Chapter 02. Rina Shirasaki & Yumi Hitomachi

1228 Words
            Masuk sekolah memang melelahkan bagi Yumi Hitomachi dan Rina Shirasaki. Pasalnya pelajaran mereka berupa olahraga di jam pertama. Selanjutnya sejarah dan matematika. Ditambah ada tes dadakan dari Pak Guru Botak. Belum lagi, kereta yang mereka tumpangi terlambat karena mengalami perbaikan. Sehingga para penumpang menunggu selama kurang lebih dua menit. Untung sampai di sekolah tepat waktu walau kondisinya ngos-ngosan.             Yumi sendiri berciri-ciri berambut ponytail, dengan mata begitu indah dan aura yang terpancar menentramkan. Sedangkan Rina Shirasaki berambut panjang tapi sedingin es. Mereka berdua sering pergi dan pulang bersama. Jarak kedua rumah mereka bersebelahan. Jadinya, keluarga mereka terjalin akrab.             Pertemuan mereka saat itu dimulai saat masih Taman Kanak-kanak. Yumi dibully oleh orang yang lebih tua darinya. Boneka beruang direbut secara paksa. “Tolong kembalikan bonekaku!” “Tidak mau! Kalau mau, ambil sendiri!” ejeknya.             Bukannya berhenti menangis, Yumi semakin menangis keras. Berharap ada seseorang yang menolongnya. “Hentikan!”             Teriakan muncul dari seseorang dari kejauhan. Pakaian yang dikenakan warna kuning disertai rok dan rambut pendek. Dia berjalan, melangkahkan kedua kakinya dengan berat. Tujuannya untuk menakut-nakuti mereka. “Siapa kau?” tanya tukang bully kepada gadis itu. “Tidak perlu tahu siapa aku. Tapi jangan ganggu dia! Atau tidak … kalian akan merasakan akibatnya,” ancamnya. “Huh! Kami tidak takut kepadamu, gadis kecil! Jangan sok jadi—” tiba-tiba tubuhnya dibanting oleh gadis itu.             Gadis yang menangis, terkesima dengan tindakannya tersebut. Dia melihatnya sebagai seorang penyelamat. Sementara itu, para pembully tidak terima dengan perlakuan tersebut. “Apa! Kau mau menyerangku! Silakan maju ke sini!” tantang dengan memancarkan aura intimidasi.             Para pembully langsung berlari ketakutan sambil meneriakkan sesuatu, “Lihat aja nanti!” hanya kalimat itulah yang terdengar oleh gadis berpakaian kuning. “K-kau baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja. Sepertinya lariku kurang cepat ya,” “Lari? Jadi barusan itu?” “Itu teknik aikido. Ayahku memegang master di dojo milikku. Jadi aku bisa mempelajarinya dengan mudah. Dasar Cuma bisa ngebully doang. Tidak mampu melawan gadis sepertiku,”             Secercah harapan terlihat dari raut wajahnya. Dia berjabat tangan kepadanya. “Namaku Yumi Hitomachi. Maaf telah merepotkanmu,” “Tidak perlu khawatir, Yumi. Sebagai manusia, kita berhak saling tolong menolong. Oh ya, aku Rina Shirasaki,” “Kalau begitu … panggil aku Yumi,” “Rina!”             Mereka berdua tersenyum lebar. Sejak itulah, pertemuan pertama akan menentukan takdir mereka yang akan datang. Tapi untuk saat ini, masih belum diketahui, takdir apa yang akan menanti mereka.             Kebetulan juga, rumah mereka ada bersebelahan. Baru-baru ini, keluarga Yumi baru pindah dari Osaka. Jadi keluarga Rina menyambut mereka sekaligus memberikan masakan kepada mereka.             Barulah jalinan pertemanan dan persahabatan tidak hanya keduanya. Melainkan keluarga mereka sendiri. Apabila ada kesulitan, mereka saling membantu satu sama lain. Bahkan tetangga sendiri juga terkejut karena keluarga Shirasaki wataknya keras.             Walau demikian, para muridnya berniat melatih aikido di sini karena ayah Rina yang satu-satunya memegang sabuk master. Mungkin karena kurangnya minat terhadap latihan, Rina memilih bolos latihan.             Kembali ke masa sekarang, Rina dan Yumi telah sampai di sekolah. Beberapa murid sedang berjalan menuju pintu masuk. Tapi ada sesuatu yang membuat Yumi kebingungan. Yaitu wajah Rina terlihat pucat walau tubuhnya sehat bugar. “Untung tepat waktu,” Rina ngos-ngosan. “Ya. Tapi ada apa dengan wajahmu, Ricchan?” tanya Yumi berusaha menarik napas cepat dan melihat wajah Rina. “Maaf. Aku kelelahan sehabis belajar,” “Jangan bilang belajar kebut semalam ya,” helaan napas keluar dari mulut Yumi.             Wajar Yumi khawatir dengannya. Pasalnya, keluarga mereka sibuk melatih para murid dan mengantarkan mereka dalam kejuaraan aikido. Sedangkan Rina harus belajar sendirian. Apalagi nilainya jelek apabila mata pelajaran Bahasa Inggris. “Kumohon ajarkan aku Bahasa Inggris. Bila perlu, aku ingin menyontekmu, Yumi!” ucap Rina memohon kepada Yumi.             Dia tahu Yumi pandai dalam bahasa asing. Sahabatnya menyukai bahasa polygon seperti bahasa Spanyol, Prancis, Indonesia, Italia dan Bahasa Inggris. Tapi makanan sehari-harinya adalah Bahasa Inggris dan Jepang. Dia menyukainya karena sejak kecil suka mendengarkan percakapan orang lain. Keluarganya adalah pebisnis dan dituntut melakukan investasi. Untung ayah Yumi pandai dalam segala bahasa. Jadi dia menularkan ke Ibu dan anak-anaknya. Termasuk Yumi. Tapi beliau membebaskan pilihan kepada mereka untuk menentukan cita-citanya. Jadi tidak terbebani karena bahasa Polygon. “Maaf! Aku tidak bisa membantumu … jadi kau harus semangat mengerjakan sendiri,” “Jahat sekali!” keluh Rina memasang ekspresi cemberut. “Habisnya aku ingin sekali membantumu. Tapi pas aku ke rumahmu … malah tidak ada orang,” akui Yumi. “Padahal hari ini ada pelajaran olahraga. Sialan Pak Botak itu! Akan kubalas kau!” umpatnya menyalahkan kepada orang yang bertanggung jawab mengadakan tes dadakan.             Tapi disisi lain, Rina memikirkan sesuatu. Aduh! Aku malah tertidur saat belajar kebut semalam di kamar. Semoga saja soalnya tidak sesulit waktu itu, sesal Rina dalam hati. Kini dirinya hanya bisa menyesali perbuatannya dan menghadapi realita yang ada.             Ketika memasuki dalam sekolah, sebuah rune sihir berbentuk lingkaran putih bersinar terang di tanah. Tidak hanya itu saja, aliran listrik mengitarinya. Semua orang menatap Rina dan Yumi ketakutan. “A-a-apa ini?” “Yumi! Kita harus pergi!” ajak Rina kepadanya untuk keluar dari rune sihir. Tapi kedua kaki mereka tidak bisa lepas. “Tidak bisa, Rina! Aku tidak bisa keluar!” bentak Yumi dengan memasang wajah ketakutan dan panik.             Rina mengumpatnya dalam hati. Keduanya berusaha meminta tolong. Mengisyaratkan mereka untuk meminta kepada orang lain. Tapi tidak bisa karena suaranya tidak kunjung keluar. Saat itulah, tubuh mereka berangsur-angsur menghilang. Seperti debu bertebaran ke mana-mana. ~o0o~             Kedua mata Rina terbuka pelan-pelan. Kilauan cahaya menyinari penglihatannya. Dia melihat sekitarnya. Di depan matanya hanya ada pintu berbentuk persegi panjang disertai gembok dilapisi emas murni. “Aku … aku ada di mana?” “Jangan tanya kepadaku. Aku juga ada di sini,” ucap seorang pria berada di sampingnya.             Terlihat tua, berambut putih disertai tidak mengenakan sehelai benang pun. Wajahnya memerah, memalingkan wajahnya karena terlalu memalukan. Dia melihat ke bawah dengan kondisi serupa dengan pria tua itu. “K-k-kenapa aku telanjang begini?” ucapnya dengan raut wajah memerah. “Sepertinya aku ingin menanyakan sesuatu kepada orang yang bertanggung jawab atas ini,” katanya penuh analisa. “Yumi … Yumi! Kau ada di mana?” “Siapa itu Yumi? Sebaiknya pikirkan dirimu sendiri dulu. Baru orang lain,” saran pria tua berambut putih. “Aku mengerti!” ucap Rina bernada tinggi.             Untuk saat ini, Rina menarik napas terlebih dahulu. Dia akan mencari jawabannya ketika di dalam pintu tersebut. Meski demikian, Rina merasa pernah ketemu dengan orang ini. Suaranya, wajahnya nampak tidak asing baginya. Belum selesai Rina berpikir sejenak, suara gembok terbuka. Kemudian, suara pintu terbuka dengan nyaring. Keduanya merasa terganggu dengan suara decitan pintu itu. “Sepertinya … kita akan menemukan jawabannya di dalam pintu tersebut. Apa kau mau ikut?” “Ya. Aku sependapat denganmu,” ujarnya bernada tegas.             Keduanya berjalan, memasuki ke dalam ruangan. Tanpa mempedulikan penampilan mereka. Karena yang mereka cari adalah jawaban dan penyebab bisa terjadi peristiwa semacam ini.             Beberapa penjaga mempersilahkan kepada keduanya untuk memasuki ruangan tersebut. “Silakan tuan dan nona … eh,” “Rina Shirasaki,” “Allen McCarthy,” Para penjaga membungkukkan badan. Mempersilahkan mereka masuk. Ketika masuk ke dalam ruangan, langkah kaki tidak berirama, menemui sosok laki-laki berambut putih panjang. Terlihat seorang pria dan seorang gadis seumuran Hiro, menatap tajam kepada beliau. Tepatnya mereka berdiri melewati pintu kehidupan. Sama seperti Hiro. Perbedannya, dia sudah berada di dalamnya. “Masuklah Rina Shirasaki … Allen McCarthy,”   To be Continued   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD