Unknown Place

1780 Words
Sementara itu di tempat lain. “Jika aku tidak berhasil melakukannya di siang hari, berarti....” July sedang memikirkan sesuatu. Setelah gagal dengan percobaannya yang kedua untuk kembali ke Zen Garden, akhirnya sesuatu terlintas di kepalanya. Ia sepertinya tahu apa yang membuatnya tidak bisa masuk ke dalam dunia permainan secara live itu lagi. Percobaannya telah gagal di hari pertama, ketika ia mencoba menjelaskan pada Anne dan menunjukkan yang terjadi padanya, tapi tidak ada yang berubah sama sekali. Begitu juga dengan percobaannya yang kedua, ketika ia mulai mencoba kembali tidur setelah mendapatkan sekantung kepong emas, ia gagal dan kembali terbangun di dalam kamarnya, bukan di dalam Zen Garden seperti yang telah ia angankan. Percobaan pertamanya ia lakukan di siang hari, begitu Anne pulang dari tempat kerja untuk menggantikan temannya piket pagi. July gagal. Yang kedua, ia lakukan di pagi hari, begitu ia terbangun beberapa saat pada pukul sembilan pagi dan menemukan kantung yang dipenuhi oleh keping emas. Dan ia pun kembali gagal. “Syaratnya adalah malam hari! Benar! Aku harus melakukan itu di malam hari.” Itulah kesimpulan yang diambil oleh July. Akhirnya, lelaki itu menunggu malam datang. Ia sudah cukup banyak membuang waktu dengan hanya bermain game di laptopnya. Katanya, ia harus lebih lihai agar nanti, ketika ia kembali ke dunia yang ia pun sebenarnya belum begitu paham dunia apa, ia bisa beradaptasi dan tahu cara mengatasinya. Seperti mencoba mencari spoiler dalam video game. Jam jam telah berlalu. Matahari yang tadinya tersenyum di sebelah Timur, sudah mulai naik ke atas kepala dan mulai tergelincir ke Barat. Anne, sepupunya itu belum juga pulang. Perempuan itu, entah menghabiskan waktunya di mana sepanjang seharian penuh. July tidak tahu karena Anne tidak memberitahunya. July juga tidak bertanya kepada perempuan itu tentang ke mana ia pergi. Terserah lah, lagi pula lelaki itu sedang marah pada Anne karena perempuan itu mengatakan kalau apa yang dibicarakan olehnya sangat tidak masuk akal. Anne hanya tidak tahu, karena tidak mengalaminya. Nanti, begitu Anne mulai mengalami apa yang July alami, barulah ia akan percaya kalau sebenarnya July itu tidak gila atau terganggu kewarasannya. Pukul tujuh malam, July mengintip keluar jendela. Sudah tidak terlihat lagi sinar matahari, tergelincir ke Barat dan tergantikan dengan gelapnya malam meskipun belum begitu larut. Ia berpikir kalau ini waktu yang tepat untuk mencoba masuk ke dalam dunia itu lagi. Syarat utama untuk masuk ke dunia itu menurut July adalah malam hari. Ia harus melakukannya di malam hari. “Baiklah, ini saatnya untuk aku kembali mendapatkan uang yang banyak,” ujarnya senang. Ia berpikir kalau ini hanyalah main-main yang menguntungkan. Tidak ada yang benar-benar dirugikan selain waktu yang telah ia buang. July bertelungkup di atas kasurnya, kemudian mencoba memejamkan mata meskipun ia benar-benar tidak mengantuk. Mungkin, selama beberapa hari ini July terlalu banyak tidur. Jadi, rasa kantuk lenyap dari dirinya begitu saja. Sudah lima menit. Lelaki itu masih sadar. Meskipun mata nya sudah tertutup rapat, tapi pikirannya terus berkelana, banyak suara yang bermunculan di kepalanya, ia tidak benar-benar terlelap. Ia hanya mencoba untuk menutup mata, berharap halau ia benar-benar akan tertidur. Ia juga terus memikirkan, apa yang akan ia lakukan dengan uang-uang yang sangat banyak, yang akan ia dapatkan sebentar lagi. Harus ia belikan apa, investasi apa, atau apa yang harus ia lakukan agar uangnya itu habis. Dua puluh menit berlalu, kini July sudah sempurna tertidur. Sudah tidak terdengar lagi suara-suara yang terus mengganggunya. Suara-suara dk kepalanua juga sudah hilang, entah ke mana. Lelaki itu, tertidur pulas di depan laptopnya yang menyala. *** “Bukankah ini.... Hey! Ini bukan Zen Garden!” July mengedarkan pandang. Tujuannya tertidur untuk kembali ke dunia lain itu memang tercapai. Ia memang terbangun di tempat yang lain, yang bukan kamarnya. Tandanya ia berhasil untuk masuk ke dimensi lain. Tapi, sepertinya ia salah alamat. Ini bukan tempat yang ia maksud. Tempat ini asing. Tidak seperti tempat yang ia kenali. Benar-benar tempat yang unik. Dengan nuansa yang unik juga. “Aku di mana?” tanyanya, meskipun ia tahu tidak akan ada orang yang akan menjawab pertanyaan nya itu. Benar, lelaki itu hanya seorang diri di sana. Tanpa siapa pun. July melihat bangunan yang unik ada di depannya. Terlihat seperti bangunan khas peninggalan eropa, dengan bebatuan yang dipenuhi oleh pahatan. Cuaca di sekitar terlihat seperti senja yang menguning. Jika diingat-ingat, July pernah menemukan atmosfer seperti ini ketika selesai hujan di petang hari. Seperti sebuah film lama yang sedang diputar di bioskop. Sekali lagi, ini bukan tempat yang ia inginkan. Ia bahkan tidak tahu, tempat apa ini dan bagaimana mungkin ia bisa masuk ke dalam dunia yang ini, bukan ke Zen Garden yang ia inginkan. Ia tak tahu, apakah tempat ini juga bisa menghasilkan banyak uang atau tidak, seperti Zen Garden. Lelaki itu berjalan melalu jalan setapak yang panjang. Ia akhirnya sampai di sebuah pohon besar nan rindang, yang memayungi hampir sebagian besar tanah di bawah dahan-dahannya. Merasa lelah dan tersesat, lelaki itu kemudian duduk di sana, setidaknya untuk beristirahat sejenak sampai ia menemukan kembali titik terang. “Aku yakin yang ini benar-benar mimpi,” gumamnya dalam hati. Ia berpikir kalau yang ini adalah sebuah mimpi sungguhan. Ia berpikir kalau ini hanyalah sebuah mimpi acak karena ia terlalu terobsesi untuk masuk ke dalam dunia game itu. Tiba-tiba, tulisan di langit membuatnya mendongak. Di atas bangunan yang terlihat seperti peninggalan suku Maya, satu persatu huruf bermunculan. Seperti seseorang sedang menulis di atas sana. Menggunakan awan-awan berwarna putih. “Z?” Huruf pertama yang ada di langit, membuat July mengeja. Ia juga penasaran, tempat apa ini. Z? Yang jelas ini bukan Zen Garden. Ini Z yang lain. “U? Zu? Zumba? Bukankah itu nama sebuah tarian? Di masa purba seperti ini sudah ada Zumba? Serius?” Lelaki itu terus saja mengoceh, menebak-nebak huruf yang padahal baru muncul dua huruf saja di awal. Jika saat ini Anne melihat apa yang ia lakukan, maka perempuan itu akan semakin yakin kalau July benar-benar kehilangan akal sehatnya sekarang. “M... Zum? Benarkan tebakan ku tadi?” Lelaki itu tertawa. Ia merasa kalau mimpinya kali ini benar-benar konyol. Sampai huruf yang terakhir membuat tawanya terhenti. “A?” Seketika, bangunan yang terlihat seperti peninggalan suku Maya itu bergerak ke permukaan, menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Jika dalam permainan yang menyeretnya ke Zen Garden ada waktu di mana bangunan yang seperti tembok raksasa itu tenggelam ke dalam bumi, makan yang ini adalah kejadian sebaliknya. Bangunan besar yang terlihat seperti bangunan suku Maya itu malah mencuat ke permukaan. Menunjukkan undakan demi undakan yang semakin bawah tingkatannya, semakin besar juga bentuk bangunannya. Ada undakan paling bawah yang di tengahnya terdapat pintu yang juga dari bangunan kuno. July segera bangkit untuk mengetahui apa yang terjadi. Tanpa lelaki itu sadari, kakinya mulai melangkah maju, seolah terhipnotis dengan apa yang ia lihat di sana. Padahal, ia berpikir untuk segera pergi dan mencoba untuk bangun dari mimpinya yang aneh ini. Pintu di tengah bangunan itu perlahan bergeser. Membuka celah untuk July masuk ke dalamnya. Tanpa rasa takut sedikit pun, meskipun di dalam sana hanya gelap yang dapat ia lihat, July akhirnya masuk ke dalam bangunan itu. Ia melangkah pasti, tanpa pikir panjang lagi. Ia berjalan sekitar sepuluh langkah dari pintu. Kemudian, dalam sekejap lampu menyala. Lampu-lampu yang berwarna kekuningan, seperti cahaya yang berasal dari obor di jaman dahulu. Di lihatnya kiri dan kanan. Memang benar. Lampu itu berasal dari obor-obor yang tertempel di dinding. July kembali terperanga. Apa yang ia lihat di depannya sungguh menyilaukan mata. Ini bahkan lebih dari apa yang ia dapatkan selama dua kali membunuh para makhluk pemakan otak itu. Ia berpikir kalau ia sekarang benar-benar beruntung. “Harta karun!” Spontan, lelaki itu berteriak. Reaksi kebanyakan orang yang menemukan tumpukan keping emas, berlian, dan segala benda yang berharga pasti demikian. Dengan cepat, July melangkah menuju gundukan keping emas dan bermaksud untuk mengantonginya ke dalam saku. Lumayan kan? Siapa juga yang tidak senang melihat harta yang melimpah seperti ini? Lelaki itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, meskipun tadi July sadar betul kalau ia sedang bermimpi. Setidaknya ia bisa bergelimangan harta, sekali lagi walau hanya di dalam mimpi. Baru saja tangannya menyentuh keping emas yang paling atas, tiba-tiba terdengar suara yang aneh. Lebih aneh daripada suara-suara makhluk pemakan otak dalam permainan yang July miliki. Suara itu terdengar begitu menggelegar dan akhirnya membuat July menarik tangannya kembali. Ia kemudian mengedar pandangnya mencari-cari asal suara tersebut. Rasanya suara itu berada begitu dekat dengan July. “Suara apa itu?” Merasa asing dengan suara yang baru saja ia dengar, refleks July bertanya. Tapi, suara itu terdengar lagi. Bahkan lebih keras dari pada sebelumnya. Betapa terjekutnya July begitu ia melihat dua katak raksasa muncul dari balik gundukan keping emas. Katak-katak itu benar-benar besar. Bahkan tiga kali lipat lebih besar dari tubuh July. Seketika, ia berangsur-angsur mundur. Perlahan, kakinya itu bergerak, menjauhi tumpukan keping emas tersebut meskipun kakinya juga begitu gemetar hebat. Tepat begitu ia di ambang pintu, dua katak tersebut mengeluarkan sesuatu dari mulut mereka. Tembakan bola-bola dengan tempo yang cepat. Ukurannya sebesar kepala July, dan pastinya bisa membuat siapa pun yang terkena tembakan itu pingsan, bahkan kehilangan nyawa mereka. Bola-bola yang dua ekor katak itu tembakkan terlihat begitu kuat, bahkan bisa menghancurkan benda-benda yang dikenainya, seperti sebuah peluru yang keluar dari pistol. July berlari dengan d**a yang bergemuruh. Ia ketakutan. Bagaimana tidak? Bola-bola bak peluru itu terus menerus keluar dari mulut katak-katak tersebut. Seperti sebuah serangan peperangan. July tidak ingin mati di dalam sini, terlebih, tidak ada yang ia dapatkan. Ia bersikeras bahwa mati di sini adalah sebuah kesia-siaan. Tidak akan ada yang menemukan, bahkan mencarinya jika ia tidak bisa kembali, pikirnya. July menghindar sejauh mungkin sambil sesekali menengok ke belakang. Bangunan tua yang terlihat seperti peninggalan suku Maya itu sudah tertinggal jauh. Namun, July yang naas terlalu lama menengok ke belakang, sampai tak tahu di depannya ada sesuatu yang akhirnya ia tabrak. *** “Auuch.” Sontak, July mengelus-elus keningnya yang terasa sakit. Ia mengerjapkan mata berkali-kali setelah gelap menguasai penglihatannya beberapa waktu lalu. Ia mengingat-ingat, terakhir kali ia menabrak sesuatu setelah berlari menghindari tembakan dari dua katak raksasa yang menjaga harta karun di dalam bangunan kuno. Lelaki itu kemudian melihat lagi ke se keliling. Ia sudah kembali berpindah tempat. July tidak lagi ada di tempat terakhir kali ia terjatuh. Lelaki itu sudah bangun dari mimpi buruknya. “Aku sudah kembali ke kamarku?” Sekali lagi, ia mengerjapkan mata. Lalu, bangkit untuk duduk di tepian ranjang. July menghembuskan napas lega, meskipun masih ada sisa-sisa ketakutan di dalam dadanya. Itu memang hanya mimpi, tapi rasa lelah atas pengejaran dua katak raksasa itu benar-benar terasa di tubuh July. “Rupanya aku benar-benar bermimpi. Syukurlah.” Lelaki itu kemudian membanting tubuhnya lagi ke atas kasur dan menatap langit-langit. Baru saja ia merasa lega, ketukan keras tiba-tiba mengejutkannya. “July! Kau dengar aku kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD