Portal Combat

2397 Words
“JULY!” Seketika lelaki itu menoleh. Seseorang telah meneriakkan namanya. Beberapa waktu yang lalu, ia merasa kalau di dapur ini, tempatnya berdiri sekarang, begitu riuh dan ramai. Seolah-olah sedang diadakan pesta besar. Suara-suara itu terdengar ketika lampu masih lah padam. Sesaat setelah July terbangun di sela-sela senja menuju malam, ketika ia mencoba membuka permainan kecil yang terakhir, yang berjudul portal combat, tiba-tiba saja layar laptopnya mati. Berikut dengan lampu di seisi rumahnya. Semua gelap. July kemudian mendengar suara seorang perempuan yang tadinya ia pikir Anne, ketika ia tidak sengaja menarik sesuatu yang ia pikir adalah lilin di dekat kabinet. July bahkan berpikir kalau rumahnya telah dibobol maling dan perempuan itu merupakan salah satu dari para komplotan pencuri tersebut. Sampai akhirnya, July mengambil vas bunga di dekat sofa dan memberanikan diri berjalan ke arah dapur begitu mendengar keramaian, dan begitu ia melemparkan vas bunga tersebut di dapur dengan maksud menghajar mereka, yang ada hanyalah bunyi pecahan vas bunga yang terbuat dari kaca dan sisanya hening. Suara-suara yang berloncatan memenuhi telinga July saat itu seketika lenyap bak tidak pernah terjadi. Dan di saat itu pula lah, listrik menyala. Tidak ada siapa pun. Hanya ada July seorang diri, berdiri di tengah-tengah dapur. Pecahan vas bunga yang disebabkan olehnya berserak di lantai. Vas bunga kesayangan Anne. July masih tidak mengerti tentang apa yang terjadi padanya saat itu. Apakah semuanya benar-benar terjadi, ataukah ia lagi-lagi berhalusinasi. July tidak tahu. Kepalanya terlalu runyam untuk memikirkan segala keanehan ini. Sampai beberapa menit berlalu, July yang masih menatap serpihan kaca dari vas bunga itu disadarkan oleh teriakan dari arah belakang. “JULY! APA YANG KAU LAKUKAN?” Rupanya, tangan July berdarah, tanpa ia sadari. Mungkin terluka saat ia membantingkan vas bunga yang terbuat dari kaca tersebut. Perempuan itu histeris. Berhambur menghampiri July yang hanya tercengang dibuatnya. Ia tidak merasakan sakit di tangannya meskipun darah sudah menetea cukup banyak. Sementara itu, perempuan yang histeris itu adalah Anne yang baru saja pulang. Segera ia menghampiri July tanpa peduli lagi kalau-kalau ia juga akan terjangkit virus, tertular dari lelaki itu. “Bodoh! Mengapa kau lakukan ini? Dimana pikiranmu?” July yang mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Anne hanya bisa diam. Ada kesalah pahaman di sini. Anne berpikir kalau July sedang mencoba untuk menghabisi nyawanya sendiri. Ia mencoba memotong urat nadinya dengan pecahan vas bunga yang kini terserak di lantai dapur. Anne tidak peduli, meskipun itu adalah vas bunga kesayangannya. Kali ini, keselamatan July jauh lebih penting. Anne menarik tubuh July dan membawanya ke ruang tengah. Menyuruhnya untuk duduk di sofa kemudian perempuan itu pergi mengambil kotak pertolongan pertama. July masih tidak mengerti kenapa Anne harus sebegitu histerisnya. Tidak ada yang benar-benar serius. Yang ada, July masih merasa was was, barangkali para perampok itu masih ada di dalam rumah ini dan bersembunyi. Perempuan itu sudah kembali. Ia duduk di sebelah July. Tanpa masker atau apapun itu. Tidak ada lagi jarak-jarak. Ia sudah bersikap bodo amat. Tidak ada lagi yang bisa menolong July, selain dirinya. Lelaki itu hanya punya Anne. Begitu juga Anne. Ia hanya memiliki July, satu-satunya keluarga yang tersisa yang harus ia jaga sampai akhirnya mereka bisa hidup bahagia di masa depan. “Ke mari!” perintah Anne. Ia memberi isyarat dengan menjulurkan tangan nya. Awalnya July diam saja, sampai akhirnya Anne yang menarik paksa tangan July dan mulai membersihkannya dengan air. “Bodoh, apa yang sedang kau pikirkan hingga kau berbuat begini?” dumal Anne. Perempuan itu masih tidak terima dengan apa yang July lakukan. Sementara, July tidak merasa bahwa ia melakukan kesalahan apapun. Ia hanya berjalan ke dapur untuk menangkap mereka. Bukan untuk melakukan hal-hal yang tak masuk akal. “Aku tidak melakukan apapun, Anne!” jawabnya. Ia sudah berkata jujur pada Anne. Tapi, luka ditangannya itu memperkuat opini Anne bahwa July pasti melakukan sesuatu, tidak mungkin tidak. “Tak usah berbohong. Dengarkan aku, July. Jika kau ingin meluapkan sesuatu, luapkan saja. Tapi jangan begini. Aku mohon padamu!” pinta Anne sembari menatap wajah July yang kini sudah besar. Tapi, di mata Anne, lelaki di depannya ini tetap terlihat seperti anak usia empat tahun yang menangis begitu kedua orang tuanya masuk ke liang lahat. “Kau tahu kan, aku tidak punya siapa-siapa lagi? Ingat July, kau masih punya aku. Kau bisa cerita apapun! Kalau masalah virus ini, aku janji, aku akan temukan obatnya untukmu,” tambahnya. Nada bicara Anne yang tadinya begitu tinggi kini melembut. “Lihat! Bahkan sekarang aku tidak peduli lagi dengan virus bodoh itu. Aku tidak memakai pelindung apapun! Ini bukan apa-apa, July. Kita pasti bisa melalui ini sama-sama,” Anne masih terus menerus mengeluarkan kata-kata sampai July tidak ada kesempatan untuk bicara. Sampai akhirnya ia mendapatkan kesempatan itu, ia mulai memberikan penjelasan pada Anne kalau apa yang dilihatnya itu hanya sebuah kesalahan pahaman. July tidaak ingin mati dengan cepat. Ia juga tidak mau melukai dirinya sendiri. Di tambah, luka di tangannya ini tidak terasa begitu sakit sampai ia bahkan tak sadar kalau darah sudah menetes netes dari tangannya. “Ini tidak seperti yang kau bayangkan, Anne. Sebelum kau datang, lampu padam. Aku serius. Aku bahkan berani bersumpah! Aku tidak berbohong. Percayalah padaku! Aku juga masih ingin hidup. Persetan dengan virus yang ada di tubuhku ini, aku masih baik-baik saja. Ia tidak akan bisa menggerogoti tubuhku dan mengambil alih atasku.” “Lalu apa yang akan kau katakan tentang ini?” Anne menarik tangan July yang baru saja selesai ia perban. Lukanya cukup dalam tapi tak begitu parah sehingga July tidak memerlukan jahitan pada luka di tangannya itu. “Aku mendengar sesuatu dari dapur-“ ujarnya terpotong. Ia kembali berpikir, kalau July mengatakan ia mendengar suara-suara gaduh dari dapur rumah mereka, Anne pasti semakin tidak percaya padanya dan berpikiran bahwa July memang benar-benar sudah tidak waras. Tapi mengatakan bahwa di dalam rumah mereka ada komplotan perampok juga, terdengar sedikit tidak masuk akal karena pintu masih dalam keadaan terkunci begitu Anne tiba. Akhirnya, ia membuat alasan lain. “Sebelum kau datang, lampu itu padam. Aku mendengar keributan dari dapur. Kupikir tikus-tikus hendak mencuri makanan kita, maka dari itu aku datang ke arah sana dengan vas bunga kaca ini.” “Lalu? Kenapa kau tidak memakai jebakan atau tongkat baseball,” tanyanya masih dengan tangan yang sibuk membalut luka di tangan July. “Mana ku tahu tongkat baseballnya ada di mana. Lagi pula, yang paling dekat dan mudah di raih itu vas bunga. Jadi aku tidak berniat untuk melukai diri sendiri, Anne. Aku masih bisa berpikir dengan baik. Aku tidak peduli lagi. Kematianku biar Tuhan yang gelar. Aku tidak mau mendahului kehendaknya untuk bertemu Tuhan lebih dulu.” Ada kelegaan di wajah Anne. Setidaknya, dengan penjelasan yang cukup masuk akal dari July itu, ia tidak lagi salah paham. “Kalau begitu, kembalilah ke kamarmu dan beristirahat,” ujar Anne. July tersenyum dan menganggukan kepalanya, “Kau juga, tante Nakes. Tidurlah, kau tidak banyak waktu luang sepertiku.” Malam itu, July masih duduk di ruang tengah. Di kepalanya masih menjadi misteri, siapakah orang-orang yang bisa menghilang dengan cepat hanya dalam waktu beberapa menit saja. Sampai akhirnya malam itu, July kembali tertidur. Di atas sofa ruang tengah, sendirian. *** July mengambil sekop. Ia mulai menanam bibit yang ia dapatkan dari lelaki asing di depan Zen Garden beberapa waktu yang lalu. Ia membeli empat benih dan mulai menanamnya di pot-pot dari tanah berukuran sedang. Kemudian, ia meletakkannya berdekatan di atas rakitan kayu, seperti sebelumnya. July harus kembali menanam dari awal karena tanaman-tanaman sebelumnya yang ia miliki telah habis dijual pada lelaki asing dengan singlet berwarna putih itu. Ajaib. Setelah ia tanam dan meratakan tanahnya, July mengambil alat penyiram tanaman dan mulai menyirami bibit-bibit tersebut satu per satu. Seketika, terlihat tunas yang mencuat dari dalam tanah. Benar-benar hanya membutuhkan waktu yang singkat. Dunia permainan ini sungguh ajaib baginya. July kemudian bergegas menuju pintu yang terakhir. Ia keluar dari Zen Garden dan seperti biasa, menemukan tembok tinggi dengan tiga tombol yang bisa ditekannya. Lelaki itu kembali menekan tombol yang ketiga, yang bertuliskan permainan kecil. Dan yang tersisa setelah ia menekan tombol tersebut hanyalah sebuah pintu. Pintu yang bertuliskan portal combat menjadi satu-satunya pintu yang tersisa. Setelah menarik napas panjang dan menatapi tulisan yang ada di sana, ia akhirnya memutar knop pintu dan sinar mulai menerpa wajah July seperti biasanya. Di belakang rumahnya itu, terlihat cahaya bulat dengan elemen warna biru. Berbentuk seperti cermin oval berukuran cukup besar. Mungkin tingginya sama dengan tinggi badan July. Dari dalam bulatan itu, terdapat bercak-bercak cahaya kebiruan yang indah. Tidak hanya satu. Di belakang halaman rumahnya itu, ada empat buah lubang serupa. Ia kemudian mencari alat untuk melakukan perlawanan. Begitu ia menoleh ke sebelah kiri, terdapat sebuah papan besar berwarna hitam, yang di tengahnya terpampang sebuah senjata berupa pistol berwarna keemasan. Benar-benar terlihat seperti pistol asli yang biasa dimiliki penjahat di film-film. Keren. July lagi-lagi memggumam dalam hatinya. Dengan cepat, July berlari ke sana sebelum terdengar suara yang menjadi tanda bahwa mereka datang. Ia mengambilnya, kemudian bersiap-siap untuk melawan makhluk-makhluk pemakan otak tersebut. Lelaki itu memasang mata elang. Begitu terdengar geraman yang berkali-kali menyerukan, ‘Brain', July rasa ia sudah siap untuk berperang. Ia bersembunyi di balik tong berisi air yang biasa mereka gunakan untuk menampung tetesan air hujan dari genting. Tong yang cukup tinggi, setidaknya bisa menutupi diri July yang juga lumayan tinggi meskipun tidak tertutup seluruh tubuhnya. “Mereka datang,” July berkata pada dirinya sendiri. Ia sudah siap untuk memusnahkan mereka dan kembali mendapatkan pundi-pundi uang ke dalam rekening banknya. Pokoknya, di permainan kecil terakhir ini, ia ingin melakukan yang terbaik yang ia bisa lakukan. “Suaranya sudah terdengar, tapi kenapa makhluk-makhluk sialan itu belum juga terlihat?” Lelaki itu sesekali bangkit dari persembunyianya. Ia menengok ke tanah yang dilapisi rumput pendek di depan mata, tapi nihil, makhluk-makhluk itu tidak tertangkap pandangannya. Biasanya mereka akan datang dari jalan aspal di ujung pekarangan rumah. Tapi, belum ada tanda-tanda bahwa mereka sudah tiba di tepi jalan itu. Sampai akhirnya, dengan d**a yang membuncah serasa akan meledak, tiba-tiba saja satu makhluk pemakan otak itu keluar dari portal bercahaya tersebut dan berjalan ke arah July. Lelaki itu sedikit kebingungan. Ia memutar senjatanya, melihat dari sisi satu ke sisi yang lain. “Bagaimana caranya aku menggunakan pistol ini? Apakah ini bahkan berpeluru?” Tidak ada waktu. Makhluk itu bahkan sudah semakin dekat dengan tempat persembunyian July. Akhirnya, ia hanya nekat mengacungkan pistolnya tanpa tahu itu akan berfungsi dengan baik atau tidak. Kemudian, dengan sedikit keraguan, July menarik pelatuk dan tidak terdengar suara tembakan seperti senjata lainnya. July bahkan tercengang dibuatnya. Ia memang sedikit menutup mata. Dalam hati, ketika Ia sudah menarik pelatuk, tapi tidak terdengar suara apapun, ia bergumam, “Mati aku.” Namun, tidak ada yang terjadi padanya. Suara geraman dari makhluk itu pun sudah tidak terdengar sejak ia menarik pelatuk senjata tersebut. July membuka sebelah matanya yang sempat tertutup. Ia mengintip ke arah makhluk itu dan boom, rupanya makhluk itu sudah menggelepar di tanah, ia penasaran tentang aapa yang terjadi pada makhluk itu. “Ini luar biasa.” Sekali lagi ia menarik pelatuk pistolnya. Sebuah cahaya kebiruan keluar dari sana. Membakar tubuh-tubuh makhluk pemakan otak tersebut. Seperti sebuah tembakan laser. July merasa percaya diri. Ia tidak lagi bersembunyi di balik tong pengisi air dan mulai maju selangkah. Matanya menatap tajam ke arah portal dengan cahaya biru. Sebelum makhluk itu keluar dari sana, akan terlihat sebuah cahaya yang seperti kilat. Ia sudah benar-benar siap sekarang. Begitu makhluk itu mulai muncul, dengan senyuman yang penuh kemenangan, July mulai menembaki mereka satu per satu. Rasanya seperti ia sedang bermain dengan pistol air ketika ia duduk di bangku sekolah kanak-kanak dulu. Lelaki itu tertawa. Mereka semua sudah lenyap. Begitu tubuh-tubuh makhluk pemakan otak itu jatuh ke tanah, mereka terbakar lalu berubah menjadi abu. Seperti biasanya. “Ternyata semudah ini.” July merasa puas dengan apa yang sudah ia lakukan. Ia berpikir kalau ini sudah berakhir. Namun, keping emas yang ia nantikan itu belum juga terlihat ada di tengah halaman seperti yang sudah-sudah. Rupanya, perkiraan July salah. Ini belum benar-benar berakhir. Tiba-tiba terdengar suara yang entah dari mana asalnya. “The final wave is coming!” Suara yang terdengar mirip dengan teriakan teriakan mereka ketika meminta otak. Lalu, mereka muncul, bahkan lebih banyak dari jumlah mereka sebelumnya. Bahkan, mereka pun berjalan lebih cepat tiga kali lipat. July beringsut mundur. Ia begitu terkejut. Terlebih begitu melihat mereka yang berjalan lebih cepat dan bergerombol. “Sialan! Kupikir ini sudah berakhir. Rasakan ini, Bodoh!” Akhirnya, setelah kejadian itu, July bisa kembali fokus dan mulai menembakkan senjatanya. Ia membuat cahaya yang panjang dan mengarahkannya ke kiri kanan seolah sedang menggambar garis lengkung. Sekarang, July sudah mahir dengan senjatanya itu. Sayangnya, July tidak tahu kalau portal lain muncul. Jaraknya lebih dekat dari portal sebelumnya di mana ia masih memiliki ruang untuk menembak. Ia sadar begitu para pemakan otak yang bergerak cepat itu hampir menjangkau tubuhnya. Dengan cepat, ia mengarahkan pistol tersebut ke arah mereka. “Hei, b******n! Kau pikir aku akan menyerahkan diri dan memberimu otakku begitu saja?” ujarnya dengan pistol yang mengacung ke arah mereka dan boom! Mereka terkena tembakan dan mulai menjadi abu satu per satu. Di tengah halaman, muncul sesuatu yang lebih bersinar. Kali ini bukan keping emas. Tidak ada kantong berwarna coklat seperti yang sudah-sudah. Hanya ada sebuah permata berwarna biru yang ukurannya cukup besar. Kira-kira sebesar kepala July. Lelaki itu kemudian berlari ke tengah halaman dan mulai menyentuh permata berkilau biru tersebut. Seketika, permata itu menghilang. Bersama dengan sinar yang keluar dari sana, yang akhirnya membuat July merasa silau karena sinar tersebut semakin membuatnya tak mampu melihat apapun. Begitu sinar itu perlahan menghilang, July tersadar, kalau ia sudah kembali ke dunianya lagi. July kemudian melihat sekeliling. Ia mencari permata biru berukuran besar yang baru saja ia dapatkan. Tidak mungkin permata itu ada di dalam saku mengingat ukurannya saja sebesar kepala July. Namun, suara notifikasi dari ponselnya membuat July akhirnya tertawa senang. Semua uang yang ia dapatkan dari permata biru tersebut sudah masuk ke rekeningnya. Kali ini, lebih besar. Sesuai dengan ukuran permata tersebut. “Semua permainan sudah aku taklukan,” gumam July. “Aku ingat masih ada dua tombol lagi. Apakah itu akan lebih sulit?” Lelaki itu bahkan bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Akan tetapi, ia suka tantangan. Baginya, tantangan itu seperti sebuah gunung yang harus ia daki. Maka, dengan tekad yang sudah bulat, ia berkata pada dirinya, jika ia kembali lagi ke dunia permainan itu, ia akan menekan salah satu tombol di antara keduanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD