PART 2

1647 Words
Membayangkan wajahmu tersenyum padaku lagi, membuatku sangat bahagia hingga ingin menangis. ***   Nara mengayuh sepeda merah muda kesayangannya dengan penuh semangat. Ia ingin lebih cepat sampai sekolah, agar bisa lebih cepat bertemu Deeka. Membayangkan wajah manis Deeka saat kelas sepuluh, membuat Nara tersenyum tidak jelas.             Wajah Deeka saat kelas sepuluh jauh lebih polos dan bahagia dibanding kelas dua belas. Tentu saja berbeda. Deeka di masa ini tidak tahu apa-apa soal penyakit yang akan menyerangnya, Nara bahkan tidak tahu sejak kapan Deeka menyembunyikan penyakit itu dari semua orang. Apa kelas sebelas? Atau dua belas?             Setelah memarkir sepedanya, Nara menyingkir sedikit dan melihat jam tangan sambil tersenyum. Ia menghitung tiba-tiba, "Tiga ... dua ... satu--"             Brukk             Waktu yang tepat. Sandra menabrak sepeda Nara hingga terjatuh seperti waktu itu.        "Aduh, maaf banget! Gue baru bisa parkir!"             It's okay, Sandra. "Oh, really? Astaga, kayaknya sepeda gue penyok, deh."             Sandra terlihat semakin panik, ia hampir mengeluarkan uangnya dari dompet. Namun, Nara menahan tangannya sambil tersenyum geli. "Biar gue ganti! Serius, gue nggak sengaja...."             "Gue bercanda. Lagian, sepeda gue udah kebal jatoh berkali-kali. Santai aja, oke?"             "Gue kira lo beneran marah." Sandra terkekeh pelan.             "Nama gue Nara." Nara mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Nama lo siapa?"             "Sandra." Sandra tentu saja menjabat tangan Nara dengan hangat. "Lo anak baru juga, kan? Yuk, bareng. Gue belum punya temen, nih."             "Gue udah punya satu." Nara tersenyum jail.             "Oh, ya? Mana?"             "Namanya Sandra. Kenal?" Nara pun terkekeh pelan saat melihat ekspresi Sandra yang terlihat geli. "Ayo, ke kelas. Feeling gue, kita bakal sekelas."             Bahkan sampai kelas dua belas, kita selalu sekelas, Sandra.             "Feeling? Kayak cenayang aja lo." Sandra hanya tertawa. Lalu mereka mengobrol asyik seolah sudah kenal sebelumnya. Mungkin memang begitu bagi Nara. Sandra bahkan terkejut saat Nara tahu bahwa Sandra sangat suka makanan pedas.             "Ih, lo serem, Ra." Sandra mulai merinding. "Apa lo bener peramal? Coba ramal asmara gue, dong! Apa jodoh gue seganteng Zayn Malik? Atau sekeren Justin Bieber? Gue jadi penasaran, nih!"             Nara hanya tertawa, tanpa berminat membalas. Yang Nara tahu, Sandra akan sangat menyukai Roni dan sempat salah paham dengannya. Semoga kali ini, Nara bisa menyatukan Sandra dan Roni. Atau ... apa harus dijauhkan saja?             Ah, entahlah. Nara jadi pusing.             "Yang pasti, San ... jodoh lo tuh cowok," ujar Nara serius, yang langsung dirangkul Sandra dengan gemas.             "Ya iyalah, masa jodoh gue kucing, sih, Ra!"             Semua murid yang mereka lewati terlihat iri karena kedekatan mereka. Mungkin, murid-murid itu mengira Nara dan Sandra berteman sejak SMP. Lucu sekali.             Nara dan Sandra terus mengobrol dan tertawa hingga depan kelas. Benar saja, mereka ternyata satu kelas MOS. Wow, tebakan Nara benar!             Namun, Nara tiba-tiba diam dan berhenti. Ia menyuruh Sandra masuk duluan saja. Setelah Sandra masuk, Nara menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ia harus menyiapkan mental sebelum bertemu Deeka. Melihat wajahnya saja, mungkin akan membuat Nara menangis. Jadi, Nara harus lebih kuat. Deeka tidak mengenalnya, jadi ia harus bertingkah sewajarnya.             Jantung Nara berdebar lebih kencang, ia bahkan menutup matanya sebelum melihat murid-murid di kelas MOS-nya. Ia harus melihat Deeka. Jangan seperti dulu, Nara bahkan tidak menyadari kehadiran Deeka.             Setelah ia berhasil menemukan Deeka di barisan paling belakang—tentu saja bersama Roni—Nara pun tersenyum kecil sambil menahan air matanya yang siap tumpah. Deeka.... lo masih hidup.             "Kayak gini, Ron?" tanya Deeka sambil memamerkan dasi yang ia pakai.             "Kok jadi dasi kupu-kupu, sih? Pakai yang bener napa, Dee!"             "Ini salah? Kan keren kayak pelayan restoran, Ron! Norak lo!"             "Ini sekolah, bukan restoran, Dee." Roni berkata dengan sangat sabar.             "Oh iya, ya?" Deeka malah menyengir. "Ya udah, lo buatin dong dasi gue yang bener."             Roni menghela napas. "Bisa apa sih lo kalau nggak ada gue?"             "Bisa gila." Deeka terkekeh geli. "Makanya, lo jangan ninggalin gue, Ron. Nanti pas nikah juga rumah kita harus sebelahan, oke?!"             "Oke aja biar cepet." Roni menjawab dengan malas sambil membuat simpul dasi yang benar untuk Deeka. Namun anehnya, ia merasa diperhatikan. Ia melihat ke arah depan, dan ternyata ada seorang murid cewek yang matanya terlihat berkaca-kaca karena menatap Deeka. "Lo kenal dia, Dee?" tanya Roni pelan.             "Ha? Siapa maksud lo?" balas Deeka dengan volume paling kencang. Roni sangat ingin memukul kepala Deeka yang isinya mungkin hanya permen kapas dan otak untuk pajangan. Setelah Deeka berkata begitu, cewek itu langsung membuang pandangannya dan langsung duduk di barisan paling depan.             "Cewek yang baru aja duduk itu, lo kenal? Eh, awas kalau lo teriak lagi," bisik Roni tajam.             "Hmm, kayaknya ... nggak kenal. Kenapa? Lo naksir?" tanya Deeka antusias.             "Nggak! Tadi tuh dia ngeliatin lo mulu. Malah kayak mau nangis gitu."             "Aneh. Biasanya cewek tuh mimisan kalau liat gue, bukannya nangis."             "Bodo amat. Yang pasti, tuh cewek keliatan sedih banget pas liat lo. Jangan-jangan ... dia salah satu fans lo yang lo tolak!"             "Kayaknya bukan, deh. Fans gue nggak ada yang semanis dia."             Roni tiba-tiba tersenyum jail. "Cie, manis?"             "Iya, masa asem, sih? Mulut gue hanya berkata kejujuran." Saat Deeka belum selesai bicara, tiba-tiba Nara menoleh ke belakang. Mata Deeka dan Nara bertemu, entah mengapa Deeka tidak ingin berkedip. Ia akhirnya tersenyum canggung, berharap Nara membuang muka.             Namun, yang Nara lakukan malah membalas senyuman Deeka. Dari matanya, terlihat begitu banyak luka dan rindu yang dipendam.             "Mampus, Ron. Dia senyum." *** Sandra sungguh bingung. Apa hubungan Nara dan cowok ganteng itu? Apa mereka saling kenal? Sangat mencurigakan. "Samperin aja, Ra. Kalian satu sekolah ya dulu?"             "Eh? Nggak, kok. Gue kenal dia, tapi dia nggak kenal gue." Nara tersenyum masam.             "Loh? Serius? Berarti kita senasib, Ra," ujar Sandra serius.             Nara jadi bingung. "Oh, ya? Senasib gimana?"             "Justin Bieber juga nggak kenal gue, padahal gue kenal banget sama dia. Nggak adil, kan?"             Nara mendengus geli. "Kasus kita beda, kalau gitu."             "Kalau lo bener kenal sama tuh cowok, kenapa nggak lo samperin?"             "Nanti aja, kalau waktunya udah pas."             "Kapan?"             "Nanti pas upacara, mungkin?" Nara tersenyum kecil. Ia ingat sekali apa yang terjadi saat upacara MOS; Deeka pingsan, tapi ia mengaku hanya pura-pura pingsan pada Roni. Nara bahkan percaya dan merasa kesal waktu itu.             Namun, sekarang Nara tahu bahwa Deeka tidak pernah pura-pura pingsan. Deeka benar-benar sakit saat itu. Tanpa sadar, air mata Nara menetes begitu saja. Membuat Sandra bingung dan bertanya, "Lo baik-baik aja, Ra?"             Nara dengan cepat menyeka air matanya. "Ya, kayaknya. Gue cuma ... baru sadar sesuatu."             "Apa?"             "Rahasia." Nara tersenyum tipis, dan tepat setelah itu, bel masuk berbunyi. Saatnya upacara bendera. Nara menarik tangan Sandra, bahkan mengajaknya berlari kecil ke lapangan. Nara berbaris di barisan belakang, di sebelah barisan murid cowok. "Kalau nggak salah, Deeka baris di deket sini," gumam Nara cemas.             Ternyata Deeka baris di sebelah Sandra, dan Roni malah yang di sebelah Nara. Gawat. Nara pun menepuk pundak Sandra dan berbisik ingin bertukar tempat. Sandra hanya mengangkat bahu dan menuruti permintaan Nara. Setelah berhasil berdiri di samping Deeka, Nara sedikit menoleh, Deeka terlihat serius sekali berbaris. Aneh.             Beberapa detik kemudian, Nara melihat Deeka menunduk dan memegangi kepalanya dengan satu tangan. Apa dia pusing? Tapi, upacara baru saja dimulai. Dulu, Deeka pingsan saat pidato kepala sekolah. Berarti ... Deeka bertahan lama sekali. Padahal, ia bisa saja izin ke UKS sekarang.             "Jangan sampai lo pingsan."             Deeka terlihat terkejut. Ia menunjuk dirinya sendiri sambil memandang Nara. "Lo ngomong sama gue?"             "Gue ngomong sama diri sendiri."             Deeka menaikkan satu alisnya. "Lo pusing?"             "Sedikit." Nara pura-pura memegangi kepalanya.             "Ya udah, ke UKS aja," balas Deeka canggung.             "Lo mau nemenin gue ke UKS?" tanya Nara pelan, agar Sandra tidak dengar.             "Kok gue?" Deeka terlihat bingung. Karena, ia sama sekali tidak mengenal Nara. "Ajak temen lo aja."             Nara berpikir keras, bagaimana caranya agar Deeka mau mengantarnya ke UKS tanpa paksaan?             "Gue belum punya temen. Ya udah, kalau lo nggak mau nolongin gue," bisik Nara lagi, lalu memasang ekspresi menahan sakit kepala.             "Sakit banget?" Deeka menoleh ke belakang, dan Roni terlihat mengizinkan Deeka mengantar cewek itu ke UKS. Cukup gerakan mata dan kepala, Deeka sudah mengerti maksud Roni. "Ya udah, ayo."             Deeka menyuruh Nara menggenggam tangannya, Nara lagi-lagi harus menahan air matanya. Deeka menuntun Nara ke belakang dan izin kepada petugas PMR. Sebenarnya Deeka disuruh kembali ke barisan, tapi Nara menahan lengan Deeka dengan kuat.             "Tolong, Kak. Izinin temen saya juga ke UKS. Saya penakut, Kak. Denger-denger, UKS sekolah ini lumayan seram." Nara berakting ketakutan sambil menahan lengan Deeka dan memandang kakak kelasnya dengan memelas.             "Waduh, ya udah, kamu biar Kakak aja yang nemenin. Gimana?" tanya kakak PMR cowok itu dengan sedikit genit. Nara jadi beneran takut.             "Biar saya aja. Kakak kan harus jaga di lapangan, siapa tahu ada yang pingsan nanti. Saya teman satu SMP-nya, Kak. Dia belum kenal siapa-siapa selain saya," ujar Deeka lumayan serius. Nara cukup terkejut.             "Ya udahlah, sana pergi. UKS ada di dekat ruang guru, ya."             "Siap, Kak!" balas Deeka tersenyum lebar. Tentu saja Nara sadar Deeka memang bagaikan magnet saat hari pertama MOS. Semua mata kakak kelas langsung tertuju pada Deeka dan banyak yang bisik-bisik. "Ayo, kita ke UKS. Jangan sampai lo pingsan." Deeka lagi-lagi menggenggam tangan Nara, ia langsung menuntun Nara dengan perlahan.             "Makasih," ucap Nara pelan sambil menahan senyum. "Oh iya, gue belum tahu nama lo."             "Deeka Maherendra. Lo bisa panggil gue 'Dee' biar akrab." Deeka terkekeh pelan.             "Nara Cantika. Terserah lo mau manggil gue apa."             "Eh, gue kan belum nanya nama lo." Deeka tersenyum jail. "Tapi, gimana kalau gue panggil lo beruang? Wajah lo lucu kayak boneka beruang."             Nara mengangguk. "Beruang lumayan lucu, gue suka."             'Beruang' akan menjadi nama panggilan yang paling Nara suka. Mungkin untuk selamanya….        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD