PART 5

1939 Words
 Aku akan mengajarimu untuk bisa mencintaiku lagi. Terasa sedikit aneh untukku, tapi semoga kamu bisa lebih Bahagia. ***   Ketika kakak OSIS sedang bicara di depan kelas, Nara lumayan sering menoleh ke belakang untuk melihat Deeka. Ia melakukan semua itu tanpa sadar, hingga ia tidak tahu tingkahnya membuat murid lain menduga Nara menyukai Deeka.                 Walau memang benar, seharusnya ia tidak menunjukkan hal itu sampai membuat dirinya sebagai bahan gosip anak satu kelas. Bahkan, mungkin akan semakin menyebar ke kelas yang lain.                 "Heh, kamu. Ngapain nengok ke belakang terus?" tanya salah satu kakak Osis cewek yang terlihat jutek.                 "Maaf, Kak." Nara menunduk sopan, merasa sedikit bersalah.                 "Dia ngeliatin Deeka terus kayaknya, Kak!" sahut Siska yang disambut anggukkan oleh murid yang lain. Nara baru ingat, Siska dulu memang sangat menyebalkan. Ia harus ekstra sabar menghadapi Siska (lagi).                 "Oh, ya? Kenapa? Kamu naksir sama Deeka?" tanya kakak Osis itu dengan lebih ketus.                 "Nggak, kok." Saya lebih dari naksir.                 "Kalau naksir juga nggak masalah," ujar Kak Nuga--Ketua Osis. "Bukan urusan kita. Iya, kan, Sar?" lanjutnya sambil melirik Sarah--anggota Osis yang jutek tadi.                 Sarah memutar matanya sambil menghela napas. "Iya aja, deh."                 "Oke, siapa yang mau nyanyi di depan? Kakak iringi pakai gitar, gimana?" Nuga melihat murid-murid dengan semangat. "Kalau nggak ada yang mau, kalian semua akan dihukum keliling lapangan."                 Nuga bicara begitu lembut, dengan senyum manis. Berbanding terbalik dengan kata-katanya yang mengancam.                 Nara ingat betul, dulu satu kelas benar-benar dihukum lari keliling lapangan karena tidak ada yang mau bernyanyi di depan kelas. Kali ini, Nara tidak bisa diam saja seperti dulu. Ia tidak ingin semuanya dihukum lagi, terutama Deeka.                 Semoga keputusan Nara kali ini bisa mengubah masa depan juga. "Saya, Kak! Tapi ... suara saya nggak terlalu bagus." Nara mengangkat tangannya tanpa gemetar, murid yang lain sedikit menyorak kagum karena keberanian Nara.                 "It's okay! Yang penting berani, Nara. Ayo, maju!" Nuga terlihat senang sekali. Ia langsung duduk dan memangku gitarnya. "Kamu mau nyanyi apa?"                 "Everything. Tau nggak, Kak?"                 "Michael Buble?"                 "Yap."                 "Pilihan yang bagus!" Nuga mulai memainkan gitarnya dengan merdu, Nara terlihat tidak terlalu gugup. Mungkin karena ia merasa sudah mengenal semua orang di dalam kelas MOS-nya. Berbeda dengan dulu saat ia hanya mengenal Sandra.                 You're a falling star,                 You're the get away car                 You're the line in the sand when I go too far                 You're the swimming pool on an August day                 And you're the perfect thing to see                 And you play you're coy, but it's kinda cute                 Oh, when you smile at me you know exactly what you do                 Baby, don't pretend that you don't know it's true                 'Cause you can see it when I look at you                 And in this crazy life, and through these crazy times                 It's you, it's you                 You make me sing                 You're every line, you're every word, you're everything....                     Selama Nara bernyanyi, ada satu orang yang tidak bisa berhenti tersenyum mendengarnya. Bukan karena suara Nara bagus, tapi ia hanya merasa ... senang melihat Nara bisa bernyanyi dengan setenang itu. Dan, entah mengapa, ia merasa Nara bernyanyi untuknya. Tatapan dan senyuman itu, terus tertuju ke arahnya.                 "Ron, Nara kayaknya suka sama gue, ya?"                 Roni melirik setelah mendengar pertanyaan Deeka. "Jangan terlalu percaya diri, Dee. Dia baru kenal lo dua hari. Masa iya langsung suka?"                 "Gimana, ya? Karisma gue emang sedahsyat itu, Ron." Deeka menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari. Yang tentu saja langsung dihadiahi jambakan dari Roni.                 "Jijik gue dengernya."                 "Jangan didenger makanya. Copot aja kuping lo." Deeka mendengus sambil mengusap rambutnya.                 "Oke." Roni bertepuk tangan seadanya saat Nara selesai bernyanyi. "Suara Nara bagus, ya?"                 "Iya, harusnya dia jadi tukang bakso."                 "Apa hubungannya?"                 "Memangnya tukang bakso nggak boleh jago nyanyi?"                 Deeka memang absurd. Roni baru ingat. "Iya, semerdeka lo aja."                 Di waktu yang sama, Nara langsung melihat Deeka setelah selesai bernyanyi. Apa Deeka menyukai lagu yang Nara nyanyikan? Setiap Nara mendengar lagu itu, ia pasti langsung terbayang wajah Deeka. Aneh, kan?                 "Suara kamu bagus, Nara. Tadi kata kamu, suara kamu nggak terlalu bagus?" goda Nuga seusai penampilan Nara. "Kamu pinter merendah, ya."                 "Merendah untuk meroket," cibir Sarah tidak suka. Kak Sarah dulu sepertinya baik, tidak punya masalah dengan Nara. Tapi kenapa sekarang berbeda?                 "Ha-ha, biar surprise, Kak. Bukan maksud merendah." Nara hanya tertawa hambar, melirik Sarah sekilas.                 "Ya udah, kamu boleh duduk." Nuga tersenyum ramah. "Yang lain, kalian juga harus berani seperti Nara. Mau suara kalian bagus ataupun jelek, yang penting berani aja dulu. Kami akan menghargai keberanian kalian, jadi nggak perlu takut. Mengerti?"                 "Ya, Kak!" sahut murid-murid dengan kompak.                 "Saya mau nyanyi, Kak!" Deeka tiba-tiba mengangkat tangan dengan semangat. "Tapi kalau Kak Nuga sakit kuping, jangan hukum saya, ya!"                 "Hmm, sayang sekali, waktunya udah habis. Bel istirahat sebentar lagi berbunyi. Wassalamu'alaikum!" ujar Nuga terlihat buru-buru sambil melihat jam tangan. Mungkin ia takut pendengarannya terganggu kalau memberi kesempatan Deeka bernyanyi.                 "Yahh! Kak Nuga pilih kasih!" teriak Deeka sambil mengejar Nuga.                 "Biarin!"                 Nara tersenyum kecil melihat tingkah Deeka dan Kak Nuga. Keduanya memang dekat, walau tidak lama. Nuga adalah adik kelas Bang Andra dulu, makanya ia senang menjaili Deeka. Bisa dibilang balas dendam, mungkin?                 Nara dulu sama sekali tidak peduli dengan kedekatan mereka. Ternyata setelah diingat-ingat dan kembali masa lalu, Deeka dan Kak Nuga lucu sekali. *** Hari-hari MOS cukup berjalan lancar. Lebih lancar dibanding sebelumnya, karena Nara kali ini sudah mengenal Deeka lebih cepat.                 Mereka lumayan sering mengobrol, walau Deeka terlihat tidak bisa berlama-lama mengobrol dengan Nara. Ia mungkin merasa risi karena diperhatikan banyak orang. Berbeda sekali dengan Nara yang tidak terlalu peduli.                 Hari ini adalah hari pertama selesainya MOS. Nara sudah sah menjadi murid SMA Tunas Pradipta. Ia ingat sekali, dulu di depan kelasnya banyak murid perempuan yamg mengintip dari jendela untuk melihat Deeka. Namun anehnya, kali ini tidak ada. Kenapa? Apa yang salah?                 Tak lama setelah Nara heran, tiba-tiba seorang murid perempuan dari kelas lain masuk ke kelas Nara, berdiri di depan meja Nara dengan angkuh.                 "Lo yang namanya Nara? Ikut gue, sekarang."                 "Ngapain, ya?" tanya Nara menatap balik.                 "Ikut aja. Kita mau kenalan."                 Nara mengernyit. "Kita?"                 "Ayooo!"                 Nara pun ditarik oleh murid itu, dan Nara akhirnya pasrah dan mengikutinya. Untung saja Sandra belum datang. Kalau ada Sandra, mungkin Sandra akan menahan Nara dan memaki murid perempuan itu.                 Sudah Nara duga, ia dibawa ke toilet perempuan. Nara mengernyit saat melihat banyak murid perempuan lainnya yang menatapnya sinis. Satu lawan tujuh, huh?                 "Kata Siska, lo kegatelan sama Deeka. Bener?"                 Nara mendengus. Ternyata ini semua ulah Siska. "Gue sama Deeka ... deket karena kita udah kenal sebelumnya."                 Memang benar, kan? Nara tidak berbohong.                 Semua terlihat terkejut. "Serius?"                 "Iya, jadi wajar kan gue sama Deeka sering ngobrol dan ke kantin bareng?" Nara melipat kedua tangan di depan perut. "Bahkan, kalau kita pacaran, apa itu salah? Kalian keberatan? Kenapa?"                 "Kita ini penggemar Deeka! Kita nggak suka lihat dia pacaran ... apalagi sama cewek biasa aja kayak lo. Kalau lo cantik banget kayak Siska, baru deh kita mundur!"                 "Astaga, mainnya fisik." Nara mendengus geli, menahan kesal. "Gue memang nggak secantik itu, tapi ... gue cukup bangga sama diri gue sendiri. Kenapa? Karena gue merasa nggak ada gunanya membenci seseorang ataupun diri sendiri hanya karena fisiknya nggak sempurna. Semua orang punya kekurangan, jadi jangan menghina kalau kalian bahkan nggak sempurna juga. Paham, kan?"                 Di luar dugaan, semuanya terlihat menunduk dan risi. Nara tersenyum dan menepuk pundak salah satu murid. "Deeka memang ganteng banget, tapi percayalah, rasa suka gue nggak sedangkal itu. I love everything about him. So, don't stop me."                 "Jadi, lo akan terus deketin Deeka?"                 "Gue nggak punya alasan untuk berhenti. Sorry." Nara menepuk-nepuk bahu murid itu, lalu berbalik badan dan pergi. Nara sungguh puas dengan semua kata-katanya. Terdengar keren, sepertinya.                 "Dia keren. Jujur aja, kayaknya kita nggak berhak ngatur Deeka harus pacaran sama siapa."                 "Yap. Kita kayak jahat banget, nggak, sih? Nara keliatan baik, dewasa, dan pinter banget."                 "Sial. Kata Siska, Nara tuh orangnya centil, jelek, dan b**o. Kita dibohongi kayaknya."                 Nara berjalan cepat ke kelas, dan ia senang saat melihat Sandra sudah datang. Ia langsung duduk di samping Sandra, dan siap menjawab berbagai macam pertanyaan sahabatnya itu.                 "Dari mana lo?"                 "Toilet. Lo lama banget datengnya." Nara pura-pura cemberut.                 "Kenapa emangnya? Lo di-bully, gitu?" Sandra tertawa.                 "Kok tau?"                 Mata Sandra melebar. "Beneran? Gue cuma asal ngomong! Lo di-bully siapa, hah?! Mana orangnya, sini?!"                 Nara menutup mulut Sandra dengan gemas. "Nggak sekalian aja pakai speaker ngomongnya?"                 Sandra mengatur napas, lalu melepas tangan Nara dari mulutnya. "Lo nggak terluka? Atau, jangan-jangan mereka malah yang lo pukulin?"                 "Gue nggak seganas itu, ya! Mereka cuma ... gue kasih beberapa nasihat."                 "Iyalah! Nara dilawan!" Ketika Sandra tertawa puas, Deeka tiba-tiba muncul dan mengambil kursi kosong untuk duduk di sebelah Nara.                 "Lo di-bully, Ra?"                 "Nggak, nggak separah yang lo pikirin, Dee. Mereka cuma kayak negur gue."                 "Sama aja! Bullying secara verbal juga parah, Ra. Mereka bilang apa?"                 Nara tidak mungkin memberitahu Deeka yang sebenarnya. Akan menjadi semakin rumit jika Deeka tahu. "Mereka bilang ... gue nggak cantik, jadi gue nggak boleh kecentilan di sekolah ini. Begitulah."                 "Nggak jelas banget sih mereka! Orang lo cantik begini juga!" Deeka memukul meja, hingga Nara pun kaget. "Standar cantik mereka kayak apaan, sih?!"                 Nara tidak bisa menyembunyikan senyumannya setelah mendengar kata-kata Deeka. "Jadi, menurut lo, gue cantik?"                 "Hah? I-iya. Apa mata gue yang salah?" Deeka terkekeh canggung. Ia sepertinya baru sadar dengan apa yang ia katakan.                 "Nggak, kok. Gue juga merasa diri gue cantik. Ada seseorang yang muji gue cantik berkali-kali ... lewat surat." Nara tiba-tiba teringat beberapa surat terakhir Deeka yang menyuruh Nara untuk lebih percaya diri, karena dirinya sangat cantik.                 "Surat? Cowok? Temen lo? Atau, mantan lo?" Deeka terlihat penasaran. Bagus.                 "Cowok. Dia ... berarti banget di hidup gue." Nara menyeka matanya.                 "Lo masih sayang sama dia?"                 Nara sempat diam dan hanya menatap Deeka, sebelum menjawab, "Selalu."                 "Whoa." Deeka terkekeh canggung, menghindari tatapan Nara. "Ternyata lo udah punya cowok, ya?"                 "Dia bukan pacar gue, kok. Dulu, dia nggak mau jadi pacar gue. Katanya, dia nggak mau jadi beban. Padahal, gue nggak pernah merasa terbebani. Gue bahagia setiap bersamanya."                 d**a Deeka entah mengapa terasa begitu sakit. Apa ia cemburu? Tidak mungkin. "Terus, sekarang gimana hubungan kalian?"                 Nara tersenyum kecil. "Nggak, gue cuma ngarang. Jangan anggap serius, Dee."                 "Ngarang?" Deeka terlihat bingung.                 "Gue suka nulis novel. Yah, walau udah lama banget gue nggak nulis, tapi kayaknya gue ada bakat, kan?"                 "Astaga, jadi yang lo bilang tadi tuh cerita novel? Pantes aja nggak asing! Gue tebak, tokoh cowoknya pasti sakit parah." Deeka tertawa. Tapi hati Nara sakit mendengarnya.                 "Ya, bener."                 "Terus ending-nya gimana? Tuh cowok sembuh atau ... meninggal?"                 Nara tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. "Dia hidup."                 "Really? Padahal lebih tragis kalau tokohnya meninggal. Iya, kan?"                 "Aduh, gue harus ke toilet." Nara bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju toilet, meninggalkan Deeka yang terlihat penuh tanya.                 Di toilet, Nara menangis sepuasnya. Dadanya begitu sesak setelah mendengar kata-kata Deeka yang begitu santai membicarakan dirinya sendiri....                 Tidak, Deeka masih hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD