Ketukkan di Pintu

1520 Words
Perempuan itu baru saja tiba. Ia mengambil kunci yang ia letakkan di dalam vas bunga di dekat pintu. Kemudian, ia mulai membuka knop dan masuk ke dalam rumah yang memang selalu sepi itu. Sesaat sebelum ia kembali menutup pintu rumahnya, terdengar suara yang berasal dari dalam tas yang ia sangkil di tangannya. Sebuah telepon masuk dari lelaki yang seharian ini belum sempat bertatap muka. Lelaki itu disibukkan oleh kasus baru dari varian virus yang juga menjangkit tubuh July. Setelah mendengar kabar ada satu pasien yang secara tiba-tiba dilarikan ke IGD dengan gejala yang aneh, lelaki itu segera mencoba mencari tahu apa yang terjadi sampai-sampai ia harus membatalkan janjinya untuk pulang bersama Anne malam itu. Anne mengusap layar ponselnya ke atas. Menerima panggilan dari John, kekasihnya. “Yeah, Honey. Aku baru saja tiba,” ucap Anne beberapa saat setelah mendengar suara John terlebih dahulu. “Okay, istirahatlah yang cukup dan berhati-hati. Aku tidak ingin virus sialan itu juga menyerang dirimu. Aku sudah cukup frustrasi dengan hanya mendengar ocehan halusinasi dari mulut July.” Masih dengan handphone yang menempel di telinganya, ia melangkah masuk setelah membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. Tak lupa, ia juga menaruh tas yang sejak tadi disangkilnya di atas sofa di ruang tengah. ‘Kenapa rumah begitu gelap?’ Anne menemukan ruang tengah dengan lampu yang padam. Semua terasa hening. Meskipun memang mereka hanya tinggal berdua di rumah itu, biasanya July akan membiarkan lampu tengah menyala agar Anne tidak merasa sepi begitu ia pulang kerja. “Baiklah, akan kututup telfonnya. Love you.” Telepon terputus. Anne mulai membuka sweater berwarna coklat muda yang ia kenakan. Kemudian menaruhnya ke dalam keranjang laundry saat ia menuju ke kamar mandi. Sebelumnya, Anne sempat melirik ke jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh malam. Larut memang, tapi tak seluruh malam-malam sebelumnya ketika ia pulang kerja. Sekali lagi, Anne melirik ke arah pintu kamar July yang senyap seperti biasanya. “Mungkin dia sudah tidur,” batinnya. Selalu seperti itu ketika menemukan sunyi yang merayap keluar dari kamar July. Akhirnya ia melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi dan mulai melucuti satu per satu pakaian yang menutupi tubuhnya seharian ini. Ia mengambil sikat gigi berwarna merah muda, mengeluarkan pasta gigi dan menaruhnya di atas sikat dan mulai menggosok gigi. Beberapa waktu, lampu kamar mandi berkedip. Anne seketika menghentikan kegiatannya. Ia memalingkan wajah ke sekeliling, tapi lampu kembali menyala seperti biasa. “Aku rasa aku sudah membayar tagihan listrik kemarin. Tidak ada informasi juga tentang pemadaman. Atau... Ada konsleting listrik?” Anne menggelengkan kepala. Tidak mau tahu. Selama memang tidak benar-benar padam, ia tidak akan ambil pusing. Setelahnya, ia mulai menyalakan shower dan membiarkan air hangat mengguyur seluruh tubuhnya menjelang tengah malam itu. *** Tepat tengah malam. Selimut yang hangat sudah membalut tubuh perempuan itu selama hampir dua jam. Setelah menunggu kekasihnya yang ternyata gagal untuk melakukan kencan dan pulang bersama malam itu, ia akhirnya membiarkan tubuh lelahnya tertidur. Akhirnya mereka hanya berbicara di telepon tepat sebelum Anne masuk ke dalam rumah. Namun, tidur nyenyak Anne tidak berlangsung lama. Ia harus merasakan kekesalan lagi malam ini. Tepat pada tengah malam, perempuan itu akhirnya terpaksa membuka matanya setelah mendengar suara gaduh yang benar-benar mengganggu. Ia bahkan belum sempat bermimpi dan merasa kalau tidurnya sangat singkat sekali, meskipun hampir dua jam adalah waktu yang bisa dikatakan lumayan digunakan untuk tidur. Tidak bagi Anne yang jarang sekali mendapatkan istirahat yang cukup apalagi setelah virus-virus itu berkembang pesat dan membuat sibuk seluruh pegawai rumah sakit. Awalnya, hanya terdengar seperti sebuah ketukan. Seperti sebuah benda yang terbentur pada pintu. Seolah ada seseorang dengan bola basket yang sengaja melemparkannya ke sana. Anne masih tidak menghiraukan suara itu. Ia masih ingin menikmati tidurnya, di tengah malam yang dingin. Namun, suara itu kembali terdengar. Perempuan itu berpikir kalau July, sepupunya itu merasa bosan dan mulai memainkan bola dari dalam kamar. Masih dengan mata yang tertutup, Anne mengoceh, “Berhentilah, July! Ini tengah malam dan kau bukan anak kecil!” Beberapa saat setelah Anne mengeluarkan kata-kata itu, suara yang sejak tadi mengganggu tidurnya tidak terdengar lagi. Ia cukup yakin kalau apa yang ia dengar itu benar-benar perbuatan July. Buktinya, ketika ia meneriakki dari dalam kamar, suara itu berhenti membuat gaduh dan Anne bisa melanjutkan tidurnya kembali. Sampai dititik di mana Anne benar-benar merasa sakit kepala karena harus terjaga lagi dengan terpaksa. Suara itu bukan lagi seperti sebuah ketukan atau seperti suara pantulan bola basket ke tembok yang bertempo lambat seperti sebelumnya. Suara itu terdengar seperti suara ketukan keras di pintu yang terdengar lebih cepat temponya. Seperti seseorang sedang memaku sesuatu pada tembok. Semakin keras dan semakin keras. Begitu juga dengan temponya. Semakin cepat dan cepat. Perempuan itu akhirnya terbangun. Ia terpaksa bangkit dari kasur dan membiarkan semut yang membalut tubuhnya itu tersibak. Kemudian Anne berjalan ke luar kamar dengan begitu kesal. Ia menuju kamar July yang ia duga sebagai pusat kegaduhan malam itu. Dengan tangan yang sudah mengepal, ia menggedor pintu dengan keras berkali-kali. “Bisakah kau diam, July! Aku tidak bisa tidur karena kau! Bodoh sekali bermain basket di tengah malam!” Hening. Tiba-tiba suasana berubah begitu saja padahal sebelumnya dengan jelas terdengar begitu gaduh. “Tetaplah diam seperti itu atau kau akan kuhabisi! Dengar kan?” Anne mendengkus kesal. Awas saja kalau sampai ia harus terbangun lagi karena July berbuat hal konyol. Ini sudah tengah malam, bukan hal yang wajar untuk bermain basket, apalagi di dalam ruangan, dan juga July bukan anak kecil yang harus diberi tahu hal yang benar atau pun salah. Selesai dengan hal itu, Anne kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya yang terganggu untuk kedua kalinya malam ini. Namun, belum ada tiga langkah dari kamar July, Anne kembali mendengar sesuatu. Suara yang sama, yang telah membangunkannya di tengah malam itu ternyata tidak berasal dari kamar July. Suara itu terdengar dari arah depan. Temponya tidak cepat seperti sebelumnya. Bunyinya berbeda seperti dug... Dug... Dug. Perempuan itu kemudian melangkah ke arah pintu depan untuk mengetahui apa yang telah terjadi di sana hingga menimbulkan suara seperti itu. Siapa juga orang usil yang telah mengganggu mereka di tengah malam. Anne akhirnya sampai di depan pintu. Dengan ragu dan sedikit rasa khawatir karena berpikir bahwa bisa saja di luar sana ada rampok atau orang jahat yang memang sedang mencuri perhatian Anne dan kawanan lainnya berusaha mencari pintu masuk lain agar mereka bisa menerobos ke dalam rumah. Anne memilih untuk mengintip terlebih dahulu dari lubang pintu daripada harus mengintip dari jendela. Ia harus membuat orang di luar sana tidak curiga bahwa Anne sedang memperhatikannya dari dalam rumah. Rasa takut seketika menyelimuti d**a perempuan itu. Begitu ia merasa siap dengan apa yang akan terjadi dan melihat sesuatu dari lubang di pintu itu, Anne hampir saja berteriak. Ia terjatuh, terduduk lemas setelah melihat sesuatu yang mengerikan melalui lubang tersebut. Dengan tubuh yang gemetar, ia mencoba melangkah mundur. Tapi, suara itu semakin keras seolah ingin mendobrak pintu rumah mereka. Anne yang panik dan ketakutan, dengan air mata yang terus keluar dari bibir matanya, menarik sofa dengan sekuat tenaga untuk menghalangi pintu agar seseorang yang ada di balik sana tidak dapat menerobos masuk. Kemudian ia berlari ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan mulai menelepon kekasihnya dan menceritakan apa yang baru saja ia lihat. Dengan tangan yang gemetar itu, ia menunggu John untuk mengangkat teleponnya. Ia terus bergumam, memohon lelaki itu untuk menjawab panggilan darinya. Ia benar-benar takut. “Benar, July! Masa bodoh dengan virusnya, aku harus bersama July di saat seperti ini.” Anne berlari ke kamar July, menggedor berkali-kali sambil meneriaki namanya. Tapi, tidak ada jawaban. Hening. Gagang pintu yang sudah ia coba untuk buka berkali-kali pun gagal. Pintu kamar July tertutup rapat, terkunci. Entah apa yang sedang July lakukan sekarang. Sampai akhirnya, Anne memutuskan untuk kembali berlari ke kamar setelah mengambil sebilah pisau dapur dan mengunci diri. Ia mencoba untuk mencari perlindungan. Begitu terdengar suara dentuman yang keras, disaat itulah harapan akhirnya menghampiri Anne. “Mengapa kau telepon tengah malam begini, Anne?” John, kekasihnya itu akhirnya mengangkat telepon dari Anne yang sudah ia lewatkan sampai dering yang ke sepuluh. “John, John. Dengarkan aku. Orang-ada orang berdarah-darah.” Anne yang panik tidak bisa bicara dengan jelas. Sementara John di seberang sana hanya bisa menebak-nebak apa yang dimaksud oleh kekasihnya itu. “Bicaralah yang jelas, Anne. Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Sekarang jangan panik. Coba tarik nafas lebih dulu. Rileks.” Anne menuruti perkataan John. Ia mencoba untuk mengatur nafasnya mencoba untuk lebih tenang dibanding sebelumnya, meskipun rasa takut dan gemetar masih menyelimuti seluruh tubuh perempuan itu. “Sekarang, coba beritahu aku, apa yang terjadi.” John yang mendengar suara panik dan menangis dari kekasihnya itu jelas khawatir. Hanya saja, ia tidak ingin membuat Anne menjadi semakin kalut. Maka, ia mencoba untuk terlihat tenang meskipun sebenarnya ia juga merasa gugup. “O-orang itu... Di depan rumah.” ** Lelaki itu baru saja tiba beberapa sekitar setengah jam yang lalu. Setelah membersihkan diri dan mengganti bajunya, ia kemudian berjalan menuju kamar dan mulai mematikan lampu. John, malam itu tidak jadi pergi berkencan dengan Anne karena seorang pasien masuk secara tiba-tiba ke ruang IGD. Akhirnya, mereka berdua harus menunda kencan yang telah mereka rencanakan beberapa waktu yang lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD