Nightmare

2087 Words
“Sialan! Mimpi apa lagi itu?” Keringat sudah membanjiri wajahnya ketika ia bangun. Lelaki itu mengusap dahinya yang masih terasa sakit akibat menabrak sesuatu di dalam mimpinya tadi. Mimpi yang awalnya ia pikir indah, tapi berakhir dengan penuh rasa lelah. Suara yang berasal dari pintu itu membuatnya tersentak dan bangun dari sebuah mimpi buruk yang tak sengaja ia ciptakan sendiri saat mencoba untuk masuk kembali ke dalam Zen Garden. ‘Kenapa aku tersesat ke tempat lain? Bukan ke Zen Garden?’ batinnya dalam hati. Ia benar-benar tidak mengerti hal ini. Bukankah berati percobaannya yang ketiga juga gagal? Buktinya ia malah tersesat di sebuah arena baru, tempat yang memang dipenuhi dengan harka karun, belian, permata, emas, dan intan, tapi jauh lebih berbahaya dibanding Zen Garden yang masih membiarkan dirinya kembali dengan keadaan hidup hidup. “July! Kau baik-baik saja? Buka pintunya, July!” Ia semakin tersentak kaget. Belum selesai rasa terkejut membuat dadanya membuncah, ini ditambah satu lagi. Jantung July benar-benar ingin copot rasanya. Teriakan dari balik pintu semakin terdengar keras. Benar. Suara itu milik Anne. Perempuan yang beberapa saat lalu bertemu dengan kekasihnya, John di apartemen miliknya, July tidak peduli. Ke mana ia akan pergi, dengan siapa, kapan, di mana dan segala macamnya, lelaki itu tidak peduli selama Anne terlihat baik-baik saja dan tidak memerlukan bantuannya. Kecuali jika ada sesuatu yang mengusik hidup Anne, maka July tidak akan tinggal diam, begitupu sebaliknya karena July sudah menganggap bahwa Anne adalah kakak sekaligus orang tua July. Karena memang Anne lah yang mengurusnya sampai ia sebesar sekarang ini. Entah kapan perempuan itu pulang, yang jelas sekarang ini Anne merasa khawatir setelah mendengar suara gaduh dari dalam kamar July. Rupanya, selama di alam mimpi itu, July memang membuat suara-suara riuh yang sampai terdengar ke luar kamarnya. Ia benar benar berteriak dari atas ranjang. Anne yang mendengar itu jelas merasa ada yang tidak beres dan segera mendatangi kamarnya yang selalu terkunci sejak ada virus yang bersemayam di tubuhnya itu. “July! Kau dengar aku tidak?” Sekali perempuan itu bertanya, bahkan dengan posisi bibir yang tidak jauh dari daun pintu agar July dapat mendengar teriakkannya. Namun, lelaki di dalam kamar itu tidak juga menjawab teriakkan Anne. Tok... Tok... Tok. Pintu itu diketuk olehnya, lagi. Entah sudah yang ke berapa kalinya. Selama July tidak menjawab pertanyaan atau setidak ya lelaki itu berkata kalau dia akan baik-baik saja, maka Anne tidak akan tinggal diam. Perempuan itu berpikir kalau sampai sesuatu terjadi pada July, apalagi di bawah pengawasannya, maka ia tidak akan berhenti merasa bersalah. Seumur hidupnya akan dihantui oleh rasa menyesal yang begitu menyiksa. Bahkan rasanya akan lebih sakit daripada ditinggal ayahnya kabur dulu, sesaat setelah ibunya di temukan tewas di dalam rumah mereka. “July! Jawab aku sekarang!” ujarnya lagi mencoba mengonfirmasi tentang apa yang terjadi pada sepupu laki-lakinya itu. Akhirnya, setelah beberapa waktu lelaki itu mengatur napas yang terengah-engah, ia menjawab pertanyaan Anne dari dalam kamarnya. Sebenarnya ia bukan tidak mendengar teriakan demi teriakkan yang keluar dari mulut perempuan itu. Ia hanya menenangkan diri. July terlalu terkejut akan apa yang baru saja ia alami. “Tidak apa, Anne,” jawabnya singkat. Namun, Anne tetap saja tidak tinggal diam. Sebelum ia benar-benar memastikan kalau July memang tidak melakukan hal yang tak masuk akal, ia tidak akan membiarkan lelaki itu begitu saja. Ia sudah berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi setelah mendengar July berteriak dari dalam kamarnya. Ia tahu, beberapa hari ini lelaki itu banyak berhalusinasi. “Buka dulu pintunya!” pinta Anne pada July yang pada akhirnya ia turuti. July bangkit dari kasurnya yang sudah terlihat begitu berantakan. Selimut yang sudah tidak jelas seperti terkena badai, sprei yang juga tertarik sudut-sudutnya hingga semua mengumpul di tengah ranjang, dan juga beberapa kaleng minuman dingin yang sebenarnya Anne sangat mewanti-wanti agar July tidak terlalu banyak meminumnya. Itu akan membuat ginjal lelaki itu rusak. July berjalan gontai ke arah pintu dengan tangan yang masih memegangi kepalanya yang terasa sakit. Kemudian ia membuka kunci dan mulai memutar knop pintu kamarnya. Anne yang memang berdiri di depan kamar July itu memberi jarak antara dirinya dengan pintu. Setelahnya, July yang matanya masih terlihat merah karena baru saja terbangun dari tidur secara paksa, mengeluarkan kepalanya dari balik pintu. “Hanya sebuah mimpi buruk, Anne. Aku baik-baik saja. Kau baru pulang? “ July malah mengalihkan pembicaraan begitu melihat Anne masih menyangkil tas kecil di tangannya. Jelas, perempuan itu pasti baru kembali. Jika memang ia sudah lama ada di dalam rumah, tidak mungkin ia terus menerus menyangkal tas itu di tangannya. “Benarkah yang kau katakan itu, July?” Anne memastikan sekali lagi. Perempuan itu masih menyimpan sedikit keraguan untuk July. “Tidurlah, Anne. Ini sudah cukup larut,” ujar July dengan harapan bahwa obrolan mereka malam ini telah selesai. Ia tidak ingin memperpanjang urusan dengan Anne. Lagipula, kalau pun ia bercerita tentang apa yang ia alami, melihat reaksi Anne saat pertama kali July mengatakan hal ajaib yang ia alami padanya pun, Anne tidak percaya. Maka, lebih baik ia menghentikan pembicaraan daripada harus membuat Anne berpikir kalau July sudah semakin tidak waras saja. “Aku benar baik-baik saja,” tambahnya, mencoba meyakinkan Anne yang menatapnya dengan tatapan mata penuh selidik meskipun separuh wajah Anne masih tertutup masker. Akhirnya perempuan itu berjalan ke kamar. Ia menyobek masker yang tadi ia gunakan menjadi tiga bagian dan membuangnya ke dalam tong sampah. Setelah itu, ia menaruh tas yang ia sangkil, dan mulai melucuti pakaian dan berjalan ke kamar mandi, meninggalkan July yang masih mengintip dari balik pintu kamarnya. Malam ini, Anne kembali mengistirahatkan diri setelah lelah seharian bertemu dengan John dan membicarakan hal-hal yang cukup berat untuk diperbincangkan. Lagi-lagi, July membantingkan tubuhnya di atas ranjang. Lelaki itu kemudian menatap langit-langit kamar dan tanpa sadar, lelap kembali menerjang dirinya, meskipun ia belum lama bangun dari tidurnya yang salah alamat. *** “Zen Garden!” Ia terlihat begitu senang ketika menemukan tempat yang sejak awal ia memang ingin datangi. Sejak silau memenuhi seluruh kornea matanya, ia mencoba memastikan kalau tempat ini adalah tempat yang sedari tadi ia tuju, tapi tak pernah kesampaian. Akhirnya lelaki itu benar-benar kembali mendarat di tempat ajaib ini. Permainan secara live yang ia sukai. July mulai mengedarkan pandnagnya ke sekeliling. Meskipun baru satu malam ia tidak berkunjung ke dalam dimensi ini, rasanya ia sudah benar-benar rindu. Gelembung-gelembung yang berisikan gambar tetesan air bermunculan di atas tanaman yang kini sudah semakin besar dan siap untuk di jual. Mereka tumbuh dengan pesat rupanya. July berlari ke dekat lemari peralatan dengan begitu semangat seperti seorang anak di taman kanak-kanak yang diberi tahu gurunya bahwa jam makan siang telah tiba. Ia mengambil teko air dan mulai menuangkannya pada tanaman-tanaman tersebut, sampai mereka akhirnya mengeluarkan permata biru yang cukup besar. Benar. Mereka mengeluarkan permata biru seperti yang pertama kali didapatkan July dalam permainan Walnut Bowling. Mereka kini tidak hanya memberi keping emas kecil saja. Masing-masing tanaman mengeluarkan satu dan ketika July menyentuhnya, permata biru itu menghilang. Lenyap bersama cahaya yang berkilauan yang tertiup angin. Ketika July melangkah keluar dari Zen Garden, di depan rumah kaca tersebut, terlihat seorang lelaki dengan sebuah mobil tua yang bagasinya sedikit terbuka. Lelaki itu mengenakan pakaian seperti singlet berwarna putih, celana pendek berwarna nude, dan memakai topi yang dimiringkan, oh tidak. Bukan miring. Entahlah. Ia tidak terlihat begitu normal seperti July. Ia membuka kap belakang mobilnya, dan di sanalah terlihat banyak sekali peralatan-peralatan yang ia jual. Rupanya, lelaki itu sedang mencoba menjajakan barang dagangannya ke pada July. “Ada apa ini?” July yang terheran heran, melangkahkan kakinya sedikit ragu. Ia terlihat begitu hati-hati, karena belajar dari pengalaman, di mana kata-kata raksasa tiba-tiba saja menyerang tubuhnya. Sambil melihat dari ujung kepala sampai ujung kaki, ia melangkahkan kakinya pelan sekali. Di kepala July, terpikirkan bahwa bagaimana kalau pria asing ini merupakan salah satu dari mereka? Sama-sama seorang pemakan otak yang sedikit berkamuflase menjadi terlihat seperti manusia? Tapi, bukankah tingkahnya saja sudah terlihat negitu aneh? Jangan-jangan apa yang dipikirkan olehnya itu benar? July mendekat setelah lelaki itu memanggilnya. Meskipun artikulasi dari bibir orang asing itu tidak terdengar begitu jelas karena ia juga berbicara dengan cukup cepat. “Hei, anak muda! Kemari!” ujarnya saat itu yang membuat July akhirnya mendatanginya meskipun tetap saja, kepalanya terus berpikiran yang tidak-tidak. Sebelumnya, July sudah melihat-lihat ke kiri kanan. Ia mencari tembok raksasa yang biasanya memang selalu ia temui bila lelaki itu sudah selesai dengan pekerjaannya di Zen Garden. Ia ingin segera lari ke sana, menekan salah satu tombol dan mulai memainkan permainan sehingga ia akan dapat uang yang banyak. Namun, ia tidak menemukan tembok raksasa itu sekarang. July padahal sudah memastikan kalau tempat dimana matanya terarah, di situlah tempat tembok raksasa yang kokoh dengan tiga tombol ith berdiri. Namun, kenapa saat ini tembok itu menghilang? Akhirnya, July memilih untuk mendekati lelaki asing yang bertubuh kekar itu, karena ia tidak punya pilihan lagi selain berjalan ke arahnya. Lelaki yang sedikit gemuk itu kemudian tersenyum begitu melihat July akhirnya datang menghampirinya yang sedang berdiri di samping mobil, sambil memegangi bagian belakang kap mobilnya. Lelaki itu menawarkan banyak barang ke pada July, mulai dari sebuah sekop yang terlihat seperti garpu raksasa dengan tiga mata yang terlihat lancip, bibit-bibit tanaman Marry Gold yang katanya akan tumbuh begitu cantik dan menghasilkan keping emas dia kali lipat dari apa yang July biasa dapatkan, pupuk yang biasa July temukan di dalam lemari kayu- yang kini sudah tersisa hanya satu kantung saja, dan juga ia bertanya apakah July akan menjual tanaman-tanamannya yang sudah besar di dalam Zen Garden. Lelaki itu bilang kalau tanaman July sudah tidak dapat tumbuh lagi dan harus dijual. Rupanya, lelaki ini adalah pemupul tanaman-tanaman yang dibudidayakan di dalam Zen Garden. Seperti seorang langganan tetap yang akan terus membeli tanaman begitu mereka sudah tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga mereka sudah tidak dapat tumbuh lagi dan hanya menunggu ajal mereka untuk layu dan kembali bersatu dengan tanah. July yang memang pernah melakukan hal serupa di dunia nyatanya, ketika ia bermain game di dalam laptop, kemudian mengangguk. Ia sudah faham cara mainnya. Akhirnya lelaki itu melepas tiga tanaman yang sudah ia rawat beberapa waktu lalu. Lelaki itu mengambil gerobak tanah yang seperti sebuah dorongan kecil yang biasa dipakai untuk bertani, kemudian mulai memindahkan satu persatu tanaman ke mobil lelaki asing bertubuh sedikit tambun itu, ya terlihat seperti bapak-bapak normal pada umumnya, hanya terlihat sedikit ‘gila'. Kemudian, lelaki itu memberinya masing-masing dua keping emas untuk setiap tanaman yang ia jual. July menerimanya dengan baik dan memasukkannya ke dalam saku celana. Begitu July kembali untuk menaruh gerobak dorong miliknya ke dalam Zen Garden, lelaki itu sudah tidak ada di sana. Ia menghilang begitu saja. Bahkan suara mobilnya pun tidak terdengar sama sekali. Benar-benar sebuah pelarian yang amat baik dan bersih. July mencarinya, menengok ke kiri dan kanan, tapi mobil itu benar-benar lenyap seakan ditelan bumi. July berpikir kalau lelaki itu cocok sekali menjadi seorang agen mata-mata negara yang senang menghilang dengan cepat. Ia akhirnya belari ke perbukitan dan menemukan tembok raksasa yang tadi sempat menghilang. Dengan semangat, karena July berpikir ia akan mendapatkan uang lagi, ia kemudian menekan tombol paling bawah tanpa ragu-ragu dan dengan wajah yang sumringah. Seperti yang sudah-sudah, tembok raksasa itu kembali tenggelam dan menyuguhkan dua buah pintu berwarna putih dengan dua tulisan yang tersisa. Pintu dengan tulisan Whack A Zombie. Silau menerpa wajahnya. Di sana, ia kembali berada di halaman belakang rumah dengan pagar paling belakang lagi-lagi menghilang dan membuat jalan aspal kembali terlihat. Di tengah lapangan, ada sesuatu yang menyita perhatiannya. Sedikit berbeda, ia melihat ada yang aneh di halaman belakang rumahnya itu. Berbeda dengan sebelumnya, di sana ia menemukan lima buah nisan yang tertanam secara acak tidak beraturan. Satu tak jauh dari pintu belakang rumahnya, satu di dekat jalanan aspal, satu di tengah-tengah, satu di bagian kiri halaman, tak jauh dari pagar, satu lagi di paling kanan. Seketika July mematung dan hanya mampu melihat nisan-nisan itu dengan bingung. Sampai akhirnya, July menemukan tulisan yang lagi-lagi muncul di atas awan. “Bunuh mereka dengan senjatamu. Sudah siap? Mereka akan bangkit dari kematian dan mulai melahap otak. Bertahan atau mati, pilihan ada di tanganmu!” July seketika tersadar. Dari nisan-nisan inilah sepertinya makhluk-makhluk pemakan otak itu akan bangkit. Ia kemudian mengambil sebuah palu besar yang seperti di dalam film Thor, dan berlari ke dekat pintu. Tak lama, suara yang tidak asing terdengar. Benar saja dugaan July. Dari satu buah nisan yang paling depan, muncul tangan dari dalam tanah. Makhluk itu benar-benar bangkit dari kematian dan mulai berjalan ke arah July yang sedikit gemetar, tapi tetap berusaha keras untuk bertahan hidup. “MAJU SINI, b******n! AKAN KUBUAT KAU KEMBALI KE ALAM BAKA!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD