"Bu? Ibu Oza? Ibu Oza baik-baik saja, 'kan?" panggil Ragana.
Pria itu sambil menyentuh bahu Ozawara karena wanita itu tetap diam. Ragana tidak tahu saja kalau Ozawara diam karena sedang mencari alasan untuk menjawab pertanyaan darinya.
"Ah, iya. Ada apa Raga?" Ozawara benar-benar terkejut dan lekas berbalik menghadap Ragana.
"Tadi saya melihat Pak Lake mendorong Ibu Oza keluar kamar. Apa Ibu Oza dan Pak Lake baik-baik saja?" tanya Ragana penasaran.
Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di rumah Candramawa. Ragana memang selalu menjadi orang yang serba ingin tahu. Pria itu tipe orang yang mudah penasaran dan selalu menanyakannya, alih-alih tetap diam dan berpura-pura tidak melihat.
"Oh itu. Lake meminta jatah dariku, tapi sayangnya aku sedang datang bulan. Jadi, dia marah dan mengusirku keluar," balas Ozawara berbohong.
Entah mendapat wangsit dari mana, sehingga Ozawara bisa menjawab pertanyaan Ragana dengan sangat mudah. Bahkan jawabannya mampu membuat pria itu bungkam seribu bahasa.
"O-oh begitu." Ragana menyentuh tengkuknya canggung, "Tapi, apa Pak Lake tidak terlalu jahat? Seharusnya Pak Lake tidak mengusir Ibu Oza," imbuhnya tidak habis pikir.
"Astaga naga! Sebenarnya dia kenapa, sih? Apa-apa serba ingin tahu. Rasa-rasanya ingin aku jepit itu mulut pakai staples, biar tidak mempertanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan," bisik Ozawara kesal.
Siapa yang tidak kesal jika ada orang yang selalu penasaran dengan kehidupannya. Terlebih, Ragana sudah sering sekali mempertanyakan hal-hal pribadi pada Ozawara.
"Biarkan saja. Sepertinya dia sedang banyak masalah di perusahaan. Jadi, hawanya ingin marah-marah terus." Ozawara berusaha menghentikan keingintahuan Ragana lebih lanjut, "Kau juga. Sudah malam kenapa terus berkeliaran bukannya istirahat dan tidur? Awas saja kalau sampai kau terlambat bangun dan terlambat mengurus Res," tambah Ozawara mengancam.
"Meskipun rumah saya tidak bagus. Bahkan jauh dari kata bagus. Tapi, seumur-umur saya tidak pernah menginap di luar. Jadi, saya tidak bisa tidur jika bukan tidur di rumah saya sendiri," jelas Ragana.
Sejak tadi, pria itu berjalan mondar-mandir naik turun tangga karena tidak bisa tidur. Ia pikir, jika dengan naik turun tangga dan kelelahan, ia akan bisa tidur dengan sendirinya.
"Kau tidur di kamar Res saja. Aku yakin, kau akan bisa tidur dengan nyaman dan nyenyak," saran Ozawara.
Meski Reswara memiliki tempat tidur sendiri. Namun, di sana juga tersedia tempat tidur biasa untuk bersantai.
Alasan Ozawara menyarankan hal itu pun bukan tanpa alasan. Entah mengapa, setiap kali ia kesulitan untuk tidur. Ia akan pergi menatap putrinya. Hingga akhirnya, rasa kantuknya akan datang dan tanpa disadari ia akan tertidur.
"Apa boleh, Bu?" tanya Ragana.
Ia takut Ozawara hanya berbasa-basi saja, karena sebelumnya ada beberapa hal yang tidak boleh ia lakukan pada Reswara. Jika ia langsung pergi ke kamar gadis mungil itu tanpa memastikannya lebih dulu. Kemungkinan Ozawara akan marah dan memecatnya.
"Boleh-boleh saja, tapi untuk sementara saja. Nanti, kalau kau sudah terbiasa dan tidak susah tidur lagi. Kau boleh kembali lagi tidur di kamarmu," sahut Ozawara mengedip-ngedipkan manik katanya perlahan mengiyakan ucapan Ragana.
"Baiklah. Kalau begitu saya coba dulu ya, Bu. Mudah-mudahan saja, saya bisa menjemput rasa mengantuk saya dan mulai terbiasa tinggal di rumah ini," kata Ragana.
Ozawara mengangguk dan berjalan lebih dulu. Lalu, wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Sementara Ragana masuk ke dalam anak asuhnya.
Pria itu berdiri sambil menatap gadis mungil berusia dua tahun tiga bulan itu sambil tersenyum. Rasanya sangat menyejukkan dan tidak bosan-bosan pria itu menatapnya. Mengulurkan tangannya berusaha merapikan selimut yang berantakan.
"Kau pasti kedinginan bukan?" tanya Ragana setelah merapikan selimut.
"Aku tidak menyangka, ternyata apa yang Ibu Oza katakan memang benar. Aku langsung merasa nyaman dan mataku mulai terasa berat." Ragana mengerjap-erjapkan matanya dengan sesekali menguceknya.
"Kalau begitu, daddy izin tidur di sini ya, Res." Membungkukkan badannya dan mengecup kening Reswara, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Tidak lama kemudian, terdengar suara dengkuran halus dari arah tempat tidur. Dan yah, dalam sekejap mata Ragana sudah tertidur pulas. Padahal sebelumnya, pria itu bersusah payah berjalan naik turun tangga dari lantai satu sampai lantai tiga. Tujuannya agar merasa lelah dan tertidur dengan sendirinya. Namun yang tak disangka-sangka, pria itu justru langsung tertidur hanya dengan menatap Reswara saja. Benar-benar sebuah keajaiban.
Entah sudah tertidur berapa lama. Tiba-tiba, Ragana merasa ada seseorang yang menyentuh pipinya dan bahkan terdengar seperti ada suara sebuah kecupan. Perlahan, pria itu membuka mata dan langsung terkejut dengan posisi terduduk, sambil menyentuh dadanya yang bergerak naik turun.
"Astaga!"
"Hahaha ..." Gelak tawa Reswara membuat Ragana sepenuhnya sadar dari tidurnya.
"Ya ampun, Res! Kenapa Res bisa ada di sini?" Alih-alih menjawab, gadis mungil itu hanya tersenyum, "Apa Res turun dari sana?" tanya Ragana sambil menunjuk ke arah tempat tidur Reswara, yang kemudian langsung diangguki oleh gadis mungil itu
"Astaga, Sayang. Lain kali jangan lakukan ini lagi, yah? Kalau nanti Res jatuh bagaimana? Jangan lakukan lagi ya, Sayang?" pinta Ragana Mengingatkan.
Box tempat tidur milik Reswara cukup tinggi. Jika terjatuh dari atas bisa membuat anak kecil seperti Reswara terluka. Akan tetapi, bagaimana cara gadis mungil itu turun dari tempat tidurnya dan bagaimana caranya bisa sampai di samping Ragana?
"Iya, Daddy," sahut Reswara sambil mengedipkan manik matanya perlahan.
"Anak pintar. Sekarang kita bobok lagi ya, Sayang," puji Ragana sambil mengusap lembut puncak kepala Reswara.
"Res haus. Res mau s**u, Daddy," kata Reswara sambil mengulum ibu jarinya dan menyesapnya perlahan. Sepertinya gadis mungil itu terbangun karena haus.
"s**u?" tanya Ragana yang langsung diangguki oleh Reswara. "Oke. Res tunggu sebentar, yah?"
Ragana langsung turun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja perlengkapan s**u Reswara. Semuanya sudah tersedia di kamar itu, termasuk termos air panasnya. Tangan kanannya terulur mengambil botol kecil seukuran genggaman tangannya. Menuangkan air sebanyak seratus dua puluh mililiter dan menuangkan s**u sebanyak empat sendok takar. Lalu, menutupnya dan mengocoknya perlahan.
"s**u sudah jadi," ujar Ragana sambil menunjukkan botol s**u pada Reswara.
Gadis mungil itu tertawa riang sambil melompat kegirangan. "s**u, s**u, s**u," teriak Reswara antusias.
Sebenarnya, sejak kapan gadis mungil itu terbangun? Kenapa terlihat seperti orang yang sudah terbangun sejak lama?
"Oke. Sekarang Res minum s**u dulu. Setelah itu, kita bobok sama-sama ya, Sayang."
Sejenak dalam keterkejutan, Ragana kembali mengantuk. Dan entah mengapa, setiap kali dekat dengan Reswara, Ragana suka sekali mengantuk. Mungkin karena terlalu nyaman atau memang sudah waktunya tidur.
Ragana berbaring di sisi Reswara. Sambil menepuk-nepuk lembut punggung bocah mungil itu, Ragana memejamkan matanya. Baru saja merasa nyaman dan hampir menuju alam mimpi. Reswara mengejutkannya dengan cara menggigit pipinya perlahan.
"Ya ampun, Sayang. Daddy mengantuk, Res. Ini juga sudah hampir pukul satu malam. Jadi, kita bobok sama-sama ya, Sayangnya daddy," bujuk Ragana sambil beberapa kali mengecup puncak kepala Reswara.
"No, no, no, Daddy. Res mau main sama Daddy," tolak Reswara. Namun, Ragana tidak mengerti sama sekali ucapan gadis mungil itu.
"Tidak kenapa, Sayang?" tanya Ragana.
Reswara bergerak ke tepi tempat tidur sambil tengkurap.
"Hati-hati, Res, ini berbahaya. Kalau sampai Res jatuh bagaimana?" Ragana bergegas mengangkat tubuh Reswara dan menggendongnya.
Kalau sampai Reswara jatuh terjungkal dan terluka. Maka, ia sebagai seorang baby sitter akan merasa gagal karena tidak becus menjaga anak asuhnya. Tapi, sebelumnya saja Reswara bisa turun dengan selamat dari tempat tidurnya dan naik ke atas tempat tidur di mana ia berbaring. Kalau dipikir-pikir, akan aman juga jika gadis mungil itu turun dari tempat tidur.
"Main, Daddy, main," celoteh Reswara sambil menunjuk ke arah box mainannya.
"Res mau main?" tanya Ragana.
"Ya, Daddy. Res mau main sama Daddy," sahut Reswara riang.
"Ya Tuhan! Pukul satu malam aku harus bermain dengan Res. Ditambah dengan mainan anak gadis. Astaga, Tuhan," bisik Ragana dalam hati sambil menatap konyol mainan-mainan itu.
"Tidak bisakah besok pagi saja kita bermainnya? Sekarang sudah tengah malam dan kita harus istirahat," pinta Ragana membujuk.
Jika sampai ia gagal membujuk. Maka, ia tidak akan bisa tidur dengan cukup. Setelah itu, ia tidak akan bisa bangun pagi dan Ozawara akan memarahinya. Lebih parahnya lagi, ia takut akan dipecat karena bangun kesiangan dan terlambat mengurus Reswara.
"No, no, no. Pokoknya Res mau main sama Daddy," kekeh Reswara dan mau tidak mau Ragana harus menerimanya.
Menarik nafas panjang dan menghembuskannya cepat. "Baiklah, ayo kita main."
Ragana melangkah ke depan beberapa langkah. Lalu, meletakkan Reswara di karpet bulu yang halus dan lembut. Ia pun ikut duduk sambil memperhatikan gadis mungil itu bermain. Sesekali, ia memprotes karena Reswara memasukkan mainan ke dalam mulutnya. Hingga merasa cukup lelah, pria itu membaringkan tubuhnya di karpet itu.
"Berhenti memasukkan mainan ke dalam mulut, Res. Nanti kalau kau sakit perut bagaimana?" peringat Ragana karena sejak tadi Reswara terus mengulum mainannya ke dalam mulut.
"Iya, Daddy," sahut Reswara.
"Bagus. Ini baru anak daddy yang penurut," puji Ragana sambil mengecup pipi gadis mungil itu gemas.
Reswara kembali sibuk memainkan mainannya. Sedangkan Ragana sesekali terkantuk hingga beberapa detik melanglang buana ke alam mimpi. Beberapa detik kemudian, ia tersadar sambil menguap.
"Res? Kita bobok di atas yuk, Nak!" ajak Ragana terlihat seperti sedang membujuk anak kandungnya sendiri. Bahkan, diusianya yang menginjak ke dua puluh lima tahun. Pria itu sudah sangat cocok dan pantas menjadi seorang ayah.
Gadis mungil itu tetap sibuk bermain mainan Barbie dan tidak menghiraukan ucapan Ragana.
"Ya sudah, Res main sendiri dulu, yah? Daddy mau tidur sebentar dan Res bisa bangunkan Daddy nanti. Oke?" ujar Ragana sambil perlahan menutup matanya.
Ia berencana tidur sebentar dan akan bangun setelah lima sampai sepuluh menit saja. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Ragana tidak bangun di waktu lima sampai sepuluh menit. Bahkan ketika Reswara berusaha membangunkannya.
"Daddy, bangun. Daddy bangun, Daddy. Ayo, main sama Res. Res bosan main sendirian," celoteh Reswara dengan suara lucunya.
"Daddy, Daddy, Daddy!" teriak Reswara sambil memukul-mukul lengan Ragana. Namun, pria itu hanya merentangkan tangannya dan kembali terlelap.
Akhirnya, karena tak kunjung bangun ketika dibangunkan. Reswara memilih duduk sambil menepuk-nepuk lengan pria itu beberapa kali dan mengecup pipinya. Lalu, membaringkan tubuhnya di depan Ragana dan terlelap. Hingga keesokan harinya, Ozawara sudah rapi dan turun ke bawah menuju meja makan bersama Lakeswara.
"Res sudah bangun belum, Sati?" tanya Ozawara pada Sati, yang saat ini sedang membantu ibunya menyiapkan menu sarapan di meja makan.
"A-anu, Bu, be-belum," jawab Sati terbata melirik sekilas dan kembali menunduk.
Dari nada suara Sati terdengar mengkhawatirkan sesuatu. Apa mungkin Ragana juga belum bangun dari tidurnya? Bisa jadi seperti itu, karena pria itu tidak bisa tidur karena ulah Reswara semalam.
"Oh. Terus, Raga mana? Kok tidak kelihatan," tanya Ozawara sambil mengedarkan pandangannya mencari sosok Ragana.
"A-anu, Bu," jawab Sati terbata.
"Anu apa? Panggil Raga dan suruh dia turun makan bersama," tanya Ozawara memerintah. Wanita ini menatap Sati membuat sang empu salah tingkah.
"Tapi, Bu. Suster Raga juga belum bangun," jawab Sati takut-takut.
"Apa?! Belum bangun? Sudah jam berapa ini dan Raga belum bangun juga? Astaga, Tuhanku!" terkejut Ozawara.
"Biasa saja kali, Za. Tidak usah berlebihan seperti itu," sanggah Lakeswara melihat ekspresi kakaknya terlalu berlebihan.
"Apa kau bilang? Biasa saja?" tanya Ozawara terbelalak. "Makan tuh biasa saja," tambah Ozawara sambil mengayunkan tangannya di kepala sang adik.
"Oza! Apa-apaan, sih, kau ini? Kenapa hobi sekali memukulku?" protes Lakeswara sewot.
Baru semalam ia kembali ke rumah itu dan sudah tidak terhitung jumlahnya pria itu dianiaya oleh sang kakak. Sepertinya, Lakeswara harus berpikir ulang untuk kembali ke rumah itu.
"Makanya jangan berani menyanggah kekesalanku," ujar Ozawara sinis.
Orang sedang kesal malah dibuat lebih kesal lagi. Jadi, jangan salahkan Ozawara jika tangan lancangnya melayang ke mana-mana.
"Kalau kau masih bersikap seperti ini padaku. Kalau kau masih bersikap seolah aku ini anak kecil. Sepertinya rencanaku untuk pindah ke rumah ini lagi harus dibatalkan," balas Lakeswara serius.
"Apa? Jadi kau sudah memutuskan untuk kembali ke rumah ini?" tanya Ozawara dengan senyuman yang mengembang.
"Iya, tapi sebelum kejadian semalam dan sekarang," sahut Lakeswara ketus.
"Jangan marah dong Adikku, sayang. Kakak tidak bermaksud untuk menyakiti hati dan fisikmu. Sumpah! Kakak hanya bercanda, kok, Sayang," kata Ozawara manis sekali.
Wanita itu berbicara seakan Lakeswara anak kecil yang mudah sekali dibujuk hanya dengan kata-kata manis. Ia tidak tahu bahwa kata-katanya terdengar sangat memuakkan bagi sang adik.
"Berhenti bersikap sok manis, Oza. Aku peringatkan sekali lagi. Jangan bersikap seolah aku ini anak kecil dan memukulku hanya karena masalah sepele. Kalau kau masih tetap seperti ini. Aku akan kembali lagi ke apartemen dan tinggal di sana," peringat Lakeswara.
Ozawara beranjak berdiri. "Oke, Adikku sayang," balas Ozawara sambil memeluk Lakeswara.
"Satu lagi. Kau juga tidak boleh asal memelukku seperti ini. Aku sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Ingat itu!" peringat Lakeswara lagi.
"Iya, bawel." Ozawara mencubit pipi Lakeswara gemas, "Aku ke atas dulu sebentar," tambahnya. Ozawara ingin memastikan, apakah benar Ragana masih tidur sekarang.
"Ikuti, Oza, Sati. Aku takut Raga akan habis dicakar kalau tidak ada orang lain di sana," ujar Lakeswara memerintah.
Lakeswara hanya khawatir emosi kakaknya akan meledak, setelah melihat Ragana masih tertidur. Ia tahu rasanya jika mendapat amukan sang kakak. Sakit, tapi tidak bisa membalas karena takut melukai kakaknya.
"Baik, Pak," jawab Sati bergegas mengikuti Ozawara ke lantai dua di mana kamar Reswara berada.
"Tunggu, Bu!" ucap Sati.
"Kenapa?" Ozawara menghentikan langkahnya dan menoleh ke bawah.
"Suster Raga bukan di kamarnya, tapi di kamar Nona Bos," jawab Sati tidak berpikir bahwa Ozawara sudah mengetahuinya.
"Aku tahu," kata Ozawara singkat. Wanita ini kembali melanjutkan langkahnya.
"Kalau Ibu tahu. Kenapa Ibu tidak marah? Bukankah Ibu bilang kalau--"
"Cukup, Sati! Jangan mencoba mengulur waktu demi menyelamatkan Raga dari amukanku," potong Ozawara mengetahui niat Sati untuk mengulur waktu.
Sampai di depan pintu, Ozawara membukanya perlahan. Lalu, menjulurkan kepalanya ke dalam dan melihat bagaimana Ragana masih tertidur pulas, sementara dua puluh menit lagi Ozawara harus pergi ke kantor.