Is it a Dream?

2956 Words
July yang terbangun di sebuah rumah kaca itu terlihat bingung. Bahakn berkali-kali ia memegang kepalanya yang masih terasa berat. Setelah beberapa waktu, ia mulai bisa berdiri dengan benar dan melihat sekeliling. Lelaki itu sepertinya mengenali tempat ini dengan baik. Apalagi, setelah beberapa kali ia mengedarkan pandang, sampai semua sisi tersapu oleh matanya. Semuanya nampak familiar dan tidak asing. Jelas, ini sama dengan apa yang ia ingat terakhir kali, sesaat sebelum ia pergi tidur di dalam laptopnya, hanya saja dalam tempat dan cara pandang yang berbeda. Bambu-bambu yang dirakit sedemikian rupa, yang menjadi tatanan dari empat buah pot bunga dari tanah liat yang masih berbentuk benih. Pot bunga yang juga dimiliki oleh July di dalam permainan yang sedang ia mainkan, baru saja. Tak lama setelahnya, gelembung berwarna putih mulai muncul di atas pot. July yang melihat itu jelas kaget. Percaya tak percaya dengan apa yang ia lihat, akhirnya lelaki itu mengucek mata berkali-kali. Namun, tidak ada yang berubah. Gelembung itu tetap ada di sana. “Oh s**t!” Ia bahkan sempat mengumpat setelah tidak ada yang berubah dari pandangannya walapun ia sudah menggosok-gosok mata berkali-kali. Ini benar-benar bukan hanya sebuah ilusi. Gelembung itu benar-benar ada di sana. Di atas pot dengan benih-benih yang ia tanam. “Apa aku terlalu menghayati game ku? Apa ini?” Ia terus bertanya-tanya tentang apa yang telah menimpa dirinya. Lelaki itu berpikir bahwa kegiatannya terakhir kali, yang hanya bermain game terus menerus sepanjang waktu, pada akhirnya membuat pikiran lelaki itu menjadi tercampuri dengan halusinasi dan bayang-bayang semu. Ia juga sempat berpikir, kalau jangan-jangan ini adalah dampak dari virus yang ia derita, yang sampai saat ini belum juga ditemukan obat penawarnya. Mungkin saja, kan, virus itu benar-benar menggerogoti isi kepalanya? Benar, bukan? Begitu pikiran itu melintas di benaknya, ia menggeleng-gelengkan kepala sambil berujar, “Tidak mungkin. Aku masih punya akal sehat! Virus itu tidak mungkin menggerayangi kepalaku!” Ia mondar-mandir. Terus meyakinkan dirinya kalau ia benar-benar sedang bermimpi. Sampai akhirnya dengan tiba-tiba langkahnua terhenti. “Apa aku sedang bermain game secara live?” kalimat tanya keluar dari mulutnya lagi, meskipun tidak ada seorang pun di sana yang dapat menjawab pertanyaan July. Ia terus saja mengoceh dengan dirinya sendiri. Sampai akhirnya, ia mencoba untuk menikmati apa yang terjadi di sana, sama seperti ia menikmati game di dalam laptopnya. “Bahkan jumlah bibitnya pun sama dengan yang kupunya. Well, sepertinya virus sialan ini benar-benar membuatku berhalusinasi. Atau aku sedang dalam dunia mimpi. Terserah lah. Memikirkan aku yang sekarang menjadi pengangguran saja sudah membuat kepala hampir mau pecah. Aku tidak ingin menambah-nambah pikiran lagi,” ujarnya saat itu, sebelum melihat sebuah gelembung tiba-tiba muncul di atas pot yang berisi benih, yang July pun masih belum tahu, bunga apa yang akan tumbuh di sana. Ia tak tahu, apakah tumbuhan-tumbuhan itu akan tumbuh dengan subur atau malah mati karena ia memang tidak berpengalaman untuk mengurus tanaman di dunia nyata. July melihat gambar tetesan air di dalam gelembung putih tersebut. Sama persis dengan yang ia lihat sebelumnya di dalam game yang ia mainkan, sesaat sebelum dirinya jatuh ke alam tak sadar. Sudah hapal dengan apa yang harus ia lakukan seperti yang ada di video game, akhirnya ia mengambil sebuah penyiram tanaman berwarna hijau yang terletak di sudut ruangan, di papan ketiga sebuah rak kayu. Sama persis dengan tata letak yang juga ada di dalam laptopnya. Ia menuangkan air yang ada di dalam teko siram pada benih-benih di dalam pot yang mengeluarkan gelembung tersebut. “Hahaha, sepertinya aku mulai menikmati kegilaan ini,” ujarnya kemudian, menertawakan diri sendiri yang kini terlihat seperti orang tak waras yang sedang berkelana di alam mimpinya. Rupanya, lumayan seru. Beberapa kali July menyirami pot pot itu, hingga akhirnya gelembung di atasnya menghilang dengan sendirinya. Kemudian berganti dengan sebuah gambar berbentuk kotak, yang terlihat seperti sebuah karung berwarna cokelat dengan gambar bunga di tengah tengahnya. Lagi-lagi, July tahu apa yang dimaksud dalam gelembung itu, melalui video game yang masih ia ingat betul. Setelahnya, lelaki itu berlari ke pojok ruangan lagi, membuka lemari kayu yang tertutup, dan menemukan karung pupuk yang tidak terlalu besar. Ia ingat, terakhir kali, ia masih mempunyai karung pupuk itu sebanyak lima karung. Ia menuangkan pupuk-pupuk itu ke dalam pot dan secara ajaib, tanaman yang tadinya bahkan tidak terlihat tunas sekalipun, kini mulai muncul di sana. Tidak seperti di dalam dunia nyata yang tumbuh sedikit-sedikit, dari benih menjadi tunas, lalu mulai tumbuh setiap harinya hingga menjadi tinggi dan besar, tanaman-tanaman ini langsung tumbuh besar secara ajaib dan mengeluarkan dua koin emas ketika tumbuhan itu menjadi besar. July memasukan koin-koin emas ke dalam saku celana pendeknya, tanpa pikir panjang. Seusai itu, July memutuskan untuk keluar dari rumah kaca yang kalau Ia tak salah ingat bernama Zen Garden. Sebuah kebun rumah kaca yang memang disiapkan untuk para pemain di dalam video game untuk melakukan cocok tanam dan mendapatkan uang. July melangkahkan kakinya keluar dari tempat tersebut. Ia ingin tahu, apalagi yang akan terjadi padanya di dalam dunia yang ia anggap sebagai mimpi ini, karena ia hanya ingat ketika ia bermain game di depan laptopnya dan tiba-tiba masuk ke dalam dunia khayalan tempat di mana ia berdiri sekarang. Begitu kakinya melangkah ke luar rumah kaca tempatnya terbangun tadi, ia disuguhkan dengan lapangan luas yang berumput pendek. Persis seperti apa yang ia lihat beberapa waktu yang lalu di dalam permainan yang ia mainkan demi membunuh rasa jenuh selama masa karantina. Lelaki itu kemudian berjalan, membiarkan kakinya menginjak padang rumput yang terlihat seperti perbukitan dan menemukan sebuah tembok besar yang berdiri kokoh, dengan tiga tombol yang juga terbuat dari batu. Sekali lagi, ini terlihat begitu familiar baginya. Sangat-sangat tidak asing lagi. Ada tiga buah tombol dengan tulisan yang berbeda beda di setiap tombolnya. Terletak berjajar vertikal, dan cukup tinggi. Sebenarnya, tombol-tombol itu lebih terlihat seperti permukaan batu yang menonjol, tapi begitu rapi. Jika diperhatikan, tembok ini terlihat seperti sebuah bangunan masa kuno dengan prasasti yang biasanya ada di tembok-tembok. Bedanya, ini menjorok keluar. Tulisan yang ada di atasnya pun terlihat seperti pahatan. Tulisan pada permukaan yang menonjol paling atas bertuliskan ‘Adventure' yang artinya petualangan, permukaan menonjol yang kedua bertuliskan ‘Survive' yang artinya bertahan hidup, dan yang terakhir, permukaan menonjol paling bawah bertuliskan ‘Mini Games' yang artinya permainan permainan kecil. Cukup lama July berdiri mematung sambil memandangi tembok raksasa yang bukan dari China tersebut. Ia berpikir kalau game yang ia mainkan benar-benar menyihir kepalanya, sehingga menguasai alam bawah sadar. Karena bahkan, apapun yang ada di dalam video game itu, kini terlihat di depan matanya secara langsung. “Mimpi macam apa ini?” Lelaki itu bergumam. Sampai saat ini pun ia masih meyakini kalau ia memang sedang tersesat di alam bawah sadarnya yang terpengaruh oleh permainan yang akhir-akhir ini ia mainkan. “Apakah ini semacam bermain game versi live?” Sudah dua kali kalimat yang sama keluar dari bibir July setelah sebelumnya ia mengatakan hal yang sama ketika ia keluar dari Zen Garden. Meskipun tahu ia hanya seorang diri, July terus saja mengeluarkan pertanyaan yang jelas tidak akan ada yang menjawabnya. Setelah beberapa waktu berdiri dan hanya menatapi tembok besar itu, akhirnya July memutuskan untuk menyentuh permukaan menonjol yang paling bawah, dengan tulisan ‘Mini Games' atau permainan. Lelaki itu membe nak dalam kepalanya, “Selagi aku bermimpi, kenapa tidak kunikmati saja sekalian? Siapa tahu aku bisa bersenang-senang?” Sesaat setelah tangan July berhasil menekan tombol paling bawah tersebut, seketika tembok itu bergerak. Seakan tenggelam ke dalam tanah perlahan-lahan. July yang melihat hal itu terkejut hingga ia spontan menarik tubuhnya ke belakang, ia takut kalau padang rumput yang terbelah itu juga akan memakan tubuhnya. Sampai akhirnya tembok raksasa itu benar-benar tidak terlihat lagi, July akhirnya melihat hal lain tak jauh dari balik tembok yang sempat menghalanginya tadi. Ada empat buah pintu berwarna putih dengan tulisan yang berbeda-beda di atasnya. Pintu pertama bertuliskan ‘Wallnut Bowling’, pintu kedua bertuliskan ‘Slot Machine', pintu ketiga bertuliskan ‘Portal Combat', dan pada pintu terakhir terdapat tulisan ‘Whack a Zombie'. Lagi-lagi, nama nama yang tidak asing dalam ingatan July mulai bermunculan. “Kurasa aku tahu ini,” gumamnya lagi. July ingat dengan Wallnut Bowling. Ini adalah jenis permainan dimana ia bisa memakai kacang kenari untuk melindas zombie pada video game yang ia mainkan. Ia berpikir bahwa permainan ini cukup mudah. Ia hanya perlu menindas para zombie pemakan otak itu dengan kacang kenari layaknya mereka adalah pin bowling. Maka, saat itu ia melangkahkan kakinya menuju pintu dengan tulisan Wallnut Bowling tersebut. Dengan harapan, ia menemukan kesenangan dari segala penat dan kejenuhan yang ia rasakan beberapa waktu ke belakang. Cahaya yang menyilaukan mata menjadi satu-satunya pemandangan yang terlihat begitu tangan July memutar knop pintu putih dan mendorongnya agar terbuka. Setelah beberapa saat, cahaya yang menyilaukan itu hilang perlahan dan July bisa membuka matanya kembalinya. Rupanya, pintu itu mengantarkan July ke halaman belakang rumah. Benar-benar halaman belakang rumahnya yang merupakan lahan kosong dengan sedikit rerumputan dan pagar kayu di sisian kiri dan kanan, dengan sebuah ban bekas di sudut paling kiri dekat jalan. Ada satu yang berbeda dengan apa yang ia miliki saat itu. July tidak melihat pagar pembatas belakang yang membatasi halaman belakang rumahnya dengan jalan yang biasa dilalui oleh orang-orang kompleks yang juga merupakan penghuni di sana. Entah bagaimana, pagar itu tidak lagi pada tempatnya, bahkan hilang tanpa tahu siapa yang telah membawanya pergi. July mengedarkan pandangannya lagi, ke kiri dan ke kanan. Mencari tahu apa yang akan terjadi setelah Ia akhirnya memilih untuk masuk ke dalam pintu yang ia pun sebenarnya sangsi, pintu apakah itu. Ia melihat di sini kanan dan kiri, ada banyak kacang kenari berukuran raksasa yang ada di dalam sebuah pagar dari kayu yang terkunci. Ia tercengang, semuanya nampak begitu nyata. Benar-benar nyata. Meskipun sampai detik ini, July masih mempercayai kalau apa yang sedang terjadi pada dirinya ini adalah hanya sebatas mimpi. July tetap terkagum-kagum. Pertama kali seumur hidup, ia melihat kacang kenari dengan ukuran yang bahkan lebih besar dia puluh kali lipat dibanding kacang kenari yang biasa ia makan. “Aku rupanya benar-benar terjebak dalam video game!” ujarnya setelah melihat kumpulan kacang kenari raksasa itu sama persis dengan apa yang ia temukan di dalam video game nya kemarin. Lelaki itu kemudian mendekati kumpulan kacang kenari raksasa yang terpagari oleh kayu-kayu mahoni berwarna cokelat tua. Terkunci. Pintu pagarnya tidak bisa ia buka sama sekali. Ia mencoba untuk menarik selot pengunci, tapi nihil. Selotnya benar-benar bekerja dengan baik. Ia tidak bisa melakukan apapun dengan selotnya. Kemudian, ia berlari ke sisi lain. Mengecek dan menghampiri pintu pagar dari kayu tersebut yang menghalangi kacang-kacang kenari raksasa itu, sama. Ia tidak bisa membuka pintu pagarnya. Semua pagar yang membatasi kacang kenari tersebut, dikunci. Sampai tiba-tiba, ia mendengar suara yang mencurigakan jauh dari jalan. Kegiatan lelaki itu seketika terjeda. Ia terdiam mematung, seolah mendapat kutukan dari tokoh Disney yang bisa mengendalikan kekuatan Es dari tangannya. Membeku. Dari ujung pagar halaman belakang rumahnya itu, ia melihat sesuatu bergerak-gerak. Suara yang mencurigakan itu pun terdengar kembali, bahkan lebih jelas sekarang. Lelaki itu bahkan baru sadar, kalau pagar pembatas halaman belakang rumahnya itu lenyap entah ke mana. Hanya menyisakan bagian sisi kanan dan kiri saja, sehingga ia bisa melihat jalan raya di belakang rumahnya. “Jangan bilang kalau-“ Belum habis kata-kata keluar dari bibirnya itu, matanya terbelalak. Benar-benar terkejut. Padahal sebelumnya, ia memang sudah menduga-duga dan sekarang ini dugaannya benar. Bahkan lebih mengerikan dari apa yang ada di dalam kepalanya. Dari ujung jalan sana, entah bagaimana awalnya makhluk itu bisa sampai ke halaman belakang rumah, sesosok mahkluk dengan jalan yang gontai mulai menghampiri July yang mematung tak jauh dari pintu. Sekali lagi. Penampakannya terlihat familiar bagi July. Makhluk itu mengenakan setelan jas berwarna cokelat tua, setelan yang persis dengan yang digunakan oleh Mr. Bean dalam serial-serialnya yang diminati banyak orang, termasuk July. Setelan yang digunakan oleh makhluk itu sudah sobek di beberapa bagian. Sebelah kakinya terbalik, berputar seratus delapan puluh derajat yang membuatnya terlihat begitu mengerikan. Tulang bahu sebelah kanan makhluk itu terlihat bergeser, tidak pada tempatnya. Ia jalan dengan gontai, terpatah-patah. Seakan kesulitan untuk berjalan dengan kondisi kakinya yang demikian. Dari mulutnya, darah mulai menetes perlahan. Sepertinya, sebelum ke tempat July, makhluk itu sudah memakan otak orang lain. Mungkin saja, bukan? Seketika July kelabakan, terlebih ketika makhluk itu berhasil menginjak halaman belakang rumah July yang ditumbuhi rumput rumput pendek. Dengan cepat lelaki itu berlari ke arah pintu dan membuka knopnya dengan tangan yang gemetar. Ia tidak siap untuk ini. Dadanya berdegup kencang. Tidak ada hal yang ia pikirkan selain lari sejauh mungkin. Namun, sayang seribu sayang, pintu itu benar-benar terkunci. Ia bahkan tidak bisa masuk ke dalam rumahnya sendiri. “Sialan!” ia mengumpat sambil terus memutar-mutar knop pintunya dengan keras dan sekuat tenaga. Ia bahkan mencoba untuk mendobraknya berkali-kali. Tapi, tidak ada perubahan yang berati. Pintu itu seolah berubah menjadi sebuah pintu besi yang kuat sekali. “Anne! Anne! Buka pintunya!” Berkali-kali ia meneriaki nama sepupunya itu, tapi nihil, tidak terdengar tanda-tanda kalau Anne, sepupunya itu ada di rumah. Begitu pun dengan usahanya untuk mendobrak pintu. Yang ia dapatkan hanyalah rasa sakit dan bahunya yang mulai memerah. “Kenapa di saat genting seperti ini kau tidak bisa diandalkan, Anne!” July mengumpat lagi. Kemudian, ia meraba-raba tubuhnya. Ia ingat kalau ia bisa saja mencari pertolongan dengan ponsel. Akhirnya July menggerayangi satu per satu saku di pakaian yang ia gunakan, lagi-lagi lelaki itu malah menemui jalan buntu. Ia ingat terakhir kali, ia meletakkan ponselnya yang sedang ia charge di atas meja dekat jendela. Ketika makhluk-makhluk itu semakin mendekat ke arah July, tiba-tiba terdengar sesuatu. Seperti suara sengkelot pintu yang terbuka. Benar saja, pintu pagar dari kayu yang menghalangi kacang-kacang kenari raksasa itu terbuka dengan lebar, padahal sebelumnya selot kunci dari kedua pintu pagar itu jelas-jelas sangat keras dan tak bisa July buka sebelumnya. Tanpa pikir panjang, lelaki itu kemudian berlari ke salah satu sisinya. Ia menarik kacang kenari raksasa itu dari dalam pagar kayu dan mulai menggelindingkannya ke arah makhluk haus leher ah tidak, otak manusia itu. Anehnya, meskipun kacang-kacang kenari itu berukuran teramat besar, bahkan besarnya lebih besar dibandingkan badan July, ia tidak merasa berat sama sekali. Kacang-kacang itu terasa ringan. Seolah ia sedang memegang bola yang berisi udara. Apalagi saat ia mencoba mendorongnya dan menggelindingkannya ke arah makhluk tersebut. Benar-benar tidak seberat yang July pikirkan begitu melihat ukurannya yang luar biasa besar. July mulai merasa lega. Rupanya kacang kenari itu berhasil membuat makhluk aneh yang masuk ke halaman belakang rumahnya mati terjepit. Setelahnya, makhluk yang ia yakini sebagai Zombie itu terlihat berasap dan lenyap berubah menjadi abu. “Fuh!” July memegang lututnya. Berhasil melalui saat saat tegang yang membuat dadanya bergemuruh. Namun ternyata tidak hanya sampai di situ. Begitu July mulai menyandarkan tubuhnya di sisian pagar pembatas kacang kenari, makhluk-makhluk serupa mulai berdatangan. Tidak hanya satu. Kini terlihat ada tiga. Berjalan dari arah jalan aspal di belakang rumah July menuju ke pintu dapur yang tak jauh dari tempat July berdiri. “Damn it!” Dengan cepat, ia berlari ke dalam pagar kacang kenari dan mendorong kacang kenari lagi. Memposisikan kacang kenari raksasa itu agar selurusan dengan Zombie-zombie yang memang tidak terlihat seperti manusia walaupun berpakaian seperti manusia. Zombie-zombie itu memiliki kulit cokelat kehijauhan, peris seperti apa yang ada di dalam video game. Lelaki itu kembali mengambil kacang kenari raksasa dan mulai menggelindingkannya ke arah mereka yang masih berjalan gontai mendekati July. July mulai merasa kalau ia dapat mengatasi hal ini. Rupanya, cara mainnya hampir sama dengan apa yang ia mainkan di video game. “Akan kulindas kau semua, Makhluk Sialan!” July bahkan berteriak di sela-sela waktunya mendorong kacang kenari. Dan itu memberikan sensasi yang membuatnya lebih bersemangat tiap kali Ia menggelindingkannya satu buah kacang kenari raksasa. Setelah berhasil membasmi tiga sosok zombie itu, ternyata semakin banyak pula yang berdatangan. Mereka terlihat berjajar, seolah akan menyerang July dengan cara keroyokan. d**a lelaki itu jelas saja berdegup kencang. Bahkan lebih gemuruh dibanding sebelumnya. Ia merasa panik. Tak main-main. Bagaimana jika kecepatannya mengalahkan makhluk-makhluk itu? Segera ia berlari, menghabiskan seluruh kacang kenari raksasa di sebelah kiri untuk menghabisi mereka semua. Sampai kacang kenari itu tidak lagi bersisa, ia berlari ke sisi lain di mana kacang kenari raksasa itu terlihat masihlah utuh. “Aku tidak menyangka kalau mimpi buruk ini membuatku begitu lelah! Kalian harus membayarku akan hal ini, b******n!” Masih saja ia meracau dengan tangan yang sibuk mendorong satu demi satu kacang kenari raksasa dan membuat mereka satu persatu mulai tumbang. Sampai di kacang kenari yang terakhir dan satu makhluk yang tersisa. July sengaja berhenti. Ia lelah. Mendorong begitu banyak kenari membuat tangannya pegal. Tapi, siapa sangka? Makhluk itu bergerak lebih cepat dari pada sebelumnya. Tidak lagi gontai seperti makhluk yang pertama kali datang menyerangnya. “Aaah, sialan! Tidak bisakah aku beristirahat sebentar?” umpat July yang memang sudah terlihat lelah, dahinya sudah dipenuhi keringat. Brain... Makhluk itu terus bergumam. Dengan suara yang terdengar berbeda dengan milik July maupun Anne, makhluk aneh itu berkali-kali mengucap kata yang sama, ‘Brain'. Yang berati otak. Ia menginginkan otak July. “Jadi kau ingin makan otak?” July tertawa. Ia merasa jengkel. Dan setelahnya Ia berteriak pada makhluk itu, “Rasakan ini, Makhluk Bodoh!” Terakhir, July mendorong kenari itu dengan sekuat tenaga dan memusnahkan zombie yang terakhir. Ia kemudian tertawa karena telah berhasil melewati hal ini dan membuat semua zombie itu musnah. July bahkan merebahkan tubuhnya yang lelah sambil menatap ke langit. Ia membiarkan wajahnya diterpa sinar matahari yang menyilaukan mata. Tapi, ada sesuatu yang lagi-lagi mengganggunya. Ia melihat sebuah permata biru, tepat mengapung di atas tempat ia berbaring. Masih dengan badan yang ia biarkan terkulai di atas rerumputan, ia mengulurkan tangan kanannya dan meraih permata biru yang ukurannya tidak begitu besar. Lebih kecil dari kepalan tangan July. Saat ia menyentuh permata biru tersebut, cahaya yang terang dan begitu menyilaukan menghujani mata July hingga ia tak sadar lagi apa yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD