Sayang sekali hanya aku yang mengingat 'kita'.
Ternyata kembali ke masa lalu tidak sepenuhnya menyenangkan.
***
Nara menyukai Deeka. Berita itu entah mengapa menyebar begitu cepat di sekolahnya. Bahkan, guru-guru ikut menggoda Nara dengan menyebut nama Deeka setiap Nara bisa menjawab pertanyaan.
"Ya, benar sekali! Gimana, Deeka? Mengerti maksud Nara, kan?"
Sorakan seluruh murid kelasnya nampak membuat Nara dan Deeka sama-sama tidak nyaman. Nara menoleh ke belakang dengan singkat hanya untuk melihat ekspresi Deeka. Namun, seperti kemarin, Deeka hanya tersenyum di saat Nara merasa bersalah.
Akhirnya Deeka risi, kan?
"Ra, gue tahu siapa yang nyebar gosip lo nembak Deeka," bisik Sandra sambil menyenggol lengan Nara.
Sebenarnya, Nara bisa menebak. Pasti Siska, kan? Tapi, biar saja Sandra yang menjawab, lalu Nara akan pura-pura terkejut. "Siapa, San?"
"Sis ... ka. Dari awal, gue emang nggak suka sama nenek lampir itu. Ew."
Saatnya Nara pura-pura terkejut. "Hah?! Lo tahu dari mana dia yang nyebar gosip itu?!"
Sandra terlihat puas dengan reaksi Nara. "Gue nguping percakapan dia dan temen-temennya. Katanya dia liat lo sama Deeka berduaan di lapangan, dan kayaknya lo nembak Deeka."
"Hmm, gue nggak nembak. Deeka aja yang nggak sengaja denger gue bilang suka sama dia."
"Hah?! Apa? Coba pelan-pelan ngomongnya. Jangan ngebut, Ra!"
"Nggak ada siaran ulang. Udah bel, gue mau ke kantin. Mau nitip?"
"He-he, tahu aja kalo gue mager ke kantin. Gue nitip roti sama s**u kotak aja, ya." Sandra menyengir. Lalu ia memelototi Nara saat sadar Nara berusaha kabur dari pertanyaannya. "Tunggu! Jadi, lo tuh nembak Deeka apa nggak sih? Bingung gue, Ra."
"Nggak." Nara menghela napas. Ia bangkit berdiri, lalu mengacak rambut Sandra. "Gue nggak punya pistol. He-he."
Sandra langsung cemberut, apalagi saat Nara meniru tawa terpaksanya dan kabur cukup cepat. "Yah, dia kabur."
**
Deeka memang sedikit risi dengan ejekan dan godaan dari teman-temannya. Lagian, siapa sih yang menyebarkan berita Nara 'menembak' Deeka? Kalau Deeka tahu, mau Deeka ... marahin sebentar.
Sebenarnya, Deeka lebih kasihan dengan Nara. Gosip itu membuat Nara dicap tidak tahu malu dan agresif. Padahal, itu sama sekali tidak benar. Nara tidak pernah menembak Deeka.
"Ah, kenapa kemarin gue dateng pagi-pagi, sih? Biasanya juga telat!" Deeka menempelkan kepalanya di meja.
"Makanya! Gue juga heran. Kenapa lo dateng lumayan pagi kemarin? Padahal lo kan nggak ada jadwal piket." Roni terdengar seperti memarahi Deeka.
Deeka lantas mengernyit. "Gue telat, salah. Dateng pagi, salah juga. Mau lo apa sih, Ron?!"
"Lo kok jadi marah-marah ke gue? Tadi bukannya lo lagi nyalahin diri lo sendiri?"
"Oh, iya. Gue lupa." Deeka hanya menyengir bodoh. Lalu tak lama, ia menghela napas karena kembali teringat dengan Nara. "Kasihan Nara, dia jadi dijauhi banyak orang."
"Dih, lagian lo punya fans banyak amat, sih. Bagi-bagi lah ke kaum cowok yang lain."
Deeka mengibas belakang rambutnya yang sedikit gondrong dengan tangan. "Maafkan saya yang terlalu ganteng, ya, Ron. Saya tidak pernah bermaksud sombong—"
Roni dengan cepat menyumpal mulut Deeka dengan kertas yang baru saja Roni remas menjadi gumpalan. "Jangan bikin gue mau muntah, please."
Deeka mengeluarkan gumpalan kertas itu sambil terbatuk-batuk. "Kalo di tangan lo tadi adanya batu, mungkin yang masuk ke mulut gue batu, ya, Ron?!"
"Tuh, pinter."
"Astagfirullah, kuatkanlah hati saya menghadapi makhluk sejenis Roni. Dia jahat, tapi saya butuh PR-nya buat disalin kalau saya malas...." Deeka seperti berdoa sungguhan, membuat Roni ingin mengusap d**a. Karena sebenarnya, dialah yang harus ekstra sabar menghadapi Deeka.
"Jangan playing victim, Bro. Semua orang juga tahu siapa yang paling menderita dalam persahabatan kita."
"Tunggu dulu! Apa Lo bilang? Gue playing victim?" Deeka mendengus tidak terima. "Hei, emangnya playing victim artinya apaan, sih, Ron? Kok kayaknya keren?"
Roni bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri Nara. Ia menepuk-nepuk pundak Nara dengan prihatin. "Lo yakin suka sama Deeka? Berhentilah sebelum menyesal, Ra."
Nara yang baru kembali dari kantin, hanya bisa mendengus geli lalu tersenyum pada Roni. "Yakin seratus persen, Ron. Dia ... memang kadang nyebelin sampai bikin pusing, tapi ... dia juga orang yang sangat baik. So? Apa salah suka sama orang baik?"
Roni sempat terdiam. Sebelum ia menyentuh dahi Nara dengan telapak tangannya. "Oh, astaga, badan lo panas."
Nara terkekeh pelan. "Suatu hari nanti, lo akan setuju sama kata-kata gue, Ron."
Roni lagi-lagi merinding mendengar kata-kata Nara. "Lo baru kenal Deeka, Ra. Sedangkan gue dari SD. Stop, oke?"
Saat Roni berlalu pergi, Nara melirik Deeka yang diam-diam memperhatikan dari tadi. Nara hanya tersenyum tipis, sebelum duduk di kursinya.
Deeka, ternyata sulit ya memulai semuanya dari awal....
***
Keesokan harinya, Nara ke toilet pagi-pagi karena rok SMA-nya terkena cipratan air saat perjalanan ke sekolah. Pagi ini banyak genangan air di jalan karena habis turun hujan, dan sayangnya ada mobil menyebalkan yang mengebut hingga cipratan airnya mengenai Nara.
Kalau cipratan airnya bersih, mungkin Nara tidak akan sekesal ini.
Nara membersihkan roknya dengan air dan sabun, hingga terlihat lebih baik--walau masih terlihat sedikit kotor. Semoga tidak ada yang memperhatikan rok Nara.
"Wah, rok lo kotor banget. Ih, jijik gue lihatnya."
Mungkin kalian bisa menebak siapa yang datang dan berkata seperti itu pada Nara. "Jangan dilihat, kalau gitu," balas Nara santai.
"Wow, ternyata bener, lo nggak selemah penampilan lo."
"Yep. Dan gue yakin, lo nggak sejahat penampilan lo, Siska." Nara tersenyum dan mau pergi, tapi Siska menahan lengan Nara dengan kuat.
"Apa maksud lo?"
"Harusnya gue yang nanya gitu. Maksud lo apa nyebar gosip gue nembak Deeka?"
"Iseng aja."
"See? Lo cuma iseng, bukan bermaksud jahat. It's okay." Nara menepuk lengan Siska, sebelum benar-benar pergi meninggalkannya.
"Nara!" Siska berlari menyusul Nara. "Jangan sok cantik, lo nggak pantes buat Deeka. Lo lihat Deeka, terus lihat diri lo sendiri. Deeka itu cocok untuk jadi pemeran utama, dia ganteng dan disukai banyak orang. Sedangkan lo? Lo biasa aja dan cuma cocok jadi pemeran pendukung. Ngerti?!"
Nara menghela napas. "Udah selesai ngomongnya?"
"Gue serius!"
"Memangnya pemeran utama harus selalu cantik dan punya segalanya? Siska, pikiran lo terlalu dangkal. Menurut gue, dalam dunia nyata, kita semua ditakdirkan menjadi pemeran utama. Kita pemeran utama di hidup kita masing-masing. Jadi, gue bukan pemeran pendukung hidup orang lain. Gue pemeran utama, begitu juga Deeka." Nara menjentikkan jarinya. "Ah, lo juga bisa jadi pemeran utama, kalau lo mau. Jangan kebanyakan baca novel pasaran, ya, Sis. Pemeran utama nggak harus sempurna, kok."
Siska merasa tertampar dengan kata-kata Nara. Ia tidak menyangka cewek lemah seperti Nara memiliki pikiran yang begitu unik.
"Nara, lo kebanyakan ngomong. Gue capek dengernya." Siska pun pergi meninggalkan Nara yang hanya tersenyum tipis.
Yah, begitulah Siska. Nara sudah paham betul sifatnya. Jadi, ia tidak akan marah ataupun kesal. Karena nanti, Siska akan menjadi salah satu sahabat yang selalu ada untuknya. Bukan begitu?
Nara berjalan ke kelas masih mendengus kesal karena roknya kotor. Namun, di perjalanannya menuju kelas, Nara bertemu Deeka dan mereka sempat bertatapan beberapa detik sampai Deeka membuang pandangannya ke arah lain.
"Pagi, Dee," sapa Nara akhirnya menghampiri Deeka dan berjalan bersama ke kelas.
"Eh? Pagi, Ra."
"Lo keliatan pucat. Lo sakit?" Nara sungguh khawatir. Apa saat ini penyakit Deeka mulai bertambah parah?
"Nggak, perasaan lo aja." Deeka mengusap tengkuknya.
"Deeka, lo nggak nyaman, ya? Apa gue harus jalan duluan?"
Deeka melebarkan matanya, lalu menggeleng panik. "Nyaman, kok. Ah, tapi, aneh. Sejak kemarin gue tahu lo suka sama gue, jantung gue deg-degan terus setiap ada lo."
Nara akhirnya bisa tersenyum lebar. "Mungkin, nih, ya. Lo kayaknya mulai suka sama gue, Dee."
"Hah? Masa?!"
Nara tertawa pelan. "Bercanda. Kalau suka, pasti lo akan sadar dengan sendirinya, tanpa harus dikasih tahu siapa pun."
"Gitu, ya?" Deeka mengangguk mengerti. "Makasih, Nara."
Nara terkekeh lagi. "Lo bener-bener beda sama Deeka yang gue kenal. Lo tuh dulu iseng banget! Bahkan lo jarang nyebut nama gue, lo lebih sering manggil gue beru—"
Sial, Nara seharusnya tidak boleh bicara terlalu banyak. Ini masa lalu, Deeka sama sekali tidak memiliki kenangan bersama Nara. Semuanya dimulai dari awal, Nara!
"Kok gue bingung, ya, Ra?" Deeka menggaruk kepalanya sambil tersenyum kaku. "Memangnya kita pernah kenal, ya? Hmm, apa kita satu SD dulu? Pantes aja wajah lo familier gitu."
Ah, ide bagus.
"Astaga, akhirnya lo inget! Iya, kita sempat satu SD gitu. Cuma setahun, soalnya gue pindah."
"Jadi, pas SD kita saling kenal?"
"Iya, kita akrab banget!"
"Ih, gue nggak inget sama sekali. maaf, ya, Ra." Deeka tertawa pelan.
"Lupa itu hal yang wajar." Nara berusaha ikut tertawa.
"Maaf, karena baru mengenali lo, Beruang," gumam Deeka lembut.
Deg.
"Apa lo bilang?"
"Beruang? Bukannya pas kita kenalan, lo nggak keberatan gue panggil beruang?"
"Oh, iya, ya? Oke."
Apa yang Nara harapkan, sih?
Deeka tidak mungkin mengingatnya, kan? Tidak mungkin....