PART 6

1391 Words
Cukup menyenangkan mengetahui segala hal yang akan terjadi. Namun, juga menyakitkan untuk beberapa hal.  *** Malam ini, seharusnya Nara diundang ke groupchat kelasnya. Nara terus memandangi ponselnya tanpa berkedip. Matanya sampai perih!                 Setelah menunggu cukup lama, ponsel Nara akhirnya berbunyi, tanda ada pemberitahuan baru. Ia diundang ke groupchat kelasnya, seperti saat itu.                 Yes!                 Sandra: Welcome Nara!                 Roni: Hai Nara! Akhirnya gabung juga.                 Deeka: Eh ada Nara!                 Nara tersenyum sambil membalas pesan mereka lumayan berbeda dibanding dulu.                 Nara: Hai hai hai! Salam kenal semuanya!                 Deeka: Yep! Nara was also cheerful at the groupchat. Nice!                 Nara: Harus dong, Dee. Haha                 Deeka: Btw, apa kabar? Tetangga Lo sehat, Ra?                 Nara: Sehat, makasih udah nanyain tetangga gue wkwk                 Deeka: Sama-sama lho!                 Sandra: Udahlah, kalian chat pribadi aja sana berdua! Kita berasa ngontrak dari tadi!                 Nara: Selow Sandraaaa, nanti Lo cepet keriput kalo marah-marah ih.                 Sandra: Bodo!                 Deeka: astaga, di chat aja Nara gemesin banget yaaa                 Roni: Kalem napa Dee                 Sandra: Aduh gue keselek nih woy                 Nara: Makasih loh Dee! Awas kalo lo bilang hp lo dibajak ya!                 Deeka: Nggak kok, gue serius. Napa sih? Emang bener kan Nara gemesin?                 Nara langsung berlari ke arah cermin, melihat pantulan wajahnya yang memerah. Memalukan. Kenapa Deeka begitu terus terang? Dulu dia kan sok gengsi untuk memuji Nara! Tidak bisa dibiarkan. Nara harus balas apa coba?                 Nara: thanks                 Deeka: yes yes yes, no problem                 Roni: Bye bye bye                 Sandra: Ikut Ron. Bye!                 Nara pun melompat ke ranjangnya dan mulai memejamkan mata.                 Deeka, aku akan mengubah masa depan sedikit demi sedikit. Bertahanlah.   *** Di sekolah, Nara berusaha lebih dekat dengan Deeka. Setiap ada kesempatan, Nara pasti akan menghampiri Deeka dan mengajaknya bicara. Tentang apa pun, yang penting ia bisa mendengar suara Deeka lebih banyak.                 Deeka terlihat tidak keberatan ataupun risi dengan sikap Nara. Makanya Nara tidak ada niat untuk mengurangi aktifitasnya itu. Karena satu detik bersama Deeka itu sangatlah berharga. Maaf, karena Nara baru menyadarinya setelah ia kehilangan. Namun, bukankah itu memang sifat alamiah semua orang? Seseorang akan terasa begitu berharga setelah ia pergi. Bukan begitu?                 Bisa kembali ke masa lalu, Nara merasa sangat bersyukur. Walau ia harus mengulang pelajaran yang sudah ia pelajari, mengikuti ulangan yang sudah pernah ia hadapi--itu semua bukanlah masalah selama Nara bisa melihat Deeka setiap hari.                 Hari ini Nara sangat bersemangat untuk datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Karena apa? Karena hari ini ia akan piket bersama Deeka! Astaga, dulu, mungkin karena piket berdua bersama Deeka ... makanya Nara jadi lebih sering memperhatikan Deeka. Hari ini adalah awal mula Nara merasa gugup melihat senyuman Deeka dan mulai terbiasa dengan sifat jailnya.                 Saat Nara sampai di parkiran, tidak ada motor Deeka. Hmm, apa Nara datang terlalu pagi? Setelah memarkirkan sepeda merah muda kesayangannya, Nara pun berjalan menuju kelas. Setiap langkahnya, ia berharap melihat Deeka seperti saat itu. Tersenyum bodoh sambil menghapus papan tulis.  Tunggu, tapi Deeka belum datang. Apa Nara harus bertukar peran?                 Ya! Semua bisa diubah!                 Sesampai di kelas, Nara langsung menaruh tas ransel di kursinya. Ia sangat bersemangat mengambil penghapus papan tulis dan mulai menghapus tulisan di papan tulis sampai bersih. Ralat, bahkan sampai papan tulis putihnya sangat mengkilat tanpa noda.                 "Kenapa Deeka belum dateng juga, sih?" Nara menghela napas.                 Tak lama kemudian, suara langkah terdengar mendekat, Nara kembali pura-pura sibuk dengan penghapus papan tulis di tangannya. Sedikit melirik, ia pun menyapa, "Baru datang, Dee—" kalimat Nara terputus setelah melihat siapa yang datang. "Hei, Ron."                 "Dee? Hmm, jadi lo berharap Deeka yang Dateng?" Roni tersenyum jail. "Yah, haruskah gue pulang lagi?"                 "Mendingan lo cepet duduk, Ron. Sebelum penghapus papan tulis ini melayang," ujar Nara tajam sambil melirik Roni yang menahan tawa.                 "Iya, iya. Selow, Ra."                 Nara menaruh penghapus papan tulis tidak berguna itu di meja, dan mulai mengambil sapu. Ia menyapu tanpa tenaga. Ia sungguh heran. Kenapa kejadian hari ini tidak sama seperti dulu? Apa yang salah?                 Dulu, Deeka datang lebih pagi dan menggantikan Roni piket karena ... ingin lebih dekat dengan Nara. Iya, kan?                 Apa karena Deeka merasa sudah dekat dengan Nara sekarang, ia jadi tidak mau piket menggantikan Roni?                 Itu artinya bagus atau tidak, ya? Nara sangat bingung! Namun, tetap saja Nara lumayan kecewa. Apa yang ia harapkan, ternyata tidak berjalan sesuai rencana.                 Setelah Nara menyapu, Roni pun mengambil alat pel tanpa disuruh. Ia bahkan meminta Nara duduk saja selama ia mengepel lantai.                 "Ron, lo bahagia jadi sahabat Deeka?" tanya Nara serius. Ia berusaha mencairkan suasana yang hening dan canggung di antara mereka.                 "Astaga, pertanyaan lo berhasil bikin gue merinding, Ra." Roni mengusap lengannya yang terasa merinding. "Kenapa, sih, lo nanya gitu?"                 "Penasaran. Nggak boleh?"                 "Boleh. Hmm, tapi aneh aja." Roni sedikit terkekeh. "Bahagia? Lebih tepatnya, gue merasa bersyukur. Walau di luarnya Deeka sangat menyebalkan dan suka menyalin PR gue, dia sebenernya orang yang sangat peduli. Dia satu-satunya sahabat yang mengajak gue untuk menjadi orang baik. Dia bahkan ngelarang gue ngerokok, Ra. Katanya kasihan paru-paru gue."                 Nara otomatis tersenyum setelah mendengar jawaban Roni. "Deeka memang sebaik itu. Bahkan sampai akhir, dia selalu mengutamakan orang lain dibanding dirinya sendiri."                 "Apa? Sampai akhir?" Roni terlihat bingung dengan ucapan Nara.                 "Maksud gue, sampai tua. Ya, sampai tua, dia pasti selalu baik sama siapa pun," jawab Nara panik. Roni mengernyit heran. "Lo kayak lebih kenal Deeka daripada gue. Sesuka itu, Lo, ya?"                 Nara meringis. Tidak ada gunanya juga berbohong. Mungkin, lebih baik Nara mengaku saja. "Iya. Sesuka itu gue sama Deeka."                 Tepat setelah Nara mengatakan semua itu, suara tersedak seseorang tiba-tiba memecah suasana. Mata Nara melebar saat melihat Deeka terbatuk-batuk di dekat pintu dengan botol di tangannya. "Deeka? Sejak kapan lo—"                 "Hah? Nggak, gue nggak denger apa-apa kok! Serius! Aduh, gue tiba-tiba sakit perut. Dah, kawan-kawan!" Deeka berbicara secepat rapper, lalu berlari kabur ke toilet.                 Nara menepuk jidatnya. Sial, rencananya bisa-bisa gagal. "Lo, sih, Ron!"                 "Kok jadi nyalahin gue?" Roni terkekeh pelan. "Tenang, Ra. Deeka nggak denger apa-apa kok!"                 "Gue nggak b**o, ya. Deeka tadi pasti bohong!"                 "Ya udah, kejar dia lah kalo gitu!"                 Benar juga. Pasti Deeka tidak benar-benar ke toilet, kan? *** Nara berlari ke luar kelas untuk mencari Deeka. Menurut naluri Nara, Deeka pasti bersembunyi ke lapangan. Entahlah, seingat Nara, Deeka sangat menyukai lapangan sekolahnya.                 Dengan napas terengah-engah, Nara berhenti dan melihat Deeka sedang duduk di pinggir lapangan. Ah, apa yang cowok itu pikirkan, sih?                 Nara berjalan menghampiri Deeka perlahan, setelah ia sudah hampir sampai, Deeka tiba-tiba bangkit berdiri dan terlihat panik.                 "Kenapa lo ke sini?" Deeka bahkan enggan menatap Nara.                 "Gue tahu, lo belum suka sama gue. Atau, lo pasti mikir gue ini cewek aneh karena bisa suka sama lo dalam waktu yang singkat. Iya, kan?"                 Deeka menggeleng. "Bukan aneh, gue cuma ... kaget."                 "Lo nggak perlu balas perasaan gue sekarang. Gue sama sekali nggak memaksa lo untuk suka juga sama gue. Serius, gue baik-baik aja." Nara sedikit menunduk, membuang pandangannya saat Deeka mulai menatapnya dengan lekat.                 "Nara," ucap Deeka pelan, "makasih, karena udah suka sama gue."                 Nara mendengus. "Gue nggak butuh kata terima kasih, Dee. Kata-kata itu semakin membuat gue merasa ditolak."                 Deeka melebarkan matanya. "Gue nggak bermaksud gitu! Eh, maksud gue, kita masih berteman, kan?"                 Nara mengangguk. "Yap. Tapi, jangan canggung, oke? Apalagi menjauh tiba-tiba! Gue akan ... marah banget kalau lo ... menjauh."                 Deg.                 Jantung Deeka terasa berdebar lebih cepat. Kenapa? Kenapa tiba-tiba ia merasa sangat gugup di depan Nara?                 "Oke! Oke, Ra."                 "Janji?" Nara tersenyum, Deeka pun otomatis ikut tersenyum.                 "Janji! Gue nggak akan merasa canggung apalagi menjauh dari lo."                 "Tunggu, ada satu lagi." Nara terlihat melupakan sesuatu. "Kalau nanti lo akhirnya suka sama gue juga, tolong ... kasih tahu gue. Jangan lo pendam sendirian dan bikin gue merasa kacau. Oke?"                 Mata Nara terlihat berkaca-kaca. Deeka merasa mulai bersalah. "Oke."                 Nara sungguh ingin memeluk Deeka. Namun, ia takut membuat Deeka merasa semakin tidak nyaman. Jadi, Nara memilih untuk berbalik badan dan berjalan cepat menuju kelas.                 Setelah Nara tidak terlihat, Deeka memegang dadanya yang terasa mau meledak. "Apa yang salah, sih? Apa ... jangan-jangan ... gue sakit jantung?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD