Sesosok wanita terbaring di atas dipan berwarna hijau dengan seprai dan selimut berwarna senada. Wanita itu kurus, kuyu, pucat tak berdaya. Mata coklat terangnya masih berbinar, masih muda, dan masih punya semangat hidup. Namun tidak dengan tubuhnya. Ia bagai kerangka setengah hidup, putih bagai kapur. Penyakit berbahaya yang ia derita membuat kulitnya yang kencang menjadi berkerut- kerut seperti orang lanjut usia akibat berat badannya yang menyusut begitu cepat dalam waktu singkat, menyisakan tulang berbalut kulit. Matanya begitu cekung, merongga ke dalam. Rambutnya yang dulunya coklat indah kini menjadi tegang dan kering, memerah akibat panas kemoterapi yang ia jalani berkali- kali. Tak sedikit yang rontok, menyisakan kulit yang berbintik- bintik merah akibat pembuluh darahnya yang pecah. Wanita itu tahu kondisinya kini, dan ia tahu umurnya takkan lama lagi.
Terdengar bunyi ceklikan dari pintu pertanda pintu itu dibuka. Wanita itu menoleh pelan-pelan. Terlihat sesosok gadis kecil berambut coklat masuk memegangi handel pintu, lalu kembali menutupnya. Wanita itu tersenyum menatap gadis kecilnya.
“Mama”, panggil gadis itu sambil memegang lengan ibunya.
“Ya, Nak?” jawabnya serak, separuhnya hanya bisikan lembut yang jika rumah sakit saat itu tidak sepi, mungkin takkan terdengar sama sekali.
“Mama cepat sembuh ya?” kata gadis kecil itu sambil meremas- remas lengan ibunya yang tinggal tulang itu.
Wanita itu berusaha tersenyum manis, tapi kerutan di wajahnya menyiratkan bahwa kini ia menahan antara bahagia dan rasa sakit. Dan ia kini memang merasakan kesakitan yang amat sangat di sekujur tubuhnya.
“Setelah Mama operasi sore nanti, apa Mama benar- benar bisa sembuh?”
“Ya, semoga saja. Mama juga sudah bosan dengan rumah sakit ini.”
“Julie juga! Rumah sakit selalu baunya aneh, Julie tidak suka, Ma.” Julie kecil menggeleng- gelengkan kepala penuh wibawa. “Untung tamannya lumayan indah, ya, Ma? Banyak tanaman, ada bunga- bunga liar juga, dan ada banyak kupu-kupu!” ujar Julie riang.
Lima menit lebih Mrs. Falton mendengarkan celoteh anaknya tentang kupu-kupu yang berwarna- warni di taman samping rumah sakit. “Ada ayunan yang talinya sulur rotan...” Julie menghitung- hitung hal apa saja yang menarik hatinya di taman itu. Mrs. Falton hanya tersenyum. Ia menatap anaknya itu penuh sayang.
“Julie” , bisiknya lirih.
Si gadis kecil, Julie, menjawab, “ Ya, Ma?”
“Nanti kalau Mama sudah sehat, kita bermain lagi, ya? Asalkan Julie harus janji sesuatu.”
Julie kini berdiri tegak dengan serius dan kening berkerinyut. “ Iya, Ma, Julie janji.”
Dia berusaha meraih lengan anaknya. Dengan pelan dan pelan, ia mendekap tubuh Julie ke dekat kepalanya.
“Julie harus janji menjadi anak yang baik, ya? Jagalah ayah, baik- baiklah dengan Tony serta Mr. dan Mrs. Grosvenor.”
Napas Mrs. Falton agak terengah- engah setelah menyampaikan pesannya sepanjang itu. Tapi ia harus menyampaikan semuanya sekarang, tak ada waktu lagi.
“Julie harus jadi anak yang baik dan lemah lembut, tapi Julie juga mesti mandiri. Julie juga harus punya cita-cita, dan Julie bisa meneruskan menjadi model hingga dewasa nanti. Mama akan senang sekali melihatnya.”
Dia mengelus- elus rambut coklat Julie yang panjang, persis seperti rambutnya dulu. Julie mengangguk- angguk cepat. “ Mama juga janji, ya? Mama akan cepat sembuh?”
Sang mama membalas pula dengan anggukan. Melihat itu Julie tersenyum riang. Mamanya berkata, “Operasi Mama nanti sore, kok. Dan juga cuma sebentar. Jadi Julie tidak perlu khawatir, ya?”
Julie lagi- lagi mengangguk, lalu melambai menuju pintu, “Dadaaah, Mama!” Pintu itu lalu tertutup.
Mrs. Falton, berusaha mengangkat tangannya naik. Ia ingin membalas lambaian anaknya. Sekali ini saja. Namun ia tak sanggup, karena tangan itu sudah terlalu lemah. Tanpa dia sadari bulir- bulir air mata meluncur mulus di pipinya yang sudah berkerinyut. Ia merasa tak sadarkan diri sesaat, berada di antara bayang- bayang kematian, antara hidup dan mimpi.
***
Pukul empat sore lebih beberapa menit. Cahaya sore menyinari salah satu sisi dinding rumah sakit itu. Menyinari taman kesukaan Julie, dan ayunan sulur rotannya.. Di sana Julie asyik memperhatikan bunga- bunga yang beraneka ragam. Ia asyik senyum- senyum sendiri memperhatikan beberapa lebah yang menghisap nektar dari tiap kelopak yang ada, sambil bersenandung riang menunggu operasi ibunya yang akan dimulai. Ah, andai Mama ada disini menyaksikan sore yang indah ini, Mama pasti akan cepat sembuh, gumam Julie sendiri. Kelepak sayap-sayap serangga terdengar begitu menentramkan, bersama serbuk- serbuk sari yang beterbangan dibawa angin sepoi- sepoi yang tenang.
Tapi tidak dengan keadaan di dalam rumah sakit itu. Dua- tiga orang perawat tampak gaduh di ruang pra-operasi, hilir- mudik setengah berlari. Ada dokter yang keluar- masuk ke dalam ruangan itu. Namun kegaduhan makin lama makin mereda, berubah jadi bisik- bisik teredam. Kira-kira lima belas menit kemudian bisik itu telah berubah pula menjadi keheningan yang menyakitkan saat beberapa perawat membawa keluar sesosok tubuh yang diselimuti kain putih dari sana.
Mrs. Falton, mama Julie, telah meninggal dunia sebelum sempat dioperasi, setelah bertahun-tahun melawan kanker usus yang dideritanya.
***
Julie merasakan waktu begitu cepat berlalu ketika ia tiba- tiba saja harus menghadiri pemakaman. Peti jenazah itu berwarna putih disertai selingkar mawar yang juga berwarna putih di atasnya. Saat itu cuaca juga begitu bersedih, dengan awan- awan mendung menggumpal tersebar di langit. Angin bertiup tidak kencang dan tidak dingin, namun angin itu seakan membawa berita duka dan membawa penyakit. Membuat orang-orang di pemakaman umum itu menggigil kedinginan tanpa benar-benar tahu apa sebabnya. Julie hanya menatap kosong peti yang berisi jenazah ibunya itu. Tidak ada rasa yang ingin ia tumpahkan saat ini. Ia bersedih, benar-benar bersedih. Namun ia tak sanggup lagi menangis, karena air matanya telah terkuras habis, mengering sejak semalam. Kini yang tersisa hanya kekosongan dan kehampaan yang menusuk- nusuk. Ia bahkan tidak menyadari prosesi penguburan di hadapannya. Julie juga tidak menyadari raungan ayahnya yang menyertai pemakaman ibunya. Julie hanya menunggu dan menunggu di situ, hingga satu persatu orang-orang berpakaian hitam mulai pergi meninggalkan pemakaman itu. Kini tinggallah Julie bersama ayahnya, Tony beserta kedua orangtuanya.
Tony kecil tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia sempat membuka mulut, namun ia mengurungkan diri. Jadilah ia hanya menatap Julie lekat- lekat, dengan pandangan sedih. Tapi ia juga ingin tertawa sekarang, untuk menghibur Julie. Orangtua Tony, mengelus- elus kepala Julie penuh rasa sayang. Sementara itu Mr. Falton, berlutut di depan makam istrinya sambil menangis, berderai air mata. Ia terus saja menggerutu menyalahkan dirinya, sambil memukul- mukul pinggir kubur yang masih merah itu.
“Maafkan aku, Diana! Maafkan aku! Kumohon kembalilah...Kembalilah, Diana, lalu pukul aku! Pukul saja aku!!”
Mr. Falton menampar pipinya sendiri dan mencubit lengannya.”Kembalilah Dianaa...Ayo Diana pukul saja aku!” ia kembali menyiksa dirinya sendiri. Ia memukul- mukul dadanya tanpa rasa sakit, dan membiarkan kepalanya rebah lunglai di tanah makam itu.
Mr. Grosvenor, ayah Tony, berjongkok di samping sahabatnya itu. Ia merangkul bahunya, seraya berkata, “Mungkin ini yang terbaik untuk Diana. Kau harus merelakannya, temanku, agar ia bisa tentram dan baik- baik di sana.”
Mr. Falton masih menangisi makam istrinya. Ia tak peduli dengan kepalanya yang sudah berlumur tanah di sana- sini. Ia juga tidak mendengar sepatah pun kata- kata Mr. Grosvenor, karena ia sudah tenggelam terlalu jauh dalam sedih dan sesal. Ia terus menangis dengan suara yang teredam oleh tanah di depan wajahnya.
“Ayo, ayo pulang. Kau masih punya Julie, teman. Masih ada Julie yang menemanimu, dan untuk kau sayangi sepenuh hatimu.” Mr. Grosvenor berusaha setengah menarik lengan temannya yang begitu lunglai itu. Sementara Mrs. Grosvenor memeluk Julie penuh haru.
Mr. Falton, yang tiba- tiba merasa ada orang yang hendak memaksanya pergi dari sisi istrinya, tiba- tiba terbangun dengan secepat kilat. Matanya memerah penuh air mata, yang sudah kotor bercampur tanah. Begitu pula dengan rambutnya. Wajahnya begitu menyala akibat marah. “KAU!! ADA URUSAN APA KAU MENYURUHKU MENINGGALKAN ISTRIKU??”
Mr. Falton meradang, memukulkan tangannya secara membabi buta. Ia seakan-akan memperoleh tenaga banteng yang sedang mengamuk. Ia menghalau apapun yang ada di depannya dengan lengannya yang tak disangka-sangka begitu kuat. Mr. Grosvenor pun terkena ayunan tangan itu dan jatuh terjerembab. Rambutnya mengenai tanah pasir. Kacamatanya terlepas dan terlempar jauh.
“Sayang!” jerit Mrs. Grosvenor seraya mendekap Julie makin erat. Julie seakan tersadar dari kekosongannya dan berteriak, “ Jangan Papa!” Ia berusaha melepaskan diri dari dekapan Mrs. Grosvenor.
“Tidak apa- apa," kata Mr. Grosvenor sambil mengibas- ngibaskan trambutnya. Ia berusaha bangun dari tanah, sementara Mr. Falton bak kehilangan akal masih mengayun- ayunkan tangannya ke sekelilingnya, ke udara kosong. Namun ketika Mr. Grosvenor belum berdiri tegak sepenuhnya, ayunan tangan Mr. Falton tiba- tiba saja mengarah pada Mrs. Grosvenor. Ibu Tony yang tidak melihat itu karena sibuk mencemaskan keadaan suaminya, tidak menyadarinya. Hanya Tony yang sempat menghindar, dan berteriak, “Awas, Ma!”
Tapi terlambat. Mrs. Grosvenor jatuh nyaris mengenai batu nisan makam di sampingnya, sambil mendekap Julie. Pakaiannya juga ikut berlumur tanah, tapi Julie baik- baik saja. Tony segera mendekati mereka.
Semuanya terjadi begitu cepat, dan melihat kejadian itu dalam waktu singkat amarah Mr. Grosvenor jadi tersulut. Ia memegangi lengan kanan Mr. Falton dan memuntirnya. Dalam sedetik Mr. Grosvenor sudah menyarangkan tinjunya ke rahang Mr. Falton yang menggila.
Buk!
Mr. Falton tersungkur jatuh. Ia mengerang sambil memegangi bibirnya yang sobek dan berdarah. Dan kelihatannya, ia juga tak lagi punya energi karena sudah terlanjur banyak dihabiskannya sedari tadi. Napasnya terengah- engah, begitu pula dengan Mr. Grosvenor. Wajahnya yang seharian ini penuh simpati untuk sahabatnya, kini kembali mengeras dan tegas seperti wajah ia biasanya.
“Jangan coba-coba kau sakiti istriku! Sadarlah Garry, Diana sudah mati! SUDAH MATI!!”
Sayangnya, amarah Mr. Grosvenor belum surut. Ia tak terima dengan sikap kasar temannya itu, meskipun teman karibnya itu kini sedang bersedih dan terpukul. Ia lagi- lagi memuntir tangan Mr. Falton yang satunya lagi. Mrs. Grosvenor segera memeluk Tony dan Julie dan mendekap mereka.
“Akh, maafkan aku, maafkan AKU!”
Mr. Falton terus mengerang kesakitan. Sepertinya ia sudah kembali pada kesadarannya. Tak tega, Mr. Grosvenor pun melepaskan puntirannya. Keduanya terlihat lelah, kehabisan tenaga. Mr. Grosvenor terduduk di tanah, tak lagi mempedulikan celananya yang belepotan dan kotor. “Aku juga minta maaf,” mohonnya dengan napas masih terengah- engah. “Aku juga telah bersikap kasar padamu tadi. Tapi kumohon, relakanlah Diana, setidaknya lepas kepergiannya dengan baik.”
Tak ada jawaban dari Mr. Falton. Ia juga terduduk di hadapan ayah Tony. Seakan matanya belum sanggup mengering, lagi- lagi air mata membasahi pipi Mr. Falton. Ia belum rela untuk melepas istrinya. Belum.
“Kau harus ingat bahwa kau masih memiliki Julie” ,imbuh Mr. Grosvenor sambil memegang bahu sahabatnya. “Jika ini terlalu berat untukmu, ada aku dan keluargaku yang akan membantumu," bujuk Mr. Grosvenor.
Semuanya terdiam. Di langit, gemuruh petir menyertai awan mendung yang semakin tebal. Awan- awan itu semakin menghitam memandang dari atas mereka. Hanya mereka yang ada di pemakaman sepi itu. Hening dari suara manusia, hanya beberapa kali terdengar suara gagak berkaok- kaok dari kejauhan. Gemuruh petir kembali terdengar, tapi sayup- sayup terdengar pula isak Mr. Falton.
“Aku sungguh menyesal, Theo. Sungguh aku menyesal.”
“Aku paham perasaanmu, kawan.”
“Tapi bagaimana? Bagaimana kini aku harus minta maaf pada Diana? JAWAB AKU, THEO!”
Teriakan Mr. Falton menggema di pekuburan itu. Mr. Grosvenor terdiam. Pertama, ia memang tidak tahu harus melakukan apa. Kedua, ia memang paham perasaan Mr. Falton, tapi ia yakin perasaan kehilangan yang dialami sahabatnya itu sangat dalam dan ia begitu hancur. Ia tak ingin menggurui temannya terlalu banyak. Ia hanya membisu, lalu meraih kacamatanya dan mengenakan kembali.
Tapi keheningan itu terputus saat Mr. Grosvenor merasakan tetes air tepat di atas puncak hidungnya. Mr. Grosvenor menengadah, dan begitu pula istrinya yang sepertinya juga merasakan ada tetes air. Perlahan titik- titik air mulai berjatuhan, meninggalkan bercak- bercak gelap di tanah segar.
“Hujan," kata Mr. Grosvenor. “Ayo kita pulang, Garry. Tinggallah di rumah kami barang sehari- dua hari. Aku tahu ini berat untukmu.” Ia menepuk- nepuk lutut kawannya itu, membersihkan jas hitam Mr. Falton dari butir- butir tanah yang masih melekat. Mr. Grosvenor lalu berdiri.
“Ayo, Garry," katanya sekali lagi. Istrinya juga tampak sudah memegangi tangan Tony dan Julie. Julie, yang begitu bersedih, kembali lagi pada tatapan kosongnya, tanpa komentar apa-apa.
Tetes- tetes air makin cepat turun. Sementara Mr. Falton masih membeku dalam posisinya.
“Garry!” panggil Mrs. Grosvenor lagi dengan agak keras.
Mr. Falton tersentak, lalu menengadah memandang temannya. Keadaannya sungguh menyedihkan. Ia lalu menunduk, menatap kubur istrinya.
“Tinggalkan aku," bisiknya.
“Apa?”
“Tinggalkan aku sebentar di sini," ulangnya dengan suara bergetar. “Aku ingin melihat Diana untuk yang terakhir kali. Terimakasih, Theo,"ujarnya lagi. Ia pun duduk bersimpuh menatap batu nisan istrinya itu dan mengelusnya lembut.
Hujan ringan mulai turun.
“Baiklah," tegas Mr. Grosvenor. Ia harus membawa istrinya dan anak- anak kembali ke rumah secepatnya jika ia tak ingin salah satu dari mereka sakit. “Aku bawa Julie pulang, ya, kawan. Jemputlah dia nanti di rumahku, kalau kau sudah merasa baikan nanti.”
Tanpa mendengarkan jawaban Mr. Falton, Mr. Grosvenor segera membawa istrinya, Tony dan Julie pergi cepat- cepat dengan setengah berlari.
Langit seakan- akan menumpahkan seluruh air yang dikandungnya. Untunglah Mr. Grosvenor segera mengajak mereka pergi, karena hujan begitu lebat membasahi tanah pemakaman. Toh, Mr. Falton sendiri sudah tidak ada tenaga untuk berkata apa-apa. Ia terduduk begitu saja, terpaku bagai patung. Ia tak lagi mempedulikan basahnya hujan dingin yang membasahi tubuhnya, ataupun tentang sepatunya yang sudah belepotan lumpur.
Langit dengan sepuasnya menyirami bumi, dan bunga- bunga liar bersyukur menyambut mahkota- mahkotanya yang bermekaran.
***
Hah!
Napas Julie ngos-ngosan. Ia terbangun secepat kilat dari tidurnya dalam keadaan setengah tersadar. Ia lagi- lagi memimpikan hal yang sama. Mimpi buruk itu lagi! Sekujur tubuhnya berkeringat dan ada bintik- bintik keringat dingin bermunculan di pelipisnya. Julie mengacak- acak rambutnya dan berusaha menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Tapi sia- sia. Ia bahkan masih bisa melihat jelas pekuburan itu membayang di depan kepalanya. Ia bahkan masih bisa mencium aroma tanah segar dan bau pernis peti jenazah ibunya. Kenapa mimpi buruk ini semakin lama semakin parah?