July Bonaventura Ananias

1037 Words
July Bonaventura Ananias.   Pandemik sialan! Gara-gara penyakit yang mewabah ini, aku harus berakhir dengan tertidur dan terkurung di dalam kamar entah berapa hari lamanya. Aku bahkan kehilangan pekerjaan karena virus yang sampai sekarang belum memiliki penawar itu masuk ke dalam tubuh tanpa permisi. Gilanya, dua tahun sudah si virus yang tidak terlihat bentukannya itu menghancurkan segala sisi kehidupan, tidak hanya bagi seseorang tapi juga bagi dunia. Perekonomian tidak stabil. Panic buying terjadi di mana-mana. Dan, masker yang selalu kugunakan untuk menutupi ketampananku, yang tadinya hanya sekadar untuk gaya-gayaan, kini sudah menjadi barang wajib dan aku mulai kesulitan mendapatkannya. Dua hari lalu, aku menggigil. Demam tinggi. Entah karena sabtu lalu aku kehujanan saat pulang dari tempat kerja, atau karena aku lupa memakai mantel saat keluar malam. Cuaca akhir-akhir ini memang bisa dibilang gila. Panas sepanas-panasnya, kemudian hujan turun beserta angin yang kencang. Kalau mereka bilang, ini adalah musim pancaroba. Tapi bagiku, ini adalah awal bencana. Selepas dua hari aku mengistirahatkan tubuh, si Felton gendut itu menelepon dan tidak sabaran memintaku untuk kembali bekerja. Padahal, kepalaku masih terasa berat sekali. Tapi, apa yang bisa dilakukan buruh kecil yang bergantung hidup dengan ini? Akhirnya, dengan kepala berputar-putar dan dingin yang masih menguasai tubuh, aku yang sempoyongan tetap memenuhi panggilan lelaki sialan yang masih tetap menjadi bosku. Esok harinya, aku kembali tumbang. Belum sampai vonis bahwa virus yang menjadi perbincangan hangat bagi seluruh dunia itu masuk ke dalam tubuh. Kupikir karena suhu dingin semalaman membuat aku kembali jatuh sakit. Naasnya, gejala yang banyak mereka sebar di pesan-pesan broadcast mulai aku rasakan satu per satu. Dari mulai kepala yang seperti ditusuki jarum, sampai anosmia yang benar-benar mengganggu. Aku tidak bisa mencium wangi parfum Anne yang biasanya sangat tajam menusuk hidung. Aku juga tidak bisa merasakan masakan basi di sore hari. Semua yang masuk ke dalam mulut hanya memiliki satu rasa, pahit. Akhirnya, kuhempaskan tubuh ke kasur. Belum lama setelah kututup mata, handphone yang kuletakkan di atas meja berdering. Dengan malas, kuraih benda tersebut dan menemukan nama yang paling malas kulihat ada di layar. Si Felton lagi. Kututup telepon setelah mendengarnya berbicara. Sore nanti, aku harus ke klinik dan mengetes apakah benar virus yang menyebalkan itu benar-benar masuk ke dalam tubuh, seperti dugaanku. Setelah mendapat kabar buruk, bagai peribahasa yang sering sekali kudengar saat duduk di bangku sekolah, aku mendapatkan kesialan berlipat ganda. Sudah belum cukup stabil tubuh, aku merasa begitu lemas. Ditambah, hasil yang kudapat dari klinik pagi ini ternyata aku benar-benar terjangkit virus, dan lagi si Felton sialan itu memutus hubungan kerja denganku. Aku patah hati. Tidak. Sebenarnya dompetku yang lebih patah hati. Meskipun setidaknya aku masih bisa bertahan dengan gaji terakhir yang banyak ia potong karena ketidak hadiranku beberapa hari ini. Dua hari sudah, aku hanya mengurung diri di kamar. Anne akan menaruh nampan nasi di depan kamar dan mengetuk nya pelan, lalu bergegas pergi sebelum aku membuka pintu. Ia berkata padaku bahwa Anne tidak akan memaafkan sepupunya ini jika sampai ia terjangkit juga dan bernasib sama dengan apa yang aku alami kini. Sudah cukup aku yang kehilangan pekerjaan, jangan sampai kami berdua menjadi gelandangan dan mati karena kelaparan, bukan karena si virus sialan. Dua hari di dalam kamar membuatku senang. Sedikit. Di sisi lain, aku masih dapat melihat sesuatu yang baik. Setelah beberapa bulan ini kerja dengan penuh tekanan dan tenaga yang begitu diporsir, akhirnya aku bisa puas tertidur dah mengistirahatkan diri di kamar yang tidak terlalu luas  ini. Aku bisa memainkan ponsel dengan beberapa gaya, dari telentang sampai telungkup, dari satu sosial media ke sosial media lain, sampai bosan aku melihat tayangan-tayangan yang disuguhkan di sana dan akhirnya ponselku mati karena kehabisan daya. Setelahnya, aku kembali seperti orang bodoh yang menatap langit-langit kamar dan terkurung seperti seorang buron yang baru saja melakukan kesalahan fatal dan kejam. Padahal, jelas virus itulah yang bersalah tapi aku yang harus menerima hukumannya. Setelah membiarkan kepalaku kosong dan tak melakukan apapun, akhirnya beban demi beban menari-nari di kepalaku. Bagaimana kelak jika uangku sudah habis? Bagaimana jika aku tidak menemukan pekerjaan lagi? Bagaimana jika Anne bahkan tidak mau membantuku lagi? Lebih buruknya jika ia juga terjangkit sehingga tak satu pun dari kami bisa keluar hanya untuk mencari makan. Segala pertanyaan demi pertanyaan mulai menghantuiku seolah hantu yang terus meneror pembunuhnya. Ini jelas tidak benar. Aku tidak boleh hanya berdiam diri agar segala pertanyaan itu berhenti menggerogoti kepalaku yang sudah cukup berat. Belum lama ini aku dicampakan seorang wanita dan sekarang, haruskah aku bersedih karena dicampakan dunia? Pandanganku beralih pada benda yang tergeletak di atas meja. Benda yang terakhir kali kupegang hanya untuk menulis data atau memindahkan foto dan video dari ponselku yang terus berteriak kalau penyimpanannya sudah penuh. Demi membunuh bosan yang sejak tadi menertawakanku, akhirnya aku bangkit dan membuka laptop yang kubeli tiga tahun lalu itu. Cukup berdebu. Sebelumnya aku memang tidak begitu tertarik. Sampai akhirnya kupikir benda ini bisa menjadi pendamping kegabutanku selama ponsel sedang diisi daya. Aku menemukan sebuah permainan yang rupanya sudah terinstal sejak lama. Permainan yang sudah cukup lama booming dan mungkin sekarang sudah banyak versi terbarunya. Tetap, aku menyukai yang ini. Tidak, bukan menyukai. Aku hanya tidak ingin ambil pusing dengan menunggu dan menginstal versi yang lain. Akhirnya, ku klik icon Peashoter yang menjadi lambang permainan tersebut. Munculah gambar para zombie dengan kemeja yang mirip dengan milik Mr. Bean. Entah bagaimana mereka bisa memiliki setelan baju yang serupa, tapi mereka terlihat cocok-cocok saja dengan itu. Aku menggali ingatan-ingatan lama dan mulai membiarkan jari-jariku menyentuh touchpad di laptop. Menunggu loading dan mulai menekan tombol start dan memilih mode bermain. Awalnya, Jari-jariku kaku. Namun, semakin lama aku bermain, semakin aku lihai dan berpengalaman bahkan hanya untuk bermain game saja. Sampai matahari terbit lagi dari timur, aku masih terhanyut dalam peperangan, membunuh pasukan zombie-zombie lapar yang mengincar otak. Sesekali aku mengumpat begitu zombie yang menyebalkan itu memakan tanaman. Tapi, ini cukup efektif untuk membunuh bosan. Lalu, aku memutuskan untuk berlama-lama memainkannya. Stage demi stage, zombie demi zombie, semua mulai kujajaki. Sampai di suatu malam, aku tertidur dengan laptop yang masih terbuka. Entah kenapa, malam itu kantuk mulai menyerang mata, tidak seperti biasanya. Padahal sejak ayam jantan berkokok membangunkan semua orang, aku sudah cukup memejamkan mata sampai pukul tiga sore tadi. Begitu aku terbangun, kejanggalan mulai kutemui. ‘Tunggu, apa aku bermimpi?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD