Survive

1382 Words
Lelaki itu berdiri di depan tembok besar yang sudah tak asing lagi baginya. Ia seperti sudah hafal dengan tempat ini setelah beberapa kali terjebak dalam situasi yang hampir membuatnya mati. Baginya, ini adalah sebuah tantangan di tengah kebosanannya berdiam mengurung diri di dalam kamar tanpa bisa pergi ke mana pun. Sudah lewat dari satu pekan, akhirnya ia bisa menemukan hal yang membuatnya merasa lebih bersemangat. Meskipun kadang di kepalanya masih terbesit pertanyaan apakah yang sedang ia lakukan sekarang ini benar-benar terjadi atau hanya sekedar ilusi dari kepalanya yang mungkin sudah termakan oleh virus yang entah bagaimana caranya bisa masuk ke dalam tubuh lelaki itu. Ia tidak lagi peduli kalau mungkin ini adalah efek dari virus yang menjangkit tubuhnya, yang ia tahu, setidaknya ada yang masih bisa ia lakukan sekarang ini. Dibanding harus mati bosan di dalam kamarnya saja. Terakhir kali, ia menembaki para makhluk pemakan otak dengan sebuah pistol yang mengeluarkan sinar, yang seketika membuat mereka terbakar lalu hangus menjadi abu. Menurutnya, itu adalah sesuatu yang menegangkan sekaligus memberi sensasi yang tak terlupakan. Untuk pertama kalinya, July bisa merasakan pistol di genggaman tangannya. Ia bahkan melakukan tembak menembak dan bersembunyi di balik tong penampungan air, layaknya dalam adegan film-film action. Semua yang ia alami di dimensi ini belum tentu bisa ia lakukan di dalam dunia nyata. Jangankan untuk mengacungkan pistol, memegang pecahan kaca saja sudah membuat Anne salah paham karena berpikir bahwa July mungkin akan mengakhiri hidupnya. Setelah kembali dan mengantongi puluhan juta di dalam saku dan membuat lelaki itu merasa tenang untuk beberapa waktu ke depan yang tidak akan terkendala finansial, July yang merebahkan diri di atas kasur itu kembali terlelap dan akhirnya masuk ke dalam dunia permainan itu lagi. Ke dimensi yang beberapa waktu lalu, untuk datang ke sana saja ia membutuhkan banyak sekali percobaan dan gagal. Ia bangun di dalam ruangan yang sama. Masih di Zen Garden dengan tanaman yang sudah semakin besar begitu Ia tiba. Sudah pasti, yang ia lakukan adalah memberi mereka air dari dalam teko penyiram sampai gelembung di atas pot pot itu hilang dengan sendirinya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk melihat apa ada yang baru yang dapat Ia temukan di dimensi ini. Maka, segera setelah para tanaman di dalam Zen Garden itu merasa puas, July berlari keluar. Mencari tembok raksasaa yang akan menyuguhkan tiga tombol pilihan permainan seperti yang sudah-sudah. Tidak sulit menemukan tembok besar nan tinggi di dalam dimensi ini. Karena ukurannya yang memang begitu besar ditambah Ia terletak di tengah perbukitan berumput pendek berwarna hijau membuatnya menjadi satu-atunya yang menarik perhatian. July berlari menghampiri tembok tersebut dan berdiri mematung sambil memandangi tiap-tiap tulisan yang terpahat di tembok raksasa itu. Setelah banyak berfikir, lelaki itu sudah tahu apa yang akan ia pilih sekarang. Lelaki itu sudah menyelesaikan semua macam permainan di tombol ke tiga dan yang pasti, tombol itu sudah tidak dapat ia tekan lagi karena sekarang tombol itu tidak menonjol. Yang tersisa hanyalah dia tombol di atasnya. Kini, tombol yang paling bawah itu tidak lagi berfungsi. Hanya seperti batu biasa yang menjadi sebuah hiasan saja. Amat berbeda dengan dua tombol di atasnya, yakni petualangan dan bertahan hidup. “Aku sudah menyelesaikan semua permainan kecil. Kurasa, aku butuh sesuatu yang lebih menantang sekarang,” celetuknya saat itu, sesaat sebelum tangannya benar-benar menggapai tombol yang ada di hadapannya sekarang. July akhirnya menjulurkan tangan. Ia meraih tombol ke dua, yang bertuliskan bertahan hidup. Tombol yang sejajar dengan kepalanya. Ia berpikir kalau itu akan sama saja dengan apa yang sudah ia lalui beberapa waktu lalu, ketika ia memilih tombol permainan yang paling bawah. Seketika, tanah yang ia pijaki bergetar. Tembok raksasa itu kembali tenggelam setelah tanah di hadapan July itu terbelah. Dari dalam tanah yang menelan tembok tersebut, muncul cahaya yang sama dengan sebelumnya, ketika July membuka pintu pintu berwarna putih dengan tulisan yang berbeda di setiap pintunya. Refleks, dengan sinar yang begitu menyilaukan mata, akhirnya July mengerjapkan matanya beberapa kali sampai sinar itu meredup dan seketika hening menguasai sekeliling July. Lelaki itu kembali membuka mata. Ia melihat ke sekeliling. Kali ini semua terlihat tidak wajar. Ia tidak lagi menemukan pintu-pimtu yang bisa Ia masuki seperti sebelumnya. July bahkan merasa kalau tidak ada yang terjadi setelah ia menekan tombol bertahan hidup yang ada di tembok tersebut. Ia berada di dalam kamarnya, tapi nampaknya ia juga berada di dalam dapur. Kamarnya itu berubah menjadi sebuah ruangan dengan pintu yang mengkoneksikan kamar tersebut dengan halaman di belakang rumah, yang seharusnya ruangan berpintu itu adalah dapur. Juga, di dalam kamarnya itu, tidak ada lagi kasur, tempat ia merebahkan diri. Hanya ada sebuah meja di tengah ruangan, sebuah akuarium yang besarnya menutupi hampir seluruh sisi di bagian kanan, dan jendela-jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang. Dua pintu masih terletak di tempat yang sama. Pintu menuju ruang keluarga yang kemarin Anne gedor dengan keras, dan satu lagi pintu di sebelah kiri untuk menuju ke kamar mandi. Tidak ada yang terjadi selain perubahan besar di dalam kamarnya. Satu lagi, ada sebuah celah kecil, seperti pintu yang pendek, di sebuah tembok yang ada di kamar itu, letaknya tak jauh dari pintu yang mengkoneksikan kamar ke ruang keluarga. Mungkin, ini menjadi sesuatu yang baru bagi July. Sementara itu, July terlihat sedikit bingung. Ia tidak mengerti kenapa bukannya ia berada di halaman belakang, melainkan malah di dalam kamar yang dekorasinya terlihat berubah. Ia bahkan bertanya-tanya mengapa permainannya belum juga dimulai. “Apakah aku salah menekan tombol? Aku ingin bermain dan kembali menghasilkan uang. Tapi ini apa?” Ia bertanya-tanya. Kemudian, ia merasa ingin membasuh wajahnya dan menyegarkan diri. July berjalan menuju kamar mandi. Begitu ia membuka pintu, hal ajaib itu kembali terjadi. “Ini....” Ia tercengang. Pintu akses ke kamar mandi itu kini berubah menjadi akses menuju Zen Garden. Ia tidak menemukan toilet yang biasanya Ia gunakan. Pintu itu benar-benar mengantarkannya pada Zen Garden, tempat di mana ia menanam dan merawat tunas-tunas tumbuhan di dalam pot. Ia kemudian menghampiri tanaman tanamannya yang sudah siap untuk kembali di jual setelah satu kali lagi ia sirami dan mengeluarkan permata biru berukuran sebesar ibu jari. “Luar biasa.” Ia sumringah, lalu kembali membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya setelah mengantongi tiga buah permata biru yang ia dapatkan dari tanaman-tanaman itu. Begitu ia membuka pintu kamarnya, ia mendengar sesuatu yang terasa tidak asing. Ia mendengar ketukan di jendela dan di depan pintu yang mengarah ke halaman belakang yang masih terlihat sama dengan rumput tipis yang kehijauan. Ketukan di pintu terasa semakin keras meskipun temponya tidak cepat. Tidak seperti ketukan yang Anne buat tempo hari. Itu berjarak. Tuk... Hilang, tuk. Kembali lagi. July menemukan pistol yang kemarin ia gunakan untuk melawan para zombie pemakan otak dalam permainan portal combat. Segera, setelah ia berpikir kalau ia harus tetap berwaspada, ia mengambil pistol tersebut, yang terletak di atas meja. Ia mengintip dari lubang pintu. Seseorang yang ada di sana, yang berkali-kali mengetuk pintu belakang rumahnya itu terlihat tidak normal. Ada darah di wajahnya, dan juga pakaiannya. Memang, orang tersebut terlihat berbeda dengan makhluk pemakan otak yang beberapa waktu lalu ia bantai habis-habisan. Orang ini, yang berdiri di depan pintu terasa sama dengannya. Seperti manusia pada umumnya saja. Hanya, darah yang terlihat di wajah dan pakaiannya membuat July berpikir dua kali untuk membukakan pintu. Ia akhirnya mengintip melalui jendela yang ditutupi gorden. Betapa terkejutnya July, begitu ia menyibak gorden tersebut, seseorang sudah menantinya dengan senyuman yang terlihat aneh. Itu bahkan tidak seperti senyuman. Itu terlihat seperti seringaian. July kembali memperhatikannya dengan saksama. Mata dari orang tersebut berwarna abu-abu pucat. Tidak terlihat warna hitam seperti manusia normal. “Aku tidak mengerti ini. Mengapa orang-orang itu terlihat tidak normal?” Awalnya July tidak berpikir kalau mereka adalah makhluk yang sama dengan apa yang ia temukan tempo hari, karena yang dimusnahkan oleh July beberapa waktu lalu berbentuk persis dengan yang ada di layar komputernya. Zombie berkepala botak, berkulit hijau. Terlihat tidak sejenis dengan July. Tapi, kali ini lain. Mereka seperti orang-orang yang terluka. Tidak terlihat seperti makhluk pemakan otak sebelumnya. Orang aneh yang di depan pintu itu kembali mengetuk. July yang berpikir kalau mereka juga terluka karena makhluk pemakan otak berwarna hijau itu akhirnya perlahan meraih knop pintu dan memutarnya. Sesaat setelah pintu itu terbuka, orang aneh yang berlumuran darah itu menggeliat dan mulai melakukan gelagat yang sama dengan makhluk pemakan otak sebelumnya. “Sialan! Rupanya kau sama saja dengan mereka!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD