Pemakaman mendiang Grand Duke dan Grand Duchess of Alterius telah usai dengan lancar. Dimakamkan di Heaven Memorial Hills, pemakaman elit yang terletak di bukit Alphens. Meski keadaan istana Alterius masih sedikit porak-poranda setelah penyerangan terakhir usai, pemakaman Eugene dan Elliana de Gilbert harus segera dilaksanakan untuk menghormati arwah mereka. Sebuah pukulan besar bagi ketiga anak yang mereka tinggalkan dalam kurun waktu satu malam.
Arthuria de Gilbert, kepala keluarga Gilbert selanjutnya yang menggantikan posisi Eugene de Gilbert, harus berlapang d**a menyelenggarakan pemakaman kedua orang tuanya di sela belum usainya perbaikan rumah mereka yang hancur. Melipatgandakan rasa sedih dan duka mendalam. Terlebih, kini hadir anggota keluarga baru yang usianya saja belum genap satu minggu namun sudah menjadi anak yatim piatu.
Elizabeth de Gilbert.
Seorang perempuan mungil berambut pirang madu mendekati Arthur, bersimpuh di samping pemuda itu. “Arthur, kita harus kembali untuk mengurus perbaikan istana Alterius.” ujarnya bernada datar.
“Bagaimana dengan Elizabeth?” tanya Arthur melenceng dari ajakan perempuan yang merupakan adik kembarnya, Alice.
“Charles dan Hera mengurusnya dengan baik.”
“Theo?”
Alice mengerjap sejenak. “Tidak tahu di mana.”
Arthur mencengkram rerumputan di samping kotak peristirahatan terakhir ayahnya. Merasakan sesak semakin menggerogoti dadanya tiap kali membaca nama yang terukir di nisan hadapannya. Mengikuti naluri, Alice menepuk punggung dan pundak Arthur. Memahami bahwa inilah masa-masa berat dan terkelam mereka yang akan menjadi luka abadi seumur hidup. Walaupun mereka sudah dididik untuk tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan tidak kenal rasa takut, tetap saja mereka juga manusia biasa.
Alice pun tidak akan berbohong bila sekarang luka yang tergores dalam dadanya terasa sangat perih dan menyesakkan. Tidak ada satu pun anak yang ingin menjadi yatim piatu, bukan?
“Arthur,” panggil Alice akhirnya memecah keheningan, netra hijaunya menatap nisan kedua orang tuanya dengan lekat, “mulai sekarang, kau harus menjadi kepala keluarga Gilbert. Mengemban mandat Anjing Penjaga Kerajaan dan mengurus dunia hitam Ophelia. Seperti yang selalu ayah katakan padamu.”
Arthur mendecih pelan. “Aku hanya tidak percaya secepat inilah ayah menyerahkan semua tugas dan tanggung jawabnya padaku.”
“Lalu, tentang Elizabeth,” Alice menjeda, mengembuskan napas pelan, “kita tidak akan pernah menyinggung ayah dan ibu di hadapannya.”
“Aku sudah memikirkannya. Yang kucemaskan adalah Theo. Mungkin sekarang dia berpikir adiknya membawa sial di keluarga kita.”
Alice melengos setuju. “Theo masih kecil, otaknya masih tidak rasional. Kuserahkan urusan Theo padamu. Aku akan mengurus Elizabeth.”
Arthur mengembuskan napas berat. “Kuharap ayah dan ibu benar-benar tenang dan bahagia di sana.”
“Mereka bahagia, Arthur,” tandas Alice dengan guratan senyum kecil membaca nama kedua orang tuanya di nisan. Spontan teringat wajah mereka begitu saja, “mereka sangat bahagia.”
Arthur dan Alice bangkit berdiri. Sepasang kembar itu kembali berdoa untuk kebahagiaan dan ketenangan kedua orang tuanya sebelum angkat kaki dari Heaven Memorial Hills.
Di umur yang baru menginjak kedewasaan, mereka sudah dipaksakan untuk menghadapi dunia yang kejam. Kepergian kedua orang tua hanyalah awal dari segala masalah yang akan datang selanjutnya. Arthur dan Alice tidak punya waktu untuk meratapi kepergiannya, mereka harus tetap berjalan ke depan.
Lagipula, sejak kecil Arthur dan Alice sudah dididik untuk mengetahui fakta bahwa keluarga Gilbert memiliki banyak musuh yang siap menghancurkan mereka kapan saja. Mereka sudah terampil untuk mengambil sikap dan keputusan yang benar sejak dini bila dihadapkan oleh masalah sejenis. Sepenuhnya menyadari menjadi salah satu anggota keluarga Gilbert berarti siap menghadapi musuh dan masalah.
Maka, ketika kedua orang tua Arthur dan Alice direnggut secepat ini, mereka tidak merasa terkejut sama sekali maupun berlama-lama larut dalam kesedihan.
“Yang Mulia, Nona.”
Arthur dan Alice menoleh ke belakang, mendapati sosok kepala pelayan keluarga Gilbert berdiri tidak jauh dari mereka memberi penghormatan.
“Ada apa, Charles?” tanya Arthur seraya berbalik badan sepenuhnya untuk menghadap kepala pelayan tersebut.
Charles menyodorkan sebuah surat kepada Arthur. “Anda mendapatkan surat perintah resmi dari Baginda Raja.”
Alice melengos pelan di samping Arthur. “Bahkan kami baru selesai memakamkan orang tua kami dan Raja itu sudah memberi perintah seenaknya.”
“Menjadi Gilbert beginilah resikonya, Alice.” dengus Arthur diikuti seringai lebar, mengambil alih surat dari tangan Charles. “Bahkan kau harus patuh bila surat perintah berisi tugas untuk merampas nyawa orang lain di saat kau baru saja selesai memakamkan orang tuamu sendiri.”
***
Alterius merupakan provinsi sekaligus wilayah terbesar kedua setelah Ophele di Kerajaan Ophelia. Terbagi lagi menjadi empat wilayah sesuai arah mata angin, Alterius tumbuh pesat dan makmur setelah dikuasai oleh keluarga Gilbert. Perekonomian, teknologi, pendidikan, dan fasilitas kesehatan berkembang pesat. Menjadikannya sebanding dengan ibu kota kerajaan, Ophele. Semua pencapaian itu berkat Grand Duke Gilbert, Eugene de Gilbert.
Terlepas dari fakta betapa mengerikannya seorang Eugene dan ratusan kabar tentangnya selama menjadi Jenderal Kerajaan Ophelia, rakyat Alterius mempercayainya sebagai pemimpin dan mengabdikan diri sepenuhnya.
Tentu saja, ada sisi buruk yang didapatkan oleh keluarga Gilbert.
Memiliki banyak musuh.
Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh kepala keluarga Gilbert adalah mandat menjadi Anjing Penjaga Kerajaan. Sebutan khusus atas pekerjaan dan wewenang yang didapatkan langsung dari Raja Ophelia. Eugene de Gilbert sudah mengabdikan diri sepenuhnya sebagai Anjing Penjaga Kerajaan dengan menguasai dunia hitam Ophelia. Mengendalikan seluruh kelakuan gelap para bangsawan dan memusnahkan mereka yang bersalah atas perintah langsung dari Raja.
Sebuah tanggung jawab dan pekerjaan kotor yang menjadi beban keluarga Gilbert selamanya.
Oleh karena itu, musuh bermunculan menatap keji ke keluarga Gilbert.
Arthur, Alice, dan Theo pun mengetahuinya. Sudah sejak dini mereka diajarkan dan dicekoki oleh fakta tersebut. Sebagai penerus keluarga, sudah sepantasnya mereka mengetahui bahwa kehadiran Gilbert adalah sebuah ancaman bagi mereka yang tidak terima. Lantas, memiliki sifat dan pendirian yang kokoh agar selalu mampu melawan mereka.
Sebagai kepala keluarga generasi kedua, Arthur langsung dibuat pusing oleh Raja. Bahkan Raja itu tidak memberinya jeda setelah ditimpa duka atas kematian kedua orang tuanya. Kini Arthur percaya dengan kata-kata ayahnya, betapa menjengkelkannya Raja Ophelia ini.
“Perbaikan istana akan segera selesai. Saya perkirakan esok pagi, keadaan istana akan pulih seperti sedia kala,” lapor Charles sembari menyeduh teh untuk disajikan kepada Arthur, sang penerus keluarga Gilbert yang akan menyandang gelar Grand Duke.
Arthur, laki-laki berusia dua belas tahun, duduk di kursi kerja yang dahulu milik ayahnya. Pemuda itu meletakkan pena bulu ke dalam kotak tinta. “Baguslah. Bagaimana dengan para penyusup itu?”
“Caesar dan Hans sudah menangkapnya dan dijebloskan ke penjara bawah tanah istana. Mereka akan segera dieksekusi setelah dirasa sudah cukup mengorek informasi,” Charles menyajikan secangkir teh kepada Arthur, “lalu, bagaimana dengan surat perintah dari Baginda Raja, Yang Mulia?”
Arthur mendengus kecil sebelum menyesap teh racikan Charles. Dia menjawab sesudah menenggak beberapa kali. “Berikan padaku.”
Dengan sigap, Charles membawakan surat perintah Raja ke meja kerja Arthur. Kepala pelayan yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu merobek amplop surat menggunakan pisau kecil, lalu memberikannya kepada Arthur. Arthur menerimanya dengan gestur ogah-ogahan. Masih sedikit merasa kesal atas sikap Raja Ophelia yang seenaknya sendiri memberi surat perintah tanpa memedulikan duka yang hinggap di rumah keluarga Gilbert.
Ruang kerja diselimuti keheningan seiring Arthur mulai membaca isi surat. Charles hanya berdiri tenang di hadapan Arthur, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi dalam hitungan detik. Berdasarkan temperamen Arthur, Charles menduga majikan mudanya itu akan menggebrak meja—
BRAK!
Ah, sesuai dugaan.
Charles berdehem singkat melihat raut wajah Arthur dipenuhi amarah. “Ada masalah apa, Yang Mulia?” tanyanya tenang.
“Aku tahu Raja itu sangat bodoh dan selalu melakukan segala hal konyol dalam hidupnya. Tapi, lelucon juga ada batasnya, b******n,” umpat Arthur menggeram dan meremas surat penuh kesal. Kedua alisnya menaut seiring sorot mata birunya menajam menatap meja.
“Bisakah anda menjelaskan apa yang salah—“
Arthur mendongak menatap Charles. “Di mana Elizabeth?”
“Nona Elizabeth berada di kamarnya, dijaga ketat oleh Hera, Esme dan Gail.”
“Mulai sekarang, Elizabeth menempati kamarku. Jangan bawa dia keluar dari area Grand Palace tanpa seizinku. Jangan ada yang memasuki kamarku selain Alice, Theo, kau dan Hera. Kau mengerti?”
Charles membungkuk hormat. “Sesuai perintah anda.”
“Segera pindah seluruh barang-barang Elizabeth ke kamarku. Lalu, panggil Alice untuk segera menemuiku,” Arthur menghela napas berat seraya menyentuh kedua sisi kepalanya, tampak terserang frustasi.
Charles beranjak memenuhi perintah Arthur, meninggalkannya sendirian di ruang kerja tanpa banyak tanya. Sepenuhnya paham Arthur tidak suka diinterupsi bila sedang dikuasai temperamen. Yang jelas, Arthur naik pitam setelah membaca surat perintah dari Raja Ophelia. Sesuai dugaan Charles, hal buruk akan terjadi.
***
Alicia de Gilbert, biasa dipanggil Alice, adik kembar Arthur yang lahir jeda lima menit. Waktu yang sangat singkat itu sudah menentukan kedudukan Alice secara mutlak sebagai adik dan memilih Arthur menjadi kakak. Hanya jeda lima menit, Alice tidak punya pilihan selain menjadi adik bagi Arthur. Namun seiring berjalannya waktu, posisi itu mulai dipertanyakan kepantasannya bagi individu yang bersangkutan.
Terkadang, Arthur lebih pantas menjadi adik dan Alice lebih cocok menjadi kakak. Bukan sekali dua kali. Seperti ini contohnya.
“Arthur, kau seharusnya bersikap lebih tenang dan mulai memikirkannya dengan lebih jernih. Kau benar-benar harus belajar mengendalikan sifat temperamentalmu,” tegur Alice sebelum menyesap teh lemon favoritnya. Bersikap tenang di hadapan saudara kembarnya yang duduk gelisah di meja kerja Grand Duke.
“Oh, maafkan aku. Jadi, kau percaya diri bisa menghadapi hal ini dengan lebih tenang?” sahut Arthur melirik dingin, bernada sarkastis.
Alice mengembuskan napas pelan, meletakkan cangkir di meja dengan penuh keanggunan. “Sejak kecil kita sudah dididik untuk selalu bersikap tenang dan berkepala dingin. Apakah aku perlu mengatur waktu belajar dengan Nyonya Versaroff untuk mengajarkan motto dan protokol Gilbert itu lagi?”
“Jauhkan wanita tua bangka itu dariku.” decak Arthur tidak suka, dia melempar bola-bola kertas yang sangat kusut kepada Alice yang sigap menangkapnya tanpa perlu menoleh. “Kita lihat seberapa bertanggungjawab kah mulut besarmu itu, adikku.”
Alis Alice saling bertaut tajam mendengar nada remeh keluar dari bibir Arthur. Mata hijaunya memindai bola kertas dalam genggamannya. Dilihat dari bahan kertas yang berkualitas tinggi serta beraroma wewangian khas kerajaan, Alice bisa menebak itu adalah surat perintah yang dilaporkan oleh Charles di Heaven Memorial Hills. Sumber penyebab sifat temperamental Arthur muncul.
Membuka dan merapikan surat yang teronggok mengenaskan menjadi bola sampah, Alice mulai membaca goresan huruf yang tertulis di sana. Sementara, Arthur bersandar di kursi kerja dengan tangan bersedekap, menunggu reaksi adik kembarnya. Arthur yakin reaksi Alice tidak akan jauh berbeda darinya, bahkan mungkin melebihi Arthur.
“Omong kosong apa ini?” adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Alice usai membaca surat dari kerajaan.
“Sudah selesai membacanya, nona anggun?” sahut Arthur datar, menyimak perubahan ekspresi di wajah Alice.
Tanpa memberi suara, jemari lentik Alice bergerak merobek surat kerajaan yang sudah kusut. Tidak ada robekan besar yang berhasil selamat dari jari Alice. Gadis itu merobeknya hingga tidak ada satu pun huruf yang dapat terbaca lagi. Sebuah reaksi yang sudah diperkirakan oleh Arthur. Membuat seringai muncul di wajah sang kakak.
“Merobek dan mengabaikan surat perintah kerajaan dapat dikenakan hukuman yang berdasarkan dari kaidah perundang-undangan kejahatan Kerajaan Ophelia, pasal tiga ayat satu tentang melalaikan, mengabaikan, dan pemberontakan terhadap kerajaan,” Arthur mendengus seiring seringainya melebar, iris birunya menatap Alice yang kini melahap cheese cake dengan anggun tanpa beban, “wahai adikku, aku katakan agar tidak terjadi salah paham. Aku tidak berniat berbagi hukuman kerajaan denganmu.”
“Lalu, Raja dapat dikenakan hukuman yang berdasarkan kaidah perundang-undangan kejahatan Kerajaan Ophelia pasal sepuluh ayat satu tentang perlindungan anak,” balas Alice tajam, “laporkan Raja bodoh itu ke Pengadilan Agung sekarang juga.”
“Nona anggun dan mulut besarnya yang tidak bertanggung jawab. Lihatlah reaksimu sekarang,” dengus Arthur meremehkan, “aku memang temperamental, tapi kaulah yang merobek surat itu dengan tanganmu sendiri.”
“Reaksi yang wajar,” tandas Alice tidak merasa bersalah, “siapapun akan bertindak sepertiku saat mengetahui seorang Raja berniat mempertunangkan putranya yang baru bisa berjalan dengan bayi yang belum berusia dua hari.”
Charles yang sedari awal berdiri di sisi sofa yang diduduki oleh Alice pun terlonjak kaget bukan main. Ia yang memilih diam sedari temperamental Arthur muncul hingga Alice selesai merobek surat perintah dari kerajaan pun tidak pernah menduga hal semacam itulah yang terjadi. Benar-benar sebuah kegilaan yang tidak mungkin terjadi, tapi memang terjadi di depan matanya.
Elizabeth de Gilbert belum berusia dua hari, sang bungsu di keluarga Gilbert, sudah mendapatkan lamarannya. Agar lebih tidak masuk akal lagi, lamaran dari keluarga kerajaan.
Bagaimana mungkin?
TO BE CONTINUED