Chapter 03. Allen McCarthy

1591 Words
“Your attention please, passengers of Air Arabaia on flight number 30153 to Casablanca Mohammed V Airport, Morroco, please boarding from door A5. Thank you,”             Pria tua berambut putih mengecek jam menunjukkan pukul 20.00. Tidak seperti biasanya pesawat mengalami delay dua jam lamanya. Dia mengejar pesawat karena ada kepentingan bisnis di Maroko. Terutama pertemuan dirinya dengan klien. “Kenapa baru sekarang pengumumannya?” keluhnya.             Tas yang dibawa olehnya berupa buku disertai kamera digital dan paspor. Dia simpan baik-baik supaya tidak terjatuh atau tertinggal. Meski berhati-hati, tidak masalah kalau barang kecil ditinggal di bandara. Botol minuman air misalnya. Memang dalam bandara, tidak diperbolehkan membawa botol minuman dikarenakan dapat membuat rakitan bom dengan menggunakan cairan. Oleh sebab itulah, petugas tiap bandara mengerahkan pengawasan yang ketat. Baik logam detector disertai x-ray. “Allen McCarthy!”             Suara tersebut dari laki-laki yang dia kenal. Yaitu Roger Devone. Partner kerjanya. Rambut blonde dengan kumis tipis dan nyaris tidak ada rambut di bagian janggut. Pakaian yang dikenakan sama persis dengan Allen. Yaitu kemeja blazer abu-abu dengan dasi warna merah. Sedangkan Allen warna biru. Ditambah lagi, Allen memiliki bullpen yang disimpan di saku kemejanya. “Jangan memanggil nama lengkapku. Aku kan sudah kubilang,” keluh Allen. “Maaf, maaf. Habisnya kalau tidak begitu, nanti kau tidak akan mendengarkanku,” ucap Roger.             Untuk terakhir Allen mengerti hal itu. Maklum, usianya sudah berkepala lima. Sedangkan Roger separuh umur lebih muda darinya. Terlihat lebih energik dibandingkan Allen. Dia mengingatkan akan masa-masa mudanya. Apalagi, fisiknya sudah tidak muda lagi. “Lalu … apa kau kesini hanya untuk mengincar gadis yang kau ajak tidur?” “Kenapa anda berkata demikian?” tiba-tiba intonasi Roger berubah menjadi formal.             Sepertinya Allen salah berucap. Roger memang dikenal sebagai sosok flamboyant di mata para wanita. Selain mudah menarik pikat wanita, dia selalu mengutamakan wanita di atas kepentingan diri sendiri. Hal itu membuat Allen pusing menghadapinya. Apalagi Roger akan meneruskan pekerjaannya sebagai mercenary contractor. Sebuah pekerjaan kontraktor bagi para prajurit yang minta disewa oleh beberapa eksekutif dan pejabat untuk melindungi dari ancaman bahaya. “Cuma bercanda, Roger. Lagipula, aku tahu persis sifatmu seperti itu. Jadi aku memakluminya asalkan kau bisa membedakan antara urusan pribadi dan bisnis,” nasehat Allen kepada Roger. “Baik, baik. Tanpa perlu kau kasih tahu pun aku sudah paham,” intonasi nada berubah kembali menjadi akrab,             Keduanya berjalan menuju pintu gerbang A5. Allen menunggu Roger yang katanya sarapan di café. Dia menolaknya karena sudah makan pemberian dari istrinya. “Oh ya … apa kau tahu tujuan kita di Maroko?” ekspresi Roger berubah menjadi serius. “Sepertinya Taipan asal Abu Dhabi menyewa jasa kita untuk melindungi pangeran,” “Serius? Memangnya pangeran tersebut umurnya berapa?” tanya Roger tidak bisa mengungkapkan keterkejutannya.             Allen mengecek smartphone miliknya. Dia menunjukkan inti percakapan disertai foto kepada Roger. Terlihat Pangeran sangat muda dan kurus. Berambut pendek dan mengenakan peci putih bermerek. Matanya menunjukkan kepribadian yang polos dan imut. Roger ingin sekali memeluk pangeran tersebut. “Umur 10 tahun. Dan jangan coba-coba memeluknya. Karena bisa-bisa kau dianggap pelecehan seksual di bawah umur,” ancam Allen bernada bercanda.             Roger tertawa masam mendengarnya. Dia tidak mungkin bertindak semacam itu. Apalagi di depan kliennya. Tapi bagi Allen, ini sudah kesekian kalinya menerima orderan untuk melindungi anak kecil. Terakhir kali dia menerima ketika Pengusaha asal Tiongkok, meminta kepadanya untuk melindungi anak kecil dari serangan teroris. Hasilnya sukses besar. Bukan itu saja, nama Allen terkenal dikarenakan pernah bekerja sama dengan kepolisian setempat. Meski demikian, dia tidak rela apabila reputasinya tercemar gara-gara skandal yang dilakukan oleh penerusnya. Oleh sebab itulah, Allen sangat selektif dalam mencari penerusnya. Hasilnya, Roger Devone adalah calon penerusnya. Tentu saja keduanya sama-sama kewarganegaraan Inggris walau memiliki banyak paspor palsu. Disimpan di tas. Allen sengaja tidak menyimpan senjata api di dalam koper. Malahan, ditaruh di boks terbuat dari gabus. Supaya tidak terdeteksi oleh X-ray. “Sudah waktunya,” ajak Allen tersenyum kepada Roger. “Ok,” jawabnya mengikuti Allen dari belakang.             Mereka menuju pintu gerbang pintu pesawat tertulis A5. Sesampainya di sana, disambut pramugari penuh senyuman lebar. Menampakkan giginya. Roger ingin sekali berbuat sesuatu terhadap wanita itu. Tapi Allen menepuk pundaknya disertai cengkraman. Menandakan untuk berhenti melakukan hal aneh-aneh. Roger menjulurkan lidahnya, langsung duduk sesuai seatnya. “Apakah anda duduk di first class?” tanya salah satu pramugari. “Betul. Nih tiket boarding pass milik kita,” kata Roger menunjukkan bukti kepada pramugari.             Benar saja, ada bukti valid di sana. Pramugari menundukkan kepala, langsung meminta maaf kepada Allen dan Roger. Setelah pramugari tersebut pergi, Allen dan Roger memasang sabuk pengaman. “Oi, tadi pramugari kenapa bertanya barusan?” “Kau tahu … akhir-akhir ini ada orang mengklaim penumpang adalah first class. Sebab itulah, mereka mengecek kevalidan tiket yang kita punya,” penjelasan Allen.             Roger pun mengangguk mengerti. Kemudian, pesawat siap untuk take off. “Ladies and gentlemen, welcome on board passengers of Air Arabaia flight number 30153 to Casablanca Mohammed V Airport, Morroco. We are currently second in line for take-off and are expected to take off in approximately five minutes time,” sebuah pengumuman berdendang lewat speaker.             Allen tidak memperhatikan apapun selain membaca di atas. Dia memilih istirahatnya sebelum mulai take off. Kendati demikian, Allen cukup memejamkan kedua mata saja. “Please now fasten your own seat belts and make sure all the baggage underneath your own seat and in the overhead bins are securely stowed. We are also delighted to ask you to ensure your seats and your folding trays are in the correct position,” “Roger, kalau take off bangunkan aku,” “Eh? Kenapa begitu?” tanya Roger dengan mimic terkejut.             Tapi Allen mengabaikannya. Roger menghela napas. Dia tahu siapa yang akan dihubungi. Jadi dia menikmati membaca prosedur keamanan.             Di samping itu, tiga pramugari sedang memperagakan cara prosedur standar keselamatan. Meski demikian, tidak ada wanita yang membuat Roger tertarik. Kecuali di sampingnya. Berambut blonde disertai body nya berisi. Kedua alis matanya nyengir, membuat pramugarinya tersenyum simpul. Kemudian, dia melanjutkan memperagakan keselamatan. Roger pun berjalan menuju toilet untuk buang air kecil. Berharap wanita tersebut kemari.             Setelah lima menit berlangsung, wanita tersebut mengetuk pintunya. Roger pun mencium pramugari tersebut. Hingga mereka melakukan di dalam toilet selama kurang lebih sepuluh menit. Meski demikian, tidak ada satu pun yang curiga.             Pesawat pun mulai take off. Keduanya berpegangan erat. Baik Roger maupun pramugari tersebut menahan tertawa karena kedua anggota tubuhnya saling bersentuhan. Sehingga jantung mereka berdetak sangat cepat. Darahnya berdesir.             Sementara itu, Allen pun terbangun. Tapi tidak ada Roger di sampingnya. Dia menghela napas, menduga bahwa dia sedang beradu nafsu sama pramugari pesawat. “Aku kan sudah kubilang untuk tidak berbuat masalah,” helaan napas berat dari mulut Allen.             Dia menyalakan smartphone miliknya, langsung mengontak istrinya. Mungkin karena khawatir tidak bisa dihubungi, maka dirinya yang mengontak duluan. “Halo?” “Sayang, aku sudah di dalam pesawat,” kata Allen “Benarkah? Kukira masih di bandara,” ujar istrinya bernapas lega.             Di depan matanya, ada roti sandwich dua buah. Allen memakannya dan meminum energy drink isotonik. “Tenang saja. Lagipula, aku pasti akan—”             Suara mesin pesawat tiba-tiba rusak. Roger dan pramugari terkejut. Mereka berdua memasangkan pakaian kembali. Langsung menuju ke tempat penumpang. Begitu juga dengan Roger bergegas memasangkan sabuk keselamatan. “Bunyi apa itu sayang?” tanya istrinya bernada cemas. “Nanti kukabari lagi. Berdoa saja semoga tidak terjadi kenapa-kenapa,” “Ya, sayang. Aku mencintaimu, Allen.” “Aku juga,” ucapnya lirih. Suara telpon pun mati.             Roger telah selesai memasangkan sabuknya. Dia berharap pesawat tersebut tidak mengalami hancur. Sedangkan Allen memejamkan kedua matanya. Berharap peristiwa ini segera berakhir. ~o0o~             Kilauan cahaya menyinari ke mata Allen. Dia melihat sekitarnya. Di depan matanya hanya ada pintu berbentuk persegi panjang disertai gembok dilapisi emas murni. “Apakah aku sudah meninggal?” gumam Allen dalam hati.             Saat itulah, sosok gadis berada di sampingnya. Kondisinya serupa dengan Allen. “Aku … aku ada di mana?” tanya gadis itu “Jangan tanya kepadaku. Aku juga ada di sini,” ucap Allen.             Terlihat muda, berambut panjang dan … telanjang bulat. Tidak mengenakan sehelai benang pun. Wajahnya memerah, memalingkan wajahnya karena terlalu memalukan. Dia melihat ke bawah dengan kondisi serupa dengan pria tua itu. “K-k-kenapa aku telanjang begini?” ucap gadis berambut panjang dengan raut wajah memerah. “Sepertinya aku ingin menanyakan sesuatu kepada orang yang bertanggung jawab atas ini,” kata Allen penuh analisa. “Yumi … Yumi! Kau ada di mana?” teriak gadis berambut panjang panik. “Siapa itu Yumi? Sebaiknya pikirkan dirimu sendiri dulu. Baru orang lain,” saran Allen. “Aku mengerti!” ucapnya bernada tinggi.             Untuk saat ini, gadis berambut panjang menarik napas terlebih dahulu. Dia akan mencari jawabannya ketika di dalam pintu tersebut. Tiba-tiba, suara gembok terbuka. Kemudian, dilanjutkan suara pintu terbuka dengan nyaring. Keduanya merasa terganggu dengan suara decitan pintu itu. “Sepertinya … kita akan menemukan jawabannya di dalam pintu tersebut. Apa kau mau ikut?” “Ya. Aku sependapat denganmu,” ujar gadis berambut panjang bernada tegas.             Keduanya berjalan, memasuki ke dalam ruangan. Tanpa mempedulikan penampilan mereka. Karena yang mereka cari adalah jawaban dan penyebab bisa terjadi peristiwa semacam ini.             Beberapa penjaga mempersilahkan kepada keduanya untuk memasuki ruangan tersebut. “Silakan tuan dan nona … eh,” “Rina Shirasaki,” “Allen McCarthy,” Para penjaga membungkukkan badan. Mempersilahkan mereka masuk. Ketika masuk ke dalam ruangan, langkah kaki tidak berirama, menemui sosok laki-laki berambut putih panjang. Terlihat seorang pria dan seorang gadis seumuran Hiro, menatap tajam kepada beliau. Tepatnya mereka berdiri melewati pintu kehidupan. Sama seperti Hiro. Perbedannya, dia sudah berada di dalamnya. “Masuklah Rina Shirasaki … Allen McCarthy,”   To be Continued   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD