia mengibaskan angin yang memang sudah bertiup ke arahnya.
“Apa masalahnya denganmu?”
Ellis sesaat bingung, namun akhirnya ia paham. Angin memang masih bertiup kencang, tapi angin itu bertiup menuju ke arah pria itu, sehingga asap rokoknya begitu saja terbang tak berbekas menjauhi Ellis.
Pria itu mendengus, setengah mengejek. Ellis mengembalikan pembicaraan, “Kau tadi bertanya apa aku pengemis ‘kan? Kau juga mengatakan kau sudah pernah menjadi pengemis? Apa iya?”
Pria berambut sebahu itu membuka mulutnya lebar-lebar, mengeluarkan asap yang berkepulan. “Juga...bukan urusanmu. Kenapa kau ingin tahu kehidupanku?”
“Yah, aku ‘kan sudah memberitahumu! Aku bekerja di toko ini. Bagaimana deng...”
“Aku tidak memintamu memberitahu.”
“KAU!”
“Apa?”
“Kau ini pahit sekali! PAHIT!! Aku yakin hidupmu juga begitu! Pahit, tidak menyenangkan, berantakan! Bersikap saja begitu agar semua orang menjauhimu!”
Wajah lelaki berhidung mancung itu tampak mengejang sesaat. Ia menatap Ellis datar, tanpa ekspresi. Sementara itu Ellis yang menyadari kekakuan pria itu yang mendadak, merasa ia sudah keterlaluan. Ia ‘kan tak perlu menyinggung hidup orang lain dan mendoakannya yang buruk-buruk? Kenapa ia jadi sekasar itu hanya karena orang di depannya ini tak beretika?
“Ah, maaf, sungguh! Aku tak bermaksud...”
Pria itu berdiri dengan cepat, masih menatap Ellis datar. Ia tiba- tiba saja menghembuskan asap rokoknya ke muka Ellis, lalu beranjak pergi.
Ellis batuk- batuk sekaligus bingung, hingga lupa untuk mengumpat untuk kekesalannya pada perbuatan pria barusan. Aneh sekali pria itu, pikirnya. Ia terus mengamati pria berjaket faux-fur itu yang terus menjauh, menelusuri jalan seberang. Pria itu tampak membuka kuncir rambutnya dan membiarkan rambutnya tertiup angin.
Astaga!
Ellis tiba- tiba membelalak sambil menutup mulutnya. Ellis sangat sadar diri bahwa ia gampang lupa dengan wajah orang. Meski pria itu memang terlihat berbeda dan tidak sesopan dulu sejak mereka bertemu sebulan yang lalu, tapi Ellis sangat yakin kalau dia adalah kakak Bastian!