Aku mohon, jaga dirimu dengan baik kali ini.
Jangan sakit, dan membuatku khawatir.
**
Kembali ke masa lalu bukanlah hal yang mudah, karena sebenarnya ada beberapa hal yang harus dikorbankan. Nara tidak tahu hal itu, makanya ia merasa baik-baik saja selama berada di masa lalu. Ia bahkan tidak tahu kapan waktunya akan berakhir, dan kapan ia harus kembali.
Malam ini saat Nara harus tidur, ia sedikit takut kalau ternyata semua yang ia alami hari ini hanyalah mimpi.
Haruskah ia terjaga hingga besok, agar semuanya tidak menghilang? Ia belum ingin kembali. Tidak, dia tidak mau kembali ke masa di saat Deeka sudah tidak ada. Ia ingin tetap di masa ini, karena saat ini ia bisa melihat Deeka dengan jelas. Nyata dan bernapas. Masih tersenyum manis dan bisa tertawa bersamanya.
Semua terasa begitu indah dan berjalan lancar. Ia tidak mau kembali.
Nara menahan kedua kelopak matanya agar tidak terpejam. "Kayaknya harus olahraga biar nggak ngantuk."
Nara bangkit duduk bahkan berlari-lari kecil di sekitar kamarnya agar tidak mengantuk. Namun, ternyata setelah melakukan hal tersebut, ia malah ingin berbaring dan memejamkan mata. Dengan posisi telungkup, Nara pun jatuh tertidur bahkan kurang dari lima menit.
Nara tidak bermimpi, semua hanya gelap sepanjang tidurnya. Gelap, tapi terasa begitu tenang.
Cukup jauh dari rumah Nara, seseorang sedang sibuk bermimpi. Ia bermimpi memakai kursi roda dan topi kupluk. Ia berada di sebuah taman rumah sakit, memperhatikan air pancur dan burung-burung yang terbang di langit.
"Dimakan es krimnya, Dee."
Dan, ia pun terbangun. Ia mengusap wajahnya, lalu menghela napas panjang. "Gantung banget mimpinya."
Deeka berniat tidur lagi untuk melanjutkan mimpinya yang bersambung. Namun, ia tiba-tiba merasa haus. Ia pun berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air dingin dari kulkas.
Setelah gelasnya terisi air dingin, Deeka pun mengangkat gelas dengan santai. Namun, mungkin karena Deeka masih mengantuk, gelas di tangannya tiba-tiba terjatuh dan menyebabkan bunyi bising yang membangunkan seseorang.
"Astaga, gue kira tikus yang mecahin gelas!" Andra cukup terkejut melihat Deeka berdiri terdiam memandangi pecahan gelas. "Kok bisa pecah gelasnya, Dee?"
"Jatuh," jawab Deeka singkat.
"Kok bisa jatuh?"
"Karena ... hukum gravitasi. Kalau gelasnya terbang, baru aneh, Bang." Deeka tiba-tiba terkekeh hambar.
"Ha-ha, lucu. Ya udah, cepet beresin."
Deeka mengangguk, ia pun berjongkok untuk memunguti pecahan beling. Ia kira, abangnya akan kembali masuk kamar dan tidur. Namun ternyata Andra membawa plastik dan ikut berjongkok untuk membantu Deeka.
"Kalau dikerjain berdua, pasti lebih cepet, kan?" Andra mendengus, dengan cepat memasukkan pecahan beling ke dalam plastik sampah. Setelah selesai, ia bahkan mau menyapu kekacauan yang Deeka buat. Bukan karena takut Deeka terluka, melainkan ia tahu bahwa Deeka tidak pandai menyapu. Kalau belingnya masih ada yang tersisa di lantai, pasti bahaya. "Udah, sana tidur lagi. Besok lo sekolah."
Deeka menyipitkan matanya, agar bisa melihat Andra lebih jelas. "Bang Andra mulai terdengar kayak Bang Indra. Hmm, aneh."
"Masa? Oke, ulang!" Andra merinding saat Deeka menyamakannya dengan Indra yang berhati dingin itu. "Lo nggak tidur? Nanti kalau lo susah bangun, gue guyur lo pakai air kolam ikan, ya!"
Deeka mengacungkan jempolnya. "Nah, ini baru Bang Andra banget. Oke, gue tidur duluan, ya!"
Andra mendengus geli. Lalu tersenyum licik tiba-tiba. "Oh, iya! Kejadian lo mecahin gelas harus gue laporin ke mama nggak, ya?"
"Laporin aja, kan emang gue yang salah." Deeka mengedikkan bahu, lalu berbalik badan untuk kembali tidur di kamarnya. Meninggalkan Andra yang merasa gagal untuk mengancam Deeka.
"Kok nggak mempan, sih?"
***
Nara terbangun, dan ia merasa begitu lega karena ternyata ia masih berada di kamarnya dan memakai piyama bergambar teddy bear. Itu artinya, ia masih berada di masa lalu.
"Yeeeey!" Nara melompat dari tempat tidur saking bersemangatnya. Ia berlari keluar kamar dan mencari mamanya ke mana-mana. Sayangnya, yang ia temukan hanya kertas post it yang ditempel di kulkas.
Nara, Mama udah berangkat dari jam 6. Semoga kamu nggak kesiangan, Mama udah nyiapin roti buat kamu bekal ya! Xx -Mamski
Nara tersenyum kecil, ia melirik kotak bekal yang ada di meja makan. Ah, mamanya memang yang terbaik. "Semoga nggak kesiangan? Mana mungkin—"Nara melebarkan matanya ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan jam tujuh kurang dua puluh menit. "Astaga!"
Nara buru-buru lari ke kamar mandi dan mandi dengan cepat kurang dari lima menit. Ia begitu buru-buru saat memakai seragam, bahkan sampai ia sempat salah mengancingkan seragamnya. Benar, ada saja kesialan Nara mau di masa depan ataupun masa lalu.
Setelah mengunci pintu dengan kunci cadangan, Nara pun berlari untuk naik taksi karena ia merasa naik sepeda akan membuatnya semakin terlambat. Tapi, ia baru ingat kalau uang jajannya tidak sebanyak itu untuk naik taksi. "Nggak ada taksi, angkot pun jadi!"
Saat Nara menunggu angkot, seseorang pengendara motor ninja berhenti di depan Nara. Helmnya terbuka sedikit hingga mata dan hidungnya terlihat. Nara merasa begitu beruntung!
"Kesiangan juga?" Cowok itu terkekeh pelan. "Naik, jangan sampai kita dihukum keliling lapangan."
Nara mengangguk semangat dan naik dengan jantung berdebar. "Tapi, jangan ngebut-ngebut, ya! Keselamatan nomor satu, Dee!"
Iya, cowok itu adalah Deeka. Ternyata di balik kesialan Nara, ada juga hikmahnya.
"Siap, Bos!" Deeka memang berkata 'iya', tapi cara ia mengendarai motor sangatlah berbeda.
Tangan Nara yang tadinya hanya memegang ujung jaket Deeka, jadi berpindah melingkar di pinggang cowok itu. Nara tidak bermaksud modus, tapi ia cukup senang karena bisa memeluk Deeka lagi. Nara bahkan tidak tahu bahwa jantung Deeka berdebar lebih cepat dibanding dirinya.
Keberuntungan ternyata masih berpihak pada mereka, karena gerbang sekolah belum ditutup, Deeka berhasil memarkirkan motornya di parkiran dengan aman. Namun, sayangnya ia langsung mendapat pukulan di pundaknya sesaat motornya berhenti. "Aduh!"
"Gue tadi udah ngelarang lo ngebut, ya!" Nara turun dari motor, langsung menatap Deeka tajam. "Kalau lo jatuh, gimana?!"
"Jatuh?" Deeka mengernyit, lalu tiba-tiba tertawa. "Gue ini PRO, lo nggak usah takut, Ra."
"Tapi lo—" Ucapan Nara tertahan, ia baru sadar bahwa ia tidak boleh terlihat berlebihan. "Oke, ayo masuk kelas."
Deeka mengikuti Nara dari belakang, mengira cewek itu masih marah karena ia mengendarai motor dengan ngebut. Namun, mendadak Nara berhenti, Deeka hampir saja menabrak punggung cewek itu.
"Kalau jalan, jangan di belakang gue."
Deeka merasa bingung dengan kata-kata Nara. "Terus?"
"Dasar pinter." Nara kembali berjalan cepat, lalu terdengar Deeka mendengus pelan. Langkah kaki Deeka terdengar semakin mengejar Nara, cowok itu akhirnya berjalan di sebelah Nara sambil cengar-cengir tidak jelas.
"Gue kira lo marah," gumam Deeka.
"Nggak, tapi jangan ngebut kayak tadi lagi. Pokoknya, jangan. Ngerti?"
Deeka bisa merasakan kekhawatiran Nara yang terdengar tulus. "Lo tadi bilang takut gue jatuh? Bukan karena takut lo ikut jatuh?"
"Ya, iya. Gue nggak mau ikut jatuh." Nara terdengar salah tingkah.
"Kalau gue lagi naik motor sendirian, berarti boleh ngebut?"
"NGGAK." Nara berhenti, Deeka pun ikut berhenti. Ia meraih tangan Deeka dan mengaitkan kelingkingnya di kelingking Deeka. "Janji, lo nggak akan pernah naik motor ngebut kayak tadi. Apalagi sendirian.”
"Ini janji yang sangat memaksa, Ra." Deeka tertawa. "Oke, oke. Kalau ini bisa bikin lo lebih selow."
Nara menghela napas, enggan melepas tangan Deeka. "Jangan terluka, Dee."
Deeka terkejut mendengar suara Nara yang begitu putus asa. Mata Nara juga terlihat mulai berkaca-kaca, walau ia menunduk untuk menyembunyikannya dari Deeka. "Gue akan lebih hati-hati, Ra. Janji! Udah, dong. Jangan sedih, nanti gue ikut sedih, nih!"
Nara mendengus geli. "Lo emang susah diajak serius."
"Makanya, diajak makan aja. Pasti gampang!" Deeka menyengir lebar, mengajak Nara berlari agar tidak terlambat. "Ayo, yang kalah traktir bakso!"
"Heh, gue nggak suka lari!"
Nara sebenarnya sama sekali tidak keberatan membelikan Deeka bakso. Atau mungkin, apa pun itu, asal Deeka bahagia....