Furleton Hospital

2413 Words
“Kau masih di sini? Belum pulang?” Perempuan dengan jas Dokter berwarna putih membuyarkan lamunan Anne malam itu. Di jas yang ia pakai, terlihat sebuah nametag bertuliskan ‘Dr. Lusy Everdeen, Sp.BS. Furleton Hospital', yang tak lain adalah merupakan rumah sakit tempat Anne bekerja. Perempuan itu merupakan seorang dokter spesialis bedah syaraf di tahun ke tiga. Orang yang juga cukup dekat dengan Anne, di rumah sakit tersebut. Anne mendongak, sejak tadi ia duduk di depan monitor komputer yang menyala. Perempuan itu baru saja mengecek data salah satu pasien, berharap ia akan menemukan sesuatu atau setidaknya menemukan kasus yang sama dengan apa yang sedang ia cari tahu. “Ah, sebentar lagi. Dokter jaga malam?” Perempuan itu yang ditanyai Anne mengangguk. Ia memang lebih tua dari Anne. Usianya dengan Anne terpaut tiga belas tahun, tapi wajahnya masih terlihat begitu muda dan segar. Bila perempuan itu berjalan dengan para perawat dan dokter magang yang usianya jelas jauh lebih muda darinya, ia tetap terlihat serasi-serasi saja. Seperti hanya berbeda dua atau tiga tahun dari mereka-mereka itu. Dokter Lusy memang memiliki paras yang cantik, badannya ramping, kulitnya mulus terawat. Memakai kacamata dan berwajah sejuk. Tidak terlihat menakutkan sama sekali. “Ini,” ujar perempuan yang disapa Dokter oleh Anne dengan senyuman yang juga turut terukir di bibirnya. Perempuan itu menyodorkan segelas vanilla latte pada Anne yang saat itu masih saja duduk di depan layar komputer. Mentlaktir kopi untuk bawahan sudah menjadi sesuatu yang biasa di rumah sakit ini. Terlebih, jika memang bawahannya itu sangat-sangat disukai oleh mereka. Sudah tidak terhitung berapa kali Anne ditraktir oleh Dokter Lusy, dan saat perempuan itu akan menggantinya, Dokter Lusy selalu berkata, “Senior tidak boleh dibelikan kopi oleh juniornya, kalau tidak kesialan akan mengisi rumah sakit ini sepanjang malam.” Entah hanya mitos atau memang benar terjadi, tapi kebanyakan perawat di rumah sakit ini memegang teguh dengan prinsip hanya senior yang mentlaktir kopi di dalam rumah sakit. Lain cerita jika ia bertemu di luar, makan bersama dan pergi bertamasya. Kata mereka, ada waktu di mana junior yang angkatannya jauh di atas Anne, membelikan kopi untuk seluruh nakes yang berjaga, termasuk Dokter Lusy malam itu. Dan sesaat setelah kopi sampai di tangan mereka, rumah sakit yang tadinya begitu sepi, Tiba-tiba mengalami banyak hal yang harus ditangani. Mulai dari banyaknya pasien kecelakaan yang masuk ke igd sampai pasien-pasien di kamar inap yang mengalami sesuatu yang harus segera mereka tangani. Maka sejak malam itu, Dokter Lusy memegang teguh, “Hanya aku yang boleh mentlaktir. Junior jangan mentlaktir seniornya.” Dan begitulah seterusnya prinsip itu juga dipegang oleh dokter-dokter di bawah pengawasan Dokter Lusy. “Aku tadi mampir dari kafetaria. Bukannya kau sudah jaga malam kemarin? Apa ada yang tidak masuk hari ini, Anne?” Ia kemudian masuk ke dalam ruang jaga, tempat para suster dan dokter di tahun awal duduk. Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah Anne. Ia menyedot Americano yang sejak tadi ada dalam genggamannya. “Tuan Heriot?” Sekilas, ia melihat tulisan di layar monitor yang sedang Anne kerjakan. Anne mengangguk. Ia memang sedang memeriksa beberapa rekam medis milik pasien. Terlebih, pasien-pasien dengan diagnosis yang sama dengan sepupunya, July. “Pasien Dokter Eric,” jawab Anne singkat. Kemudian ia membuka sedotan yang masih terbalut plastik dan menusukkan nya pada lubang di atas gelas kopi Vanilla Latte yang Dokter Lusy berikan untuknya. “Terima kasih atas kopinya, saya minum ya, Dok,” tambah Anne. Dokter Lusy menganggukkan kepala, kemudian ia bertanya sembari melihat ke arah diagnosis rekam medis yang ada di layar komputer tersebut, “Dia menyuruhmu menulis rekam medisnya?” Anne menggelengkan kepala. Dokter Eric memang tidak menyuruhnya merubah rekam medis pasien. Ia hanya bertanya pada Dokter Eric yang kebetulan salah satu pasiennya juga terjangkit virus yang sama. Ia meminta pada Dokter tersebut untuk dapat mempelajari rekam medis sang pasien. Dan Dokter itu pun menyetujuinya. “Aku sedang mencari tahu sesuatu. Dokter Eric bilang, aku harus mempelajari dari tiap-tiap kasus penderita. Aku butuh jawaban, Dokter,” katanya menjelaskan kepada perempuan yang duduk di sebelahnya itu. Dokter Lusy meneguk Americano dingin yang ia pegang setelah menyibak face shield yang menutupi wajahnya sejak tadi. Ia merasa kesulitan setelah sejak tadi minum kopi dengan face shields yang masih menempel di wajahnya. Perempuan berkacamata itu memajukan kursi dan mulai membaca rekam medis di layar monitor. “Dia juga menjadi salah satu yang terjangkit?” tanyanya pada Anne setelah beberapa waktu membaca rekam medis yang juga sedang Anne baca. Anne mengangguk. Sebenarnya ia sedang mencari tahu tentang virus yang juga bersarang di tubuh July. Ia ingin melihat-lihat, apakah ada kasus serupa dengan sepupunya itu. Apakah gejala halusinasi July adalah hal yang wajar bagi penderita atau sebuah tanda yang buruk. “Gejalanya bermula saat ia tiba-tiba pingsan saat berbelanja di pusat perbelanjaan dengan istrinya.” Anne mulai bercerita. Kebetulan, sejak awal Tuan Heriot ini datang ke rumah sakit, Anne lah yang bertugas. Ia yang menanganinya di IGD bersama Dokter Jaga saat itu. Bisa dibilang, Anne merupakan orang yang hafal betul dengan tahap-tahap sakitnya Tuan Heriot. Memang terdengar dengan gejala yang July alami, lelaki itu tidak pingsan, hanya sedikit demam di hari pertama dan kedua. Setelahnya ia terlihat baik-baik saja, sangat jauh berbeda dengan Tuan Heriot yang bahkan harus masuk ke dalam IGD. “Lalu?” Sekali lagi Dokter Lusy menyedot Americano kesukaannya. Beliau bilang, Americano adalah obat yang pas untuk teman bergadang sepanjang malam tanpa harus tersiksa. Sekarang mungkin iya, tapi ia tak menjamin untuk beberapa tahun ke depan. “Tidak ada demam tinggi. Hanya tekanan darahnya naik. Ah, satu lagi. Sebelumnya ia muntah-muntah. Nyonya Heriot berpikiran kalau asam lambung Tuan Heriot kambuh, jadi ia hanya memberinya obat yang biasa diberikan dokter pribadinya.” Anne pun sedikit sangsi dengan virus ini. Dari beberapa yang ia tangani, mereka menunjukkan gejala yang berbeda beda tiap individunya. Ada yang demam ada yang tidak. Ada yang mual muntah ada yang terlibat segar-segar saja. Bahkan ada yang sampai kesulitan bernapas sampai harus menggunakan tabung oksigen dan alat bantu pernapasan. Anne belum menemukan kejelasan, sampai detik ini. Dokter Lusy mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar penjelasan Anne. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jas nya yang ternyata adalah sebuah flashdisk. “Apa ini, Dokter?” Anne bertanya pada Dokter Lusy, ia tidak tahu apa yang ada di dalam flashdisk tersebut. Namun, bukannya menjawab pertanyaan dari Anne, Dokter Lusi malah balik mengajukan pertanyaan padanya. “Kau tidak sedang buru-buru untuk pulang, kan?” Dokter Lusy malah menjawab pertanyaan Anne dengan pertanyaan. Perempuan yang rambutnya di ikat itu akhirnya mengangguk. Ia memang sedang mencari tahu sesuatu dan tidak masalah jika ia pulang sedikit terlambat. Lagi pula, besok ia dapat jatah hari libur. Anne merasa ada yang salah sejak virus itu masuk ke dalam tubuh July, entah bagaimana caranya. Ia harus menemukan jawaban dengan segera sebelum semuanya menjadi semakin parah. “Aku rasa kau sedang mencari tahu tentang hal itu,” ujar Dokter Lusy dengan mata yang melirik ke arah flashdisk yang kini ada di tangan Anne. “File ini....” ucap Anne terjeda. Dengan maksud agar Dokter Lusy dapat memberi tahu apa yang ada di dalamnya. “Kasus-kasus dari pasien yang aku tangani.” Dengan cepat, Anne memasang flashdisk tersebut ke dalam komputer yang ada di hadapannya. Muncul layar screening yang memakan beberapa menit, kemudian layar screening itu terhenti dan menunjukkan isi file yang ada di dalam flashdisk tersebut. “Kau ingat pasienku tempo hari? Michelle Labison. Remaja lima belas tahun yang datang saat para dokter jaga sedang makan siang.” Anne menganggukkan kepala. Ia tahu pasien yang dimaksud oleh Dokter Lusy. Beberapa waktu lalu, anak remaja itu datang dengan keluarganya setelah kakek mereka terjangkit virus serupa. Mereka semua, yang berada di dalam rumah tersebut melakukan test. Dengan inisiatif mereka sendiri. Hanya Michelle lah yang positif terjangkit dari empat orang yang tinggal di rumah tersebut, setelah Kakek dari Michelle itu dinyatakan meninggal dunia. Dan medis baru mengetahui kalau kakeknya yang telah meninggal itu ternyata menjadi salah satu vasien yang terjangkit juga. Awalnya, diagnosis dokter mengatakan bahwa Kakek dari Michelle ini tutup usia karena gagal jantung. Rupanya, virus itu ikut andil dalam pencabutan nyawa Mr. Labison, Kakeknya Michelle itu. “Dia terlihat baik-baik saja. Tidak ada gejala sama sekali. Siapa yang menyangka kalau dia ternyata positif terjangkit virus?” ujar Dokter Lusy. “Penderita tak bergejala?” Anne memicingkan mata. Ini bahkan lebih aneh dari July. Setidaknya laki-laki itu mengalami demam sebelum dinyatakan positif terjangkit, tapi remaja perempuan ini tidak demikian. Ia bahkan tidak merasakan ada yang salah dengan tubuhnya. “Carrier. Dia bisa membawa virus dan menularkan pada orang lain,” Begitulah penjelasan singkat Dokter Lusy pada Anne saat itu. Anne mengklik sebuah folder dengan tulisan Michelle Labison. Di sana, terlihat kapan remaja perempuan itu mendapatkan hasil positif terjangkit, gejala yang nampak, dan tanggal ia terbebas dari virus tersebut. “Pada tanggal 24 Agustus, ia dinyatakan telah negatif terjangkit?” Anne membaca laporan terakhir Michelle Labison dari data yang ia dapatkan baru saja. Remaja perempuan itu dinyatakan sembuh setelah melakukan isolasi mandiri dengan penyekatan di rumah dan pembatasan untuk tidak melakukan interaksi dengan siapa pun selama empat belas hari. “Benar. Sekarang ia sudah kembali pada keluarganya,” Dokter Lusy menegaskan. Setidaknya, Michelle merupakan seorang contoh positif dari beberapa pengidap penyakit tersebut. Ia adalah salah satu oasien yang berhasil sembuh melawan virus yang ada di dalam tubuhnya. “Apakah ada penawarnya?” Anne yang penasaran dengan caranya Michelle kembali dinyatakan sembuh total bertanya pada Dokter Lusy yang memang saat itu lah yang memutuskan bahwa Michelle sudah bersih dari virus. “Seperti yang kau ketahui, Anne. Ketika ia terjangkit pun, ia tidak merasa sakit. Jawabannya hanya satu, imun. Imun yang dimiliki anak itu bagus.” Anne memainkan pulpen yang sejak tadi ada dalam genggamannya. Ia tak habis pikir. Dalam beberapa kasus yang ia temui, mereka berakhir di sebuah kata kematian. Dari seratus persen, mungkin hanya sekitar tiga puluh persen saja yang dinyatakan selamat dan sembuh. “Lalu bagaimana dengan yang ini?” Anne membuka file lain yang ada di dalam laptopnya. Dokter Lusy membenarkan kacamatanya. Ia memicingkan mata dan melihat tulisan yang merupakan nama dari salah satu pasien yang tidak selamat. “Perth?” tanyanya memastikan. “Pemuda yang meninggal dunia beberapa hari lalu. Juga tanpa gejala. Bukankah begitu? Terakhir kali ini ramai dibicarakan.” Memang betul. Beberapa waktu yang lalu, seorang pemuda meninggal dunia setelah ia dinyatakan terjangkit virus. Ia bahkan dikebumikan dengan protokol kesehatan yang berlaku, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit Furleton. Katanya, ia meninggal dengan virus yang menjangkit tubuhnya. Maka Anne semakin tidak mengerti, apa yang menurutnya tidak berbahaya belum tentu tidak seberbahaya itu. Anne memang bukan yang menangani pemuda tersebut. Tapi, kasus ini cukup terkenal di kalangan Nakes dan mereka membicarakannya saat mereka jaga. Jadilah Anne mengetahui hal tersebut. Kebetulan juga, bukan Dokter Eric yang menangani pemuda tersebut. “Ia memang terjangkit virus, Anne. Tapi, coba kau lihat ini.” Tangan Dokter Lusy menggapai mouse. Ia memindahkan kursor, membuka satu folder dengan tulisan “Perth Jacques Marteen”. “Baca dengan teliti. Perth meninggal karena penyakit jantung yang ia miliki sejak kecil. Ia melakukan transplantasi, dinyatakan sembuh dan kecil kemungkinan untuk kambuh. Namun, hari itu Tuhan berkata lain tentang penyakitnya.” Anne mengangguk-anggukkan kepala. Akhirnya ada seseorang yang meluruskan hal ini. Rumor tentang kematian Perth yang katanya disebabkan oleh virus itu memang sudah meluas di seisi rumah sakit. “Ada lagi kasus yang berbeda. Veronica Sycamore,” ujar Anne. Ia mengklik sebuah file dengan tulisan Veronica Sycamore pada layar komputer dan mulai mengeja rekam medis perempuan itu. “Gejala awal demam, muntah, anoreksia, hilang indra perasa, dan ruam.” Anne membaca satu persatu data yang ada di sana tanpa ada yang terlewat sedikit pun. “Itu setelah sebulan dari kasus pertama diketemukan,” katanya lagi. “Dan beberapa waktu kemudian, dinyatakan meninggal dunia, bukankah begitu?” Dokter Lusy balik bertanya. Anne mengangguk. “Setelah berada di dalam ruang isolasi selama tiga hari.” “Dan kau tidak tahu kalau dia adalah seorang penderita asma?” Anne menggelengkan kepala. “Jadi, ia meninggal karena itu” Anne bertanya. “Karena di tubuhnya sudah ada penyakit bawaan. Virus itu akan lebih mudah menghabisi semuanya dan merusak orang-orang penting penderita,” jelas Dokter Lusy, seolah tidak puas, Anne kembali membuka sebuah folder dengan tulisan ‘Terinfeksi'. “Bagaimana dengan yang ini, Dok? Ini salah satu pasien kritis, kan?” Anne menunjuk sebuah folder di sidik kanan bawah. “Ellen Generes”. Kemudian ia mengklik folder tersebut. “Pasien di kamar ICU?” tanya perempuan berkacamata itu. Anne menangangguk begitu Dokter Lusy bertanya. Ellen Generes, pasien yang sedikit sulit didatangi. Ia berada di ruang terpisah. Masih tidak sadarkan diri. Ia hanya membuka mata sesekali, setelah itu kembali seperti seorang mayat hidup yang ditopang mesin agar jantungnya tetap berfungsi. “Virus menghantam tubuhnya dengan cepat karena imunnya lemah. Usianya yang terbilang tua juga menjadi salah satu faktor.” Anne terdiam mendengar penjelasan dari Dokter Lusy. “Apakah semua yang terjangkit akan baik baik saja?” Dari mata Anne, terlihat kecemasan yang mendalam. Ia memang sedang mengkhawatirkan July, apalagi tingkah lelaki itu semakin hari semakin tak tertebak. “Sepertinya tergantung pada dirinya sendiri. Angka kesembuhan memang cukup tinggi, tapi fifty fifty. Angka kematian juga tidak sedikit. Kau juga menjadi salah satu saksinya kan?” Anne menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang memang sejak dulu sering ia lakukan ketika sedang merasa tertekan. Perempuan itu masih memikirkan nasib July, akankah lelaki itu berakhir seperti Michelle atau malah seperti Perth yang malang. “Yang terbaru, gejalanya lebih kompleks. Virus itu akan masuk ke tubuh dan menyebar dua kali lebih cepat dibanding virus yang pertama kita temukan. Bisa dibilang, yang ini berevolusi. Menjadi lebih ganas tentunya.” Anne melirik ke arah Dokter Lusy yang baru saja mengatakan hal tersebut. “Belum lama ini, ada varian baru yang telah kami temukan, Anne.” Anne memang belum mendengar hal yang satu ini. Ia juga belum menangani pasien dengan virus varian baru. Menurutnya, virus pagian pertama saja sudah cukup membuatnya frustrasi, dan sekarang? Bahkan ada varian baru. “Bagaimana dengan gejalanya?” Sekali lagi Dokter Lusy meneguk Americano dingin yang ada dalam genggaman tangannya, kini Americano itu terlihat tinggal sisa sedikit saja. “Lebih banyak dibanding sebelumnya. Mereka yang terjangkit memiliki ruam di tubuh, bahkan ada yang sampai memar-memar membiru.” “Bagaimana dengan otak mereka?” “Maksudmu, Anne?” “Apakah mereka masih terlihat normal?” “Kau bercanda? Aku tidak mengerti apa yang kau tanyakan.” “Apakah ada gejala di mana penderita menjadi berhalusinasi tinggi, Dok?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD